Kejadian Rara putus dua hari lalu menjadi pembicaraan di divisi tempatnya bekerja. Padahal dia hanya cerita ke Pak Robert, waktu mau izin tidak masuk karena sakit. Sakit hati, maksudnya. Sudah tidak diizinkan, eh malah disebar ke yang lain. Alhasil, gosip Rara putus di perayaan setahun hubungan pun merebak.
Hari ini mood gadis itu belum normal, tapi dia tetap profesional dengan datang tepat waktu dan mengerjakan tugas sesuai tupoksi. Jangan sampai saat salary masuk ke rekening tidak sesuai karena ulahnya yang terpuruk pasca putus dengan Harun.
“Mbak Rara, hari ini Pak Robert harus presentasi di rapat dengan pimpinan,” seru salah satu rekan Rara dengan logat jawanya yang kental.
“Hm,” sahut Rara tapi pandangan tetap pada layar komputer.
“Ini bahan presentasinya,” ujar Slamet sambil menyerahkan flashdisk.
“Kenapa diserahkan ke aku?” tanya Rara heran.
“Pak Robertnya sakit, tadi sudah sampaikan di grup pesan. Mbak Rara yang akan gantikan dia, mbak belum baca ya?”
“Hah, yang bener?” Rara bergegas mencari ponselnya. Tidak ada di meja, kantong celana bahkan laci meja pun tidak ada. “Ponsel aku mana ya?” tanyanya sambil mencondongkan tubuh memeriksa kolong meja, takut-takut kalau ponselnya terjatuh.
“Mana saya tahu, Mbak.”
Rara berdecak lalu membuka tas dan ternyata ponsel masih tersimpan rapi diantara dompet dan power bank. Segera dia sentuh layar dan membuka aplikasi pesan dan benar saja, Pak Robert membahas terkait kealpaannya tidak datang ke kantor karena sakit cacar. Juga perintah agar dirinya menggantikannya presentasi laporan keuangan di depan direktur. Rara terpilih karena posisinya sebagai senior accounting.
“Cacar itu menular nggak sih?” tanya Rara pada Slamet.
“Nggak ngerti Mbak, aku belum pernah kena cacar.”
“Kalau nggak parah, kita minta Pak Robert masuk aja kali ya. Ini rapat penting, masa harus aku yang gantikan Pak Robert. Nggak mau ah,” ujar gadis itu pada Slamet.
“Jangan nolak Mbak, karena Pak Robert nggak akan mengganti Mbak Rara. Apalagi diganti aku, nggak mungkin itu. Lagi pula yang atasan di sini Pak Robert, kenapa jadi Mbak Rara yang kasih perintah.”
“Slamet please deh, tolongin aku. Nggak mungkin aku bisa konsen untuk presentasi. Ada hati yang sedang aku tata di sini,” ujar Rara sambil mengusap dada.
“Nggak usah lebay Mbak, rapatnya setengah jam lagi. Jomblo jangan jadi halangan berkarir, masih banyak laki-laki lain,” ujar Slamet menasehati. Rara berteriak mendengar ejekan Slamet.
Bukan masalah bahan presentasinya, tapi Rara khawatir ia sulit konsentrasi. Lagi pula, direktur yang sekarang ini menjabat masih baru. Ada satu atau dua tahun mungkin dan Rara belum pernah bertemu langsung, hanya pernah lihat fotonya di profil perusahaan. Namanya Kevin, wajahnya lumayan tampan.
Akhirnya Rara membuka flashdisk yang diberikan Slamet dan membaca isi tiap slide dari file presentasi. Sebenarnya dia tidak terlalu kesulitan memahami isi laporan karena terlibat saat penyusunan. Slamet kembali mengingatkan agar segera ke ruang meeting, saat melewati meja kerjanya. Ada tiga ruang meeting dan yang saat ini digunakan adalah ruang meeting A, dimana ruangannya tidak terlalu besar dan tertutup. Berbeda dengan ruang lain yang lebih besar dan dikelilingi dengan jendela kaca. Yang hadir kali ini adalah para manajer dari tiap divisi, hanya divisi keuangan yang diwakilkan oleh stafnya yaitu Rara Gayatri.
