Home / Rumah Tangga / Istri Baru Mantan Suamiku / Bab 5 Celana Dalam Warna Merah

Share

Bab 5 Celana Dalam Warna Merah

Author: RaySya
last update Last Updated: 2024-07-15 16:59:41

"Kenapa bisa ada celana dalam warna merah di jaket suamiku? Aku terheran-heran.

Pantas saja suamiku pulang larut malam. Ternyata dia sudah menghabiskan waktu dengan wanita itu. Nafasku seketika memburu mengetahui fakta itu. Ku tarik nafas perlahan beberapa kali sampai hatiku terasa lebih tenang. Celana dalam itu seketika ku lempar jauh.

Jijik!

Aku benar-benar merasa seperti badut. Menunggu seorang lelaki dengan riasan yang tebal, tapi malah ia sedang bergumul dengan wanita lain. Hoek. Rasa mual tiba-tiba datang mengingat hal itu.

Kepalaku harus tenang kalau aku mau menang dalam pertempuran dengan wanita ini. Menang bukan berarti mendapatkan suamiku seutuhnya atau kehilangan dia, tapi menang adalah mendapat ketenangan hidup, apapun keputusanku nanti.

***

POV Bayu

Aku bangun kesiangan, jam 7 baru bangun, padahal biasanya jam 5 istriku sudah cerewet membangunkanku untuk sholat subuh. Kemana dia?

Aku duduk di tepi ranjang, ada pantulan diriku di cermin lemari, ternyata aku masih memakai baju kerja kemarin. Tapi dimana jaketku?

"Bun, lagi nyuci yah?" tanyaku. Wanita yang sedang menyampirkan baju di gantungan baju itu hanya menatapku dengan tatapan kosong. Ada apa lagi ini pagi-pagi? "Jaketku mana?"

Ia hanya menunjuk jaket yang sudah dijemur. Aku memutuskan untuk mandi saja.

Tak ada sarapan, tak ada nasi. Zaki sudah berangkat sekolah sedangkan anak bungsuku sedang mengikuti ibunya sejak tadi. Lebih baik aku ke kantor saja, siapa tau Murti bawa sarapan.

***

Malang sekali nasibku, entah sedang kenapa Rumaysa, bikin geram saja.

Sesampainya di kantor aku malah harus bertemu dengan Pak Darmo. Aku harus menunda sarapanku, perutku tambah keroncongan.

"Gini Bayu, proyek bangunan sekolahan yang kamu pegang dikomplain sama pihak sana. Katanya cat temboknya sudah mengelupas, dan tidak rata."

Aku paling sebal kalau dapat komplain. Sudah lelah berkerja eh ada aja yang ketahuan salah. Namanya juga kerjaan manusia ya pasti ada aja yang salah. Nggak akan sempurna.

"Kamu pakai cat dinding yang saya rekomendasikan, kan?" tanya nya memastikan.

"Iya, Pak. Sesuai dengan perintah." Jawabku berbohong. Aku memang menggantinya dengan yang lebih murah. Aku butuh uang untuk merokok dan membelikan Murti barang yang dia mau.

"Kok bisa yah mengelupas." Ia berlalu meninggalkanku, kemudian berbalik lagi, "cat lagi saja Bayu, kita nggak mau kan pelanggan kita kabur ke tempat lain".

Huhhh, aku menarik nafas kesal.

***

Akhirnya aku bisa sarapan. Kekasih gelap ku membawa sayur capcay. Meskipun masakannya jauh dari masakan istriku, tapi mending dari pada aku kelaparan.

"Aku dikomplain sama Pak Darmo tadi" aduku pada Murti.

"Duh Pak Darmo cerewet banget yah." Ia menimpali. "Pindah aja sama juragan yang lain deh. Atau kamu berdiri aja sendiri, kan kamu udah punya banyak klien." Murti memberi saran. Aku kaget juga mendengar saran darinya.

"Tapi aku nggak ada modal sayang. Emang kamu mau modalin aku?" tanyaku iseng. Aku memang nggak ada uang sama sekali.

"Aku nggak bisa ngasih banyak mas. Pinjem aja ke bank. Nanti aku tambahin modalnya." Ia terlihat serius.

