Di kota tempat Alex tinggal. Alex terlihat duduk dengan gelas berisi minuman di tangan. Dia lantas memejamkan mata seolah sedang mengingat sesuatu.
“Cukup minumnya! Kamu sudah mabuk berat!” Alex tampak mengambil paksa gelas kristal dari tangan seseorang.
“Lex! Biarkan sekali ini saja aku mabuk!” Suara pemuda yang kini bersama Alex terdengar begitu berat, kelopak matanya hampir tertutup, wajahnya memerah karena pengaruh dari alkohol yang masuk ke tubuh.
Alex menggelengkan kepala, meletakkan gelas yang dipegang ke meja, lantas bersiap memapah pemuda mabuk itu pergi dari sana.
“Kita pulang sekarang, aku akan mengantarmu,” ucap Alex merangkulkan satu tangan pemuda mabuk itu melingkar di lehernya.
Namun, pemuda itu menolak ajakan Alex. Dia kembali menarik tangan dari leher Alex dan duduk di tempatnya semula.
Alex terkejut dengan penolakan pemuda itu, menatap tajam dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan pemuda itu.
“Lex, tolong … biarkan … biarkan aku sekali saja menjadi pemuda nakal,” ucap pemuda itu sedikit terbata, bicara sambil menunjuk ke arah sembarangan.
Alex memilih duduk di sebelah pemuda itu, menatap wajah tampan dengan kulit bersih itu kini memerah karena alkohol yang dikonsumsi.
“Kamu sudah mabuk berat, lebih baik pulang sekarang,” balas Alex mengabaikan ucapan pemuda itu.
Pemuda itu menoleh Alex, memicingkan mata ke arah pria yang berumur dua tahun lebih tua darinya itu.
“Kenapa? Ini baru jam berapa? Aku bukan cinderella laki-laki, Lex! Ada kalanya aku ingin melakukan kenakalan, untuk sekedar memuaskan batinku,” racau pemuda itu yang sudah benar-benar terpengaruh alkohol.
Alex menghela napas kasar dengan senyum tipis di wajah, bagaimana bisa pemuda yang bisa dibilang sangat penurut serta sopan itu hendak melakukan kenakalan.
“Kamu tampaknya mabuk berat, bukankah biasanya kamu akan pulang pukul sembilan malam, menghindari minuman beralkohol, apalagi tempat seperti ini?” tanya Alex mencoba menyadarkan jika apa yang dilakukan pemuda itu sekarang bukanlah kebiasannya.
Pemuda itu terdiam, hingga kemudian memukul pelan dada dengan kepalan tangan.
“Entah, Lex. Entah kenapa malam ini aku ingin seperti ini. Ada sesuatu yang membuatku ingin melakukan apa yang tidak pernah aku lakukan.” Pemuda itu menjeda ucapannya, lantas kembali memukul dada sebanyak dua kali. “Aku merasa esok tak bisa melihat matahari, membuatku berpikir untuk bisa melakukan hal-hal yang membuatku penasaran selama ini,” imbuhnya kemudian.
Alex terperangah dengan ucapan pemuda itu, mencoba menelaanh maksud tidak bisa melihat matahari.
“Jangan mengada-ada!” sangkal Alex yang tak senang dengan pengakuan pemuda itu.
Pemuda itu tersenyum getir, lantas kembali berkata, “Kenapa hanya kamu yang bisa berbuat seenaknya? Bergonta-ganti wanita saat kamu mau. Jika kamu bisa berbuat nakal, kenapa aku tidak? Kenapa kamu selalu mencegahku berbuat seperti itu? Apakah kita beda? Sedangkan kita sudah bersama-sama sejak dulu sampai sekarang, melalui banyak hal bersama berdua.”
Alex tidak tahu apa yang bisa membuat pemuda itu meracau tak jelas hingga membandingkan mereka, hingga kemudian dia menepuk dan meremas pundak pemuda itu dengan lembut.
