Share

Bab 3 Tuntutan Danita

"Satu miliar?" tanya Aluna. Wajahnya masih syok, tampak tak percaya.

"Iya, itu maharnya saja. Kamu bisa meminta apa pun. Rumah, perhiasan, baju-baju bagus, tas branded atau mungkin kamu butuh mobil? Boleh. Kamu juga tidak perlu bekerja lagi sebagai sekretarisku. Gampang, kan?" jelas Darren. Dia tersenyum, percaya diri.

Kali ini sang pria yakin, Aluna tidak akan menolaknya. Siapa yang bisa menolak jika diberi iming-iming harta dan kemewahan? Menurut Darren tidak ada. 

"Bapak bercanda, kan?"

Aluna masih tidak percaya. Apalagi Darren terkenal arogan dan dingin. Mana mungkin memberikan semua itu kepada gadis biasa sepertinya.

"Tidak, aku serius mengatakan ini semua. Aku menawarkan ini hanya padamu saja, bagaimana?"

Aluna terkekeh sembari menggelengkan kepala. Dia benar-benar kaget dengan sikap Darren saat ini. Pria yang berpikir kalau pernikahan sama dengan jual beli. Aluna tidak suka dan tentu saja akan tetap menolak. 

"Terima kasih, Pak. Saya tidak mau." 

Erangan keluar dari mulut Darren. Pria itu sampai mengepalkan sebelah tangan, berusaha menahan emosi di depan sang gadis.

"Astaga! Kamu susah sekali  dibujuk, ya? Padahal aku sudah menawarkan banyak uang!" seru Darren, wajahnya tampak frustrasi. 

"Karena saya itu bukan materialistis. Terserah Bapak mengatai saya seperti apa. Bagi saya, setiap pernikahan itu sakral. Jadi, cari saja wanita lain. Permisi."

Gadis itu pun memilih untuk pergi dari ruangan Darren. Terdengar pria itu memanggil Aluna untuk kembali. Tetapi, sang gadis memilih untuk hengkang. Lagi pula, pembicaraan ini tidak akan pernah berakhir jika Darren tetap pada pendiriannya. 

***

"Kenapa kamu baru pulang jam segini?"

Darren terkesiap saat mendengar suara ibunya dari belakang. Sang pria sampai menghela napas panjang. 

"Ibu? Kupikir Ibu sudah tidur."

"Jangan mengalihkan pembicaraan, jawab pertanyaan Ibu. Kenapa kamu baru pulang jam segini? Apa kamu takut jika Ibu bertanya tentang calon istrimu?"

Mendengar pertanyaan terakhir dari Danita--ibunya Darren--membuat pria itu hanya bisa menahan napas. Kalau sudah begini, Darren harus siap mendengar omelan ibunya lagi. 

"Ya Tuhan, Ibu. Bukan masalah seperti itu. Di kantor banyak kerjaan," ucap Darren, mengelak.

Sebenarnya, dia enggan pulang ke rumah ibunya. Karena pasti akan ditagih menantu. Akan tetapi, kalau Darren tidak pulang, sang pria teringat jika Danita sedang mogok makan. Mana mungkin Darren diam saja. Bagaimanapun pria itu harus memenangkan hati ibunya.

"Jangan bohong! Ibu sudah tanya sama Amar. Temanmu itu bilang kerjaan di kantor sudah selesai. Benar, kan?"

Darren memaki Amar dalam hati. Kenapa juga temannya itu malah jujur? Padahal sudah jelas kalau dirinya sedang bermasalah dengan Danita. Kalau sudah begini, Darren harus mencari alasan lain, yang pasti masuk akal dan tidak membuat ibunya semakin marah. 

"Kenapa diam saja? Kamu takut jika Ibu tanya tentang calon istrimu?" tanya Danita sembari berkacak pinggang. Sorot mata wanita itu juga terlihat menuntut. 

"Bukan seperti itu, Bu. Pekerjaanku memang sudah selesai, tapi aku juga harus mengecek beberapa pekerjaan untuk minggu depan. Jadi aku baru pulang sekarang."

Hanya kalimat itu yang terlintas di benak Darren. Terdengar konyol, tapi daripada tidak memberi alasan, itu akan membuat posisinya semakin terpojok. 

"Jangan alasan! Sekarang, mana calon istrimu? Ibu mau tahu." 

"Belum ada, Bu," jawab Darren dengan nada lemah. Pada akhirnya, dia tidak bisa membawa Aluna. 

"Apa? Belum ada! Kalau begitu kamu harus ikuti perjodohan."

