“Sesuai dugaan, kasus ini memang ada hubungannya sama Arthatama Company.” Meira melepas kaca mata hitamnya dengan anggun. Tersenyum smirk saat berhasil mengambil vidio yang menangkap persekongkolan antara direktur Arthatama Company dengan Citramaya Media. Sudah seminggu ini gadis itu mengawasi gerak-gerik direktur Arthatama Company dan mengikutinya kemana-mana. Karena harus menangani dua kasus sekaligus, Meira membagi 20 anggota Black Eagle ke dalam dua tim. Ia sendiri memimpin tim yang fokus menyelidiki kasus Alda, sementara Irwan, tangan kanannya, memimpin tim yang bertugas membantu Netta mencari keberadaan Clarissa yang diyakini masih hidup. “Andra dan Vian, tugas kalian selama seminggu ke depan awasi si botak itu. Cari tahu apa ini semua juga ada hubungannya sama Mr. X dan segera laporkan hasil penyelidikan kalian ke saya!” titah Meira tegas. “Siap, Bu Bos!” Seru keduanya kompak. “Delgan dan Gery, tugas kalian bantu Evan memantau rumah Ardian dan Alda. Ingat, jangan sa
“Eh, kalian pasang CCTV ya di sini?” “Itu bukan kami yang pasang,” gumam Ardian. Wajahnya menegang, sorot matanya berubah waspada. Meira buru-buru menutupi wajahnya. "Sial! Ada yang sedang mengawasi kita!" Gadis itu meraih ponselnya dengan cepat. Ia tampak sedang menghubungi seseorang. “Irwan, ada yang sedang memata-matai rumah Ardian dan Alda. Suruh anak-anak jaga di sekitar sini. Lokasinya nanti saya share. Satu lagi, CCTV yang mereka pasang bisa aja menangkap wajah saya. Bereskan itu. Jangan sampai rekamannya jatuh ke tangan mereka!” titahnya melalui panggilan telepon. “Siap, Bu Bos!” balas Irwan dari seberang. “Saya tunggu kabar baiknya.” Lalu Meira mematikan sambungan telepon.Ia kembali menatap Ardian dan Alda. “Aku curiga CCTV ini bukan cuma satu seperti yang kita lihat sekarang.” Suasana taman saat itu mulai mendung. “Kalian coba cek di seluruh ruangan yang ada di rumah ini. Takutnya mereka udah pasang CCTV di banyak tempat.” Maka sesuai arahan Meira, Ardian dan
“Hm, masalah Mr. X, ya?” Meira mengusap dagunya tanda berpikir keras. Usai mendapatkan keterangan-keterangan dari Alda dan permintaan tolong gadis itu, ia akhirnya bersedia membantu. “Ini memang sedikit rumit sih. Karena aku yakin banget. Dia ini nggak sendirian.” Meira menggeledah tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah flash disk. “Sebenarnya, sebelum kamu minta tolong, aku beberapa waktu ini sudah menyelidiki kasus ini secara diam-diam. Dari CCTV kampus kamu, aku dapat rekaman ini.” Setelah file tersebut dibuka, muncullah satu rekaman yang memperlihatkan sosok perempuan yang sedang berada di sekitaran kampus tepat saat teror pesawat kertas menyasar Alda. Seperti biasanya, ia setia menggunakan masker dan topi. “Meski Netta memang berpotensi melakukan semua teror ini, tapi aku yakin yang di rekaman itu bukan Netta.” Satu pernyataan dari Meira yang membuat Ardian dan Alda kompak menatapnya. “Seyakin itu?” Suara Ardian yang baru memecah keheningan membuat Alda dan Meira kompak
“Kamu kenal sama orang yang kemarin bius kamu?” tanya Ardian pelan, seolah takut mengusik pagi yang nyaris tenang. Di hadapannya, Alda tengah menyantap sarapan sambil sesekali meniup uap dari cangkir tehnya.Gadis itu tak langsung menjawab. Diamnya panjang, seperti menarik ingatan dari dasar trauma. Baru setelah beberapa menit, ia angkat suara, “Cowok yang sekap aku di hotel waktu itu,” ucapnya, diiringi helaan napas panjang yang terasa berat.“Kamu masih ingat muka orang yang nyekap kamu?”Alda menggeleng pelan. “Mereka semua pakai masker sama topi. Tapi... aku yakin banget, meskipun yang kemarin datang ke sini juga pakai masker dan topi, dari postur tubuhnya nggak salah lagi. Dia salah satu dari mereka.”Kalimat itu membuat Ardian langsung menegakkan punggung. Wajahnya tegang.“Semalam aku cek rekaman CCTV depan rumah. Dan di situ juga kelihatan ada perempuan kayak lagi ngawasin rumah kita.” Ia menyerahkan ponsel ke Alda. Layar itu memperlihatkan potongan video yang ia maksud.“Kamu
“Hari ini mau makan apa?” Ardian mengangkat tinggi-tinggi barang belanjaannya. Ia baru saja pulang berbelanja dari supermarket. Beberapa hari ini usai klarifikasi itu, pemuda itu lebih sering berada di sekitaran Alda. Untuk resto, ia memilih mengawasinya dari jauh, selebihnya beberapa pekerjaan diserahkan sementara kepada para pegawai di sana. Untunglah resto sekarang semakin maju. Ardian berhasil memajukannya hanya dalam waktu singkat. “Seblak!” Alda mengangkat tangannya tinggi-tinggi yang dibalas pemuda itu dengan memutar bola mata. “Nggak ada seblak! Pilih satu, mau menu ayam atau ikan.” “Dua-duanya,” sahut Alda dengan cengiran khas andalannya. “Mumpung lagi weekend, masakin yang banyak ya, Kak?” Ia mendorong Ardian menuju dapur. Masih seperti sebelumnya, Alda belum mahir memasak sama sekali. Bukan, bukan Alda tidak pernah mau belajar. Ia sudah mencoba. Saking seringnya mencoba dan membuat dapur berantakan berkali-kali, Ardian sekarang jadi melarangnya. “Kak Ardian, kena
“Ucapan adalah doa. Jangan sampai kamu nangis kejer kalo aku beneran nikah lagi.”Alda menggeleng tegas. “Gampang, kalo Kakak nikah lagi aku tinggal gugat cerai terus cari suami baru.” Ardian langsung berdiri dari duduknya dan menyimpan laptop ke tempatnya semula. Menu-menu baru restoran tadi sudah selesai ia lihat. “Udahlah, ucapan kamu makin ngawur,” ujar pemuda itu sambil menuju ke arah kasur untuk segera tidur.Alda masih belum berpindah dari tempatnya. “Nggak usah bengong di situ. Katanya kamu pagi-pagi besok mau diajak jalan-jalan, kan? Jangan suka begadang.” Alda mengangguk lalu buru-buru menyusul Ardian untuk istirahat. “Kak,” panggil gadis itu pada Ardian yang sedang tidur membelakanginya. Ia menatap plafon kamar sembari bergidik. Tiba-tiba ia merinding. Di luar hujan mulai terdengar turun membuat suasana malam ini makin terasa horor. “Hm.” Tetapi Ardian hanya membalasnya dengan gumaman. “Hadap sini dong, aku takut.” Ia menarik-narik lengan baju pemuda itu. Saki