Share

Tawaran Bu Amanda

Di sebuah rumah yang terlihat sangat mewah dan megah. Tampak dua orang gadis yang sedang terduduk di ruang tamu menunggu sang tuan rumah untuk datang menemuinya. Dua gadis beda usia itu adalah kakak beradik, anak dari Laela Sari mantan pelayan di rumah tersebut.

Amanda dan Aditama memang sengaja mengundang dua gadis tersebut untuk datang ke rumah. Karena keduanya ingin membicarakan sesuatu hal yang sangat penting dengan kedua gadis cantik itu.

"Hay-hay, hallo ... cantik!" sapa Amanda. Dengan senyum sumringah menyambut hangat kedua tamunya.

"Ya, hallo, Tuan, Nyonya. Eh, Bu Manda," jawab Raysa balas tersenyum ramah sembari bersalaman dengan sepasang suami istri itu.

Begitu juga dengan adiknya yang benama Anggia Sari pun melakukan hal yang sama dengannya.

"Ih, jangan panggil kami Tuan ataupun Nyonya dong! Panggil saya Bunda Manda dan Pak Tama saja, ok!" kata Amanda sembari menjatuhkan bokongnya di atas sofa yang berada tepat di depan kedua gadis tersebut.

Sedangkan sang suaminya pun ikut duduk di sebelahnya.

"Ayo-ayo silahkan duduk. Eh, belum dibuatin minuman, ya? Bik ... Bik Ijah!" seru Amanda.

"Eh, tidak usah repot-repot, Bunda!" cegah Raysa.

Terlihat seorang wanita yang menggunakan seragam pelayan menghampiri sang Nyonya. "Iya, Nyonya," jawabnya.

"Ih, kamu ini bagaimama? Masa ada tamu gak kamu buatin minuman, sih?"

"Eh, iya ya maaf, Nyonya! Nona-nona mau minum apa?" Dengan tersenyum canggung, pelayan itu menoleh ke arah Raysa dan Anggia.

"Oh, air putih saja, Mbak." Lagi-lagi Raysa-lah yang selalu menjawab. Sedangkan sang adik hanya terdiam dan mengulas senyum saja.

"Ih, masa cuma air putih saja, sih? Udah sana, Bik. Tolong buatin 4 gelas orange jus saja, ok?" titah Amanda.

"Baik, Nyonya."

Setelah kepergian pelayan itu, Amanda kembali menoleh ke arah dua gadis tersebut. "Jadi, begini Raysa. Maksud kami memanggilmu datang ke sini adalah, saya ingin meminta bantuan kepada kamu."

"Dan kami harap kamu bersedia membantu kami," sahut Aditama.

"Tentu saja saya bersedia, Pak," tanpa berfikir panjang Raysa langsung menyanggupinya. Padahal ia tidak tau bantuan yang seperti apa yang akan diajukan oleh kedua mantan majikan dari mendiang ibunya.

"Oh, syukurlah kalau begitu." Amanda merasa senang.

"Tapi maaf, Bun, Pak. Kalau boleh kami tau bantuan yang seperti apa yang bisa kami lakukan untuk Anda?" sela Anggia yang sedari tadi hanya terdiam saja, kini mulai angkat bicara.

"Em ... jadi begini ...." Dengan sedikit resah Amanda masih tampak ragu untuk mengutarakan keinginannya.

Sehingga membuat suaminya itu menganggukan kepala memberi dukungan untuk memantapkan keinginannya itu.

Amanda pun ikut menganggukan kepalanya dengan mantap. Lalu, ia kembali menoleh ke arah dua gadis itu.

Sementara dua kakak beradik itu merasa kebingungan dan juga sangat penasaran menunggu jawaban dari wanita tersebut.

"Jadi begini, Raysa. Anak saya Rafa akan menikah beberapa hari lagi. Namun, karena kecelakaan satu bulan yang lalu, hingga membuat calon istrinya itu malah mengalami koma."

"Hah, ko-koma!" pekik kedua gadis itu tampak syok mendengarnya.

"Iya." Amanda mengangguk lemas.

"Lalu, apa kaitannya dengan kami, Bun?" tanya Anggia.

"Kami ingin meminta Raysa agar mau menjadi pengantin pengganti anak kami nanti," sahut Aditama.

"Apa?! Pe-penganti pengganti!" pekik keduanya secara bersamaan kembali merasa sangat syok.