“Kamu memang berbeda, kamu berbakat serta cerdas. Kamu adalah kebanggaan semua orang, bagaimana bisa membandingkan denganku yang terkadang suka urak-urakan. Kamu adalah nomor satu, semua impian bertumpu padamu. Jadi, jangan pernah membandingkan dirimu denganku, karena jelas kita berbeda dan takkan pernah bisa sama. Aku juga takkan pernah bisa menjadi pria sepertimu, cerdas, berbakat, serta disukai banyak orang. Paham?”
Alex mencoba menyadarkan meski tahu jika hal itu mungkin takkan masuk ke kepala pemuda mabuk yang bersamanya.
Pemuda itu terdiam sejenak, sebelum kemudian kembali bicara. “Lex, jika terjadi sesuatu padaku, atau aku mati mendahuluimu, apakah kamu bisa mengabulkan satu keinginanku? Bisakah kamu menjaga Selena, aku sangat menyayanginya. Kamu tahu jika dia tidak bisa lepas bermanja dariku.”
Alex terperangah mendengar ucapan pemuda itu yang lagi-lagi membahas soal kematian.
“Aku tidak akan mengabulkannya!” tolak Alex mentah-mentah. “Jika kamu menyayanginya, maka kamu sendiri yang harus menjaganya! Lagipula, aku saja tak bisa menjaga diriku sendiri dan terus bergantung padamu, bagaimana bisa kamu memintaku menjaga gadis manja itu. Tidak bisa!”
Pemuda itu tertawa mendengar penolakan Alex, hingga kemudian menjatuhkan diri ke belakang hingga punggung membentur sandaran sofa.
“Lex, aku serius. Jika terjadi sesuatu padaku, tolong jaga Selena dengan baik.”
**
Alex memejamkan mata setelah selesai mengingat sekelebat kenangan akan kebersamaannya dengan seseorang. Malam itu menjadi yang terakhir bagi Alex melihat senyum serta mendengar ocehan pemuda itu, kini ada sebuah penyesalan yang tak mampu diungkapkannya pada siapapun.
“Aku sudah menjaganya sesuai permintaanmu, apa kamu puas, hm?” tanya Alex pada foto yang berbingkai terpajang di meja minibar kamarnya.
Di sana ada foto dirinya dan pemuda yang baru saja melintas di pikirannya. Baru di sebelahnya bingkai foto di mana ada dirinya, Selena, pemuda itu, juga Archie.
“Tapi aku pun tidak tahu sampai kapan bisa menjaganya.”
Alex menundukkan kepala, menatap gelas kristal berisi cairan berwarna cokelat bening dan es di dalamnya. Dia lantas menenggak semua isi di dalam gelas itu, berharap alkohol bisa sedikit melupakan penyesalan di hati, meringankan beban yang ditanggung selama dua tahun ini.
