Dengan susah payah, Citra menahan rasa sakit dan linu pada pergelangan kakinya tiap kali ia menggunakan kakinya untuk berjalan. Apalagi ketika harus menaiki tangga, Citra benar-benar merasa sangat tersiksa. Ia ingin sekali menjerit, tapi karena rasa segan dan rasa takutnya pada Sakti, pada akhirnya Citra pun hanya memilih bungkam.
"Kenapa?" tanya Sakti saat memergoki ekspresi wajah Citra yang terlihat meringis saat mereka selesai melewati tangga.Mendengar itu, Citra pun buru-buru menetralkan espresi wajahnya dan di detik itu pula ia pun menggelengkan kepalanya pelan."Saya gak apa-apa kok, pak," sahut Citra yang kemudian melenggang pergi begitu saja dan berjalan mendahului Sakti.Sementara Sakti yang kini berada di belakang Citra pun terdiam untuk beberapa saat memandangi Citra lamat-lamat, sebelum kemudian ia pun melangkahkan kakinya menyusul Citra.Di dalam NICU, mereka berdua bertemu dokter yang menjelaskan kondisi terkini dan juga perkembangan kesehatan dari bayinya Sakti. Dokter mengatakan kalau setelah beberapa waktu berlalu dari pertama kali dirawat, Ginata mulai menunjukan kenaikan berat badan dan mulai bisa disusui secara langsung oleh ibunya.Pada momen itu, seorang perawat membantu Citra untuk menggendong sang bayi lalu perlahan membantu dan membertahu Citra bagaimana caranya menyusui bayi dengan baik dan benar. Situasi yang tak nyaman dan menegangkan untuk Citra itu, berubah jadi perasaan haru saat bayi mungil mulai menyesap ASI-Nya.Citra menangis tanpa suara. Hanya air mata yang mengucur begitu deras membasahi pipinya. Di satu sisi, ia menangis karena saking merasa bersyukurnya ketika bayi ringkih dalam dekapannya ini akhirnya bisa perlahan pulih. Tapi, di sisi lain ia juga merasa sangat terluka ketika kembali ingat kalau dirinya sudah tidak bisa memeluk atau bahkan menyusui putranya sendiri."Kenapa, apa ada yang sakit?" tanya Sakti sedikit khawatir.Sementara Citra hanya menggelengkan kepalanya lemah, sebagai jawaban. Kemudian, secara perlahan ia justru membelai lembut pipi Ginata, tapi dengan wajah yang berurai air mata."Kamu bohong, Citra. Ada apa sebenarnya, kenapa nangis kayak gini?" desak Sakti.Kali ini, Citra pun menolehkan wajahnya dan menatap ke arah Sakti dengan sorot mata penuh putus asa."Seorang anak... yang kehilangan orang tuanya disebut yatim atau piatu, tapi kalau orang tua yang kehilangan anaknya harus disebut apa? Melihat Ginata membuat saya kembali ingat anak saya. Lagi-lagi saya kembali dibuat tersadar, sebagai seorang ibu, saya bahkan gak punya nama yang pas untuk menamai segala sakit yang mengerikan setelah kehilangan buah hati saya sendiri."***Sesampainya di rumah, Citra mengambil langkah lebar untuk segera masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan Sakti yang setia berdiri di ambang pintu untuk waktu yang cukup lama karena meratapi perasaan hampa di hatinya setelah lagi-lagi dihadapkan kenyataan kalau pada akhirnya ia harus lagi-lagi pulang ke rumah tanpa membawa putri mungilnya.Ginata masih harus menginap di NICU, sampai kondisinya sangat memungkinkan untuk bisa dibawa pulang.Di dalam kamarnya, Citra tak lekas berganti baju. Ia hanya melepas sepatunya, lalu kemudian berbaring di atas ranjangnya dengan selimut yang ia tarik