"Apa kamu bisa ngerti semuanya?" tanyanya memastikan.
Sakti mengajari Citra bagaimana cara berjalan yang harus anggun dan bermartabat, mengajari table manner dan mengajari memadupadankan pakaian sesuai jenis acara yang akan didatangi.Di momen itu, Citra duduk perlahan pada tepian tempat tidur lalu kemudian ia pun menggelengkan kepalanya lemah."Saya belum bisa ngerti semuanya. Cara berjalan mungkin bisa saya pelajari lebih cepat, tapi untuk yang lainnya... kayaknya saya butuh waktu lebih lama dari itu." Citra menjawab dengan takut-takut, ia bahkan tak berani menengadahkan wajahnya untuk menatap Sakti yang pasti kesal setelah mengajarinya banyak hal tapi tak satupun dari semua hal itu bisa Citra pelajari dengan baik.Helaan napas kasar kemudian terdengar dari Sakti."Gak ada tambahan waktu, Citra. Pelajari semua itu secepatnya, tak peduli sekalipun itu sulit bagimu. Aku gak mau tahu, kamu harus bisa semua hal yang kuajari tadi," tegasnya tanpa bisa diganggu gugat.Nada suara Sakti yang sedikit meninggi itu sempat membuat Citra berjengit terkejut dan semakin membuatnya ketakutan. Citra takut akan dimarahi oleh Sakti."Tapi, saya cuma orang kampung, pak. Saya gak pernah pake baju bagus ke acara-acara penting seperti bapak, mana mungkin saya bisa mudah mempelajari semua itu. Saya-""Kamu terlalu banyak alasan, Citra," desis Sakti tak suka. Ia melayangkan tatapan dinginnya pada Citra dan membuat perempuan muda itu jadi bungkam seketika. "Tidakkah harusnya kamu merasa bersyukur setelah aku memberikanmu bantuan sebesar itu, ketika suami kamu bahkan tak memperdulikan nyawamu? Jangan membantahku, Citra! Lakukan saja apa yang aku minta. Perlu berapa kali lagi harus aku tegaskan seperti apa peranmu, ha?" lanjut Sakti membentak.Citra kembali dibuat berjengit karena nada suara Sakti yang meninggi. Kepalanya semakin tertunduk dalam, semakin segan dan takut pada kemarahan Sakti."Maaf, pak Sakti," cicitnya menyesal."Kamu perempuan menyedihkan, Citra. Pantas saja kamu hidup miskin dan menikah dengan laki-laki tukang pukul seperti suami kamu itu," pungkas Sakti begitu kejamnya lalu melenggang pergi begitu saja keluar dari kamar tanpa sekalipun memikirkan hati Citra yang mungkin terluka karenanya.***Berulang kali, Citra terhuyung dan jatuh karena berusaha berjalan sebaik mungkin menggunakan sepatu highheels hanya demi bisa berjalan dengan anggun menggunakan sepatu dengan hak setinggi 13 senti itu.Citra ingin menunjukan pada Sakti kalau pria itu salah tentangnya. Ia ingin menunjukan kalau hidupnya sengsara bukan karena dirinya yang terlahir menyedihkan."Sakit," cicitnya.Dengan nelangsa, Citra memijat pergelangan kakinya yang memar karena tak masih saja belum bisa seimbang saat menggunakan high heels, membuat pergelangan kakinya itu keseleo dan menyebabkan rasa sakit yang tak tertahankan.Sebutir air mata meleleh membasahi pipi Citra. Ia merasa sangat putus asa dengan situasi ini, tapi ia juga cukup sadar kalau ia sudah terlanjur terjebak. Citra tak mungkin bisa keluar dari situasi menyesakkan ini, ketika hidup dan matinya bahkan sudah berada dalam kendali seorang Sakti Andhikara.Suara ketukan pintu pun terdengar.Citra buru-buru menyeka air matanya dan kemudian bergegas bangkit berdiri karena ia tahu kalau itu pasti adalah Sakti."Apa kamu sedang tidur?" tanya Sakti di luar kamar."Enggak sama sekali, pak. Buka