"Sini dasinya, aku aja yang pasangin." Alda menyodorkan telapak tangannya meminta dasi berwarna abu-abu yang masih Ardian genggam.
Menuruti pinta Alda, Ardian lantas menyerahkan dasinya, membiarkan gadis yang notabenenya adalah istrinya itu untuk lebih dekat dengannya. "Nah, udah rapi," komentar Alda puas usai merapikan jas milik Ardian yang sedikit berantakan. Sejenak mengamati, gadis itu akhirnya mengacungkan dua jempol. "Udah ganteng." "Emang ganteng. Mata kamu aja yang rada-rada." Alda berdecak. "Ck, nyesel aku udah muji!" "Nggak kamu puji pun muka saya tetap seperti ini. Nggak bakal hilang." "Emang siapa yang bilang kalo aku nggak muji mukanya bakalan hilang, Saprudin!" "Nggak ada, Markonah!" Alda berdecak. Ia sudah menduga-duga jika kedepannya rumah tangganya dan Ardian akan diisi dengan perdebatan unfaedah. Ini saja baru dua hari menikah hampir tiap jam mereka adu bacot. "Kuy, sarapan lah!" Dengan gaya barbarnya, begitu saja ia menggenggam tangan Ardian. "Heh, nggak usah modus!" Namun, pemuda itu langsung menepis tangannya. "Heleh, palingan juga nanti Kakak yang modus." Mata Ardian seketika melotot. Jelas tidak terima dengan pernyataan Alda. "Nggak ada ya! Kamu kali yang begitu!" "Ampun suhu. Ampun!" Alda mengatupkan tangan seraya membungkukkan badan. Meminta maaf dengan lagak yang dibuat-buat. "Jangan cekek aku, Mas. Inget, aku ini istrimu. Istri sahmu, Mas!" Sementara Ardian yang melihatnya balas memutar bola mata. Dalam hati berpikir bahwa Alda sepertinya sudah cocok bermain di sinetron dengan tema istri yang tersakiti. Usai drama singkat tadi, akhirnya mereka turun bersamaan ke ruang makan. Erfan dan Erlin yang sudah berada di sana menyambut keduanya dengan senyuman. "Tangan kamu mana?" bisik Ardian kala mereka sudah mendekati tangga terakhir. Jarak mereka tersisa sekitar tujuh meter dari meja makan. "Hah?" Berdecak, Ardian buru-buru meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya hangat. "Senyum!" Sementara Alda yang tidak paham situasi akhirnya tersenyum bodoh. "Wah, pengantin baru udah nempel aja nih." Begitu ledekan Erlin saat Ardian menarik kursi untuk Alda. "Harus dong. Iya kan, sayang?" Alda hampir saja tersedak air liurnya. Lebih-lebih saat Ardian menepuk-nepuk pelan pucuk kepalanya layaknya ia adalah anak kucing peliharaan. Gadis itu mendadak linglung. Balas mengangguk seperti orang bodoh saat Ardian memberinya kode. "I-iya, sayang." Erfan tersenyum. Tak jauh beda dengan Erlin yang ikut berbinar menatap pasangan itu. Namun, tak pernah mereka tahu jika di bawah kolong meja sana kaki Ardian tengah sibuk menendang-nendang kecil pada kaki Alda. Memberi kode dengan menunjuk makanan yang ada di atas meja menggunakan dagunya. Sementara Alda yang tidak paham, balas menaikkan sebelah alisnya. "Apa sih, kode-kodean gitu?" Erlin yang sadar gelagat keduanya menegur. Kali ini turut membalik piring yang ada di depan suaminya dan mengisinya dengan nasi. Dalam hati, Alda terkikik geli. Akhirnya ia paham maksud Ardian. "Mau