"Iya, saya mohon Raysa! Hanya inilah jalan satu-satunya agar pernikahan anak kami tetap berjalan sesuai dengan rencana. Karena jika sampai pernikahan itu gagal, kami pasti akan merasa sangat malu. Udangan sudah terlanjur disebar dan acara resepsi pernikahan pun sudah kami siapkan semua. Masa kami harus membatalkan semuanya, nanti apa kata orang?" terang Amanda mulai menceritakan pokok permasalahannya.

"Ta-tapi saya--"

"Begini saja. Kami akan membiayai kuliah adikmu hingga selesai. Dengan syarat kamu harus bersedia menikah dengan anak kami!" ujar Aditama.

"Iya, kami tau, mungkin ini terkesan sangat memaksakan. Tapi mau bagaimana lagi, hanya kamu-lah harapan kami satu-satunya agar bisa menyelematkan nama baik keluarga ini di depan publik, Raysa."

Kini Raysa terdiam seribu bahasa. Hatinya mulai merasa resah dan juga kebingungan. Di satu sisi sebagai seorang kakak, ia menang sangat ingin menguliahkan adiknya. Namun, di sisi lain ia juga tidak mau menikah dengan sembarang orang. Terlebih lagi orang yang tidak begitu ia kenal.

Akan tetapi, ia juga merasa tidak enak hati jika menolak keinginan Amanda. Karena wanita tersebut sudah terlalu baik kepadanya. Selama ibunya bekerja di rumahnya ini, Nyonya dari ibunya tersebut sama sekali tidak pernah menganggap ibunya sebagai pelayan. Beliau malah lebih menganggap seperti dengan keluarganya saja.

Dan bahkan ketika Raysa tamat SMA dulu beliau sempat menawarkan kuliah gratis untuknya. Namun, ia lebih memilih untuk langsung bekerja saja agar bisa membantu ibunya mencari uang untuk biaya kuliah adiknya kelak.

Dan berkat bantuan dari Amanda juga, sehingga ia bisa bekerja di salon milik teman wanita tersebut.

"Tidak, saya tidak setuju!" ucap Anggia yang tiba-tiba membuyarkan keheningan di ruang itu.

"Gia!" cicit Raysa mencoba menghentikan ucapan adiknya.

"Apa sih, Mbak? Mbak pikir aku akan setuju jika Mbak harus menjual kebebasan Mbak demi biaya kuliah Gia. Ngak, aku gak setuju. Lebih baik aku gak kuliah saja. Kan, aku masih bisa langsung bekerja sama seperti Mbak, dulu," jawab Anggia.

"Udah, kamu bisa diam gak sih? Biar Mbak saja yang memutuskan!"

"Ta-tapi, Mbak--"

"Baiklah, saya setuju," kata Raysa mantap.

Membuat kedua paruh baya yang semula terlihat sangat tegang dan cemas langsung tersenyum sumringah mendengarnya.

Namun, tidak dengan gadis yang baru berusia 18 tahun ini merasa sangat tidak setuju dengan keputusan kakak perempuannya itu.

"Mbak! Apa-apaan, sih? Aku gak setuju!" pekiknya merasa sangat marah. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca ia menatap kakaknya dengan tidak tega.

"Dengarkan Mbak dulu, Anggia! Mbak ingin kamu kuliah agar bisa membuat ibu bangga nanti. Apa kamu tidak ingin melihat ibu bahagia di alam sana, hah?"

"Lagi pula, seharusnya Mbak merasa senang dong. Karena bisa menjadi menantu keluarga ini. Ini kesempatan emas bagi Mbak."

"Ta-tapi, hiks ... hisk." Gadis belia itu mulai terisak dalam tangisnya karena merasa sangat sedih melihat pengorbanan kakaknya yang hanya demi dirinya bisa kuliah, malah rela menjadi pengantin pengganti.

"M-mbak ha-hanya dijadikan sebagai pengantin pengganti saja. Apakah nanti Mbak bisa bahagia?" lanjut Anggia.

"Tenang saja, Sayang. Bunda yakin dengan seiring berjalannya waktu nanti, pasti anak saya bisa mencintai kakakmu ini, Gia," sahut Amanda berusaha menenangkan dan meyakinkannya.

"Tapi, kalau tidak bagaimana? Apakah Kakak saya hanya akan dijadikan sebagai istri pajangan saja oleh anak Anda?" protes Anggia yang masih belum bisa percaya dengan bagaimana nasib pernikahan kakaknya kelak.

"Sudah, Bunda. Jangan dengarkan dia. Yang terpenting saya setuju," sahut Raysa mantap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status