Seorang pria dengan tubuh tinggi tegap hadir dan langsung duduk di ujung meja. Rara menduga dia adalah direktur perusahaan tempatnya mencari nafkah. Ternyata aslinya lebih ganteng dibandingkan fotonya. Akhirnya giliran divisi keuangan untuk presentasi.
“Selamat pagi menjelang siang, perkenalkan saya Rara mewakili Pak Robert akan menjelaskan laporan keuangan yang sudah kami buat dan bisa dilihat keuntungan dari proyek-proyek yang sudah dilakukan.”
Isi slide sudah ditampilkan di proyektor oleh operator dan Rara baru akan melanjutkan bicara saat Pak Kevin menginterupsi.
“Kamu siapa? Ke mana Pak Robert?” tanya sang direktur yang baru sadar karena tadi fokus pada ponselnya.
“Saya Rara Pak, staf divisi keuangan. Pak Robert tidak bisa hadir karena beliau sedang sakit, jadi saya ….”
“Dia ini benar karyawan perusahaan?” tanya Kevin pada peserta rapat yang lain.
‘Hello, kalau aku bukan karyawan untuk apa di sini. Ah si bos, kok jadi pinter begini sih dan yang bikin tambah greget adalah Pak Kevin menatapku dari kepala sampai kaki dengan dahi berkerut. Apa ada yang salah dengan penampilanku?’ batin Rara.
Rara pun balas menatapnya, kapan lagi coba saling tatap dengan orang ganteng dan nomor satu di kantor. Potongan rambut Pak Kevin yang cepak dengan rahang tegas dan ada titik-titik janggut yang baru tumbuh. Hidung nggak usah ditanya, bisa buat semut pada perosotan di situ karena mancung dan yang serem adalah tatapan matanya. Pria itu menatap tajam ke arahnya.
“Pak Robert nggak asal kirim pengganti ke sini ‘kan?”
Pertanyaan itu sukses membuat Rara bingung. “Beliau bertanya ke aku atau ke Pak Robert. Aku ‘kan cuma ikut perintah, ah dasar aneh,” ujar Rara dalam hati.
“Tidak Pak, Robert mengirim dia pasti bisa diandalkan,” bela Pak Andi manajer SDM. Akhirnya ada yang waras di ruangan ini. “Walaupun dia jomblo, tapi dia profesional,” seru Pak Andi lagi.
Rara melirik sinis dan menarik ucapannya tadi dan melirik sini Pak Andi yang sedang terkekeh. Untuk apa coba dia umumkan kalau dirinya sekarang jomblo, nggak aja dia siarkan langsung di stasiun TV.
“Kamu kelihatan seperti mahasiswa magang, makanya saya tidak percaya kalau kamu karyawan. Ya sudah lanjut, kita lihat bagaimana kemampuanmu,” titiah Kevin yang sekarang bersandar pada kursinya dan bersedekap dengan gaya angkuh.
Rara melanjutkan presentasi. Menjelaskan apa yang muncul di layar, baik itu laporan tahunan dan rencana jangka pendek divisi keuangan setahun ke depan. Hampir dua puluh menit berdiri mengoceh ke sana kemari, akhirnya sampai pada slide terakhir dari presentasi dan selesai.
Setelah kembali ke kursi, bahkan bokongnya belum mendarat sempurna saat Kevin menginterupsi agar Rara kembali membuka slide. Pria itu ertanya dan banyak sekali pertanyaannya. Tentu saja Rara bisa menjawab semua pertanyaannya, karena bagian dari pekerjaan yang memang dikuasai.
“Duduklah! kemampuan kamu lumayan.”