makan apa, sayang?" tanyanya sembari mengambil piring untuk pemuda itu. Sementara yang ditanya hampir saja meledakkan tawanya. Sumpah, akting semacam ini sangatlah membagongkan. "Apa aja, sayang. Asal kamu yang kasih. Pasti aku makan." Sementara dua orang yang menjadi penonton itu diam-diam menahan senyum. Cukup lega dengan kehidupan rumah tangga anak dan menantu mereka yang tampak adem ayem. Selama beberapa menit, mereka makan dengan tenang. Alda yang masih canggung ikut menikmati sarapannya dalam diam. "Ekhem." Hingga deheman dari Ardian membuat semua mata menoleh. Tak jauh beda dengan Alda yang ikut mengangkat kepalanya. "Bun, Ayah, aku sama Alda kan udah nikah nih. Boleh nggak kalo kami berdua tinggal di apartemen aja?" Ia tatap orang tuanya bergantian. "Nggak mungkin juga kan kalo kami berdua numpang di sini terus?" Orang tuanya masih menyimak. Sementara ia beralih menggenggam tangan Alda yang berada di atas meja. Entah akting atau apa, Alda juga tidak tahu. "Aku sama Alda mau mandiri. Kita pengen mulai dari nol sama-sama." Serta merta Alda menatapnya. Sementara yang ditatap kembali memberi isyarat untuk diam. Hening sejenak. Setidaknya sebelum Erlin angkat bicara. Ia terlebih dahulu meletakkan sendok dan garpunya. "Gini, bunda sih nggak masalah kalo kalian emang mau mandiri. Tapi, apa nggak terlalu cepat buat pindah? Bunda aja masih mau loh tinggal bareng sama menantu bunda." Erfan menyetujui kalimat istrinya. "Gini aja, kalian tinggal di sini dulu selama seminggu. Habis itu, terserah kalian mau pindah ke apartemen atau sekalian beli rumah." Ardian menatap Alda sejenak. Mendapat anggukan dari gadis itu, ia akhirnya mengiyakan. "Oke kalo gitu." "Yaudah, lanjutkan makan kalian. Itu aja yang mau aku omongin." Ketika menoleh lagi ke arah Alda, Ardian malah dibuat terpaku pada cincin yang melekat sempurna di jari manis gadis itu. Menatap pada tangannya, ia juga mendapati benda yang sama ada di sana. Hingga akhirnya ia sadar bahwa sekuat apapun mereka menyangkal, hubungan ini tetaplah nyata. Nyatanya, Ardian sekarang sudah menjadi seorang suami. Dan gadis yang tengah tersenyum bodoh di sampingnya itu adalah istrinya. Itulah faktanya. "Kamu sudah selesai?" tanyanya seraya berdiri dari duduknya. Alda yang ditanya balas menganggukkan kepala. Gadis itu juga ikut beranjak dari kursinya. Dan entah ketempelan setan dari mana, ia sampai menggenggam tangan mungil itu. Begitu hangat dan penuh perasaan. Bukan sekedar akting seperti beberapa saat lalu. "Ayo berangkat. Nanti kita terlambat." Alda melongo. Ia bahkan berani bertaruh bahwa baru detik ini Ardian berbicara padanya dengan lembut seperti itu. "Kak Ardian," panggilnya ketika sudah melewati pintu utama. "Hm?" "Kakak kok tiba-tiba bilang mau tinggal di apartemen?" Pemuda itu berhenti melangkah. Genggaman di tangan Alda praktis ikut terlepas. "Biar bisa berduaan terus sama kamu." Alih-alih menjawab pertanyaan Alda dengan jawaban yang sedikit waras, ia malah mengerlingkan mata. "Heh, modus!" Ardian