Netta menatap Ardian lurus. Mereka berdiri di taman rumah sakit, setelah Netta tiba-tiba menyeretnya ke sana.“Kenapa lo nggak pernah bilang sama gue?!” serangnya tanpa basa-basi. Ardian yang ditodong dengan pertanyaan tersebut lantas mengernyit. “Bilang apa?” tanyanya dengan emosi yang sudah lebih terkontrol. “Alda adik kandung aku.” Ardian mematung di antara lontaran kalimat Netta yang terus berdengung di telinganya. Kenyataan apa lagi ini? Seketika, percakapan mereka saat masih pacaran waktu kuliah dulu terputar begitu saja di ingatan.“Anna sudah ketemu?” Netta menepuk bahu Ardian. Pemuda itu saat ini sedang makan sendirian di kantin kampus.Ardian menggeleng. “Belum.”Netta menghela. “Sama, Clarissa juga belum ketemu. Aku kasian liat mama. Tiap hari dia murung terus. Mama masih berharap Clarissa suatu hari nanti bisa pulang ke rumah.”“Menurut kamu, Clarissa sama Anna masih hidup, nggak?” tanya Ardian pada Netta yang sedang duduk di sampingnya.Netta mengangkat bahu. “Udah l
Waktu terus berjalan. Terhitung sudah sebulan lamanya tapi Alda masih koma. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu akan segera membuka mata. Beberapa kali bahkan semua orang dibuat panik saat ia tiba-tiba mengejang.Seperti prediksi Meira, komanya gadis itu membuka banyak kesempatan untuk orang-orang yang ingin melenyapkannya menyusup ke ruang di mana ia dirawat.Seperti pagi ini, Netta tiba-tiba saja nekat ingin membunuh Alda usai gagal meyakinkan Ardian agar mereka bisa balikan. Gagal mendapatkan hati pemuda itu kembali membuat Netta seperti kehilangan akal sehatnya. “Jangan gila. Alda masih koma!!” Di luar ruangan, Ardian masih mengejar Netta yang ingin menerobos masuk ke ruangan Alda. Nasehat Meira beberapa waktu lalu ternyata tidak cukup ampuh untuk membuat seorang Netta serta merta mau mengikutinya. Netta berbalik. Ia menatap Ardian sembari tersenyum miring. “Kalo aku nggak bisa dapetin kamu, itu artinya Alda juga nggak boleh!” ujarnya. “Nggak waras!!!” maki Ardian. “T
"Nanti kalau Alda udah bisa dijenguk, kamu bisa ke sini lagi." Ella menghela. Pada akhirnya ia berdiri dari kursi tempatnya duduk. Namun, baru hendak melangkah meninggalkan ruangan itu, dompetnya tanpa sengaja terjatuh. Praktis membuat beberapa barang tampak keluar dari sana karena ternyata tidak ditutup dengan benar. Ardian terpaku. Objek yang menjadi titik fokusnya saat ini adalah selembar foto yang tergeletak di atas lantai. "Ada apa, Kak?" tanya Ella dengan alis berkerut. Foto itu sudah ada di tangan Ardian. "Ini foto siapa?" tanya Ardian tanpa mengalihkan pandangannya dari foto tersebut. "Oh, itu foto aku waktu masih bayi." Ella menyengir lebar menampilkan gigi kecilnya yang putih. Ia lalu meraih foto tersebut dari tangan Ardian. "Sengaja aku simpan biar jadi kenang-kenangan." Ardian diam. Tapi tak lama ia berkata, "Boleh saya liat lengan kiri kamu?" Ragu, Ella menyodorkan lengan kirinya ke hadapan Ardian. Pemuda itu menelitinya sejenak sebelum akhirnya tanpa aba-a
Alda yang mengejang membuat Ardian yang berdiri di belakang Meira langsung mendekat. Wajahnya pucat pasi. "Alda kenapa?!" tanyanya panik. "Tunggu di sini, aku panggil dokter!" Jantung Meira berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Tanpa menjawab tanya Ardian, ia segera berlari keluar ruangan, berteriak seperti orang kesetanan meminta tolong pada dokter. Sementara itu, di dalam ruangan Alda, Ardian meraih tangan gadis itu. Tapi, tak satu pun kata yang meluncur dari bibirnya. Melihat kondisi istrinya membuat hatinya seperti disayat. Hingga tak lama kemudian, dokter akhirnya datang dan menangani Alda. Ardian dan Meira diminta keluar ruangan terlebih dahulu. 'Tolong jangan buat aku takut, sayang,' bisik Ardian lirih. Sejak tadi ia tidak henti-hentinya mondar-mandir di depan pintu ruang ICU. Setiap kali melirik melalui kaca transparan, dadanya terasa sesak. Di dalam sana, Alda terbaring tak berdaya, tubuhnya tersambung dengan berbagai alat medis. Terlihat jelas bagaimana gadis
Sudah seminggu lamanya, namun Alda belum juga membuka mata. Gadis itu masih berjuang untuk hidup dengan bantuan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Meski begitu, kedua orang tuanya tetap abai. Saat Ardian mengabarkan bahwa Alda kritis, mereka bahkan tidak tergerak untuk menjenguk. Fokus mereka hanya pada Queen, si anak kesayangan yang selalu dibanggakan. Ardian hampa. Komanya Alda membuat hari-harinya suram. Sejak itu pula, ia tak pernah lagi mengurus resto. Semua pekerjaannya diambil alih oleh orang suruhan ayahnya. Waktunya hanya dihabiskan di rumah sakit, menanti gadis itu bangun. “Kamu tega banget, semua orang nangis karena kamu kayak gini,” bisik Ardian lirih. Ia genggam tangan Alda erat. Harapannya untuk melihat gadis itu terbangun dari komanya masih sangat besar. “Selama kamu koma, Ella suka ngurung diri di kamar. Dia nggak mau ke sekolah dan nggak mau ngomong sama siapa pun. Aku dan semua orang di rumah selalu nunggu kamu pulang.” Napas Ardian terasa berat. “Kamu n
“Aku bukan orang sekuat kamu, Alda. Tolong, jangan bikin aku takut...”“Aku udah berkali-kali kehilangan. Tolong jangan buat aku kembali kehilangan kamu,” mohonnya dengan nada lirih. Isak laki-laki itu terdengar memilukan.“Alda, kamu yang bikin aku kembali merasakan bagaimana rasanya dicintai dengan tulus. Kamu yang bikin aku bangkit lagi.” Ardian menarik napas dalam-dalam. Ada sesak yang kini menggerogoti rongga dadanya.“Saat hari itu kita benar-benar terpuruk, di mana hanya ada kita yang saling percaya, kamu yakinkan aku kalau semua akan baik-baik aja. Tapi, kalau kamu begini, siapa yang akan meyakinkan aku?” Ardian menunduk dalam. Hatinya sakit melihat kondisi Alda.“Tanpa kamu, nggak ada lagi yang akan siap menopang di saat aku nggak punya tumpuan.” Air mata pemuda itu kembali jatuh. Pertahanan yang ia bangun bukanlah pertahanan sekuat Alda.'Kondisi Alda benar-benar memprihatinkan.''Karena benturan keras di kepalanya dia kehilangan banyak darah.'Semua kalimat menakutkan itu