aja pintunya," jawab Citra.Pintu pun kemudian terbuka lebar-lebar, menampilkan Sakti yang sudah tampak rapi, seperti hendak pergi ke luar."Kamu cepet siap-siap. Kita ke rumah sakit buat ketemu Ginata," ajaknya yang terdengar seperti sebuah perintah yang tentu saja tak bisa Citra tolak."Baik pak."Tanpa membuang waktu, Citra pun bergegas masuk ke walkin closet untuk bersiap-siap. Ia memakai baju baru yang ada di dalam lemari. Sebuah dress sederhana berbahan sifon sutera berwarna nude dengan jenis neckline berbentuk persegi yang membuat Citra tampak anggun ketika mengenakannya, lalu tak lupa, Citra juga mengenakan sepatu slip on dengan hak setinggi 3 senti yang membuat penampilannya kian manis.Setidaknya ia pikir, ia sudah mulai sedikit mencapai kriteria penampilan yang cocok saat berjalan beriringan dengan seorang Sakti.Saat keluar dari ruang ganti, Sakti yang sedari tadi menunggunya pun sempat menatap penampilan Citra dari ujung kepala sampai ujung kaki."Lumayan. Kamu sepertinya sudah mulai bisa paham estetika berpakaian seperti yang aku ajarkan," komentarnya.Citra mengulas senyum tipis, merasa lega untuk beberapa saat karena Sakti yang menyambut baik progresnya."Saya akan berusaha lebih keras lagi supaya bisa sesuai keinginan pak Sakti.""Memang seharusnya begitu. Tapi ada satu hal yang kurang dari penampilan kamu ini-" Kemudian Sakti pun berjalan menghampiri dan berdiri menjulang tepat di depan wajah Citra, sehingga membuat perempuan yang tubuhnya mungil itu terhenyak. Jarak yang terlalu dekat membuat Citra benar-benar jadi kaku di tempatnya."P-Pak... apa yang mau anda lakukan?" tanya Citra tergagap.Citra bahkan mulai panik ketika Sakti mengulurkan tangannya ke belakang kepala dan... seketika itu pula rambut hitam Citra yang panjang itu langsung terurai begitu saja karena Sakti yang tanpa aba-aba menarik ikat rambutnya."Biarkan rambutnya terurai seperti ini. Rambut cantikmu jangan selalu dibiarkan diikat," ujar Sakti lalu dengan ringannya. Tanpa sekalipun menyadari keterkejutan Citra karena perlakuan tiba-tiba darinya.Dengan susah payah, Citra menahan rasa sakit dan linu pada pergelangan kakinya tiap kali ia menggunakan kakinya untuk berjalan. Apalagi ketika harus menaiki tangga, Citra benar-benar merasa sangat tersiksa. Ia ingin sekali menjerit, tapi karena rasa segan dan rasa takutnya pada Sakti, pada akhirnya Citra pun hanya memilih bungkam."Kenapa?" tanya Sakti saat memergoki ekspresi wajah Citra yang terlihat meringis saat mereka selesai melewati tangga.Mendengar itu, Citra pun buru-buru menetralkan espresi wajahnya dan di detik itu pula ia pun menggelengkan kepalanya pelan."Saya gak apa-apa kok, pak," sahut Citra yang kemudian melenggang pergi begitu saja dan berjalan mendahului Sakti.Sementara Sakti yang kini berada di belakang Citra pun terdiam untuk beberapa saat memandangi Citra lamat-lamat, sebelum kemudian ia pun melangkahkan kakinya menyusul Citra.Di dalam NICU, mereka berdua bertemu dokter yang menjelaskan kondisi terkini dan juga perkembangan kesehatan dari bayinya Sakti. Dokter
