Share

Bab 4 Salah Siapa

Author: RaySya
last update Last Updated: 2024-07-15 16:58:52

POV Rumaysa

"Yu Rum, bukannya itu pak Darmo yah bosnya suamimu? Yuk samperin aja, tanyain tentang suamimu. Pasti dia tahu deh."

Hari ini aku ke pasar Kemis tak jauh dari rumahku bersama Ranti dan anak bungsuku. Zaki sedang bersekolah. Dari jauh aku melihat pak Darmo dengan seseorang di pasar.

Ajakan Ranti itu ide yang bagus tapi aku nggak mau kalau nanti pak Darmo cerita ke Mas Bayu dan Mas Bayu jadi curiga. Aku ingin membiarkan ini berjalan dulu, aku ingin tahu apa yang dia lakukan. Aku memang selama ini diam. Tapi kalau aku dibohongi, aku ingin tahu sampai ke akarnya. Aku ingin menunjukkan kalau aku diam karena aku baik, bukan karena aku bodoh.

"Jangan, Ran! Aku nggak mau bikin ribut. Biar nanti ku selesaikan sendiri masalahku. Aku nggak mau jadi heboh karena bawa-bawa orang lain." Kami berbalik arah sambil ku gandeng tangan Zeno karena ada beberapa sayuran yang ingin aku beli.

"Rumaysa!"

Aku menoleh, ternyata Pak Darmo malah memanggilku. Aku terpaksa mendekat ke arahnya.

"Eh, Pak Darmo. Sedang berbelanja ya, Pak? Kok tumben jauh amat sampai ke sini" tanyaku.

"Iya ini mau nyari ayam Bangkok. Di sini kan banyak ayam Bangkok yang bagus-bagus. Saya sudah dapat dua pasang."

Aku menoleh ke arah orang di sebelahnya. Orang yang masih muda dan tampan itu membawa dua karung yang berisi ayam.

"Ini anak saya. Namanya Aji." Aku tersenyum dan mengangguk.

Pak Darmo melihatku dari atas ke bawah. Aku memang memakai pakaian apa adanya. Sejak menikah dengan Mas Bayu aku belum pernah sama sekali dibelikan baju. Baju-baju yang aku pakai adalah bajuku waktu masih gadis. Uang dari mas Bayu tidak cukup. Uang yang ku sisihkan lebih baik untuk membeli baju kedua anakku. Aku jadi agak malu.

"Yasudah silakan rum kalau mau belanja lagi. Saya mau langsung liat proyek. Suamimu pasti sudah di sana."

"Iya, pak." Aku berbalik dan pergi.

"Eh, Rum." Lngkahku terhenti. Pak Darmo memanggilku kembali. Ia terlihat berpikir "Ayo sarapan soto di warung pojok sana."

"Ah tidak usah, Pak." Aku tak enak kalau harus sarapan dengan pak Darmo. Belum lagi aku membawa Zeno dan Ranti, pasti nanti semua dibayari Pak Darmo.

Ranti terus saja menowel lenganku. Ia mengisyaratkan padaku untuk menerima ajakan pak Darmo.

"Ada yang mau saya bicarakan sama kamu." Kata pak Darmo, demi melihat raut wajah Pak Darmo yang sangat serius aku mengiyakan ajakannya.

Lima buah mangkok soto terhidang di meja kami. Ranti dan Zeno sudah makan bersama. Aku meminta Ranti menjaga Zeno lebih dulu karena sepertinya Pak Darmo ingin membicarakan sesuatu yang serius, sedangkan Mas Aji tak banyak bicara sejak tadi.

"Saya sebenarnya sungkan mau membicarakan ini, Rum. Tapi kamu dan Bayu sudah saya anggap seperti keluarga sendiri. Bayu sudah lama kerja sama saya. Dan saya mengenal bapakmu dengan baik. Jadi kalau ada yang melenceng dari seorang keluarga kan sudah menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan."

Ku lihat ia menarik nafas berat. Bola matanya melihat ke langit-langit warung soto. Aroma kuah soto yang semerbak benar-benar kami abaikan. Aku sepertinya tahu kemana arah pembicaraan ini.