tertawa. Jelas ucapannya tadi hanyalah kalimat spontanitas saja. "Jadi, Kenapa?" Alda menaikkan sebelah alisnya. "Nggak enak kalo kita numpang terus sama ayah bunda." Gadis itu mengangguk. Kini berjalan beriringan bersama Ardian menuju mobil. "Ngomong-ngomong, denda pelanggaran kita kalo ditotal udah lumayan. Uangnya mau diapain?" Ardian sudah duduk di kursi kemudi ketika pertanyaan Alda menyapa telinganya. Sembari menyalakan mesin mobil, ia menoleh sekilas. "Nanti kamu tau sendiri." "Sok misterius!" Mulut Alda terlalu gatal untuk mencibir. "Suami kamu ini emang dari sananya udah misterius, sayang," balasnya menjengkelkan. "Hilih, sayang katanya!" Ardian tergelak. Selain memasak, hobi barunya sekarang adalah membuat wajah mungil itu tertekuk masam. "Alda," panggilnya pada gadis itu. "Hm?" "Saya siapanya kamu?" Alda menoleh. Terkikik sejenak untuk pertanyaan random suaminya. "Mesin ATM." "Ini masih saya liatin ya, Alda. Belum disleding!!" Jawaban gadis itu benar-benar membuat Ardian dongkol setengah mampus.Sore itu, di tengah langit yang mulai memerah, Meira, Irwan, dan Netta akhirnya tiba di kediaman Alda dan Ardian. Ketiganya datang bersamaan. Suasana sore yang hangat seakan menyambut kedatangan mereka. Pintu rumah dibuka oleh Bi Sumi, sosok yang sudah tak asing lagi bagi mereka. Senyum ramah Bi Sumi mengembang. "Silakan masuk, Nyonya sama Tuan ada di dalam," ujarnya hangat. Meira balas tersenyum. "Terima kasih, Bi." Disusul Netta dan Irwan yang ikut tersenyum ke arah Bi Sumi. Bi Sumi balas mengangguk. Setelahnya, ia mengantar ketiganya menemui sang majikan. "Selamat sore!" Meira langsung menyapa ketika mendapati Alda, Ardian dan si kembar sedang berbincang di ruang tamu. "Barusan kalian nongol. Sini gabung!" ujar Alda yang membuat ketiga orang yang berada di sana kompak mengangguk. "Mentang-mentang udah nikah jadi jarang ke sini, ya," ledek Alda pada Meira. Wanita itu terkekeh. Ia menatap Irwan yang kini sudah menjadi suaminya. "Biasa, kami akhir-akhir ini banyak kasus y
Malam itu, Ardian dan keluarga kecilnya mengunjungi pasar malam. Udara malam yang sejuk menerpa wajah mereka, membawa aroma sate, bakso bakar, dan jajanan lainnya yang berbaur di udara. Suara riuh pengunjung, tawa anak-anak dan musik dari wahana permainan menciptakan melodi khas yang membuat suasana semakin meriah. "Papa, nanti kita beli bakso bakar, ya," Ezzel mendongak, tangannya masih erat menggandeng Ardian. Matanya berbinar penuh harap. Ngomong-ngomong, Ezzel sudah lebih bisa ngomong 'r' meski lidahnya masih sering terpeleset. Laki-laki itu mengangguk. "Boleh, tapi belinya jangan banyak-banyak, ya." Sontak Ezzel mengerucutkan bibirnya. "Papa pelit!" katanya sebal. Ardian hanya bisa tersenyum sambil mengusap rambut putranya. "Sayang, bukannya papa pelit. Tapi jajan terlalu banyak itu juga nggak baik buat kesehatan," ujarnya lembut. Alda yang berjalan di sisi Ardian ikut mengangguk setuju. "Nah, bener tuh kata papa. Jajan secukupnya aja, jangan berlebihan," peringatnya.