‘Lumayan? Aku nggak mungkin ada di sini kalau hanya lumayan,’ batin Rara. Rasanya ingin mencibir tapi tidak ada nyali. Rara kembali menyimak jalannya rapat, bahkan sesekali menguap. Akhirnya pria itu menutup rapat tepat sebelum jam makan siang. Perut terasa sudah bernyanyi karena tadi pagi dia melewatkan sarapan.
“Gimana Rara, jangan lama-lama jomlolah. Jadian aja sama Slamet,” ejek Pak Andi yang dijawab dengan memberikan tatapan laser pada pria yang sedang terkekeh.
Rara berniat keluar untuk membeli makan siang dan menunggu lift turun ke bawah. Untungnya saat rapat dia bawa clutch, di mana dompet, ponsel dan kunci motor ada di dalamnya. Mengingat persediaan uang sampai akhir bulan sudah menipis karena dipakai beli cake mahal dan nggak guna, gadis itu harus makan siang agak jauh untuk dapat makanan yang sehat tapi harganya ekonomis.
Motor matic yang dikendarai sudah keluar dari basement dan melaju pelan. Kembali teringat masalah Harun dan permintaan orang tuanya mengenai tambahan biaya berobat. Karena melamun gadis itu tidak menyadari mobil di depannya berhenti karena harus antri keluar dari area gedung dan …
Brak.
“Mampus kau Rara, tambah lagi aja masalah di hidup lo,” gumamnya sambil membuka helm.
Seorang pria keluar dari mobil. “Turun kamu!” teriaknya.
Rara membuka kaca helm.
“Ck, kamu lagi.”
“Gawat, ternyata mobil Pak Kevin,” gumam Rara.
“Pak Kevin, maaf Pak. Saya nggak sengaja.”
“Dari sekian banyak orang di dunia ini kenapa aku harus berurusan dengan Kevin Baskara dan dari sekian banyak orang pula di dunia ini kenapa harus aku yang berada di situasi ini,” ujar Rara dalam hati.
Kevin mengusap kasar wajahnya, mendengar Mami lagi-lagi membicarakan masalah jodoh. Menurut wanita itu, di umur Kevin ini seharusnya sudah punya anak dua. Papi Kevin seakan tidak peduli, dia fokus dengan tablet dan menyesap kopinya. Mungkin sedang mengawasi pergerakan saham.“Kevin, kamu dengar Mami nggak sih?”“Ck, ya dengar Mih. Mami dari tadi ngoceh terus bahkan aku nggak jadi sarapan nih,” keluh Kevin.Sebenarnya Kevin sudah tinggal terpisah di apartemen dan pagi ini dia mampir karena permintaan Mami. Sudah bisa diduga akan begini, lagi-lagi masalah perempuan. Memang umurnya sudah tiga puluh lima dan belum menikah lagi. Pernikahan sebelumnya berakhir karena mantan istri Kevin berkhianat.“Pih, anakmu nih,” ujar Mami.“Sayang, tenang saja. Mungkin Kevin masih belum yakin dengan pilihannya, jadi kita tunggu saja.”“Memang kamu mau istri yang kayak gimana sih?” tanya Mami.‘Yang enak lah Mih, cantik tapi nggak enak ya mana aku mau,’ batin Kevin.“Jangan yang kayak Mami,” sahut Papi.