sampai menutupi seluruh tubuhnya.Hari belum terlalu malam, tapi Citra justru sudah memejamkan matanya hanya demi berusaha untuk sekadar berusaha tidur. Sebab rasa sakit di pergelangan kakinya kian terasa menyakitkan dan terasa sangat menyiksa. Karena tak punya keberanian untuk meminta pada Sakti untuk mengantarnya berobat, Citra memilih melupakan rasa sakit itu dengan tertidur.Namun, baru saja ia hendak terlelap, ketika suara ketukan pada pintu kamarnya membuat Citra kembali segar."Apa aku bisa masuk?" itu suara Sakti yang terdengar dari luar kamar.Citra sempat terdiam sejenak, sebelum kemudian menjawab 'iya' dan bergegas bangun lalu terduduk di atas pembaringannya, seiring dengan pintu kamarnya yang terbuka.Sakti melangkah masuk ke dalam kamar sembari membawa sebuah kotak kontainer kecil berwarna putih, lalu kemudian ia pun mengambil posisi duduk pada tepian ranjang."Mendekatlah," pintanya.Walau ragu, Citra pun mulai beringsut mendekat pada Sakti dengan jarak yang ia rasa sudah cukup wajar. Namun, di detik berikutnya ia terkesiap keras saat tiba-tiba Sakti justru menarik tangannya dan membuat mereka berada dalam posisi yang sangat dekat.Kemudian, tanpa seizin Citra. Sakti pun mulai membuka satu per satu kancing piyama yang dikenakan oleh Citra. Sampai ketika Sakti hendak membuka kancing keempat, Citra yang akhirnya tersadar dari keterkejutannya itu pun langsung mencekal tangan Sakti."A-Anda mau melakukan apa, Pak Sakti?" cicitnya resah. Ia manatap panik pada Sakti, sedangkan Sakti justru hanya manatapnya datar."Menurutmu aku akan melakukan apa, Citra?" sahut Sakti dingin seraya menepis tangan Citra yang menghentikan kegiatannya. Ia pun membuka kancing piyama itu seluruhnya.Alarm bahaya di kepala Citra sudah berdenging nyaring saat Sakti mulai menanggalkan piyama dari tubuhnya, tapi anehnya, Citra sama sekali tak bisa bergerak menjauh atau sekadar menampar pria itu.Tubuhnya kaku dan kepalanya mendadak kosong."P-Pak Sakti," cicitnya dengan suara tercekik.Sementara Sakti tak menanggapinya. Dengan tenangnya, ia malah membuka kontrainer kecil itu lalu mengambil sebotol obat oles dalam berbahan minyak, lalu secara perlahan ia mulai mengoleskan minyak itu pada area uluh hati dan area tulang rusuk lalu menuju perut Citra.Citra dibuat merinding saat jemari tangan Sakti menyentuh permukaan kulitnya. "Anda sedang melakukan apa?" Citra mengulangi pertanyaannya dengan tubuh yang masih kaku di tempatnya."Apa kamu gak lihat? Aku sedang mengoleskan obat," jawab Sakti ketus. Kali ini, Citra yang mulai tersadar dari keterkejutannya itu pun perlahan berdeham dan menatap tenang ke arah Sakti."Seharusnya anda gak perlu repot-repot ngobatin saya. Saya gak kenapa-kena
Pagi-pagi sekali, Sakti sudah mengajak Citra untuk berpergian. Kali ini tujuan mereka bukan ke rumah sakit, tapi ke rumah bedeng Citra."Cukup ambil berkas-berkas penting aja buat kebutuhan administrasi pendaftaran pernikahan," perintahnya begitu penuh penegasan.Sementara, Citra yang mendengar itu justru tak langsung menjawab. Ia hanya menoleh dan menatap wajah Sakti lekat-lekat untuk sekadar memastikan apa kiranya benar-benar ada jejak air mata di wajah Sakti dan ternyata...ia menemukannya. Mata pria itu sedikit sembab. Sakti benar-benar menangis semalaman.Apa dia merindukan mendiang istrinya sampai menangis diam-diam di tengah malam? Gumam Citra dalam hatinya."Denger gak apa yang aku bilang?" tanya Sakti dengan nada suara yang terdengar ketus.Seketika Citra pun tersentak dari lamunannya lalu buru-buru mengganggukan kepalanya."I-Iya saya denger," sahut Citra akhirnya. Walaupun sedikit terbata."Kamu melamun.""Saya? enggak.""Kamu menatapku juga cukup lama.""E-Enggak. Saya gak-
