Share

8. Hama

Author: Hara Kiew
last update Last Updated: 2025-06-25 21:46:29

Kebiasaan Ardian ketika sedang galau adalah pergi ke taman atau berlama-lama di balkon kamar kala malam hari. Oleh karenanya, ketika Alda melihatnya termenung sendirian di balkon kamar, gadis itu langsung menghampiri.

"Kakak ngapain di sini?" tanyanya seraya ikut menatap pada langit malam. Bintang-bintang di sana tampak bersinar terang. Tidak gelap seperti raut Ardian.

"Ngepet." Sedang pemuda itu membalas tanyanya seraya memutar bola mata.

Bukannya merespons dengan jawaban yang sedikit waras, Alda malah memukul keras bahu itu. "Woah, udah berapa penghasilannya? Bagi dong!"

Ardian berdecak. Mengabaikan tanya istrinya yang semakin merembet ke mana-mana. "Ngapain ke sini?"

"Mau mulung, Bang."

"Waras, Dek. Waras!"

"Lah, situ emang waras?"

Giliran Ardian yang tertawa. Pembahasan random ini berhasil menggelitik perutnya.

Ya, setidaknya jokes Alda mampu membuat bebannya terasa sedikit lebih ringan.

"Ada masalah apa suamiku, sayang?" Alda mengedipkan sebelah matanya.

"Dasar drama queen!"

"Loh, Queen itu adik aku, Bang. Dia main di drama apa? Tontonnya di mana? Mau liat dong!"

"Alda, kamu nggak lagi kehabisan obat, kan?"

Alda tergelak. Melihat Ardian yang kini menatapnya begitu dongkol membuatnya tertawa sampai mengeluarkan air mata.

"Kamu kayaknya pasien yang tempo hari lari dari rumah sakit jiwa deh."

Gadis itu terkekeh lagi.

"Jadi, ada masalah apa, Kak Ardian? Kok mukanya butek gitu? Kayak air galon tetangga aja."

Ardian mencebik. Beruntung ia sedang galau. Jika tidak, sudah habis gadis itu dilibasnya.

"Kakak galau kenapa? Apa karena belum sempat checkout barang di keranjang belanja?"

"Ck, bukan!" sahut Ardian kesal. Mendadak berpikir kapan istrinya akan waras.

"Terus?" Alda memiringkan kepala, menatap wajah pemuda itu lebih intens.

"Ada masalah sedikit sama client."

Pada akhirnya, Alda tersenyum. Kini mengusap pelan bahu Ardian usai memperoleh kewarasan. "Ayo cerita sama aku. Mungkin, aku bisa bantu."

Usai drama panjang itu, barulah mengalir cerita dari bibir Ardian mengenai dirinya yang tanpa sengaja menumpahkan kopi pada dress salah seorang client wanita. Untungnya wanita itu tidak sampai memutuskan kerja sama. Ia hanya meminta agar Ardian mengganti dress yang sudah ketumpahan kopi itu.

Naasnya, Ardian sampai sekarang belum menemukan dress yang cocok dikarenakan permintaan wanita itu yang cukup ribet. Ia tidak mau menerima semua dress pilihan Ardian dan malah mengajukan model yang lain. Satu hal yang membuat pemuda itu uring-uringan seharian.

Alda menepuk-nepuk pelan bahu itu. "Ayo menyerah. Jangan semangat."

"Ck, nyesel saya udah cerita sama kamu!" Ardian mencebik. Kesal berlipat-lipat dengan reaksi Alda.

"Nanti aku bantu. Dikit-dikit, aku bisa kok buat rancangan dress," ujar Alda pada akhirnya.

"Nggak percaya."

Gadis itu menundukkan kepala. Memulai lagi dramanya. "Derita orang cantik nan imut emang sering nggak dipercaya."

"Bukan karena kamu cantik yang bikin saya nggak percaya. Tapi itu karena isi otak kamu yang sering korslet."

Alda mendengus.

