Kebiasaan Ardian ketika sedang galau adalah pergi ke taman atau berlama-lama di balkon kamar kala malam hari. Oleh karenanya, ketika Alda melihatnya termenung sendirian di balkon kamar, gadis itu langsung menghampiri.
"Kakak ngapain di sini?" tanyanya seraya ikut menatap pada langit malam. Bintang-bintang di sana tampak bersinar terang. Tidak gelap seperti raut Ardian. "Ngepet." Sedang pemuda itu membalas tanyanya seraya memutar bola mata. Bukannya merespons dengan jawaban yang sedikit waras, Alda malah memukul keras bahu itu. "Woah, udah berapa penghasilannya? Bagi dong!" Ardian berdecak. Mengabaikan tanya istrinya yang semakin merembet ke mana-mana. "Ngapain ke sini?" "Mau mulung, Bang." "Waras, Dek. Waras!" "Lah, situ emang waras?" Giliran Ardian yang tertawa. Pembahasan random ini berhasil menggelitik perutnya. Ya, setidaknya jokes Alda mampu membuat bebannya terasa sedikit lebih ringan. "Ada masalah apa suamiku, sayang?" Alda mengedipkan sebelah matanya. "Dasar drama queen!" "Loh, Queen itu adik aku, Bang. Dia main di drama apa? Tontonnya di mana? Mau liat dong!" "Alda, kamu nggak lagi kehabisan obat, kan?" Alda tergelak. Melihat Ardian yang kini menatapnya begitu dongkol membuatnya tertawa sampai mengeluarkan air mata. "Kamu kayaknya pasien yang tempo hari lari dari rumah sakit jiwa deh." Gadis itu terkekeh lagi. "Jadi, ada masalah apa, Kak Ardian? Kok mukanya butek gitu? Kayak air galon tetangga aja." Ardian mencebik. Beruntung ia sedang galau. Jika tidak, sudah habis gadis itu dilibasnya. "Kakak galau kenapa? Apa karena belum sempat checkout barang di keranjang belanja?" "Ck, bukan!" sahut Ardian kesal. Mendadak berpikir kapan istrinya akan waras. "Terus?" Alda memiringkan kepala, menatap wajah pemuda itu lebih intens. "Ada masalah sedikit sama client." Pada akhirnya, Alda tersenyum. Kini mengusap pelan bahu Ardian usai memperoleh kewarasan. "Ayo cerita sama aku. Mungkin, aku bisa bantu." Usai drama panjang itu, barulah mengalir cerita dari bibir Ardian mengenai dirinya yang tanpa sengaja menumpahkan kopi pada dress salah seorang client wanita. Untungnya wanita itu tidak sampai memutuskan kerja sama. Ia hanya meminta agar Ardian mengganti dress yang sudah ketumpahan kopi itu. Naasnya, Ardian sampai sekarang belum menemukan dress yang cocok dikarenakan permintaan wanita itu yang cukup ribet. Ia tidak mau menerima semua dress pilihan Ardian dan malah mengajukan model yang lain. Satu hal yang membuat pemuda itu uring-uringan seharian. Alda menepuk-nepuk pelan bahu itu. "Ayo menyerah. Jangan semangat." "Ck, nyesel saya udah cerita sama kamu!" Ardian mencebik. Kesal berlipat-lipat dengan reaksi Alda. "Nanti aku bantu. Dikit-dikit, aku bisa kok buat rancangan dress," ujar Alda pada akhirnya. "Nggak percaya." Gadis itu menundukkan kepala. Memulai lagi dramanya. "Derita orang cantik nan imut emang sering nggak dipercaya." "Bukan karena kamu cantik yang bikin saya nggak percaya. Tapi itu karena isi otak kamu yang sering korslet." Alda mendengus. "Yaudah, liat aja nanti. Tapi, kasih aku waktu seminggu buat buktiin ucapan aku." "Oke." 🍃 Weekend ini, Ardian mengajak Alda jalan-jalan. Niat awalnya mereka ingin menonton film yang sedang ramai diperbincangkan. Sayangnya, niat itu jadi urung saat mereka tidak kebagian tiket. Tak ingin pulang dengan sia-sia, keduanya memutuskan untuk terlebih dahulu mampir makan seblak. Sebenarnya, Alda saja yang pesan seblak. Karena Ardian memesan bakso. “Aku pikir, Kakak nggak bakal mau makan di pinggir jalan kayak gini.” Begitu celetukan Alda ketika pesanan mereka datang. “Emang kenapa? Makanan di pinggir jalan juga enak.” Gadis itu mengibaskan rambutnya. “Holkay,” balasnya. “Gengsi lah kalo ada yang liat Kakak makan di pinggir jalan.” Ardian terkikik geli. Geleng-geleng kepala untuk kalimat istrinya. “Ada-ada aja.” Kalau banyak orang yang gengsi kata Alda, Ardian bodoh amat. Yang penting baginya adalah makan. Daripada lapar. Lima menit mereka makan dengan tenang. Namun itu tak bertahan lama. Karena beberapa saat kemudian, tanpa mereka duga, tiba-tiba