Share

Bab 6. Siapa itu Nia?

“T-tuan,” panggil Nadin ragu-ragu.

“Kalau kau tidak ingin disentuh, bilang padaku. Jangan seolah lupa dengan panggilan yang kemarin itu.” Adam berkata dengan emosional.

Nadin gugup dan takut. Pria itu jika sudah marah pasti akan menakutkan, bukan? Dengan keberanian sebesar siput. Nadin mencoba menghibur Adam. Mendekap dan mencium Adam dari arah belakang. Mengecupi bahu kekarnya. Sikapnya sebagai wanita baik-baik pun musnah. Nadin membuang harga dirinya demi seorang tuan muda sepertinya.

“Tuan ... tolong maafkan aku. Jika aku melupakan panggilan yang Tuan maksud,” gumam Nadin lembut. Tangannya membelai dada bidang Adam yang bertelanjang dada sekarang. Adam langsung membalikkan tubuhnya lagi. Dan kini posisinya menindih tubuh Nadin.

“Kau sangat lihai memainkan suasana hati orang dan pandai dalam hal menggoda pria. Kali ini aku tidak akan memberimu ampun, Nadin.” Adam berkata seraya menyeringai menunjukkan sedikit giginya.

Nadin hanya bisa memasarkan dirinya untuk diperlakukan apa saja oleh harimau gila itu. Yang kini tengah buas menyantapnya tanpa ampun. Nadin bahkan tak lagi berani berkata. Apa yang dilakukan Adam, ia hanya akan terdiam.

“Nia, aku ... mencintaimu ... aku ... mencintaimu ... Sayang,” gumam Adam meracau dengan kedua mata terpejam setelah menuntaskan semua hasratnya pada Nadin tadi.

Nadin tersentak seketika. Rasanya seperti pisau tajam merobek hatinya. Pria yang tengah berbagi keintiman dengannya, menyuarakan nama wanita lain. Nadin memalingkan tubuhnya, menghadap jauh dari Adam yang kini meredupkan matanya.

“Apa yang kau harapkan darinya, Nadin? Pria itu mencintai wanita lain. Aku hanya sebagai pemuas nafsunya. Istri di atas kertas yang hanya sampai satu tahun. Aku bukan Nia, tapi Nadin,” tutur Nadin dalam hati meringis.

Tanpa sadar, Nadin menangis kecil hingga terdengar sesenggukan yang keluar dari dalam mulutnya. Seharusnya ia tak menyerahkan dirinya pada Adam. Terlebih lagi pria yang berlatar belakang memiliki banyak kekuasaan. Seorang tuan muda yang bukan menjadi lawannya. Nadin hanyalah orang biasa. Derajatnya berbeda dengan Adam yang hartanya sudah berlimpah. Bahkan satu negara pun, bisa dia beli jika dia mau.

“Beginikah rasanya? Cinta yang terbagi antara aku dengan wanita bernama Nia itu. Bahkan dia punya nama panggilan istimewa untuknya,” cicit Nadin berkata dalam hatinya sedu.

GREP!

Tiba-tiba tangan Adam mendekap Nadin dari arah belakang. Nadin terdiam kaku, tak merespons pelukan itu. Pria yang tidak berhati. Apa yang dia lakukan akan selalu baik dimatanya. Tapi ketika Nadin melakukan kesalahan kecil, sikapnya yang kekanakan akan langsung berubah marah.

Nadin berusaha menghentikan rintikan tangisnya. Menahan setiap sesenggukan yang keluar dari dalam mulutnya. Sebelah tangannya tampak membungkam kuat bibir itu. Agar suara sendunya tak terdengar sampai ke telinga Adam.

“Aku semakin dibuat bingung olehnya,” tuturnya dalam hati bimbang. “Bertahanlah Nadin, tunggu sampai anak ini lahir. Dan aku akan bebas setelah ini. Lepas dari jerat pria ini,” batin Nadin.

___

Pagi pun tiba, hari ini Adam akan pergi ke perusahaan. Dan sekarang, pria itu sedang berada di dalam bilik toilet. Sementara Nadin menyiapkan pakaian untuknya. Setelan jas dengan kemeja berwarna hitam legam miliknya. Karena mulai sekarang, Nadin-lah yang akan menyiapkan segala sesuatu untuk Adam.

Kriek!

Adam membuka pintu toilet itu. Ia lalu berjalan keluar mendekati ranjang. Tubuh tegapnya hanya memakai handuk putih yang melilit di pinggangnya. Nadin tak berani menatap, ia diam membisu sembari tertunduk sedu. Ingatan Nadin masih teringat akan kejadian semalam. Saat Adam menyebut nama Nia, ketika mereka tengah memadu kasih kala itu. Adam duduk disebelah Nadin. Tanpa menyentuh sedikit pun baju kemeja yang sudah disiapkan oleh istrinya.

“Ada apa denganmu? Apa kau lapar? Aku akan meminta Han untuk membawakan makanan dan kebutuhan dapur yang lebih banyak di mansion ini,” ujar Adam bertanya. Sembari mengendus leher jenjang Nadin yang putih. Spontan Nadin menggeleng pelan.

