Meira berdiri terpaku di depan ruangan Alda. Kenyataan bahwa Alda telah tiada membuat hatinya seperti dicabik-cabik. “Alda nggak mungkin meninggal.” Gadis itu menggeleng berulang kali mencoba menyangkal semua kenyataan yang tak mungkin lagi diubah. “Dia pasti masih hidup.” Gadis itu langsung berlari ke arah brankar Alda dan memeluk tubuh kaku itu seerat yang ia bisa. “Bilang kalo ini bohong, Da. Bilang ke kita semua kalo kamu masih hidup!!” Meira mengguncang tubuh Alda dengan keras berharap ada sahutan dari gadis itu. “CLARISSA!” Netta yang baru saja tiba di ambang pintu langsung berlari memeluk tubuh Alda. Perempuan itu menangis histeris meluapkan segala penyesalan yang terlalu besar ia rasakan. Ia belum siap kehilangan. Terlebih Alda dan dirinya belum berbaikan. “Kita belum damai, Dek. Kenapa kamu malah pergi?” Tangis Netta pecah. Perempuan itu mengguncang-guncang tubuh Alda sama seperti yang dilakukan Meira. “Kamu baru aja ketemu. Kenapa sekarang pergi lagi?” Nett
Meira berdiri terpaku di depan ruangan Alda. Kenyataan bahwa Alda telah tiada membuat hatinya seperti dicabik-cabik. “Alda nggak mungkin meninggal.” Gadis itu menggeleng berulang kali mencoba menyangkal semua kenyataan yang tak mungkin lagi diubah. “Dia pasti masih hidup.” Gadis itu langsung berlari ke arah brankar Alda dan memeluk tubuh kaku itu seerat yang ia bisa. “Bilang kalo ini bohong, Da. Bilang ke kita semua kalo kamu masih hidup!!” Meira mengguncang tubuh Alda dengan keras berharap ada sahutan dari gadis itu. “CLARISSA!” Netta yang baru saja tiba di ambang pintu langsung berlari memeluk tubuh Alda. Perempuan itu menangis histeris meluapkan segala penyesalan yang terlalu besar ia rasakan. Ia belum siap kehilangan. Terlebih Alda dan dirinya belum berbaikan. “Kita belum damai, Dek. Kenapa kamu malah pergi?” Tangis Netta pecah. Perempuan itu mengguncang-guncang tubuh Alda sama seperti yang dilakukan Meira. “Kamu baru aja ketemu. Kenapa sekarang pergi lagi?” Netta benar-b
“Ikhlaskan istri kamu sayang, bunda nggak tega liat dia terus-terusan kayak gitu. Mungkin, dengan cara kita mengikhlaskan dia, sakitnya baru akan hilang.” Erlin menepuk pelan pundak Ardian. Pemuda itu kini duduk di sampingnya dengan kepala tertunduk lesu. Di dalam ruangan, Alda lagi-lagi mengejang. Dari segi mana pun benar-benar seperti tidak ada lagi harapan. Ardian mengangkat kepalanya. “Nggak akan pernah sampai kapan pun, Bun. Kecuali... aku juga ikut sama Alda kalau seandainya dia benar-benar pergi.” Jawaban itu membuat Erlin terdiam. Sementara itu, di dalam ruangan Alda. Di pojok sana, Diana menangis pilu. Wanita itu tadi memaksa menerobos masuk saat Alda dikabarkan kembali mengejang. Dari tempatnya, Diana dapat melihat putrinya sudah sangat kesulitan bernapas. Kini, rasanya usaha dokter sia-sia belaka. Dokter tersebut masih akan berusaha menyelamatkan Alda andaikata Diana tidak langsung menarik lengannya. “Berhenti Dok, kasian anak saya. Jangan siksa dia lagi. Sa
Masuk kamarnya dan Alda, Ardian langsung menutup pintu. Pemuda itu duduk di sofa dengan tatapan kosong. Di kamar ini, ada banyak sekali kenangan mereka bersama. Setiap pagi selalu ada Alda yang berisik karena bukunya ditaruh entah di mana. Tapi sekarang, yang ada hanya sepi. Jujur saja, Ardian merindukan semuanya. Bagi Ardian, Alda adalah segalanya. Dia adalah sosok ceria yang membuatnya merasakan bagaimana rasanya dicintai dengan tulus. "Aku sayang kamu, Zia Miralda." Begitu pengakuannya selalu pada sang istri. "Seperti yang Kakak tau, aku juga sayang Kakak. Pake banget." "Aku juga sayang kamu pake banget." "Seberapa besar?" "Nggak bisa diukur." Ardian menunduk dalam. Tanpa kehadiran Alda, kamar ini rasanya sangat sunyi. Suasana yang biasanya rusuh karena ulah Alda mendadak sepi. "Aku janji, Kakak adalah laki-laki pertama dan terakhir di hidup aku." "Meski bukan kamu yang pertama, tapi aku janji akan menjadikan kamu perempuan terakhir di hidup aku." Ardian terse
Alda sepertinya telah lelah berjuang membuat beberapa orang yang masih menunggunya bangun dari tidur panjangnya terpaksa harus belajar merelakan. Ini sudah empat bulan lewat namun tak pernah ada tanda-tanda gadis itu akan segera sehat seperti dahulu. Kenyataannya, meski ribuan kali pun coba disangkal kemungkinan untuk Alda bertahan hidup hanya sekitar sepuluh persen. Selebihnya keajaibanlah yang bisa diharapkan. Pagi ini, Meira duduk termenung di taman rumah sakit dengan tatapan kosong. Ucapan dokter bahwa kondisi Alda semakin memburuk membuatnya khawatir luar biasa. Nyatanya, ia belum siap kehilangan. Gadis itu menghela untuk yang ke sekian kalinya. Ketika ia mengangkat kepalanya, ia dapat melihat sahabat-sahabat Alda yang berjalan mendekat ke arahnya. Tampak gadis yang Meira ketahui bernama Vivi sedang melambaikan tangan ke arahnya. Meira tersenyum samar. Ia ikut mengangkat tangannya guna membalas lambaian itu. “Ada perkembangan sama kondisi Alda?” tanyanya langsung usai ketiga
Beberapa orang dokter dengan wajah sama paniknya buru-buru ke ruangan Alda saat mengetahui jika gadis itu kembali mengejang. Sementara keluarga dan sahabat Alda saat ini berada di luar ruangan menanti detik demi detik yang terasa semakin mencekam. Di dalam ruangan, petugas medis berusaha mati-matian untuk menyelamatkan Alda. Segala cara masih mereka coba untuk menyelamatkan nyawa gadis itu. “Kondisi pasien menurun drastis.” “Detak jantungnya semakin melemah!” “Lakukan apapun yang bisa menyelamatkan pasien!” Ruangan Alda kini diliputi ketegangan. Semua petugas medis yang ada di sana berusaha sebisa mungkin untuk menyelamatkan Alda. Sementara itu, di luar ruangan masih banyak yang menanti kabar dari dokter dengan harap-harap cemas. Kekhawatiran besar kini menyelusup ke relung hati masing-masing mengingat betapa kondisi Alda sudah sangat mengkhawatirkan. Di kursi tunggu, Netta dan Diana menangis sesenggukan. Keduanya berpelukan dengan derai air mata. “Clarissa pasti baik-baik aja