Selena masih tertidur pulas di kamar besarnya, di kasur yang berukuran king size nan empuk. Gadis itu tidur dengan posisi tengkurap di tepian ranjang, sedangkan satu tangan tampak menggantung ke lantai. Matahari yang meninggi, tak mengganggu tidur lelap gadis manja itu, meski sinarnya terasa menyengat di wajah manisnya dan langsung menyorot ke kelopak mata. Efek alkohol yang menguasai tubuh, membuat Selena benar-benar tak sadar sudah tidur berapa lama.“Selena, apa kamu tidak mau bangun untuk sekedar makan atau yang lainnya.” Suara lembut keibuan itu terdengar begitu nyaman di telinga. Evelia mencoba membangunkan Selena yang tak kunjung bangun meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Selena tak bergerak, tampaknya dia memang sedang benar-benar menikmati mimpi indahnya, hingga tak mendengar jika sang ibu membangunkan.Evelia menghela napas kasar, putrinya itu memang selalu begini jika pulang dalam kondisi mabuk. Dia lantas berjalan ke arah jendela kaca yang membentang bagai d
Alex berangkat ke perusahaan seperti biasanya. Langkah kakinya yang begitu ringan tapi mantap, derap sol sepatu di lantai menciptakan suara yang menggema di koridor menuju ruangannya berada. Seorang pria lain berjalan di sebelahnya, pria itu adalah Aries—asisten serta tangan kanan kepercayaan Alex.“Bacakan jadwalku hari ini!” perintah Alex dengan suara pelan tapi tegas.“Siang ini Anda ada rapat dengan pihak Maxel Group, lalu dilanjut ….” Aries membacakan rentetan jadwal yang harus dikerjakan oleh Alex.Alex mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk kecil untuk membalas sapaan staf yang memberinya hormat. Meski Alex adalah pemimpin tertinggi di sana dan terkenal kaku, keras, juga dingin, tapi dia selalu ingat akan nasihat Claira—sang ibu. Wanita paruh baya itu selalu berpesan agar tetap menghormati orang-orang disekitar, meski pria itu bersikap dingin.“Oh ya, Apa sudah ada kabar dari Hubert?”
Di sebuah kamar hotel berukuran besar dan terkesan mewah, dua manusia berlawanan jenis tampak sedang mengarungi bahtera penuh gairah untuk mencapai kenikmatan dunia. Namun, pria yang ada di atas tubuh wanita bertubuh polos nan seksi itu, tampak tak berkonstrasi dan lebih terlihat tak menikmati sama sekali percintaan panas itu.Alex mencoba melepas penat dengan mengajak bercinta seorang model ternama, berharap pikirannya bisa sedikit rileks dan tenang, setelah seharian merasa tertekan dan banyak sekali masalah yang dipikirkan. Namun, pada kenyataannya gairah itu memudar, seiring kata demi kata Sean yang terus terngiang di kepala.“Lex, apa kamu baik-baik saja? Apa ingin ganti posisi?” tanya wanita yang bersama Alex.“Sial!” Alex mencengkeram sprei seolah sedang meluapkan sesuatu.Alex memilih mengeluarkan miliknya, lantas bangkit dari posisi dan turun dari ranjang. Wanita yang tak sekali pernah melayani Alex, keheranan dengan sikap
Di tempat Archie berada saat ini sedang siang hari. Pria itu duduk di depan bar kecil di kota yang akan mereka jadikan sebagai tempat pembangunan pabrik. Mata pria itu menelisik dan mengawasi setiap pejalan kaki yang berlalu lalang, orang-orang di sana memang lebih suka berjalan kaki, naik sepeda, atau menunggang hewan seperti kuda dan sapi. Sungguh kota kecil yang jauh dari polusi kendaraan, serta masih terjaga ke alamiannya. Pabrik yang akan didirikan Archie tidak akan memproduksi bahan kimia atau sejenisnya, lebih tepatnya hanya untuk perakitan dan gudang senjata tersembunyi, sebab itulah akhirnya Archie bisa membujuk wali kota di sana.“Sampai kapan Anda akan duduk di sini berjam-jam?” tanya Hubert yang tak habis pikir dengan Archie. Bosnya itu sudah duduk di sana hampir dua jam, tak berniat beranjak berdiri dan terus mengamati sekitar. “Apa Anda mencurigai sesuatu?” tanya Hubert lagi karena tak mendapat jawaban dari Archie.Archie menoleh H