seseorang datang dan langsung mengguyur Alda dengan satu mangkuk seblak. "Kamu apa-apaan, sih?!" Ardian menepis tangan wanita yang tak lain adalah Netta itu. Alda masih duduk di tempatnya. Tak berani mendongak karena takut kuah seblak pedas itu masuk ke matanya. “Nggak ada yang masuk ke mata kamu, kan?” tanya Ardian khawatir. Tangannya juga sibuk membersihkan mie yang hinggap di rambut Alda. Gadis itu menggeleng. Kali ini, nasib baik masih berpihak padanya. Hanya saja, seluruh bajunya kotor oleh kuah seblak. “Ayo ke mobil.” Dengan penuh perhatian, Ardian melepas jaketnya untuk dipakaikan ke tubuh Alda. Benar-benar mengabaikan sosok yang kini menatapnya tak percaya. “Ar---” Begitu saja ia tepis tangan itu. “Kita sudah selesai. Minggir!” sentaknya keras. Matanya turut menatap sosok itu dengan tajam. “Ar, aku---” “Masalah kamu sama saya. Bukan sama istri saya!” “Tapi---” Kembali ia sentak tangan perempuan itu. “Minggir saya bilang!” Terpaksa Netta mengalah. Turut menggeser tubuhnya untuk memberi jalan. “Ta, kamu udah punya suami. Saya juga sudah punya istri. Jadi, tolong jangan ganggu saya lagi,” pesan Ardian sebelum benar-benar pergi. “Ar… aku masih sayang sama kamu.” Suaranya gemetar. Ardian tak menoleh. Ia berjalan semakin menjauh menuju mobilnya. Tiba di sana, ia membukakan pintu mobil untuk Alda—sosok perempuan yang kini menyandang status sebagai istrinya. Netta melihat semua itu. Dengan mata yang nyaris basah. Dulu, dulu sekali, ia pernah diperlakukan seperti itu. Tapi, dengan bodohnya ia malah mengkhianati Ardian. Dan kini, ketika hendak kembali, posisi itu telah digantikan oleh orang lain. “Aku udah pisah sama Bagus, Ar!” teriak Netta. Suaranya menggema di antara bising jalanan. Langkah Ardian terhenti. Tangannya menggenggam pintu mobil, tapi tak jadi menariknya. Perlahan, ia menoleh. Netta tersenyum. Satu senyum yang masih menyimpan harap. Lalu, dengan langkah cepat, ia mendekat. "Aku berharap masih bisa balikan sama kamu," bisiknya sebelum kedua lengannya memeluk tubuh Ardian tanpa izin. Ardian tertegun. Ia diam di tempat. Tak membalas, tapi juga tak menolak. Dan tepat di kursi samping kemudi, Alda menyaksikan semuanya.“Hm, masalah Mr. X, ya?” Meira mengusap dagunya tanda berpikir keras. Usai mendapatkan keterangan-keterangan dari Alda dan permintaan tolong gadis itu, ia akhirnya bersedia membantu. “Ini memang sedikit rumit sih. Karena aku yakin banget. Dia ini nggak sendirian.” Meira menggeledah tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah flash disk. “Sebenarnya, sebelum kamu minta tolong, aku beberapa waktu ini sudah menyelidiki kasus ini secara diam-diam. Dari CCTV kampus kamu, aku dapat rekaman ini.” Setelah file tersebut dibuka, muncullah satu rekaman yang memperlihatkan sosok perempuan yang sedang berada di sekitaran kampus tepat saat teror pesawat kertas menyasar Alda. Seperti biasanya, ia setia menggunakan masker dan topi. “Meski Netta memang berpotensi melakukan semua teror ini, tapi aku yakin yang di rekaman itu bukan Netta.” Satu pernyataan dari Meira yang membuat Ardian dan Alda kompak menatapnya. “Seyakin itu?” Suara Ardian yang baru memecah keheningan membuat Alda dan Meira kompak
“Kamu kenal sama orang yang kemarin bius kamu?” tanya Ardian pelan, seolah takut mengusik pagi yang nyaris tenang. Di hadapannya, Alda tengah menyantap sarapan sambil sesekali meniup uap dari cangkir tehnya.Gadis itu tak langsung menjawab. Diamnya panjang, seperti menarik ingatan dari dasar trauma. Baru setelah beberapa menit, ia angkat suara, “Cowok yang sekap aku di hotel waktu itu,” ucapnya, diiringi helaan napas panjang yang terasa berat.“Kamu masih ingat muka orang yang nyekap kamu?”Alda menggeleng pelan. “Mereka semua pakai masker sama topi. Tapi... aku yakin banget, meskipun yang kemarin datang ke sini juga pakai masker dan topi, dari postur tubuhnya nggak salah lagi. Dia salah satu dari mereka.”Kalimat itu membuat Ardian langsung menegakkan punggung. Wajahnya tegang.“Semalam aku cek rekaman CCTV depan rumah. Dan di situ juga kelihatan ada perempuan kayak lagi ngawasin rumah kita.” Ia menyerahkan ponsel ke Alda. Layar itu memperlihatkan potongan video yang ia maksud.“Kamu