TING TONG! "Kayaknya ada tamu, Kak. Buka pintunya dulu ya, aku pake kerudung bentar." Ardian yang semula menyuapi Alda mengangguk. Selanjutnya laki-laki itu bergerak ke arah pintu utama. "Barusan lo mampir ke rumah gue." Ardian mencibir pada sosok laki-laki yang sudah berdiri di hadapannya. "Gue kira lo udah lupa sama gue." "Gue orang sibuk. Makanya baru sempat ke sini." Laki-laki yang tak lain adalah Aksa itu menuntun putranya masuk ke rumah Ardian tanpa dipersilahkan. "Nggak berubah sejak dulu. Suka nyelonong masuk rumah orang tanpa dipersilahkan." Ardian lagi-lagi mencibir. "Bikinin minum. Anak sama bini gue kehausan," perintah Aksa tak tahu malu. "Kamu haus kan, sayang?" tanyanya yang diangguki langsung oleh Chio. "Mas!" Ini teguran langsung dari Nada. "Anggap aja rumah sendiri, sayang." Aksa mengusap kepala istrinya. "Nggak ada adab lo!" Ardian berdecak namun tetap ke dapur untuk meminta bi Sumi membuat minuman. Alda yang sudah memakai hijabnya lantas beralih
"Dua garis?" Ardian menatap Alda serius. Sekali lagi wanita itu mengangguk. "Ini beneran?" tanya Ardian lagi. Raut wajahnya berubah cerah. Alda mengangguk. "Kakak senang?" tanyanya ragu. Laki-laki itu berdecak. "Iyalah, ya kali sedih." Setelahnya ia memeluk Alda. Dikecupnya dahi wanita itu lama menyampaikan betapa ia sangat mencintai ibu dari anak-anaknya ini. Alda tersenyum. Ia tatap Ardian yang masih diam menatap perutnya. "So, Kakak nggak ada niatan gitu buat nyapa calon baby-nya?" Ardian lantas berjongkok di depan Alda. Setelahnya tangannya terangkat untuk mengusap perut itu. "Sehat-sehat ya di sana. Papa nggak sabar ketemu kamu," bisiknya lalu mengecup lembut perut sang istri. "Aku pikir Kakak nggak bakal senang dengar kabar ini." Alda terkekeh. Ia usap rambut Ardian yang masih berjongkok di depan perutnya. "Kamu ya, suka banget mikir macem-macem!" decak laki-laki itu. "Mama kenapa, Pa?" tanya Ezzel langsung usai tiba di depan orang tuanya. Ardian sudah ber
Di dalam kamar, Ardian terlihat duduk santai di sofa sambil bermain ponsel sementara Alda yang sibuk menonton drama Korea di laptop. BRAK!! "MAMA, PAPA!!!" Tanpa aba-aba, pintu kamar dibuka secara bar-bar dari luar.Alda dan Ardian terlonjak bersamaan. Seharusnya, tak perlu mereka tebak-tebak lagi siapa itu. Ezzel si bungsu. "Bagus ya, masuk kamar mama papa caranya kayak gitu!!" Alda yang menegur. Wanita itu kini berkacak pinggang. "Bukannya ngetuk pintu dulu atau ucap salam, pintunya malah didorong keras kayak tadi!!" Ardian yang menyaksikan tingkah sang istri terkekeh sendiri. Bukannya menakutkan, perempuan itu malah kelihatan lucu. Lihat saja, Alda bahkan seperti tak punya keahlian marah sama sekali. "Maaf, Ma." Tapi, ternyata itu cukup ampuh untuk membuat Ezzel menundukkan kepala. Terlihat bocah itu sedang memainkan jari-jari kakinya. "Maafin adek. Nggak akan diulangi lagi kok. Janji," ujarnya sembari mengangkat dua jarinya. "Awas ya, kedapatan mama lagi kayak tadi
Sore hari, Alda terlihat sibuk pada beberapa model rancangan gaun yang baru saja dikirimkan oleh beberapa desainer. Saat sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba Ezzel datang menghampirinya. "Mama, ayo masak-masak!" ajak bocah itu antusias. Ia bahkan sudah menarik tangan Alda untuk ke dapur. "Loh, mama nggak pinter masak, sayang." Rasanya malu mengakui hal ini. Namun, bagaimana pun fakta tidak bisa disembunyikan. Kenyataannya, meski Alda sudah belajar masak mati-matian tetap saja hasil masakannya tak pernah memuaskan. Jika masakannya tidak asin ya hambar. Jika tidak hambar pasti gosong atau berantakan. Wanita itu menghela napas. Mungkin memang selamanya hanya Ardian yang bisa menguasai dapur seutuhnya. Dirinya tidak. "Nanti minta ajarin papa aja, ya?" ujarnya meminta pengertian. Memilih pasrah pada satu kekurangannya, Alda membiarkan struktur keluarganya terbalik. Ardian si suami yang ahli memasak dan Alda si istri yang tak tahu apa-apa tentang dapur. "Assalamualaikum, papa pulan