“Pak, ini saya mau diculik ke mana?” tanya Rara sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela. Kevin tidak menjawab, perasaan gadis itu makin tidak karuan.Bagaimana kalau Pak Kevin akan minta ganti rugi dengan hal lain. Menjadi pembantu rumah tangga atau one night stand. Oh Tuhan, aku harus bagaimana. Tidak mungkin aku minta bantuan Ayah dan Ibu untuk bantu ganti rugi, sedankgan mereka menunggu bantuanku juga, batin Rara. “Ini kok belok ke restoran sih,” gumam Rara. Ini sebenarnya mau ke mana, kenapa malah ke restoran mewah. Rara menduga Kevin minta ditraktir makan siang. Tentu saja hal ini membuat Rara semakin takut, dia tidak akan sanggup bayar. Tadi pun Rara berniat cari makan siang yang harganya murah.“Turun!” Kevin melepas seat belt-nya.Rara bergeming, memikirkan adegan di film yang mana sang pria melepaskan seat belt sang wanita lalu … Stop Rara, kembali ke dunia nyata.“Pak Saya nggak lapar, kita balik ke kantor aja bicara di sana,” pinta Rara bahkan sambil memohon.“Aku bil
Sejujurnya Rara tidak peduli dengan masa lalu Kevin, tapi membuat pria itu kesal bahkan sampai menatapnya tajam rasanya seru juga. Tante Mihika akhirnya yang menceritakan singkat masa lalu Kevin dan tidak heran juga, karena laki-laki memang begitu.Bermodalkan wajah tampan dan nama besar keluarga, tidak mungkin seorang pria tidak berulah. Menurut Rara, wajar saja Kevin hanya berganti-ganti pacar bukan berganti wanita tiap malam. Yang menyebalkan adalah sifat angkuhnya.“Turun!” titah Kevin setelah mobil menepi dan berhenti.Akhirnya pertemuan itu berakhir dan saat ini mereka sedang dalam perjalanan kembali ke kantor. Rara menatap ke luar jendela memastikan kalau saat ini belum tiba di kantor. Lalu untuk apa Kevin memintanya turun. Apalagi dari sini ke kantor masih lumayan jauh.“Kenapa saya harus turun di sini, Pak?”“Turun ya turun. Memang kamu mau ikut sampai mana?”“Pak Kevin tahu sendiri motor saya di kantor,” ujar Rara mulai kesal dengan pria itu. Bagaimana tidak kesal, tadi dia
“Mbak Rara ya?” tanya Sari -- sekretaris Kevin. “Masuk saja Mbak, sudah ditunggu Pak Kevin.” Rara tersenyum dan menganggukan kepalanya. Isi kepalanya bertanya-tanya apa yang membuat Kevin memanggil dirinya, bahkan rekan-rekan satu divisi pun sama herannya. Kalau urusan pekerjaan, seharusnya Kevin berurusan dengan Robert selaku manager bukan Rara yang hanya staf. Mengetuk pelan pintu yang menjulang di hadapannya, Rara sempat terpukau dengan interior ruang kerja Kevin. Sangat aesthetic. Sambil menekan handle pintu, tatapan Rara masih menatap heran sekeliling ruang kerja Kevin. Seakan lupa dengan tujuannya datang. “Mau sampai kapan berdiri disitu?” “Eh.” Ucapan Kevin menyadarkan lamunan gadis itu. “Ada apa Bapak memanggil saya?” “Duduk!” titah Kevin menunjuk ke arah sofa. Rara dan Kevin sudah duduk bersama, diakui oleh gadis itu Kevin memang sempurna. Tampan, kaya sudah pasti, jabatan dan keluarga yang oke. Hanya satu kekurangan pria itu … angkuh. Bagaimana tidak, Kevin duduk dengan