Kebiasaan Adam yang selalu mengendus aroma tubuh Nadin. Rasanya agak lain jika dia tidak melakukan hal itu padanya.

“Aku tidak lapar, Tuan.” Nadin membalas seadanya. Adam mengernyit, tampaknya ia tidak senang saat Nadin memanggilnya dengan sebutan Tuan. Bukankah dia memang seorang tuan muda? Lalu mengapa dia marah?

“Kau lupa dengan yang semalam?” tanyanya mengingatkan.

Apa? Bagaimana bisa lupa? Bahkan Nadin masih mengingat jelas saat dia bergumam nama Nia malam itu.

“A-aku? Aku ... tentu saja ingat," balas Nadin lesu. Wajah Adam mulai berubah. Dari ekspresinya, ia tak lagi emosi seperti tadi.

“Ingat apa?” lanjutnya menanyakan pertanyaan yang sama.

Dengan wajah yang tertunduk, Nadin ragu-ragu mengatakannya. “Nia, Tuan menyebut nama itu saat semalam,” jawab Nadin polos.

Hal yang mengejutkan, Adam langsung berdiri dan memakai pakaian itu pada tubuhnya. Ia tak memarahi Nadin. Justru mulutnya berubah bisu. Seperti tidak senang, saat Nadin menyebutkan nama itu dihadapannya.

“Apa dia marah? Lalu kenapa tidak membalas ucapanku? Bukankah seharusnya dia senang? Aku memberitahu hal itu. Wanita yang dia cintai itu Nia, kan?” gumam Nadin dalam hati keheranan. “T-tuan ... k-kenapa Anda diam? Tadi Tuan bertanya apakah aku ingat? Aku sudah menjawabnya tadi,” lanjut Nadin berkata gugup.

Adam terdengar mengembuskan napasnya kasar. Ia berbalik menatap ke arah Nadin yang masih terduduk di atas ranjang itu. “Kau bodoh, ya? Aku bertanya mengenai nama panggilan. Bukan tentang orang yang kau maksud!” ujar Adam kesal.

Kedua bola mata Nadin spontan melebar. Ia terkejut kaget, saat Adam membentaknya. Bahkan suaranya terdengar agak lantang. Nadin pikir, pria itu menanyakan perihal wanita yang semalam ia sebutkan namanya. Tapi ternyata, masih dengan topik sebelumnya. Mengenai panggilan nama untuk mereka.

“Apa? Kau ingin mengatakan bahwa kau masih lupa?”

“A-aku ... aku tidak lupa. Tapi Tuan ... b-bagaimana dengan biaya operasi Ibuku?” balas Nadin gugup. Ia hampir saja lupa, memikirkan kondisi ibunya yang masih kritis di rumah sakit.

Adam tampak berdecak pada ekspresi wajahnya. “Ibumu sudah ditangani oleh dokter spesialis terbaik di rumah sakit itu. Jadi jangan lupakan kesepakatan kontrak yang tertulis diatas kertas kemarin. Kalau kau belum juga hamil, aku bisa saja membatalkannya kapan saja. Termasuk untuk biaya pengobatan rumah sakit Ibumu!” ujar Adam tidak berperasaan.

“B-baik, Tuan. K-kalau begitu ... apa aku boleh bertemu dengan Ibuku? A-aku juga sudah berapa hari ini tidak masuk kuliah. Aku mohon pengertian dari Tuan. Agar mengizinkanku untuk kembali ke kampus,” pinta Nadin memelas.

“Berani sekali kamu, banyak permintaan yang kau minta padaku.”

Adam mengernyit, menatap Nadin dengan wajah kesalnya. Sementara Nadin sendiri terdiam lesu. Tertunduk sedu, dan tak berani menatap ke wajah pria itu. Adam lalu berjalan mendekati Nadin. Tangannya terangkat menyentuh dagu Nadin. Hingga membuat wanita itu mendongak menatapnya.

“Tatap aku, bodoh! Jangan pernah mengatakan apa pun tanpa menatap mataku! Kau pikir kau siapa?! Aku menikahimu hanya karena kesepakatan tertulis, bukan karena cinta. Jadi jangan pernah berharap aku bisa mencintai wanita sepertimu!” cerca Adam berkata. Lalu menghempaskan Nadin ke atas ranjang sana.

Nadin menjadi seorang yang begitu rendah dimata Adam. Rasanya tak bisa jika dirinya memutar waktu. Agar ia tidak bertemu dengan pria itu. Setelah mengatakan kata-kata tadi, Adam pergi begitu saja. Meninggalkan Nadin yang tersungkur jatuh di atas ranjang sana disertai dengan tangis sendunya.

Meratapi kisah yang tak pernah ia harapkan sebelumnya. Menjadi seorang wanita penyewa rahim untuk pria yang tidak akan mungkin pernah mencintainya. Padahal Nadin sendiri sudah terlanjur menaruh benih-benih cinta untuk Adam. Tapi pria itu, justru menyadarkan statusnya dengan status Nadin. Bahwa mereka tidak akan mungkin pernah benar-benar bisa bersama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status