"Apa kamu sudah tahu kalau suamimu saat ini sedang menjalin hubungan dengan wanita lain?" tanyanya dengan hati-hati.

Aku menunduk, terpekur. Rasa sesak di dadaku datang lagi. Sebenarnya aku ingin sekali membencinya, agar sakit hati ini tak terlalu terasa. Tapi aku tak dapat memungkiri, menikah dengannya selama 9 tahun tak mungkin tanpa rasa cinta. Penghianatan ini rasanya tetap menyakitkan.

"Melihat reaksimu yang tidak kaget dan lebih tenang, aku asumsikan kalau kamu sudah tahu." tambahnya.

Tanganku mengepal, aku sekuat tenaga menahan agar tak ada lagi air mata yang keluar untuk lelaki tak tahu diri itu.

"Aku hanya menasihati, karena Bayu juga bekerja denganku. Kamu mungkin juga sudah tahu kalau ada yang main-main dengan usaha ini maka aku takut kalau usaha ini nggak akan berkah, ikut hancur."

"Mungkin memang sulit, Rum. Aku juga lelaki, aku tak menyarankanmu untuk bercerai. Tapi kalau masih bisa diperbaiki, ya perbaikilah. Tapi bukan dengan cara membiarkan, Rum. Membiarkan seseorang berbuat salah sama dengan menjerumuskannya."

Kata-kata pak Darmo benar-benar menusuk jantungku. Selama ini aku tak pernah bisa bercerita tentang ini kepada orang lain. Semua masalah harus aku tangung sendiri. Semua masalah harus aku selesaikan sendiri. Ketika ada seseorang yang tulus menasihatiku, aku jadi sedikit merasa berdosa sudah diam membiarkan. Mungkin apa yang dilakukan suamiku merupakan kesalahanku juga.

Tak terasa buliran air mata turun dari mataku.

"Sudah-sudah, Rum. Ayo sarapan. Nanti aku juga akan menasihati Bayu. Sebuah rumah tangga harus dipertahankan dulu. Kalau tidak nanti setan yang senang."

Soto di depan Pak Darmo mulai di santap, diikuti oleh anaknya. Sedangkan aku masih menekuri nasibku.

***

Sebelum suamiku pulang, seharian aku berpikir. Mungkin suamiku berubah karena memang salahku. Aku yang kurang merawat diri, aku terlalu pelit untuk diriku sendiri. Penampilanku kurang menarik, aku bahkan tak mengenal make up.

Ada niat dalam hati memperbaiki diri dan sikapku pada suami agar rumah tangga ini bisa bertahan, seperti nasihat Pak Darmo. Semoga saja Mas Bayu bisa melihat kesungguhan dalam diriku.

Pukul 5 sore tiba-tiba dadaku jadi berdebar-debar menunggu mas Bayu. Aku mencoba merias diriku dengan sedikit bedak, lipstik dan memakai baju yang memperlihatkan lekuk tubuhku. Bagaimana yah reaksi Mas Bayu. Aku jadi penasaran sendiri.

Jarum jam tak mau menemaniku menunggunya, ia meninggalkanku sendirian. Aku jadi seperti badut, aku tertawa melihat diriku di cermin. Ku kira ini bisa diperbaiki, tapi bahkan dia tak ingat pulang.

Tok tok tok

Suara ketukan di pintu membangunkanku. Ternyata aku tertidur di depan televisi. Segera ku buka pintu depan. Suamiku berdiri dengan menahan amarah.

"Kenapa sih pakai dikunci segala? biasanya juga nggak dikunci. Aku ketok-ketok dari tadi nggak dibuka. Tidur kamu pasti, kan?"

Enggan aku menanggapi ocehannya, bukankah seharusnya aku yang marah karena ia pulang telat?

Tanpa menunggu tanggapanku Mas Bayu langsung nyelonong masuk ke kamar, merebahkan dirinya tanpa ganti baju, ia bahkan masih memakai jaket.

"Mas ganti baju dulu." ujarku. Ia bergeming. Ngantuk banget pasti, apa capek mungkin.

