Share

Istri Bayaran Duda Angkuh
Istri Bayaran Duda Angkuh
Penulis: dtyas

Part 1 ~ Pengkhianatan

Akhirnya jam kerja pun berakhir. Rara bergegas merapikan meja dan memastikan komputer sudah off lalu menuju mesin absen tidak jauh dari lift. Biasanya dia tidak pernah meninggalkan kantor di jam seperti ini, karena akan berebut menggunakan lift. Apalagi berada di lantai tujuh dan lift sudah penuh dari atas. Karena hari ini ada perayaan yang begitu spesial, jadi gadis itu harus bergegas pulang.  

Beruntungnya Rara berdesakan di dalam lift dengan para wanita. Tidak perlu khawatir ada yang mengambil kesempatan. Saat keluar dari lift, segera ia menuju parkiran basement. Tepatnya parkiran motor. Tujuannya adalah toko kue, The Harvest Cake. Harganya lumayan mahal, tapi sesuai dengan rasanya. Apalagi ini momen spesial, wajar kalau harus mengeluarkan budget yang tidak biasa.

Sampai di toko, pilihannya jatuh pada chocolate tiramisu. Bentuknya saja sudah menggugah selera. Kebetulan Rara dan Harun sama-sama penyuka coklat. Harun adalah kekasih Rara dan hari ini anniversary setahun hubungan mereka.

 “Ucapannya ini ya mbak,” ujar Rara sambil menyerahkan memo berisi ucapan yang akan dituliskan di atas cake.

 Cake sudah bergantung aman dimotor. Dengan laju pelan agar tidak terbentur dan merusak bentuk cake, akhirnya Rara sampai di gedung apartemen di  mana Harun tinggal. Yang dia tahu hari ini Harun libur dan ada di apartemennya.

Setelah keluar dari lift, Rara mengeluarkan cake dari kardusnya. Tepat di depan pintu unit Harun, lilin pun dinyalakan lalu dia menekan code acces untuk membuka pintu. Apartemen itu terlihat sepi, tapi Rara hampir terjungkal karena tersandung heels dan dia yakin itu bukan miliknya yang tertinggal atau sengaja ditinggalkan sebelumnya.

 “Ini punya siapa ya?” gumam Rara.

Di dapur tidak ditemukan Harun, termasuk di balkon yang pintunya terbuka. Kamar menjadi tujuan berikutnya. Terdengar suara gemericik air dari shower, tapi bukan hanya itu saja. Ada suara lain dan Rara yakin suara dari dua orang dan salah satunya suara seorang wanita.

“Ahh, Harun lebih kencang.”

 “Sabar sayang. Sebentar lagi aku akan sampai.”

Terdengar percakapan dari dalam toilet, meskipun sangat pelan. Perasaan gadis itu mulai tidak enak dan lilin pun sudah meleleh. Dengan langkah pelan Rara menuju toilet yang pintunya tidak tertutup rapat.

‘Tidak apalah kalau aku melihat Harun dalam kondisi polos, dari pada tunggu dia keluar yang ada makin penasaran,’ batin Rara.

Mata Rara terbelalak karena terkejut. Hampir sama terkejutnya ketika melihat saldo rekening di akhir bulan yang hanya saldo minimum. Harun yang membelakanginya dengan kondisi tidak berbusana dan basah di bawah guyuran shower, juga seorang wanita. Keduanya sama-sama telanjang dan begitu intim, dengan bagian bawah tubuh menyatu.

 “Tega kamu ya, hari ini anniversary kita dan kamu rayakan dengan mengkhianatiku.”

 Harun terkejut dan berbalik lalu menutupi miliknya dengan kedua tangan, si wanita berdiri di belakang tubuh Harun.

 “Dia siapa?” tanya wanita itu.

 “Rara, aku bisa jelaskan,” ujar Harun.

 “Jelaskan apa? Mau bilang kalau kalian khilaf.”

 “Harun dia siapa?” tanya wanita itu lagi.

 “Bilang ke perempuan itu, aku ini siapanya kamu,” teriak Rara. 

Harun terdiam sepertinya dia bingung untuk mengakui siapa Rara dan hubungan mereka. Rasanya Rara ingin menjambak rambut kedua manusia tidak berakhlak di hadapannya, bahkan ia terlihat konyol dengan cake di tangan dan berhadapan dengan pasangan yang tidak berpakaian.

“Dia … mantanku,” sahut Harun.

 “Eh mantan, mending lo pergi deh. Ganggu kesenangan kita aja,” ujar si wanita.

 “Mantan?”

 Rara meyakinkan dirinya, kalau Harun memang mengatakan dia adalah mantannya.