Rara menghela pelan masih menatap pasangan di hadapannya. Pasangan gila menurut versinya.“Hm, gimana ya.”Harun terkekeh, sambil melirik sinis.“Kamu terlalu naif Ra. Hari gini masih sok suci, yang ada kamu jadi perawan tua. Cantik juga percuma kalau tidak bisa memuaskan laki-laki," ungkap Harun masih menyudutkan Rara. “Jadi begini, aku sengaja datang kesini dan ada Kak Harun juga mbak yang cantik dan bisa memuaskan laki-laki seperti di maksud Kak Harun ya,” tutur Rara dan cukup memprovokasi. “Tentu saja aku sudah mendapatkan pengganti Kak Harun, lebih baik malah. Lebih dari segala hal.”“Hah, mana mungkin. Itu hanya khayalanmu saja.”“Aku serius Kak. Dia tampan, kaya, walaupun bicara masalah puas dan tidak puas tentu saja pria ini bisa mengajariku karena dia sudah berpengalaman dan kami akan segera menikah. Aku pastikan Kak Harun dan mbak yang katanya cantik ini akan kami undang. Jangan sampai tidak hadir ya. Bye Kak Harun,” ujar Rara lalu melambaikan tangannya dan meninggalkan pasa
Rara mengabaikan Kevin, padahal pria itu sedang menunggu dirinya mengirimkan lokasi dimana dia tinggal. Bukan tanpa alasan, tentu saja karena … terpaksa harus bertemu. Baik Kevin dan Rara sudah sepakat akan menjalani pernikahan kontrak, tapi siapa sangka kalau Vanya datang ke Jakarta dan sudah siap dengan hubungan yang lebih serius.Tidak mungkin Kevin mengatakan pada orang tuanya kalau dia hanya memanfaatkan Rara. Apalagi Maminya mengatakan ketidaksukaan dengan Vanya sebagai artis. Selain gaya hidup bebas dan busana yang dikenakan wanita itu selalu terbuka berkesan seperti wanita nakal.Kevin akan duduk bersama dengan Rara dan Vanya tentunya, untuk membicarakan masalah mereka kedepannya dan harus malam ini karena besok pagi Rara diundang untuk sarapan bersama di kediaman orangtua Kevin.“Shittt, ke mana dia,” gumam Kevin dengan emosi karena Rara belum juga mengirimkan lokasinya. Bahkan dihubungi tidak dijawab. Tentu saja tidak akan dijawab, karena ponsel Rara sudah dalam mode silent
Rara menyanggupi perjanjian yang diajukan Kevin semata-mata karena untuk orangtuanya. Keadaan ekonomi yang memaksanya patuh pada perjanjian yang memang berat sebelah. Apalagi hinaan dari Vanya untuknya dan sengaja memperlihatkan kemesraan bersama Kevin. Sungguh Rara sebenarnya muak, tapi dia hanya bisa pasrah. “Pak, sudah selesai ‘kan?” tanya Rara. “Besok pagi, kita akan bertemu Mami dan Papi. Jangan katakan yang aneh-aneh, ikuti saja apa yang aku katakan. Mereka akan mempercepat pernikahan kita.” “Apa?” “Ck, berlagak kaget. Pasti kamu senang ‘kan bisa menikah dengan Kevin. Jadi istri dan menantu keluarga orang terpandang.” Vanya memang bermulut pedas, mungkin karena sifat wanita itu atau mungkin juga karena cemburu. “Kamu sebaiknya istirahat, jangan sampai besok terlihat mengerikan,” titah Kevin mengakhiri perdebatan antara Vanya dan Rara. “Saya nggak mungkin pulang sekarang Pak, ini sudah lewat tengah malam. Bisa-bisa saya dianggap perempuan tidak baik lalu diusir. Susah cari
“Pak Kevin, ini gimana ceritanya. Kenapa kita menikah minggu depan?” tanya Rara lirih. Ada kesempatan untuk bicara berdua, segera Rara konfirmasi masalah yang disampaikan Arka.“Memang kenapa kalau diadakan minggu depan. Kamu tidak perlu persiapan yang gimana-gimana, toh semua ada yang mengurus dan kita menikah bukan atas dasar cinta jadi tidak usah membayangkan akan sebahagia apa rumah tangga kita nanti.”“Bukan begitu pak, saya ….”“Ah, iya. Kamu tidak usah khawatir masalah biaya pernikahan termasuk resepsi. Semua aku yang akan tanggung dan kamu tidak akan menduga berapa banyak biaya yang akan kami habiskan untuk sekedar resepsi pernikahan. Cukup menyiapkan diri sebagai calon mempelai wanita tapi jangan harap menjadi istri yang sebenarnya.”Rara mengepalkan kedua tangan, ucapan Kevin tadi cukup menghina dan merendahkan dirinya. Entah kehidupan apa yang akan terjadi setelah mereka menikah, meskipun hanya sementara. Kevin begitu angkuh, bahkan tidak ingin mendengarkan penjelasan dari