"Ke bank?"

"Iya."

"Jaminannya?

"Rumahmu lah."

"Murti, itu rumah pemberian bapak mertuaku. Ya nggak mungkin lah ku jadikan jaminan."

Kesal juga rasanya. Kirain dia mau beneran membantuku buat bikin usaha sendiri tapi malah bikin ide gila yang nggak masuk akal.

"Ya kalau nggak berani pinjam bank kapan mas mau maju. Gitu -gitu aja terus. Jalan di tempat."

Dalam sekali perkataan Murti. Walaupun ia benar tapi kalau mengambil keputusan yang gegabah seperti itu tuh kayak menggali kubur sendiri.

***

Sekolahan yang harus ku cat ulang ternyata lumayan banyak karena dindingnya menghadap ke matahari. Dengan enggan kulakukan tugas itu sendiri karena tidak dibayar, kasihan nanti kalau para pekerja tidak dapat uang lembur untuk kerja tambahan.

Sepanjang aku mengecat sekolahan, perkataan Murti terngiang- ngiang di telingaku. Memang sudah sejak lama aku ingin berdiri sendiri, tidak dibawah Bos Darmo. Andai saja aku punya modal aku bisa dapat untung lebih banyak, aku bakal cepet kaya.

Tapi rumah yang kami tempati adalah rumah ayahnya Rum. Kalau Rum tahu aku menggadaikan tanahnya, ia pasti akan marah besar padaku.

Sesampainya di rumah, aku mencoba membicarakan rencana ini ke Rumaysa. Tidak ada salahnya mencoba, siapa tahu berhasil meyakinkan dia. Aku juga kepingin tahu pendapat wanita itu tentang masa depan kami.

"Kalau aku keluar dari juragan Darmo, terus mendirikan perusahaan sendiri gimana menurut kamu, De?" pertanyaan ini kutanyakan padanya malam harinya, ketika kami sama-sama menonton tv.

Ia tampak berpikir keras. tapi tidak langsung menjawab.

"Aku sih mendukung saja, tapi kan kita nggak punya modal. Jadi mending sama Pak Darmo saja. Pak Darmo sudah terlalu baik sama kita." Jawabnya.

Sudah ku duga jawabannya pasti akan seperti itu. Ia tetap sibuk menatap layar di depannya.

"Kata temenku kita bisa hutang di bank. Pakai kredit usaha rakyat, aku kan punya usaha yang jelas. Terus jaminannya sertifikat rumah ini" pelan-pelan aku menyebut kalimat terakhirnya.

"Apa?"

"Eh. Maksudnya gini." Aku jadi gugup, sepertinya ia mau marah. Harus dijelaskan pelan-pelan nih. "Misalkan nanti pinjaman 100 juta, kita bisa pakai cicilan yang 2,5 juta per bulan."

"2,5 juta?"

"Iya, Rum."

"Mas, kamu itu sadar nggak sih. Ini rumah peninggalan bapakku. Aku nggak mungkin jaminkan rumah ini ke bank. Nanti kalau nggak bisa bayar terus rumah kita diambil kita mau tinggal di mana?"

Huft, aku menarik nafas panjang. Selama ini gajiku 3 juta sama pak Darmo. Walaupun pemborong tapi gaji segitu termasuk besar nominalnya kalau di desa. Setengahnya aku kasih ke Rumaysa. Setengahnya lagi untuk beli bensin, rokok, dan makan di luar sama Murti, bahkan biasanya makan Murti yang bayar. Apa iya aku sanggup yah.

"Mas jangan gegabah, ayo dipikir dulu. Gaji kamu sama Pak Darmo itu sudah cukup, aku 1,5 juta buat makan, listrik, bayar sekolah anak. Sedangkan kamu 1 juta kalau buat bensin sama rokok doang bisa nabung banyak kan?"

Deg.

Aku jadi ingat kalau dulu aku bilang gajiku cuma 2,5 juta. Dan Rumaysa berharap aku punya tabungan? Aduh selama ini uangnya sudah aku pakai untuk Murti. Aku tak punya tabungan sama sekali.

"Mas? kok bengong sih? Kamu punya tabungan kan?"