"Yaudah, liat aja nanti. Tapi, kasih aku waktu seminggu buat buktiin ucapan aku."

"Oke."

🍃

Weekend ini, Ardian mengajak Alda jalan-jalan. Niat awalnya mereka ingin menonton film yang sedang ramai diperbincangkan. Sayangnya, niat itu jadi urung saat mereka tidak kebagian tiket.

Tak ingin pulang dengan sia-sia, keduanya memutuskan untuk terlebih dahulu mampir makan seblak. Sebenarnya, Alda saja yang pesan seblak. Karena Ardian memesan bakso.

“Aku pikir, Kakak nggak bakal mau makan di pinggir jalan kayak gini.” Begitu celetukan Alda ketika pesanan mereka datang.

“Emang kenapa? Makanan di pinggir jalan juga enak.”

Gadis itu mengibaskan rambutnya. “Holkay,” balasnya. “Gengsi lah kalo ada yang liat Kakak makan di pinggir jalan.”

Ardian terkikik geli. Geleng-geleng kepala untuk kalimat istrinya. “Ada-ada aja.”

Kalau banyak orang yang gengsi kata Alda, Ardian bodoh amat. Yang penting baginya adalah makan. Daripada lapar.

Lima menit mereka makan dengan tenang. Namun itu tak bertahan lama. Karena beberapa saat kemudian, tanpa mereka duga, tiba-tiba seseorang datang dan langsung mengguyur Alda dengan satu mangkuk seblak.

"Kamu apa-apaan, sih?!" Ardian menepis tangan wanita yang tak lain adalah Netta itu.

Alda masih duduk di tempatnya. Tak berani mendongak karena takut kuah seblak pedas itu masuk ke matanya.

“Nggak ada yang masuk ke mata kamu, kan?” tanya Ardian khawatir. Tangannya juga sibuk membersihkan mie yang hinggap di rambut Alda.

Gadis itu menggeleng. Kali ini, nasib baik masih berpihak padanya. Hanya saja, seluruh bajunya kotor oleh kuah seblak.

“Ayo ke mobil.” Dengan penuh perhatian, Ardian melepas jaketnya untuk dipakaikan ke tubuh Alda. Benar-benar mengabaikan sosok yang kini menatapnya tak percaya.

“Ar---”

Begitu saja ia tepis tangan itu. “Kita sudah selesai. Minggir!” sentaknya keras. Matanya turut menatap sosok itu dengan tajam.

“Ar, aku---”

“Masalah kamu sama saya. Bukan sama istri saya!”

“Tapi---”

Kembali ia sentak tangan perempuan itu. “Minggir saya bilang!”

Terpaksa Netta mengalah. Turut menggeser tubuhnya untuk memberi jalan.

“Ta, kamu udah punya suami. Saya juga sudah punya istri. Jadi, tolong jangan ganggu saya lagi,” pesan Ardian sebelum benar-benar pergi.

“Ar… aku masih sayang sama kamu.” Suaranya gemetar.

Ardian tak menoleh. Ia berjalan semakin menjauh menuju mobilnya. Tiba di sana, ia membukakan pintu mobil untuk Alda—sosok perempuan yang kini menyandang status sebagai istrinya.

Netta melihat semua itu. Dengan mata yang nyaris basah.

Dulu, dulu sekali, ia pernah diperlakukan seperti itu. Tapi, dengan bodohnya ia malah mengkhianati Ardian.

Dan kini, ketika hendak kembali, posisi itu telah digantikan oleh orang lain.

“Aku udah pisah sama Bagus, Ar!” teriak Netta. Suaranya menggema di antara bising jalanan.

Langkah Ardian terhenti. Tangannya menggenggam pintu mobil, tapi tak jadi menariknya.

Perlahan, ia menoleh.

Netta tersenyum. Satu senyum yang masih menyimpan harap. Lalu, dengan langkah cepat, ia mendekat.

"Aku berharap masih bisa balikan sama kamu," bisiknya sebelum kedua lengannya memeluk tubuh Ardian tanpa izin.