Yasudah ku putuskan untuk membuka jaketnya saja biar tidurnya lebih nyaman. Setelah berhasil membukanya aku mencium parfum wanita di jaket itu. Aku bolak balik jaket tadi, ada yang menyembul dari kantong. Setelah ku tarik ternyata ada celana dalam wanita berwarna merah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Baru Mantan Suamiku   Bab 25 Zeno Tidak Mau Bertemu Ayah

    Murti merasa sakit hati Bayu berteriak padanya. Padahal, selama ini Bayu selalu baik, tak pernah membentaknya. Beberapa pekerja dan orang-orang di warung memberinya tatapan sinis. Matanya mulai berkaca-kaca dan ia pergi begitu saja. Bayu tak khawatir dengan Murti yang marah. Ia sama sekali tak berniat mengejar wanita itu. Namun, ia justru khawatir dengan Rum dan anak-anak yang mendengar suara Murti tadi. "Apa yang ada di pikiran mereka tentang aku sekarang? Aku harus segera mengunjungi anak-anak. Aku masih berharap bisa kembali bersama Rum," gumam Bayu. Di rumah Rum, Zeno masih saja berwajah muram. Ia masih memikirkan tentang ayahnya. Rum sampai bingung bagaimana cara menghibur Zeno karena Zeno memang sudah mengerti tentang keadaan orang tuanya yang berpisah. "Zeno, ayo kita belajar sayang. Ada PR nggak?" tanya Rum di kamar Zeno. Lelaki kecil itu sedang tidur menghadap tembok. "Ada PR tapi udah dikerjain tadi, Bun. Waktu Bunda sama Zaki ke rumah P

  • Istri Baru Mantan Suamiku   Bab 24 Murti yang Semakin Posesif

    "Ayolah, Mur. Aku cuma mau minta uang 1 juta. Ini bukan buat Rum, tapi buat Zaki dan Zeno. Aku kangen banget sama mereka. Aku pengin ketemu sama mereka, Mur, tapi aku nggak pegang uang sama sekali sekarang. Pak Hans bilangnya mau transfer bulan ini, tapi nyatanya dia belum bisa dihubungi. Terus temen kamu itu, mana sisa uang pembayarannya? jangan-jangan dia menghilang begitu saja?" tanya Bayu mulai kalut. Dua proyek yang dia pegang sekarang kenapa ada saja sih hambatannya. Padahal dulu waktu sama Pak Darmo hambatannya paling bangunan yang sedikit rusak, cat yang kurang rapi, atau bahan bangunan yang kurang. Dia tak pernah dengar Pak Darmo mengeluh soal masalah uang atau klien. Pak Darmo memang menutupinya atau Pak Darmo beruntung nggak pernah dapat klien seperti itu? Ah tidak mungkin sih, Pak Darmo kan sudah puluhan tahun di dunia proyek begini, pasti ada saja yang nggak beres kliennya. Sial sekali! "Mas mau ketemu anak-anak? Ketemu anak-anak apa ketemu

  • Istri Baru Mantan Suamiku   Bab 23 Dituduh Pelakor

    Rum jadi salah tingkah karena merasa diperhatikan. Ia malu dengan penampilannya yang mungkin terlihat sangat lusuh. Jadi Rum memutuskan untuk mulai mengerjakan lagi pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa ada niatan mengajak bosnya mengobrol. Lalu ia melihat punggung lelaki itu memasuki kamarnya. Ketika ia sibuk mengangkat jemuran, Zaki mulai rewel lagi. Waktu menunjukkan pukul 11 siang, sudah waktunya bagi lelaki kecil itu untuk menikmati waktu tidur siangnya. Rum celingukan ke sana ke sini, Aji tak keluar lagi dari kamarnya. Ia mungkin juga tertidur. "Sebentar ya sayang, Bunda nyelesain kerjaan Bunda dulu sebentar," rayu Rum. "Zaki mau bobo, Bun. Zaki ngantuk," rengek Zaki. Rum bingung harus bagaimana. Zaki memang sudah terbiasa tidur siang dengan ditemani dirinya. Kalau tidak ditidurkan nanti dia akan bertambah rewel. Tadinya ia berpikir bisa menidurkan Zaki di sofa kalau Mas Aji tidak pulang. Kalau ada Mas Aji begini, Rum tidak enak kalau mau m