“Hari ini mau makan apa?” Ardian mengangkat tinggi-tinggi barang belanjaannya. Ia baru saja pulang berbelanja dari supermarket. Beberapa hari ini usai klarifikasi itu, pemuda itu lebih sering berada di sekitaran Alda. Untuk resto, ia memilih mengawasinya dari jauh, selebihnya beberapa pekerjaan diserahkan sementara kepada para pegawai di sana. Untunglah resto sekarang semakin maju. Ardian berhasil memajukannya hanya dalam waktu singkat. “Seblak!” Alda mengangkat tangannya tinggi-tinggi yang dibalas pemuda itu dengan memutar bola mata. “Nggak ada seblak! Pilih satu, mau menu ayam atau ikan.” “Dua-duanya,” sahut Alda dengan cengiran khas andalannya. “Mumpung lagi weekend, masakin yang banyak ya, Kak?” Ia mendorong Ardian menuju dapur. Masih seperti sebelumnya, Alda belum mahir memasak sama sekali. Bukan, bukan Alda tidak pernah mau belajar. Ia sudah mencoba. Saking seringnya mencoba dan membuat dapur berantakan berkali-kali, Ardian sekarang jadi melarangnya. “Kak Ardian, kena
“Ucapan adalah doa. Jangan sampai kamu nangis kejer kalo aku beneran nikah lagi.”Alda menggeleng tegas. “Gampang, kalo Kakak nikah lagi aku tinggal gugat cerai terus cari suami baru.” Ardian langsung berdiri dari duduknya dan menyimpan laptop ke tempatnya semula. Menu-menu baru restoran tadi sudah selesai ia lihat. “Udahlah, ucapan kamu makin ngawur,” ujar pemuda itu sambil menuju ke arah kasur untuk segera tidur.Alda masih belum berpindah dari tempatnya. “Nggak usah bengong di situ. Katanya kamu pagi-pagi besok mau diajak jalan-jalan, kan? Jangan suka begadang.” Alda mengangguk lalu buru-buru menyusul Ardian untuk istirahat. “Kak,” panggil gadis itu pada Ardian yang sedang tidur membelakanginya. Ia menatap plafon kamar sembari bergidik. Tiba-tiba ia merinding. Di luar hujan mulai terdengar turun membuat suasana malam ini makin terasa horor. “Hm.” Tetapi Ardian hanya membalasnya dengan gumaman. “Hadap sini dong, aku takut.” Ia menarik-narik lengan baju pemuda itu. Saki
“Pagi-pagi harus sarapan dulu. Jangan langsung berangkat ke kampus dengan perut kosong.” Alda hanya mengangguk pasrah ketika Ardian mendudukkannya di kursi pantri. Pagi-pagi sekali, laki-laki itu sudah sibuk dengan masakannya dan menghidangkannya di hadapan Alda. “Makan dulu gih. Habis itu baru aku antar ke kampus.” Tanpa banyak protes, Alda meraih roti yang ada di hadapannya. Melahapnya hingga habis. “Udah selesai.” Ia tatap Ardian yang balas menghela. Sesungguhnya, Alda adalah tipikal orang yang paling malas sarapan pagi. Tapi, bersama Ardian jelas ia akan diceramahi panjang lebar jika tetap nekat ke kampus tanpa sarapan. “Aku masak banyak-banyak malah roti yang kamu makan.” Alda menghela. Ia raih segelas air minum yang diserahkan sang suami. Percayalah, bersama pemuda ini ia kembali seperti anak kecil. Ardian benar-benar memperlakukannya layaknya anak-anak yang butuh perhatian lebih. “Em, Kak Ardian.” Alda mendongak. Menatap suaminya dari jarak dekat. “Aku baru kep
“Halo, selamat datang. Semoga suka dengan menu yang ada di restoran kami.” Tak tanggung-tanggung Alda langsung menggeplak punggung Ardian ketika mendapati pemuda itu sudah berdiri di depan pintu restoran dan menyambut kedatangan mereka sembari membungkuk sopan. “Nggak usah banyak gaya!” sentaknya galak. Sementara Ardian balas menatapnya dengan cengiran lebar. “Mau makan apa, Nona?” Lagi, Alda memutar bola mata. Namun tetap juga menyahut. “Keluarkan menu paling spesial yang ada di restoran ini. Eh, aku mau seblak juga satu. Level paling pedes, ya.” “Oke, silakan ke meja kalian. Pesanan akan segera datang.” Sebelum berlalu, masih sempat-sempatnya Ardian mencolek sekilas dagu Alda. “Seblak nggak ada. Jangan marah,” ujarnya sebelum melangkah menjauh. Alda yang sudah duduk di tempatnya sontak berdiri. Malahan mengekori langkah sang suami. “Aku tau ya Kakak lagi bohong. Pelanggan di dekat meja kami makan seblak tuh. Pokoknya, aku mau seblak. Level paling pedes. Nggak mau tau!”