Pukul 13. 21 WIB Alda akhirnya tiba di rumah mertuanya. Tiba di kamar, ia langsung melemparkan tubuhnya begitu saja ke atas kasur king size milik Ardian. Tak tanggung-tanggung ikut menarik selimut Ardian yang sejak awal diklaim pemuda itu sebagai hak milik pribadi.
Sementara Ardian yang baru selesai mengambil air minum di dapur langsung melotot ketika mendapati Alda yang sudah bergelung nyaman dengan selimutnya. Kebetulan hari ini ia bekerja dari rumah. “Bangun! Enak aja pake selimut saya!” Ia tarik tangan Alda kuat-kuat. Alih-alih bangun, gadis itu malah melilitkan tubuhnya dengan selimut. “Alda, bangun!” Berdecak, Alda akhirnya membuka mata. Susah payah ia bangun disebabkan selimut Ardian yang masih melilit tubuhnya. “Ya ampun, badan aku kelelep. Susah napas nih. Tolongin dong!” “Nah, kan? Kena batunya!” Pemuda itu mencibir. Namun tetap membantu melepaskan selimut yang detik itu diklaim Alda sebagai selimut kematian. “Sini bincang-bincang dulu. Kita kenalan lagi.” Ia tarik lengan Ardian untuk duduk di hadapannya. "Kita kan belum banyak ngobrol sejak nikah 3 hari yang lalu." “Kenalan tentang apa lagi coba?” Ardian memutar bola mata. “Aku liat di bawah banyak yang pake seragam sama. Mereka siapa?” “Pelayan,” balas Ardian tenang. Berbeda dengan Alda yang sudah melotot. “What?!” Ardian mengangguk. Beralih ke sisi ranjang dan menunjuk tombol yang ada di sana. “Kalo butuh apa-apa, kamu bisa pencet tombol ini. Tunggu dua menit dan salah satu dari mereka akan datang untuk melaksanakan perintah kamu.” Hening selama beberapa detik. “Tampar aku, Kak!” “Heh, buat apa?!” “Aku kayaknya lagi halusinasi. Mana halunya tinggi banget. Pertama halu nikah habis itu tinggal di istana yang banyak pelayannya.” Ardian tertawa. Alda lucu sekali. “Apanya yang lucu?” Alda mengernyit. Ia tatap Ardian heran. “Anak monyet.” Gadis itu celingukan. Benar-benar mencari anak monyet yang dikatakan Ardian. “Mana anak monyetnya?” Ardian tergelak. “Ini, di depan saya,” balasnya minus akhlak. PLAK!! Benar saja, setelah itu gamparan indah dari tangan Alda berhasil menyapa lengannya. “Pelanggaran lagi!” “Ck, Kakak nyebelin banget sih!” Alda memberengut kesal. Lebih-lebih saat Ardian menatapnya dengan tatapan menjengkelkan. Pertama ketemu, ia pikir Ardian itu dingin. Tapi, setelah menjadi istrinya, ia malah menemui kenyataan lain. Pemuda itu menjengkelkan, rese dan minus akhlak. Ck, ia benar-benar dongkol! “Jadi, Kakak punya berapa saudara?” tanyanya lagi di menit berikutnya. Ardian menghela. Kini berjalan ke arah jendela. Alda juga mengikutinya dari belakang. “Saya punya dua saudara. Kakak saya namanya Aksa. Adik saya namanya Anna.” “Terus, mereka ke mana?” “Aksa masih di Jerman. Kalo Anna... saya nggak tau dia ada di mana sekarang.” Ia menoleh. Terlihat mendung di wajahnya. “Anna hilang 17 tahun yang lalu.” Alda masih sepenuhnya menyimak saat Ardian kembali melanjutkan, “Dan kamu tahu? Anna juga yang menjadi alasan kenapa pernikahan ini ada.” Ardian berbalik badan. Kini mereka sudah berhadapan. “Maaf, Alda. Tapi, kamu harus tahu fakta ini. Saya nikahin kamu alasan satu-satunya karena Anna.” “Oh, gitu, ya?” Harusnya, Alda tidak terkejut dengan pengakuan itu. Kenyataannya, pernikahan ini ada tanpa landasan cinta. Tapi, kenapa untuk balas tersenyum saja rasanya sangat sulit? “Ngomong-ngomong, makasih buat semuanya.” Akhirnya, sebuah senyuman berhasil ia suguhkan ketika kembali berucap, “Aku berhutang banyak sama Kakak.” Ardian mengangguk. Lantas tanpa berucap apa-apa lagi, Alda beranjak dari sana. Arahnya adalah kamar mandi. Tiba di sana, ia langsung mengunci pintu kamar mandi. Sejenak menatap dirinya pada cermin dengan helaan napas panjang. “Apa yang kamu harapkan, Alda?” monolognya pada diri sendiri. “Jadi permaisuri dari pangeran tampan dan hidup berbahagia di istana?” Ia tersenyum miris. “Omong kosong.” Nyatanya, ia sendiri tahu kalau pernikahan ini ada karena mereka punya kepentingan