Ardian tertegun. Ia diam di tempat. Tak membalas, tapi juga tak menolak.

Dan tepat di kursi samping kemudi, Alda menyaksikan semuanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    129. Pelangi setelah hujan

    Sore itu, di tengah langit yang mulai memerah, Meira, Irwan, dan Netta akhirnya tiba di kediaman Alda dan Ardian. Ketiganya datang bersamaan. Suasana sore yang hangat seakan menyambut kedatangan mereka. ​Pintu rumah dibuka oleh Bi Sumi, sosok yang sudah tak asing lagi bagi mereka. Senyum ramah Bi Sumi mengembang. "Silakan masuk, Nyonya sama Tuan ada di dalam," ujarnya hangat. Meira balas tersenyum. "Terima kasih, Bi." Disusul Netta dan Irwan yang ikut tersenyum ke arah Bi Sumi. Bi Sumi balas mengangguk. Setelahnya, ia mengantar ketiganya menemui sang majikan. "Selamat sore!" Meira langsung menyapa ketika mendapati Alda, Ardian dan si kembar sedang berbincang di ruang tamu. "Barusan kalian nongol. Sini gabung!" ujar Alda yang membuat ketiga orang yang berada di sana kompak mengangguk. "Mentang-mentang udah nikah jadi jarang ke sini, ya," ledek Alda pada Meira. Wanita itu terkekeh. Ia menatap Irwan yang kini sudah menjadi suaminya. "Biasa, kami akhir-akhir ini banyak kasus y

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    128. Pasar malam

    Malam itu, Ardian dan keluarga kecilnya mengunjungi pasar malam. Udara malam yang sejuk menerpa wajah mereka, membawa aroma sate, bakso bakar, dan jajanan lainnya yang berbaur di udara. Suara riuh pengunjung, tawa anak-anak dan musik dari wahana permainan menciptakan melodi khas yang membuat suasana semakin meriah. "Papa, nanti kita beli bakso bakar, ya," Ezzel mendongak, tangannya masih erat menggandeng Ardian. Matanya berbinar penuh harap. Ngomong-ngomong, Ezzel sudah lebih bisa ngomong 'r' meski lidahnya masih sering terpeleset. Laki-laki itu mengangguk. "Boleh, tapi belinya jangan banyak-banyak, ya." Sontak Ezzel mengerucutkan bibirnya. "Papa pelit!" katanya sebal. Ardian hanya bisa tersenyum sambil mengusap rambut putranya. "Sayang, bukannya papa pelit. Tapi jajan terlalu banyak itu juga nggak baik buat kesehatan," ujarnya lembut. Alda yang berjalan di sisi Ardian ikut mengangguk setuju. "Nah, bener tuh kata papa. Jajan secukupnya aja, jangan berlebihan," peringatnya.

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    127. Keluarga kecil Aksa

    TING TONG! "Kayaknya ada tamu, Kak. Buka pintunya dulu ya, aku pake kerudung bentar." Ardian yang semula menyuapi Alda mengangguk. Selanjutnya laki-laki itu bergerak ke arah pintu utama. "Barusan lo mampir ke rumah gue." Ardian mencibir pada sosok laki-laki yang sudah berdiri di hadapannya. "Gue kira lo udah lupa sama gue." "Gue orang sibuk. Makanya baru sempat ke sini." Laki-laki yang tak lain adalah Aksa itu menuntun putranya masuk ke rumah Ardian tanpa dipersilahkan. "Nggak berubah sejak dulu. Suka nyelonong masuk rumah orang tanpa dipersilahkan." Ardian lagi-lagi mencibir. "Bikinin minum. Anak sama bini gue kehausan," perintah Aksa tak tahu malu. "Kamu haus kan, sayang?" tanyanya yang diangguki langsung oleh Chio. "Mas!" Ini teguran langsung dari Nada. "Anggap aja rumah sendiri, sayang." Aksa mengusap kepala istrinya. "Nggak ada adab lo!" Ardian berdecak namun tetap ke dapur untuk meminta bi Sumi membuat minuman. Alda yang sudah memakai hijabnya lantas beralih

