Share

Hari Pernikahan

Di dalam sebuah kamar, seorang gadis duduk terdiam di depan cermin. Di depannya ada banyak peralatan make up yang tergeletak di atas meja. Dua orang perias sibuk memoleskan eye shadaow, blush on dan lipstik di wajah gadis itu. Sedangkan orang yang satunya lagi tampak sibuk membetulkan kebaya pengantin yang dikenakan oleh calon pengantin wanita tersebut.

Gadis itu tampak begitu cantik dengan kebaya pengantin berwarna perak yang menjulur panjang di bagian belakang itu, kini melekat indah di tubuh rampingnya.

Saking cantiknya, sang penata rias pun takjub memandangi hasil dari mahakaryanya yang paripurna itu terlihat begitu sempurna.

Dengan kulitnya yang kuning langsat ciri khas orang Indonesia, bibirnya yang tipis, hidungnya yang mancung tapi mungil. Belum lagi gigi gingsul di sebelah kanan yang menambah kesan cantik wajah gadis tersebut.

Hanya dengan polesan sederhana yang terkesan natural, pada dasarnya gadis itu memang sudah cantik. Sehingga sang penata rias pun tidak perlu melakukan banyak aplikasi di riasannya. Dan hasilnya pun sangat memuaskan.

"Wah, Nona benar-benar cantik sekali," ujar salah satu penata rias sambil terus memandang takjub gadis yang masih terdiam mematung di tempatnya itu.

Sementara gadis yang dipuji pun hanya mengulas senyum menanggapinya. Ia mentapa kosong ke arah bayangan dirinya yang terpantul di dalam cermin.

"Saya yakin, calon suami Anda pasti akan terpesona melihat kecantikan Anda yang begitu sempurna ini. Dia sangat beruntung bisa menikahi Anda. Andai saya laki-laki, saya pun bisa langsung jatuh cinta dengan sekali melihat Anda, Nona!" ujar perias itu tak henti-hentinya menganggumi gadis itu.

Gadis berusia dua puluh satu tahunan itu hanya tersenyum kecut mendengar segala pujian itu. Ia tetap terdiam dan tidak peduli apa yang perias itu katakan. Bukan ia tidak suka pujian itu, akan tetapi, gadis itu kini masih merasa sedikit ragu dan bimbang dengan keputusan yang ia ambil kemarin.

Sungguh ia masih merasa tidak percaya, kalau dirinya sebentar lagi akan menikah dengan orang yang tidak ia cintai. Jangankan mencintai, mengenalnya pun tidak. Dan ia juga tidak tau seperti apa sosok laki-laki yang akan menjadi calon suaminya nanti.

Mungkin semua ini terlihat konyol dan terkesan sangat bodoh. Kenapa ia mau melakukan semua ini? Ya, kalau bukan demi biaya pendidikan adiknya, mungkin Ia tidak akan menerima tawaran dari Bu Amanda.

Akan tetapi ... sudahlah. Sekarang ini sudah kepalang basah. Sehingga membuatnya mau tidak mau tetap harus melanjutkan acara pernikahan ini.

Tok-tok, tok ... !

Sekètika itu Raysa terkesiak kaget dan tersadar dari lamunannya. Ketika mendengar ada suara ketukan pintu, ia pun menoleh dan melihat ada seorang gadis dengan raut wajah sedihnya masuk ke dalam kamar.

"Mbak, apakah Mbak yakin akan tetap melakukan pernikahan ini?" tanya Anggia masih meragukan keputusan Kakaknya.

Sembari memaksakan seyum manis di bibir, sebenarnya gadis itu juga masih merasa ragu. Namun, ia tetap berusaha untuk tersenyum di depan adiknya ini.

Lalu, sembari mengangguk mantap, ia pun berkata, "Dengarkan aku, Gia! Mbak sudah mantap dan sangat siap untuk menikah dengan anaknya Bu Amanda. Jadi, kamu gak perlu merasa khawatir. Semuanya pasti akan baik-baik saja, Ok?"

Dengan berat hati, gadis cantik yang baru lulus SMK itu hanya bisa mengangguk dan menghela nafas berat.

"Andai saja Ibu belum meninggal, mungkin Mbak gak perlu melakukan pernikahan palsu ini," ucapnya dengan menunduk sedih, perlahan cairan bening seperti kristal mulai membasahi pipi.

"Hey, kamu ini kenapa sih? Ini adalah hari penting buatku, kenapa kamu malah menangis seperti ini, huh?" Raysa mengangkat dagu adiknya, lalu ia mengusap cairan bening itu dengan tangannya.

Kemudian ia memegang kedua bahu gadis yang kini sedang terduduk di bangku yang ada di hadapannya, seraya berkata, "Seharusnya kamu merasa bahagia karena Mbakmu yang hanya orang biasa ini bisa menikah dengan seorang pangeran tampan seperti anaknya Bu Amanda itu, tau!"

