Share

Bab 4. Perjanjian Pernikahan Kontrak

Bab 4. Perjanjian Pernikahan Kontrak

Cahaya mentari meresap ke dalam ruangan apartemen Adam, menyoroti lembut wajah Nadin yang cantik. Saat matanya terbuka, ia mengamati sekelilingnya dengan cermat, tetapi pandangannya hanya menyentuh sisi tempat tidur yang kosong tanpa kehadiran siapa pun. Dalam keheningan itu, Nadin menyadari bahwa ia terlelap sendirian di atas ranjang king size yang dimiliki tuan muda Adam.

“Kemana dia? Apa dia sudah pergi?” gumam Nadin tanya.

Tubuhnya perlahan beranjak bangun dari ranjang king size itu. Kedua matanya melihat bercak darah yang masih membekas dan sudah mengering diatas seprei putih itu. Nadin sungguh malu bila mengingat kejadian semalam. Bukan hanya malu, tapi dirinya sudah diambil alih oleh pria kaya itu. Nadin kemudian berjalan mendekati kamar mandi. Ia mulai memasuki diri ke dalam sana.

Setiap lekukan tubuhnya, ia bersihkan secara merata. Aroma dari wangi shampoo yang dia pakaikan ke rambut tercium kuat. Bunyi aliran air dari shower yang terputar begitu deras mengenai kepala hingga ke tubuhnya.

“Apakah ... yang kulakukan ini benar? Demi pengobatan biaya Ibu. Aku rela menjual rahimku pada pria kaya itu. Bagaimana bila Ibu tahu yang sebenarnya? Aku akan bagaimana didepan Ibu nanti? Citra wanita baik-baik sudah tak lagi ada. Ibu pasti kecewa sekali padaku,” gumam Nadin dalam hati yang sembari mendongakkan kepalanya ke atap langit toilet dan melihat rintikan air shower yang mengalir membasahi rambutnya serta tubuhnya.

Hingga beberapa menit kemudian...

Kriek!

Nadin keluar dari dalam sana. Tubuhnya hanya berbalut pada handuk putih. Langkah kakinya berjalan agak gontai. Mendekati ke arah lemari yang sudah terisi dengan pakaian barunya.

“Aku pakai baju yang mana, ya?” tanyanya bingung. Namun tiba-tiba....

GREP!

Sebuah tangan kekar bergelayut manja mendekap tubuh Nadin dari arah belakang sana. Wanita itu lantas terperanjat dan langsung membalikkan tubuhnya.

“T-tuan? A-aku pikir Tuan sudah pergi bekerja,” ujar Nadin terperanjat tak percaya. Kedua bola matanya membelalak lebar hingga pupilnya pun ikut berkedut.

“Tidak, hari ini aku izin untuk WFH," balasnya seraya mengendus leher jenjang Nadin. Membuat wanita itu jadi salah tingkah dibuatnya.

"WFH?" tanya Nadin penasaran. Adam lantas menganggukkan kepalanya pelan.

"Kau sungguh tak tahu apa itu WFH?" sanggahnya. Nadin menggeleng seperti wanita polos yang tidak tahu apapun.

"WFH itu ... Work From Home. Bekerja dari rumah. Aku akan bekerja di sana," tutur Adam seraya menunjuk ke arah kursi dan meja yang terletak tidak jauh dari jarak mereka berdua berdiri saat ini. Alesia tersenyum kecut seperti merasa tidak nyaman berlama-lama berada didekat Adam.

“T-tuan ... aku ingin memakai baju,” gumam Nadin pelan.

Adam tampak acuh dan tidak memedulikan ucapan Nadin barusan. Pria itu justru semakin lama bermain di tempat itu. Dan mulai membuka handuk putih yang menutupi seluruh bagian tubuh Nadin.

HAP!

Adam menggendong Nadin ala bridal style dan membawanya ke atas tepian ranjang. Ia mulai menautkan ciuman lembutnya pada bibir Nadin. Hingga kemudian perlahan turun mengenai leher jenjangnya yang begitu putih dan bersih.

“Engh ... Sayang,” cicit Nadin meracau.

“Apa? Kau panggil aku apa?” tanya Adam mengulangi pertanyaannya. Nadin terdiam, ia jadi ragu mengatakannya lagi. Seperti orang yang tidak tahu batasan dalam berbuat. Nadin mengurungkan niatnya untuk tidak mengatakan hal itu lagi.

“Coba katakan sekali lagi,” pinta Adam lagi.

“S-sayang,” kata Nadin pelan.

“Aku tidak dengar.”

“Sayang,” panggil Nadin lagi meracau sembari mengalungkan kedua tangannya pada leher jenjang Adam yang tampak seksi itu.

Yeah, dia memang pria yang seksi! Eh.

Pria tampan bertubuh kekar yang saat ini memakai pakaian setelan kemeja putih panjang dan celana panjang berwarna kehitaman, tampak menggulung dan melepaskan satu persatu kancing kemeja miliknya. Tautan ciuman mereka semakin mengerat. Nadin hanya pasrah dengan permainan yang dilakukan oleh Adam padanya. Hingga lelaki itu memberikan sebuah tanda kissmark dibagian lehernya untuk mengakhiri permainan tadi.

“Engh ... s-sakit," keluh Nadin sambil memejamkan kedua matanya.

Adam mengecupi berulang kali dibagian yang sudah ia tandai dengan tanda merah itu.

“Aku menunggu kehamilanmu dengan segera," ujar Adam berkata sambil mengecup lembut kening dan bibir ranum Nadin. Wanita itu tersenyum kecut untuk sesaat setelah mendengar Adam mengatakan kata-kata tadi.