"Eh, i..iya Rum, aku punya tabungan."

Aku kabur saja lah dari pada nanti dicecar di mana tabungannya sama Rumaysa.

"Aku tidur dulu ya, Rum. Badanku pegal-pegal." Aku beranjak dari ruang tv ke kamar tidur, lebih baik kurebahkan diriku dari pada nanti diinterogasi sama istriku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Baru Mantan Suamiku   Bab 25 Zeno Tidak Mau Bertemu Ayah

    Murti merasa sakit hati Bayu berteriak padanya. Padahal, selama ini Bayu selalu baik, tak pernah membentaknya. Beberapa pekerja dan orang-orang di warung memberinya tatapan sinis. Matanya mulai berkaca-kaca dan ia pergi begitu saja. Bayu tak khawatir dengan Murti yang marah. Ia sama sekali tak berniat mengejar wanita itu. Namun, ia justru khawatir dengan Rum dan anak-anak yang mendengar suara Murti tadi. "Apa yang ada di pikiran mereka tentang aku sekarang? Aku harus segera mengunjungi anak-anak. Aku masih berharap bisa kembali bersama Rum," gumam Bayu. Di rumah Rum, Zeno masih saja berwajah muram. Ia masih memikirkan tentang ayahnya. Rum sampai bingung bagaimana cara menghibur Zeno karena Zeno memang sudah mengerti tentang keadaan orang tuanya yang berpisah. "Zeno, ayo kita belajar sayang. Ada PR nggak?" tanya Rum di kamar Zeno. Lelaki kecil itu sedang tidur menghadap tembok. "Ada PR tapi udah dikerjain tadi, Bun. Waktu Bunda sama Zaki ke rumah P

  • Istri Baru Mantan Suamiku   Bab 24 Murti yang Semakin Posesif

    "Ayolah, Mur. Aku cuma mau minta uang 1 juta. Ini bukan buat Rum, tapi buat Zaki dan Zeno. Aku kangen banget sama mereka. Aku pengin ketemu sama mereka, Mur, tapi aku nggak pegang uang sama sekali sekarang. Pak Hans bilangnya mau transfer bulan ini, tapi nyatanya dia belum bisa dihubungi. Terus temen kamu itu, mana sisa uang pembayarannya? jangan-jangan dia menghilang begitu saja?" tanya Bayu mulai kalut. Dua proyek yang dia pegang sekarang kenapa ada saja sih hambatannya. Padahal dulu waktu sama Pak Darmo hambatannya paling bangunan yang sedikit rusak, cat yang kurang rapi, atau bahan bangunan yang kurang. Dia tak pernah dengar Pak Darmo mengeluh soal masalah uang atau klien. Pak Darmo memang menutupinya atau Pak Darmo beruntung nggak pernah dapat klien seperti itu? Ah tidak mungkin sih, Pak Darmo kan sudah puluhan tahun di dunia proyek begini, pasti ada saja yang nggak beres kliennya. Sial sekali! "Mas mau ketemu anak-anak? Ketemu anak-anak apa ketemu

  • Istri Baru Mantan Suamiku   Bab 23 Dituduh Pelakor

    Rum jadi salah tingkah karena merasa diperhatikan. Ia malu dengan penampilannya yang mungkin terlihat sangat lusuh. Jadi Rum memutuskan untuk mulai mengerjakan lagi pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa ada niatan mengajak bosnya mengobrol. Lalu ia melihat punggung lelaki itu memasuki kamarnya. Ketika ia sibuk mengangkat jemuran, Zaki mulai rewel lagi. Waktu menunjukkan pukul 11 siang, sudah waktunya bagi lelaki kecil itu untuk menikmati waktu tidur siangnya. Rum celingukan ke sana ke sini, Aji tak keluar lagi dari kamarnya. Ia mungkin juga tertidur. "Sebentar ya sayang, Bunda nyelesain kerjaan Bunda dulu sebentar," rayu Rum. "Zaki mau bobo, Bun. Zaki ngantuk," rengek Zaki. Rum bingung harus bagaimana. Zaki memang sudah terbiasa tidur siang dengan ditemani dirinya. Kalau tidak ditidurkan nanti dia akan bertambah rewel. Tadinya ia berpikir bisa menidurkan Zaki di sofa kalau Mas Aji tidak pulang. Kalau ada Mas Aji begini, Rum tidak enak kalau mau m