Lagi-lagi Raysa berusaha untuk menghiburnya.

"Pangeran apaan? Ya, kalau beneran dia tampan, kalau jelek gimana?" celetuk Anggia mencebikan bibir.

"Ya, gak papa, yang terpentingkan dia kaya." Sembari terkekeh ia terus menanggapi perkataan adiknya itu dengan candaan.

"Tapi, apakah Mbak sudah tau? Yang aku denger anaknya Bunda Amanda itu udah tua loh, Mbak. Dan kalau tidak salah ... umurnya aja udah 32 tahun. Sedangkan Mbak masih 21 tahun. Apakah itu gak ketuaan, Mbak?"

"Alah, kalau itu sih gak usah dipikirin, Gia! Ya, anggap aja kalau Mbakmu ini menikah dengan sugar daddy biar kaya cerita di novel-novel gitu."

"Dih, kebanyakan baca novel romance. Jadi mulai ngehalu dia," cibir Anggia. Lalu, keduanya pun tertawa.

"Sudah siap, Sayang?" tanya Amanda yang tiba-tiba saja sudah berada di ambang pintu.

Sontak kedua kakak beradik itu menoleh ke arahnya. Lalu, Raysa pun mengangguk pelan.

"Baiklah, ayo kita turun sekarang! Karena ijab kabul akan segera dilaksanakan." Dengan sangat lembut dan sayang, Amanda memeluk pundak gadis yang akan menjadi mentunya itu. Lalu, ia membawanya untuk segera turun ke lantai bawah.

Di mana di lantai bawah itulah sudah ada banyak tamu undangan yang duduk menunggu kedatangan sang calon pengantin wanita untuk duduk di pelaminan.

Sementara di pelaminan, tampaklah seorang pemuda gagah duduk di atas kursi roda yang menghadap ke Pak penghulu. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu dingin dan datar. Tidak ada rona kebahagiaan yang terpancar di wajahnya kini.

Sungguh ini sangat berbeda dengan calon pengantin yang lainnya, di mana biasanya sang calon pengantin akan terlihat begitu sumringah, bahagia dan juga gugup ketika akan melakukan sesi ijab kabul nanti.

Di dalam hati lelaki itu, sungguh merasa tertekan. Karena ia tak kuasa menolak keinginan dari orangtuanya untuk menikahi gadis itu. Jika ia menolak, kedua orang tuanya mengancam akan menarik segala aset materi dan memblokir semua rekeningnya.

Sehingga otomatis membuatnya merasa tidak ada pilihan dan dengan terpaksa mau tidak mau ia harus melakukan pernikahan ini.

Suara kasak kusuk tamu undang mulai terdengar riuh di saat semua orang melihat sang calon penganti wanita itu sedang berjalan menuju pelaminan.

Namun, Rafael seolah acuh. Ia tak mau menoleh sedikit pun ke arah wanita itu. Sehingga membuat pemuda berkemeja hitam yang duduk di belakangnya itu mulai ingin menggodanya.

"Hey, Bro, liat! Itu calon pengantinmu sudah datang," celetuknya sembari menatap kagum wanita tersebut. "Wah ... gak nyangka ternyata calon istrimu cantik juga," selorohnya.

Sehingga membuat lelaki berjas perak itu reflek ikut menoleh ke arah gadis yang akan menjadi istrinya nanti. Untuk sesaat ia tertegun, merasa cukup terpesona olehnya.

Ia tak mengira kalau calon pengantin penggantinya itu ternyata mempunyai paras wajah yang sangat cantik.

Dengan tinggi badan yang terbilang standar, yaitu hanya sekitar 157 cm. Namun, aura kecantikan gadis itu begitu terpancar, ia terlihat ramping dan cukup anggun mengenakan kebaya pengantin yang senada dengan pakaian yang dikenakannya.

Hingga tanpa sadar, kini gadis itu sudah duduk di sebelahnya, tetapi ia masih saja terus terbengong menatapnya. Sampai membuat semua orang tertawa geli melihat tingkah konyolnya itu.

"Ekhem-hem! Kedip, Bro! Ngeliatinya biasa aja kali?" ujar Dandy mengejeknya.

Seketika itu, Rafael baru tersadar dari lamunannya. Kemudian ia merasa grogi dan salah tingkah.

"Baiklah, mari kita mulai acara ijab kobulnya!" ucap si Pak penghulu.

"Sudah siap, Nak Rafa?"

Dengan sedikit gugup, pria itu mengangguk.

"Saudara Rafael Aditama Putra, saya nikah dan kawinkan dengan saudari Raysa Atia Mega bin -- dengan mas kawin sebesar seratus juta dibayar tunai."

"Saya terima --"

"Sah?"

"Sah!" sahut semua orang.

"Tidak sah!" ucap salah seorang wanita membuat semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara.

Lalu, mereka pun melihat ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status