 “Mantan apaan?” tanya Rara sambil melemparkan cake yang ada di tangannya tepat mengenai wajah Harun. “Gue nggak rela lo bilang mantan, sedangkan tadi siang lo masih bilang sayang ke gue. Mulai saat ini kita putus dan lo mantan gue,” ujar Rara sambil berteriak.

 “Dasar perempuan aneh, pergi lo,” teriak wanita itu sambil membersihkan wajah Harun yang penuh cream.

 Rara beranjak pergi dari tempat itu, mengabaikan teriakan Harun yang memanggilnya dan ocehan wanita murahan yang bersedia enak-enak dengan Harun padahal mereka jelas belum menikah. Rasanya setahun yang dijalani bersama Harun, sia-sia. Gadis itu begitu naif, sejak semalam merencanakan hal ini tapi kejutan yang disiapkan mengalahkan kejutan yang Harun berikan. 

Tidak terasa ternyata air mata sudah menetes di wajah Rara dan segera mengusap air matanya saat berdiri di depan lift.

“Rara.”

Harun ternyata menyusul. Hanya mengenakan bathrobe, bahkan tanpa alas kaki dan di wajahnya masih ada sisa cream dari cake yang dibeli dengan harga mahal tapi berakhir di wajah si pengkhianat.

“Aku bisa jelaskan,” ujar Harun sambil menatap Rara.

 “Tidak perlu.”

 “Aku pria normal, Rara.”

“Aku juga wanita normal,” sahut Rara masih melayangkan pandangan ke arah lain.

Harun berdecak, lalu menghalangi jalan ketika pintu lift terbuka.

“Minggir!” titah Rara tanpa semangat.

“Rara, aku pria dewasa dan normal. Perlu mengeluarkan hasratku dan kamu tidak bisa penuhi itu.”

“Lalu salah aku? Kamu harusnya menikah bukan pacaran,” pekik Rara yang menatap pria konyol di hadapannya.

“Aku belum siap.”

“Ya jangan dulu muncrat ke mana-mana. Gila kamu ya, aku nggak habis pikir. Otak mesum kamu jadi alasan untuk mengkhianati aku.”

“Bukan begitu Rara.”

“Harun,” terdengar suara pasangan si mesum memanggil.

“Kamu jangan gitu dong, masa kita pacaran cuma pegangan tangan doang. Aku raba-raba kamu dikit, ngambeknya lebih dari seminggu. Aku minta cium, itu pun dapat sekali doang dan hanya pipi. Oke kita putus dan sebaiknya kamu coba pahami apa yang aku sampaikan tadi, daripada jadi perawan tua,” tutur Harun yang cukup menohok dihati Rara.

“Fix, lo nggak waras,” ujar Rara lalu masuk ke dalam lift sebelah yang baru saja terbuka.

 “Jangan kangen aku ya, karena aku nggak bakal kangen kamu,” ujar Harun sambil terkekeh.

Rara memberikan jari tengah pada pria tidak waras dengan penampilan anehnya, lalu menekan tombol agar pintu segera tertutup.

 “Mbak, berantem ya sama pacarnya?”

 Rara menoleh, ada dua remaja di dalam lift yang tersenyum ke arahnya.

 “Dia bukan pacar saya.”

 “Terus siapanya mbak?”

 “Bukan siapa-siapa. Dia tidak waras, hati-hati kalau ke lantai tadi. Takutnya kalian bertemu orang itu.”

Dalam perjalanan pulang, Rara menangis bahkan terkadang berteriak. Mungkin pengguna jalan yang melihat keadaannya bertanya-tanya ada apa dengannya, tapi Rara tidak peduli. Sebenarnya dia bukan menangisi putusnya hubungan dengan Harun, tapi sakitnya dikhianati.

Justru Rara bersyukur karena tahu brengseknya Harun sekarang, bagaimana kalau ternyata mereka berjodoh kemudian terungkap kalau Harun ternyata player. Gadis itu kembali meraung, mengingat uang yang harus dikeluarkan untuk membeli cake dan berakhir di wajah Harun.

 “Tau gitu tadi beli seblak aja, terus aku siram ke wajahnya. Perih tuh mata kena kuah pedas. Dasar Harun gila.” Rara kembali berteriak.  

 Sampai di kostan, ponselnya  bergetar ternyata ada pesan dari kampung. Pengobatan Ayahnya masih harus berlanjut dan mereka butuh uang. Padahal minggu lalu dia sudah kirimkan sebagian gaji bulanannya. Dari mana lagi ia harus dapatkan uang untuk bantu orangtua.

 "Arghh." 

                   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status