Share

7. Bukan Perempuan Menyedihkan

"Apa kamu bisa ngerti semuanya?" tanyanya memastikan.

Sakti mengajari Citra bagaimana cara berjalan yang harus anggun dan bermartabat, mengajari table manner dan mengajari memadupadankan pakaian sesuai jenis acara yang akan didatangi.

Di momen itu, Citra duduk perlahan pada tepian tempat tidur lalu kemudian ia pun menggelengkan kepalanya lemah.

"Saya belum bisa ngerti semuanya. Cara berjalan mungkin bisa saya pelajari lebih cepat, tapi untuk yang lainnya... kayaknya saya butuh waktu lebih lama dari itu." Citra menjawab dengan takut-takut, ia bahkan tak berani menengadahkan wajahnya untuk menatap Sakti yang pasti kesal setelah mengajarinya banyak hal tapi tak satupun dari semua hal itu bisa Citra pelajari dengan baik.

Helaan napas kasar kemudian terdengar dari Sakti.

"Gak ada tambahan waktu, Citra. Pelajari semua itu secepatnya, tak peduli sekalipun itu sulit bagimu. Aku gak mau tahu, kamu harus bisa semua hal yang kuajari tadi," tegasnya tanpa bisa diganggu gugat.

Nada suara Sakti yang sedikit meninggi itu sempat membuat Citra berjengit terkejut dan semakin membuatnya ketakutan. Citra takut akan dimarahi oleh Sakti.

"Tapi, saya cuma orang kampung, pak. Saya gak pernah pake baju bagus ke acara-acara penting seperti bapak, mana mungkin saya bisa mudah mempelajari semua itu. Saya-"

"Kamu terlalu banyak alasan, Citra," desis Sakti tak suka. Ia melayangkan tatapan dinginnya pada Citra dan membuat perempuan muda itu jadi bungkam seketika. "Tidakkah harusnya kamu merasa bersyukur setelah aku memberikanmu bantuan sebesar itu, ketika suami kamu bahkan tak memperdulikan nyawamu? Jangan membantahku, Citra! Lakukan saja apa yang aku minta. Perlu berapa kali lagi harus aku tegaskan seperti apa peranmu, ha?" lanjut Sakti membentak.

Citra kembali dibuat berjengit karena nada suara Sakti yang meninggi. Kepalanya semakin tertunduk dalam, semakin segan dan takut pada kemarahan Sakti.

"Maaf, pak Sakti," cicitnya menyesal.

"Kamu perempuan menyedihkan, Citra. Pantas saja kamu hidup miskin dan menikah dengan laki-laki tukang pukul seperti suami kamu itu," pungkas Sakti begitu kejamnya lalu melenggang pergi begitu saja keluar dari kamar tanpa sekalipun memikirkan hati Citra yang mungkin terluka karenanya.

***

Berulang kali, Citra terhuyung dan jatuh karena berusaha berjalan sebaik mungkin menggunakan sepatu highheels hanya demi bisa berjalan dengan anggun menggunakan sepatu dengan hak setinggi 13 senti itu.

Citra ingin menunjukan pada Sakti kalau pria itu salah tentangnya. Ia ingin menunjukan kalau hidupnya sengsara bukan karena dirinya yang terlahir menyedihkan.

"Sakit," cicitnya.

Dengan nelangsa, Citra memijat pergelangan kakinya yang memar karena tak masih saja belum bisa seimbang saat menggunakan high heels, membuat pergelangan kakinya itu keseleo dan menyebabkan rasa sakit yang tak tertahankan.

Sebutir air mata meleleh membasahi pipi Citra. Ia merasa sangat putus asa dengan situasi ini, tapi ia juga cukup sadar kalau ia sudah terlanjur terjebak. Citra tak mungkin bisa keluar dari situasi menyesakkan ini, ketika hidup dan matinya bahkan sudah berada dalam kendali seorang Sakti Andhikara.

Suara ketukan pintu pun terdengar.

Citra buru-buru menyeka air matanya dan kemudian bergegas bangkit berdiri karena ia tahu kalau itu pasti adalah Sakti.

"Apa kamu sedang tidur?" tanya Sakti di luar kamar.

"Enggak sama sekali, pak. Buka aja pintunya," jawab Citra.

Pintu pun kemudian terbuka lebar-lebar, menampilkan Sakti yang sudah tampak rapi, seperti hendak pergi ke luar.

"Kamu cepet siap-siap. Kita ke rumah sakit buat ketemu Ginata," ajaknya yang terdengar seperti sebuah perintah yang tentu saja tak bisa Citra tolak.

"Baik pak."

Tanpa membuang waktu, Citra pun bergegas masuk ke walkin closet untuk bersiap-siap. Ia memakai baju baru yang ada di dalam lemari. Sebuah dress sederhana berbahan sifon sutera berwarna nude dengan jenis neckline berbentuk persegi yang membuat Citra tampak anggun ketika mengenakannya, lalu tak lupa, Citra juga mengenakan sepatu slip on dengan hak setinggi 3 senti yang membuat penampilannya kian manis.

Setidaknya ia pikir, ia sudah mulai sedikit mencapai kriteria penampilan yang cocok saat berjalan beriringan dengan seorang Sakti.

Saat keluar dari ruang ganti, Sakti yang sedari tadi menunggunya pun sempat menatap penampilan Citra dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Lumayan. Kamu sepertinya sudah mulai bisa paham estetika berpakaian seperti yang aku ajarkan," komentarnya.

Citra mengulas senyum tipis, merasa lega untuk beberapa saat karena Sakti yang menyambut baik progresnya.

"Saya akan berusaha lebih keras lagi supaya bisa sesuai keinginan pak Sakti."

"Memang seharusnya begitu. Tapi ada satu hal yang kurang dari penampilan kamu ini-" Kemudian Sakti pun berjalan menghampiri dan berdiri menjulang tepat di depan wajah Citra, sehingga membuat perempuan yang tubuhnya mungil itu terhenyak. Jarak yang terlalu dekat membuat Citra benar-benar jadi kaku di tempatnya.

"P-Pak... apa yang mau anda lakukan?" tanya Citra tergagap.

Citra bahkan mulai panik ketika Sakti mengulurkan tangannya ke belakang kepala dan... seketika itu pula rambut hitam Citra yang panjang itu langsung terurai begitu saja karena Sakti yang tanpa aba-aba menarik ikat rambutnya.

"Biarkan rambutnya terurai seperti ini. Rambut cantikmu jangan selalu dibiarkan diikat," ujar Sakti lalu dengan ringannya. Tanpa sekalipun menyadari keterkejutan Citra karena perlakuan tiba-tiba darinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status