masing-masing. Ia butuh uang dan Ardian butuh status. Seperti kata Ardian. Simbiosis mutualisme. Dan kini kepentingan mereka sama-sama telah terealisasikan. Ardian sudah mendapatkan status dengan menikahinya. Sementara ia juga sudah mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit adiknya. Impas. “Alda, buka pintunya!” “Kamu kenapa?!” “Alda!” “Nggak lagi sekarat, kan?!” “Alda, are you okay?!” Tak sampai tiga menit, tiba-tiba pintu kamar mandi digedor seseorang secara brutal. “Apa?!” balasnya dongkol. Ia sudah menduga bahwa itu adalah ulah Ardian. “Ngetes aja. Takutnya kamu sudah dijemput sama malaikat Izrail.” “SIALAN!” Ardian tertawa. Diam-diam menghela lega karena Alda masih mau menyahutinya. Lama merenung, akhirnya ia sadar bahwa kalimat tadi tak seharusnya ia lontarkan. Nyatanya, ia tak ingin satu pun di antara mereka ada yang terluka di dalam pernikahan ini. “Alda, saya minta maaf.” “Maaf buat apa?” Gadis itu menaikkan sebelah alisnya. Ia sudah keluar dari kamar mandi. “For everything.” “Nggak aku maafin!” Mampus! “Alda, dosa loh marah lama-lama sama suami.” “Gampang, kalo dosa aku tinggal cari pahala lagi. Terus, bertaubat. Banyakin istighfar. Beres.” Dengan enteng, gadis itu mengibaskan rambutnya. Kini berjalan melewati Ardian. “Nggak gitu juga konsepnya, Markonah!” Alda tertawa puas. Tapi tawa itu perlahan memudar. Tatapannya kini mengarah ke jendela. Langit mulai mendung. "Eh, Kak..." panggilnya. Ardian yang tadi masih membalas dengan nyinyir kontan menoleh. “Tadi Kakak bilang soal Anna, ya? Kenapa bisa Anna jadi penyebab kita nikah?” Ardian menerawang jauh. "Nanti, akan ada waktunya saya ceritakan semuanya." Pemuda itu menatap Alda lamat-lamat. “Sebenarnya... ada hal yang belum saya bilang.” Suaranya rendah dan nada bercandanya menguap. “Pernikahan ini... bukan hanya karena Anna.” Ardian menatap Alda serius. “Tapi karena kamu juga, Alda.”“Hm, masalah Mr. X, ya?” Meira mengusap dagunya tanda berpikir keras. Usai mendapatkan keterangan-keterangan dari Alda dan permintaan tolong gadis itu, ia akhirnya bersedia membantu. “Ini memang sedikit rumit sih. Karena aku yakin banget. Dia ini nggak sendirian.” Meira menggeledah tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah flash disk. “Sebenarnya, sebelum kamu minta tolong, aku beberapa waktu ini sudah menyelidiki kasus ini secara diam-diam. Dari CCTV kampus kamu, aku dapat rekaman ini.” Setelah file tersebut dibuka, muncullah satu rekaman yang memperlihatkan sosok perempuan yang sedang berada di sekitaran kampus tepat saat teror pesawat kertas menyasar Alda. Seperti biasanya, ia setia menggunakan masker dan topi. “Meski Netta memang berpotensi melakukan semua teror ini, tapi aku yakin yang di rekaman itu bukan Netta.” Satu pernyataan dari Meira yang membuat Ardian dan Alda kompak menatapnya. “Seyakin itu?” Suara Ardian yang baru memecah keheningan membuat Alda dan Meira kompak
“Kamu kenal sama orang yang kemarin bius kamu?” tanya Ardian pelan, seolah takut mengusik pagi yang nyaris tenang. Di hadapannya, Alda tengah menyantap sarapan sambil sesekali meniup uap dari cangkir tehnya.Gadis itu tak langsung menjawab. Diamnya panjang, seperti menarik ingatan dari dasar trauma. Baru setelah beberapa menit, ia angkat suara, “Cowok yang sekap aku di hotel waktu itu,” ucapnya, diiringi helaan napas panjang yang terasa berat.“Kamu masih ingat muka orang yang nyekap kamu?”Alda menggeleng pelan. “Mereka semua pakai masker sama topi. Tapi... aku yakin banget, meskipun yang kemarin datang ke sini juga pakai masker dan topi, dari postur tubuhnya nggak salah lagi. Dia salah satu dari mereka.”Kalimat itu membuat Ardian langsung menegakkan punggung. Wajahnya tegang.“Semalam aku cek rekaman CCTV depan rumah. Dan di situ juga kelihatan ada perempuan kayak lagi ngawasin rumah kita.” Ia menyerahkan ponsel ke Alda. Layar itu memperlihatkan potongan video yang ia maksud.“Kamu