Danita sudah mengambil keputusan. Dia tidak bisa diam saja. Anak semata wayangnya itu tidak bisa diandalkan. Bisa jadi perjaka tua kalau terus-terusan menolak jodoh. Belum lagi, Danita malu kalau ditanya perihal menantu oleh teman-teman arisannya.

"Bu, bukan begitu maksudku. Dia belum bisa menemui Ibu."

Sebuah alasan yang kontan dilontarkan oleh Darren. Sang pria langsung merutuki diri karena malah berbicara seperti itu. Tetapi, Darren tidak bisa menarik kata-katanya, atau sang Ibu akan semakin menjadi.

"Kenapa?" tanya Danita, alisnya bertautan. Dia bingung dengan maksud anaknya. Tadi saja bilang belum ada. Tetapi, sekarang berbeda lagi ucapannya. 

"Dia itu kan karyawan di kantorku juga, jadi masih banyak pekerjaan dan belum bisa aku bawa ke sini." 

"Benarkah? Jadi calon istrimu itu karyawanmu sendiri?"

"Kenapa? Apa Ibu tidak suka?" 

Darren jadi khawatir kalau ibunya menolak. Padahal, Aluna itu gadis yang paling cocok untuk jadi istri bayarannya. 

"Jelas Ibu suka. Itu lebih baik dibandingkan kamu mencari wanita matre di luar sana. Jadi, Ibu juga bisa tahu lebih banyak tentang sifat calon istrimu dari karyawan lainnya. Kalau begitu siapa nama gadis itu?"

Danita terlihat bersemangat sekali. Dia jadi tidak sabar untuk bertemu calon menantunya. 

"Nanti aku akan kasih tahu." 

"Kenapa nanti? Sekarang saja," ujar Danita, tidak sabar. 

"Bukan begitu, Bu. Aku ingin mandi dulu, istirahat dulu sebentar. Nanti kita bicarakan masalah ini. Lagian, ini sudah hampir tengah malam. Mana mungkin aku bawa dia sekarang." 

"Tidak bisa, pokoknya Ibu mau sekarang!"

Darren mengusap rambutnya sembari mendengkus kasar. Kalau sudah begini, akan sulit. 

"Jangan mendengkus seperti itu. Kamu pikir Ibu tidak lelah terus-terusan ditanyai oleh teman-teman Ibu kapan kamu menikah? Ingat usiamu itu sudah 39 tahun. Jangan membuat Ibu malu! Cepat cari menantu buat Ibu dan cepat juga beri Ibu cucu," papar Danita, benar-benar kesal kepada anaknya itu. 

Darren hanya bisa diam mendengarkan omelan ibunya. Mau tidak mau, dia harus mengabulkan keinginan Danita, atau ibunya akan berulah lagi.

"Baiklah, Bu. Nanti besok atau lusa aku akan membawa gadis itu ke hadapan Ibu." 

"Benarkah?" tanya Danita dengan mana berbinar. 

"Iya, aku serius. Apa Ibu senang?" 

"Tentu saja. Ingat, ya! Jangan ingkar janji." 

Raut wajah Danita terlihat penuh harap. Darren jadi tidak tega kalau membiarkan ibunya terus-terusan memohon seperti ini. 

"Iya, aku janji. Sekarang Ibu sudah makan belum?"

"Ibu kan menunggu kamu. Kalau hari ini kamu tidak punya calon istri juga, tadinya Ibu mau melanjutkan mogok makan," jawab Danita, pura-pura kesal.

Padahal, sebenarnya Danita makan walaupun beberapa suap. Itu pun sembunyi-sembunyi dari ART-nya. Mana kuat dia menahan lapar seharian? Apalagi diusia yang sudah senja. Hanya saja, demi anaknya, Danita pun harus berbohong seperti ini.

"Sudah jangan seperti itu. Aku mandi dulu, nanti kita makan malam, ya?"

"Baiklah. Tapi, kamu janji akan membawa Ibu bertemu dengan gadis itu, kan?" tanya Danita memastikan.

Dia tidak mau sampai aksinya ini sia-sia, sementara Darren hanya memberi harapan palsu. Jadi, Danita meminta sebuah kepastian.

"Iya, Bu. Aku janji."

"Baiklah. Ya sudah, kamu mandi dulu. Ibu tunggu di ruang makan."

Darren pun memilih membersihkan diri. Dia disergap kebingungan, bagaimana caranya mengenalkan Aluna pada Danita, sementara Aluna sudah menolaknya mentah-mentah? Apa yang akan Darren lakukan selanjutnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status