Alarm bahaya di kepala Citra sudah berdenging nyaring saat Sakti mulai menanggalkan piyama dari tubuhnya, tapi anehnya, Citra sama sekali tak bisa bergerak menjauh atau sekadar menampar pria itu.Tubuhnya kaku dan kepalanya mendadak kosong."P-Pak Sakti," cicitnya dengan suara tercekik.Sementara Sakti tak menanggapinya. Dengan tenangnya, ia malah membuka kontrainer kecil itu lalu mengambil sebotol obat oles dalam berbahan minyak, lalu secara perlahan ia mulai mengoleskan minyak itu pada area uluh hati dan area tulang rusuk lalu menuju perut Citra.Citra dibuat merinding saat jemari tangan Sakti menyentuh permukaan kulitnya. "Anda sedang melakukan apa?" Citra mengulangi pertanyaannya dengan tubuh yang masih kaku di tempatnya."Apa kamu gak lihat? Aku sedang mengoleskan obat," jawab Sakti ketus. Kali ini, Citra yang mulai tersadar dari keterkejutannya itu pun perlahan berdeham dan menatap tenang ke arah Sakti."Seharusnya anda gak perlu repot-repot ngobatin saya. Saya gak kenapa-kena
Pagi-pagi sekali, Sakti sudah mengajak Citra untuk berpergian. Kali ini tujuan mereka bukan ke rumah sakit, tapi ke rumah bedeng Citra."Cukup ambil berkas-berkas penting aja buat kebutuhan administrasi pendaftaran pernikahan," perintahnya begitu penuh penegasan.Sementara, Citra yang mendengar itu justru tak langsung menjawab. Ia hanya menoleh dan menatap wajah Sakti lekat-lekat untuk sekadar memastikan apa kiranya benar-benar ada jejak air mata di wajah Sakti dan ternyata...ia menemukannya. Mata pria itu sedikit sembab. Sakti benar-benar menangis semalaman.Apa dia merindukan mendiang istrinya sampai menangis diam-diam di tengah malam? Gumam Citra dalam hatinya."Denger gak apa yang aku bilang?" tanya Sakti dengan nada suara yang terdengar ketus.Seketika Citra pun tersentak dari lamunannya lalu buru-buru mengganggukan kepalanya."I-Iya saya denger," sahut Citra akhirnya. Walaupun sedikit terbata."Kamu melamun.""Saya? enggak.""Kamu menatapku juga cukup lama.""E-Enggak. Saya gak-
"Surat cerai bakal keluar setelah satu bulan. Dan begitu surat perceraiannya keluar aku bakal nikah sama Vina. Kamu jangan berani-beraninya dateng ke kampung ini lagi, Citra," ujar Badra memberikan peringatan tegas pada Citra.Citra tersenyum miring mendengar hal itu. "Gak akan. Ini terakhir kalinya aku ke sini, tenang aja. Kamu bisa hidup bahagia sama pilihanmu itu kang."Tanpa banyak bicara lagi, Citra pun bergegas keluar kamar tak sekalipun memperdulikan keberadaan Badra, walau lengan mereka sempat saling bersenggolan saat ia melewati ambang pintu."Anakmu juga," pungkas Badra lagi. Membuat Citra yang baru saja hendak membuka pintu rumah pun seketika terdiam membeku di tempatnya untuk beberapa saat. "Jangan sekalipun bawa anakmu ke hadapanku lagi. Jangan ceritakan aku ayah dari anakmu. Aku gak sudi kalo dikemudian hari dia nyari-nyari aku. Aku bakal bahagia sama Vina, kamu dan anakmu gak boleh ganggu kebahagiaan kami."Citra tersenyum kecut. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi sekuat
"Duduk dulu," pinta Sakti seraya menepuk sisi kosong pada sofa di sampingnya.Saat itu kondisinya mereka baru saja pulang ke rumah dalam kondisi hari yang sudah malam, setelah menempuh perjalan jauh dari kampung Citra. Padahal tadinya Citra ingin segera istirahat di kamarnya, tapi ketika Sakti mengajaknya untuk duduk dulu, tentu saja ia tak akan bisa menolak.Tanpa kata, ia pun melangkah mendekat pada Sakti dan mengambil posisi duduk di samping pria itu dengan sedikit memberi jarak."Ada yang mau aku tanyakan padamu," ujar Sakti seraya mengubah posisi duduknya jadi menghadap Citra. Sedangkan Citra hanya tertunduk tanpa merespon apapun.Kekesalannya pada Sakti yang belum juga reda, membuatnya enggan untuk bicara pada pria itu."Citra, apa kamu dengar ucapanku?" lanjutnya bertanya.Sementara Citra hanya menganggukan kepalanya, tanpa berniat bersuara. Ia bahkan tak sekalipun mengangkat wajahnya untuk sekadar manatap pada Sakti, dan tentunya hal itu membuat Sakti pun berada di ambang kek