  • Istri Baru Mantan Suamiku   Bab 22 Janda Harus Kerja

    Beberapa hari setelah kunjungannya ke pesantren kakaknya, ia mendapat kabar baik dari kakak iparnya. Ada seseorang yang membutuhkan jasa membersihkan rumah, dan Rum boleh membawa anaknya kalau mau bekerja. Rum memekik kegirangan, "Alhamdulillah Ya Allah. Akhirnya aku bisa bekerja." "Alhamdulillah, semoga bisa jadi jalan rezeki untuk kamu ya," sahut Mbak Nara. "Jauh nggak rumahnya, Mbak? Aku bisa pulang pergi naik motor, kan?" tanya Rumaysa. Ia sudah membayangkan kalau mungkin ia bekerja tidak akan setiap hari dan bisa dijangkau dengan motor bututnya. Membersihkan rumah tidak terlalu sulit, mudah-mudahan nanti majikannya juga baik. "Deket. Mbak sudah ngobrol ini sama Mas kamu. Kamu juga kenal. Katanya kamu sudah pernah ke rumahnya," jawabnya. Dahi Rum berkerut, rumahnya pernah ia kunjungi? "Rumah Pak Darmo, Rum." lanjut Nara. Rum memasang wajah bingung, tak bisa dijelaskan bagaimana perasaanya. Pak Darmo lagi? Kena

  • Istri Baru Mantan Suamiku   Bab 21 Mencari Pekerjaan

    "Hah bercerai? Kamu tidak salah, Rum? Meskipun Mas kasihan dengan keadaanmu, tapi perceraian tetap dibenci Allah!" seru Mas Agil tajam. Ia sebenarnya tak tega dengan keadaan adiknya, tapi ia sendiri tidak menyarankan perceraian. Perceraian dibenci Allah!Sedangkan adik bungsunya berniat mengajukan perceraian. Rum tak bisa menjawab. Ia masih menangis sampai tersedu-sedu. "Yasudah, Mas panggilkan Mbak Nara dulu." Agil berlari menuju rumahnya. Ia bingung bagaimana menghadapi adiknya yang sedang menangis seperti itu. Ini kali pertama Rum menangis dihadapan kakak lelakinya. "Ya Allah. Rum, istighfar, Rum!" kata Nara setelah melihat keadaan adik iparnya yang masih terus menangis. Rum yang melihat kakak iparnya langsung menghamburkan diri dalam pelukan pada wanita itu. "Sudah, Rum, sudah. Kamu tenang dulu. Minum dulu, ya." Nara mengangkat dagunya ke arah suaminya agar ia mengambilkan minum untuk Rum. Setelah meneguk segelas air, keadaan Rum mulai

  • Istri Baru Mantan Suamiku   Bab 20 Anak Korban Perceraian

    "Bun, kok melamun terus?" tanya Zaki pada Ibunya. Meski terlihat tegar, tapi Rum begitu hancur. Ia kehilangan tempat berpijak yang selama ini jadi tumpuan. Lelaki itu, sudah bukan cuma suami, tapi sahabat juga dalam keluh kesah, dalam senang maupun susah. Rum pikir bercerai adalah hal yang mudah, ternyata kehilangan suaminya tidak hanya kehilangan sosok pencari nafkah, tapi juga sahabat, teman dalam menghabiskan waktu, teman dalam mendidik anak-anak, teman dalam mengarungi bahtera kehidupan yang seringkali berat untuk dijalani. "Maaf, ya sayang. Bunda malah melamun. Kamu sudah selesai sarapannya? Kalau sudah ayo kita berangkat," ajak Rum sambil merapikan peralatan sekolah milik anaknya. "Sudah selesai dari tadi, Bun. Bunda kangen yah sama Ayah?" tanya Zaki. Wajahnya menyiratkan rasa iba. "Tidak, sayang. Bunda cuma capek. Bunda sedang memikirkan bagaimana caranya Bunda dapat pekerjaan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status