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    126. Baby

    "Dua garis?" Ardian menatap Alda serius. Sekali lagi wanita itu mengangguk. "Ini beneran?" tanya Ardian lagi. Raut wajahnya berubah cerah. Alda mengangguk. "Kakak senang?" tanyanya ragu. Laki-laki itu berdecak. "Iyalah, ya kali sedih." Setelahnya ia memeluk Alda. Dikecupnya dahi wanita itu lama menyampaikan betapa ia sangat mencintai ibu dari anak-anaknya ini. Alda tersenyum. Ia tatap Ardian yang masih diam menatap perutnya. "So, Kakak nggak ada niatan gitu buat nyapa calon baby-nya?" Ardian lantas berjongkok di depan Alda. Setelahnya tangannya terangkat untuk mengusap perut itu. "Sehat-sehat ya di sana. Papa nggak sabar ketemu kamu," bisiknya lalu mengecup lembut perut sang istri. "Aku pikir Kakak nggak bakal senang dengar kabar ini." Alda terkekeh. Ia usap rambut Ardian yang masih berjongkok di depan perutnya. "Kamu ya, suka banget mikir macem-macem!" decak laki-laki itu. "Mama kenapa, Pa?" tanya Ezzel langsung usai tiba di depan orang tuanya. Ardian sudah ber

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    125. Dua garis

    Di dalam kamar, Ardian terlihat duduk santai di sofa sambil bermain ponsel sementara Alda yang sibuk menonton drama Korea di laptop. BRAK!! "MAMA, PAPA!!!" Tanpa aba-aba, pintu kamar dibuka secara bar-bar dari luar.Alda dan Ardian terlonjak bersamaan. Seharusnya, tak perlu mereka tebak-tebak lagi siapa itu. Ezzel si bungsu. "Bagus ya, masuk kamar mama papa caranya kayak gitu!!" Alda yang menegur. Wanita itu kini berkacak pinggang. "Bukannya ngetuk pintu dulu atau ucap salam, pintunya malah didorong keras kayak tadi!!" Ardian yang menyaksikan tingkah sang istri terkekeh sendiri. Bukannya menakutkan, perempuan itu malah kelihatan lucu. Lihat saja, Alda bahkan seperti tak punya keahlian marah sama sekali. "Maaf, Ma." Tapi, ternyata itu cukup ampuh untuk membuat Ezzel menundukkan kepala. Terlihat bocah itu sedang memainkan jari-jari kakinya. "Maafin adek. Nggak akan diulangi lagi kok. Janji," ujarnya sembari mengangkat dua jarinya. "Awas ya, kedapatan mama lagi kayak tadi

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    124. Keluarga Elfaero

    Sore hari, Alda terlihat sibuk pada beberapa model rancangan gaun yang baru saja dikirimkan oleh beberapa desainer. Saat sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba Ezzel datang menghampirinya. "Mama, ayo masak-masak!" ajak bocah itu antusias. Ia bahkan sudah menarik tangan Alda untuk ke dapur. "Loh, mama nggak pinter masak, sayang." Rasanya malu mengakui hal ini. Namun, bagaimana pun fakta tidak bisa disembunyikan. Kenyataannya, meski Alda sudah belajar masak mati-matian tetap saja hasil masakannya tak pernah memuaskan. Jika masakannya tidak asin ya hambar. Jika tidak hambar pasti gosong atau berantakan. Wanita itu menghela napas. Mungkin memang selamanya hanya Ardian yang bisa menguasai dapur seutuhnya. Dirinya tidak. "Nanti minta ajarin papa aja, ya?" ujarnya meminta pengertian. Memilih pasrah pada satu kekurangannya, Alda membiarkan struktur keluarganya terbalik. Ardian si suami yang ahli memasak dan Alda si istri yang tak tahu apa-apa tentang dapur. "Assalamualaikum, papa pulan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status