"Surat cerai bakal keluar setelah satu bulan. Dan begitu surat perceraiannya keluar aku bakal nikah sama Vina. Kamu jangan berani-beraninya dateng ke kampung ini lagi, Citra," ujar Badra memberikan peringatan tegas pada Citra.Citra tersenyum miring mendengar hal itu. "Gak akan. Ini terakhir kalinya aku ke sini, tenang aja. Kamu bisa hidup bahagia sama pilihanmu itu kang."Tanpa banyak bicara lagi, Citra pun bergegas keluar kamar tak sekalipun memperdulikan keberadaan Badra, walau lengan mereka sempat saling bersenggolan saat ia melewati ambang pintu."Anakmu juga," pungkas Badra lagi. Membuat Citra yang baru saja hendak membuka pintu rumah pun seketika terdiam membeku di tempatnya untuk beberapa saat. "Jangan sekalipun bawa anakmu ke hadapanku lagi. Jangan ceritakan aku ayah dari anakmu. Aku gak sudi kalo dikemudian hari dia nyari-nyari aku. Aku bakal bahagia sama Vina, kamu dan anakmu gak boleh ganggu kebahagiaan kami."Citra tersenyum kecut. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi sekuat
"Duduk dulu," pinta Sakti seraya menepuk sisi kosong pada sofa di sampingnya.Saat itu kondisinya mereka baru saja pulang ke rumah dalam kondisi hari yang sudah malam, setelah menempuh perjalan jauh dari kampung Citra. Padahal tadinya Citra ingin segera istirahat di kamarnya, tapi ketika Sakti mengajaknya untuk duduk dulu, tentu saja ia tak akan bisa menolak.Tanpa kata, ia pun melangkah mendekat pada Sakti dan mengambil posisi duduk di samping pria itu dengan sedikit memberi jarak."Ada yang mau aku tanyakan padamu," ujar Sakti seraya mengubah posisi duduknya jadi menghadap Citra. Sedangkan Citra hanya tertunduk tanpa merespon apapun.Kekesalannya pada Sakti yang belum juga reda, membuatnya enggan untuk bicara pada pria itu."Citra, apa kamu dengar ucapanku?" lanjutnya bertanya.Sementara Citra hanya menganggukan kepalanya, tanpa berniat bersuara. Ia bahkan tak sekalipun mengangkat wajahnya untuk sekadar manatap pada Sakti, dan tentunya hal itu membuat Sakti pun berada di ambang kek
"Saya hidup serba kekurangan. Padahal alasan Bapak saya menjodohkan saya dengan Kang Badra katanya supanya saya bisa hidup bahagia, tapi ternyata gak begitu hasil akhirnya. Dengan kondisi hamil, saya harus kerja jadi buruh pemetik tomat dengan upah 15 ribu aja. Uangnya kadang bisa untuk beli beras dan makan untuk hari itu, tapi besoknya harus bingung lagi. Kadang kami tak makan karena upahnya selalu Kang Badra habiskan buat beli rokok. Saya-" Citra menjeda ucapannya untuk sekadar mengambil napas karena dadanya kian sesak. Ia merasa berat untuk melanjutkan ceritanya, tapi ia pun tak punya alasan untuk berhenti menjelaskan. "Demi bisa tetap bertahan hidup, saya memaksakan diri untuk bekerja. Sampe saya gak sadar kalo tenangnya janin di dalam perut saya, bukan karena dia mengerti kalau ibunya sedang bekerja, tapi karena dia sudah lama tak bernyawa."Sakti termangu di tempatnya mendengar semua cerita hidup dari Citra. Kini Sakti mengerti kenapa Citra bisa sampai tinggal di sebuah rumah be