"Kenapa? Kau tidak suka jika cepat hamil?" tanya Adam. Nadin lantas menggeleng pelan.

"Bukan itu maksudku, Tuan. Hanya saja ... aku tidak tahu akan cepat hamil atau tidak. Semua itu bergantung pada kesuburanku," tutur Nadin. Meski dalam hati sebenarnya ia tidak benar-benar menginginkan hal itu terjadi. Karena setelah bayi itu lahir, ia belum benar-benar siap untuk pergi jauh dari bayinya. Nadin takut jika hari itu akan tiba dan dirinya belum siap untuk menerima semuanya dengan lapang.

Helaan napas terdengar berat keluar dari dalam mulut Adam. Pria itu menatapnya nanar seraya merapikan anak rambut pada kening Nadin sekarang. "Jika kau kesulitan untuk hamil, kita akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut agar kau secepatnya mengandung benih cintaku," jelas Adam.

Nadin hanya diam tanpa membalas perkataan Adam barusan. Namun tiba-tiba....

Cup!

Adam menciumnya secara tiba-tiba. “Apa kau tahu? Bibirmu itu sangat menggoda. Aku sampai candu dibuatnya,” ujar Adam berkata, sembari menyentuhnya lagi.

“Hari ini ... bagaimana kalau kita berlibur?” ajak Adam tiba-tiba.

“Berlibur? Ke mana?” Nadin mengerutkan keningnya.

“Apakah kau ada saran tempat yang bagus?” balas Adam. Nadin lantas menggeleng pelan. “Bagaimana jika kita mengunjungi Taman Rumah Kaca?” lanjutnya memberikan usulan.

“Taman Rumah Kaca? Aku belum pernah mendengar tempat itu."

“Ada di kota ini juga. Sebuah taman buatan yang dibangun oleh perusahaan milikku dan ada rumah kaca didalamnya. Apa kau ingin melihatnya?” tanya Adam antusias.

“Bolehkah? Aku jadi penasaran, seperti apa tempat itu,” tukas Nadin membalasnya.

“Sangat indah, kau pasti akan terpesona saat melihatnya nanti.”

“Aku tidak yakin.”

“Harus yakin. Karena kau adalah wanitaku.”

“Iya, wanita bayaran yang tertulis pada sebuah kontrak perjanjian,” gumam Nadin dalam hati meringis sambil menampilkan senyum getir.

...

Singkat cerita, mereka tiba dan berada di taman yang dimaksudkan oleh Adam tadi. Nadin tampak begitu menikmati keindahan dari taman itu. Angin yang bertiup begitu menyejukkan. Dan pemandangannya yang sangat memanjakan mata. Terlebih lagi ada sebuah air mancur buatan. Serta bunga-bunga yang tersusun indah disekelilingnya. Nadin memanfaatkan momentum itu untuk berfoto-foto sebentar, menggunakan kamera dari ponsel yang diberikan oleh Adam padanya. Adam menatapnya dari kejauhan, sesekali ia tersenyum memperhatikan Nadin yang ceria sekarang.

“Nadin, kemarilah!” panggil Adam. Wanita itu berjalan menghampiri sambil membawa bunga matahari yang ia petik tadi.

“T-tuan ... k-kau sudah tahu namaku?” tanya Nadin penasaran.

Adam menyeringai menatapnya keheranan. “Apa yang tidak kuketahui? Bahkan semua orang pun mengenalku dengan baik di negara ini. Kau memetik bunga itu?” ujarnya bertanya.

“Maaf, Tuan ... a-aku sangat menyukainya. B-bolehkah aku mengambilnya?" Nadin tertunduk sambil meremas batang dari bunga matahari yang tengah ia genggam sekarang.

"Ambil saja sepuas yang kau mau. Taman ini sudah tidak lagi berarti untukku," gumam Adam pelan.

“T-tadi Tuan memanggilku, kenapa?" tanya Nadin penasaran.

“Dua hari lagi, keluargaku akan mengadakan pertemuan.” Adam berkata.

“Lantas, apa hubungannya denganku?" balasnya.

“Aku khawatir mereka semua akan mempertanyakanmu mengenai hubungan kita. Bagaimana kalau kita menikah saja?” usul Adam tiba-tiba.

Spontan, kedua mata Nadin melebar. Pupilnya tampak bergetar kecil. Ia terkejut dengan usulan dari tuan muda itu. Adam sepertinya tidak main-main dengan ucapannya. Dari ekspresinya saja terlihat serius.

“M-menikah?” tanya Nadin memastikannya sekali lagi.

“Ya, menikah. Tenang saja, pernikahan ini tetap berjalan sesuai dengan kontrak yang tertulis semalam. Satu tahun, hanya satu tahun kontrak pernikahan yang akan kita jalani nantinya. Dan setelah anakku lahir. Kau bisa pergi sebebas yang kau mau setelahnya,” tutur Adam berkata.

“Baiklah, aku setuju.” Nadin membalas tanpa berpikir dua kali.

“Semudah itu? Kau langsung menyetujuinya?" Adam mengernyit keheranan.

“Memangnya aku harus bagaimana? Menolak pun, aku juga tidak bisa.”

Adam tersenyum puas mendengarnya. Ia tidak suka ditolak, apalagi mendengar penolakan. Tapi Nadin selalu setuju dengan keputusannya. Berbeda jauh dengan Sania, wanita yang ia kagumi. Yang justru tidak mendengar perkataannya dan malah pergi ke luar negeri, demi kariernya sebagai pianis. Adam terpukul dengan kepergian Sania yang diam-diam meninggalkannya ke Jerman tanpa memberitahu sepatah kata pun.

Entah, akankah perasaan Adam akan berubah? Seiring berjalannya waktu yang membuatnya terus berada disisi Nadin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status