“Hari ini mau makan apa?” Ardian mengangkat tinggi-tinggi barang belanjaannya. Ia baru saja pulang berbelanja dari supermarket. Beberapa hari ini usai klarifikasi itu, pemuda itu lebih sering berada di sekitaran Alda. Untuk resto, ia memilih mengawasinya dari jauh, selebihnya beberapa pekerjaan diserahkan sementara kepada para pegawai di sana. Untunglah resto sekarang semakin maju. Ardian berhasil memajukannya hanya dalam waktu singkat. “Seblak!” Alda mengangkat tangannya tinggi-tinggi yang dibalas pemuda itu dengan memutar bola mata. “Nggak ada seblak! Pilih satu, mau menu ayam atau ikan.” “Dua-duanya,” sahut Alda dengan cengiran khas andalannya. “Mumpung lagi weekend, masakin yang banyak ya, Kak?” Ia mendorong Ardian menuju dapur. Masih seperti sebelumnya, Alda belum mahir memasak sama sekali. Bukan, bukan Alda tidak pernah mau belajar. Ia sudah mencoba. Saking seringnya mencoba dan membuat dapur berantakan berkali-kali, Ardian sekarang jadi melarangnya. “Kak Ardian, kena
“Ucapan adalah doa. Jangan sampai kamu nangis kejer kalo aku beneran nikah lagi.”Alda menggeleng tegas. “Gampang, kalo Kakak nikah lagi aku tinggal gugat cerai terus cari suami baru.” Ardian langsung berdiri dari duduknya dan menyimpan laptop ke tempatnya semula. Menu-menu baru restoran tadi sudah selesai ia lihat. “Udahlah, ucapan kamu makin ngawur,” ujar pemuda itu sambil menuju ke arah kasur untuk segera tidur.Alda masih belum berpindah dari tempatnya. “Nggak usah bengong di situ. Katanya kamu pagi-pagi besok mau diajak jalan-jalan, kan? Jangan suka begadang.” Alda mengangguk lalu buru-buru menyusul Ardian untuk istirahat. “Kak,” panggil gadis itu pada Ardian yang sedang tidur membelakanginya. Ia menatap plafon kamar sembari bergidik. Tiba-tiba ia merinding. Di luar hujan mulai terdengar turun membuat suasana malam ini makin terasa horor. “Hm.” Tetapi Ardian hanya membalasnya dengan gumaman. “Hadap sini dong, aku takut.” Ia menarik-narik lengan baju pemuda itu. Saki
“Pagi-pagi harus sarapan dulu. Jangan langsung berangkat ke kampus dengan perut kosong.” Alda hanya mengangguk pasrah ketika Ardian mendudukkannya di kursi pantri. Pagi-pagi sekali, laki-laki itu sudah sibuk dengan masakannya dan menghidangkannya di hadapan Alda. “Makan dulu gih. Habis itu baru aku antar ke kampus.” Tanpa banyak protes, Alda meraih roti yang ada di hadapannya. Melahapnya hingga habis. “Udah selesai.” Ia tatap Ardian yang balas menghela. Sesungguhnya, Alda adalah tipikal orang yang paling malas sarapan pagi. Tapi, bersama Ardian jelas ia akan diceramahi panjang lebar jika tetap nekat ke kampus tanpa sarapan. “Aku masak banyak-banyak malah roti yang kamu makan.” Alda menghela. Ia raih segelas air minum yang diserahkan sang suami. Percayalah, bersama pemuda ini ia kembali seperti anak kecil. Ardian benar-benar memperlakukannya layaknya anak-anak yang butuh perhatian lebih. “Em, Kak Ardian.” Alda mendongak. Menatap suaminya dari jarak dekat. “Aku baru kep
“Halo, selamat datang. Semoga suka dengan menu yang ada di restoran kami.” Tak tanggung-tanggung Alda langsung menggeplak punggung Ardian ketika mendapati pemuda itu sudah berdiri di depan pintu restoran dan menyambut kedatangan mereka sembari membungkuk sopan. “Nggak usah banyak gaya!” sentaknya galak. Sementara Ardian balas menatapnya dengan cengiran lebar. “Mau makan apa, Nona?” Lagi, Alda memutar bola mata. Namun tetap juga menyahut. “Keluarkan menu paling spesial yang ada di restoran ini. Eh, aku mau seblak juga satu. Level paling pedes, ya.” “Oke, silakan ke meja kalian. Pesanan akan segera datang.” Sebelum berlalu, masih sempat-sempatnya Ardian mencolek sekilas dagu Alda. “Seblak nggak ada. Jangan marah,” ujarnya sebelum melangkah menjauh. Alda yang sudah duduk di tempatnya sontak berdiri. Malahan mengekori langkah sang suami. “Aku tau ya Kakak lagi bohong. Pelanggan di dekat meja kami makan seblak tuh. Pokoknya, aku mau seblak. Level paling pedes. Nggak mau tau!”