  • Istri Baru Mantan Suamiku   Bab 22 Janda Harus Kerja

    Beberapa hari setelah kunjungannya ke pesantren kakaknya, ia mendapat kabar baik dari kakak iparnya. Ada seseorang yang membutuhkan jasa membersihkan rumah, dan Rum boleh membawa anaknya kalau mau bekerja. Rum memekik kegirangan, "Alhamdulillah Ya Allah. Akhirnya aku bisa bekerja." "Alhamdulillah, semoga bisa jadi jalan rezeki untuk kamu ya," sahut Mbak Nara. "Jauh nggak rumahnya, Mbak? Aku bisa pulang pergi naik motor, kan?" tanya Rumaysa. Ia sudah membayangkan kalau mungkin ia bekerja tidak akan setiap hari dan bisa dijangkau dengan motor bututnya. Membersihkan rumah tidak terlalu sulit, mudah-mudahan nanti majikannya juga baik. "Deket. Mbak sudah ngobrol ini sama Mas kamu. Kamu juga kenal. Katanya kamu sudah pernah ke rumahnya," jawabnya. Dahi Rum berkerut, rumahnya pernah ia kunjungi? "Rumah Pak Darmo, Rum." lanjut Nara. Rum memasang wajah bingung, tak bisa dijelaskan bagaimana perasaanya. Pak Darmo lagi? Kena

  • Istri Baru Mantan Suamiku   Bab 21 Mencari Pekerjaan

    "Hah bercerai? Kamu tidak salah, Rum? Meskipun Mas kasihan dengan keadaanmu, tapi perceraian tetap dibenci Allah!" seru Mas Agil tajam. Ia sebenarnya tak tega dengan keadaan adiknya, tapi ia sendiri tidak menyarankan perceraian. Perceraian dibenci Allah!Sedangkan adik bungsunya berniat mengajukan perceraian. Rum tak bisa menjawab. Ia masih menangis sampai tersedu-sedu. "Yasudah, Mas panggilkan Mbak Nara dulu." Agil berlari menuju rumahnya. Ia bingung bagaimana menghadapi adiknya yang sedang menangis seperti itu. Ini kali pertama Rum menangis dihadapan kakak lelakinya. "Ya Allah. Rum, istighfar, Rum!" kata Nara setelah melihat keadaan adik iparnya yang masih terus menangis. Rum yang melihat kakak iparnya langsung menghamburkan diri dalam pelukan pada wanita itu. "Sudah, Rum, sudah. Kamu tenang dulu. Minum dulu, ya." Nara mengangkat dagunya ke arah suaminya agar ia mengambilkan minum untuk Rum. Setelah meneguk segelas air, keadaan Rum mulai

  • Istri Baru Mantan Suamiku   Bab 20 Anak Korban Perceraian

    "Bun, kok melamun terus?" tanya Zaki pada Ibunya. Meski terlihat tegar, tapi Rum begitu hancur. Ia kehilangan tempat berpijak yang selama ini jadi tumpuan. Lelaki itu, sudah bukan cuma suami, tapi sahabat juga dalam keluh kesah, dalam senang maupun susah. Rum pikir bercerai adalah hal yang mudah, ternyata kehilangan suaminya tidak hanya kehilangan sosok pencari nafkah, tapi juga sahabat, teman dalam menghabiskan waktu, teman dalam mendidik anak-anak, teman dalam mengarungi bahtera kehidupan yang seringkali berat untuk dijalani. "Maaf, ya sayang. Bunda malah melamun. Kamu sudah selesai sarapannya? Kalau sudah ayo kita berangkat," ajak Rum sambil merapikan peralatan sekolah milik anaknya. "Sudah selesai dari tadi, Bun. Bunda kangen yah sama Ayah?" tanya Zaki. Wajahnya menyiratkan rasa iba. "Tidak, sayang. Bunda cuma capek. Bunda sedang memikirkan bagaimana caranya Bunda dapat pekerjaan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status