"Saya hidup serba kekurangan. Padahal alasan Bapak saya menjodohkan saya dengan Kang Badra katanya supanya saya bisa hidup bahagia, tapi ternyata gak begitu hasil akhirnya. Dengan kondisi hamil, saya harus kerja jadi buruh pemetik tomat dengan upah 15 ribu aja. Uangnya kadang bisa untuk beli beras dan makan untuk hari itu, tapi besoknya harus bingung lagi. Kadang kami tak makan karena upahnya selalu Kang Badra habiskan buat beli rokok. Saya-" Citra menjeda ucapannya untuk sekadar mengambil napas karena dadanya kian sesak. Ia merasa berat untuk melanjutkan ceritanya, tapi ia pun tak punya alasan untuk berhenti menjelaskan. "Demi bisa tetap bertahan hidup, saya memaksakan diri untuk bekerja. Sampe saya gak sadar kalo tenangnya janin di dalam perut saya, bukan karena dia mengerti kalau ibunya sedang bekerja, tapi karena dia sudah lama tak bernyawa."Sakti termangu di tempatnya mendengar semua cerita hidup dari Citra. Kini Sakti mengerti kenapa Citra bisa sampai tinggal di sebuah rumah be
Sakti yang mengurungkan niatnya untuk segera pergi pun seketika kembali membuka pintu kamar itu dan berdiri di ambang pintu untuk sekadar malayangkan tatapan penuh rasa sungkannya pasa Citra."Erm... sama sepertimu. Kisah hidupku juga sedikit tak nyaman untuk didengar. Aku juga merasa cukup berat hati untuk menceritakannya, tapi nanti aku pasti akan menceritakannya padamu sedikit demi sedikit."Setelah mengatakan hal itu, tanpa menunggu respon dari Citra, Sakti pun langsung melenggang pergi dan membiarkan pintu kamar itu terayun dan menutup rapat di belakangnya.Saat itu, Sakti hanya berharap kalau Citra bisa mengerti bahwa Sakti butuh sedikit waktu untuk benar-benar merasa siap ketika membicarakan tentang hidupnya sendiri.Begitu sampai di kamarnya, Sakti langsung melempar tubuhnya ke atas tempat tidur lalu berbaring terlentang. Dengan berbantalkan lengannya sendiri, di momen itu Sakti hanya menatap nanar pada plafon kamarnya ketika pikirannya mulai melayang jauh ke hari di mana Sakt
Seorang fotografer Sakti undang ke rumah. Salah satu sudut di ruang tengah sudah disulap jadi background untuk berfoto, dilengkapi dua kursi yang kemudian diduduki oleh Sakti dan Citra dengan posisi bersebelahan."Tolong buat kami kelihatan bahagia ketika difoto," pinta Sakti pada sang fotografer.Fotografer itu pun mengangguk mengiyakan. "Kalo begitu silakan berpegangan tangan dan tersenyum seriang mungkin ke arah kamera."Citra membeku di tempatnya saat mendengar arahan itu, sedangkan Sakti justru terlihat tak merasa demikian. Sebaliknya, dia justru terlihat sangat tenang dan bahkan di detik itu dengan ringannya ia meraih tangan Citra dan menggenggamnya erat-erat."Tersenyum semanis mungkin ke arah kamera, Citra. Kesampingkan dulu rasa canggung dan gugupmu," gumam Sakti setengah berbisik. Yang kemudian menatap lurus ke arah kamera, sembari melayangkan senyuman paling manis yang ia punya.Citra yang mendengar itu pun langsung mengangguk mengerti. Walau butuh waktu beberapa saat untuk