Sakti yang mengurungkan niatnya untuk segera pergi pun seketika kembali membuka pintu kamar itu dan berdiri di ambang pintu untuk sekadar malayangkan tatapan penuh rasa sungkannya pasa Citra."Erm... sama sepertimu. Kisah hidupku juga sedikit tak nyaman untuk didengar. Aku juga merasa cukup berat hati untuk menceritakannya, tapi nanti aku pasti akan menceritakannya padamu sedikit demi sedikit."Setelah mengatakan hal itu, tanpa menunggu respon dari Citra, Sakti pun langsung melenggang pergi dan membiarkan pintu kamar itu terayun dan menutup rapat di belakangnya.Saat itu, Sakti hanya berharap kalau Citra bisa mengerti bahwa Sakti butuh sedikit waktu untuk benar-benar merasa siap ketika membicarakan tentang hidupnya sendiri.Begitu sampai di kamarnya, Sakti langsung melempar tubuhnya ke atas tempat tidur lalu berbaring terlentang. Dengan berbantalkan lengannya sendiri, di momen itu Sakti hanya menatap nanar pada plafon kamarnya ketika pikirannya mulai melayang jauh ke hari di mana Sakt
Seorang fotografer Sakti undang ke rumah. Salah satu sudut di ruang tengah sudah disulap jadi background untuk berfoto, dilengkapi dua kursi yang kemudian diduduki oleh Sakti dan Citra dengan posisi bersebelahan."Tolong buat kami kelihatan bahagia ketika difoto," pinta Sakti pada sang fotografer.Fotografer itu pun mengangguk mengiyakan. "Kalo begitu silakan berpegangan tangan dan tersenyum seriang mungkin ke arah kamera."Citra membeku di tempatnya saat mendengar arahan itu, sedangkan Sakti justru terlihat tak merasa demikian. Sebaliknya, dia justru terlihat sangat tenang dan bahkan di detik itu dengan ringannya ia meraih tangan Citra dan menggenggamnya erat-erat."Tersenyum semanis mungkin ke arah kamera, Citra. Kesampingkan dulu rasa canggung dan gugupmu," gumam Sakti setengah berbisik. Yang kemudian menatap lurus ke arah kamera, sembari melayangkan senyuman paling manis yang ia punya.Citra yang mendengar itu pun langsung mengangguk mengerti. Walau butuh waktu beberapa saat untuk
"Namanya Tiana. Dia wanita paling cantik dan baik hati yang pernah aku temui, maka dari itu aku sangat mencintainya. Aku merasa sangat kehilangannya, tapi Citra... dengan bertanya kayak gitu, sama halnya dengan kamu yang mengkhawatirkan hal yang gak perlu kamu pikirkan. Aku yakin Tiana akan merasa bahagia karena melihat Ginata punya ibu lagi. Jadi, jangan terlalu membebani dirimu dengan pikiran buruk, Citra, kamu hanya perlu jadi istriku. Itu sudah cukup."Citra menatap wajah Sakti lekat-lekat saat pria itu bercerita, dan yang ia temui adalah sorot mata penuh kerinduan yang terlihat putus asa di kedua mata hitam Sakti. Ia bahkan bisa melihat perasaan cinta Sakti pada Tiana sebesar dan setulus itu."Anda pasti sangat merindukannya? Dari cerita anda aja, saya udah merasa kalo mendiang ibunya Ginata adalah perempuan hebat. Saya jadi mempertanyakan kemampuan diri saya sendiri, takut kalau saya tak bisa jadi peran ibu yang hebat untuk Gina.""Baik kamu ataupun aku, kita masih sama-sama bel