Sesaat sebelumnya. Selena pergi menjemput Rosie dari rumah temannya itu, tentu saja tujuannya untuk mengamuk dan memberi pelajaran pada sahabat dari masa kecilnya itu.“Ya maaf, kamu tahu sendiri Alex bagaimana. Mana bisa aku melawan.” Rosie mencoba membela diri ketika Selena terus mencecarnya.“Ya, nggak seperti itu juga, Rosie. Kamu ‘kan bisa kirim pesan agar aku tidak jadi turun.” Selena tetap tidak terima jika kemarin dirinya harus diseret pulang oleh Alex.“Hei! Mana bisa! Mata Alex saja sudah seperti mata elang yang siap menerkam, salah gerakan sedikit dalam jariku atau ucapanku, bisa-bisa dia mengadukanku ke Daddy. Oh no! Aku tidak mau!” Baginya, Rosie memang lebih memilih menuruti ucapan Alex lantas bertengkar dengan Selena, daripada kelakuannya diadukan ke sang ayah—Daniello. Ayahnya seorang pemilik klub malam, tapi Rosie selalu sembunyi-sembunyi pergi ke klub malam lain untuk bersenang-senang, karena sang
Alex yang baru saja selesai mandi karena gagal bercinta sebab memikirkan Selena, melihat ponsel berdering dan membuatnya mengerutkan dahi ketika melihat nama yang terpampang di sana.“Ada apa?” tanyanya dengan suara malas ketika ponsel menempel di telinga.“Alex, aku dan Selena dikejar pengendara bermotor. Mereka membawa senjata!” Suara Rosie terdengar begitu panik.Alex langsung membulatkan bola mata, hingga menyambar kunci mobil yang berada di atas nakas.“Di mana posisi kalian? Siapa yang menyetir?” tanya Alex dengan suara berteriak keras.“Selena, dia yang mengemudi,” jawab Rosie dari seberang panggilan.“Sial!” umpat Alex, bagaimana bisa gadis itu di tengah malam berkeliaran di jalanan. “Nyalakan pengeras suaranya, aku ingin bicara dengannya!” perintah Alex.Di dalam mobil, Rosie menatap Selena yang sedang fokus menyetir untuk menghindar dari pengendara motor
Alex mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, tentu saja karena takut terjadi sesuatu kepada Selena jika sampai terlambat datang menyelamatkan gadis itu. Ponsel yang berada di dashboard berdering, Alex menjawab tapi menggunakan pengeras suara.“Halo.”“Kami melihat mobil Selena, ada satu motor yang mensejajarinya.” Suara bawahan Alex terdengar dari seberang mereka. “Kami belum bisa mengejarnya.”Alex semakin memacu mobilnya, kini tak tahu pasti di mana posisi Selena. Hingga bawahannya mengatakan jika mereka sampai di salah satu jalan perempatan dan kemungkinan Selena akan terjebak di lampu merah. Alex memperhatikan jalan, hingga sadar jika yang dilalui secara tak langsung mengarah ke Selena berkendara.“Dia menambah kecepatan!” Suara bawahan Alex terdengar panik.“Sial! Tetap di belakangnya!” Alex mengakhiri panggilan itu.Pria itu menginjak pedal rem begitu dalam, membuat mobil
Alex meminta salah satu anak buahnya untuk mengemudikan mobil agar bisa segera memberi pertolongan pada Selena, sedangkan yang lain mengurus mobil Alex dan pemotor yang entah bagaimana nasibnya di tangan anak buah putra Sean Sayaka itu.Alex memeluk Selena, satu tangan menekan kain yang digunakan untuk menutup luka tembak di bahu gadis itu, ditatapnya Selena yang masih sadar tapi memejamkan mata seraya merintih menahan sakit.“Bertahanlah,” bisik Alex dengan terus menekan luka di bahu Selena agar tak semakin mengeluarkan darah.“Hubungi Albert, minta dia siapkan tempat untuk Selena!” perintah Alex kepada anak buahnya yang sedang menyetir.Anak buah Alex mengangguk, lantas segera melakukan apa yang diperintahkan oleh pria itu.Mobil yang membawa Selena melesat ke sebuah rumah sakit yang tak terlalu besar di kota itu. Rumah sakit milik teman orangtua Alex, di mana salah satu dokter di sana adalah teman Alex juga.Begitu