"Satu miliar?" tanya Aluna. Wajahnya masih syok, tampak tak percaya.
"Iya, itu maharnya saja. Kamu bisa meminta apa pun. Rumah, perhiasan, baju-baju bagus, tas branded atau mungkin kamu butuh mobil? Boleh. Kamu juga tidak perlu bekerja lagi sebagai sekretarisku. Gampang, kan?" jelas Darren. Dia tersenyum, percaya diri.
Kali ini sang pria yakin, Aluna tidak akan menolaknya. Siapa yang bisa menolak jika diberi iming-iming harta dan kemewahan? Menurut Darren tidak ada.
"Bapak bercanda, kan?"
Aluna masih tidak percaya. Apalagi Darren terkenal arogan dan dingin. Mana mungkin memberikan semua itu kepada gadis biasa sepertinya.
"Tidak, aku serius mengatakan ini semua. Aku menawarkan ini hanya padamu saja, bagaimana?"
Aluna terkekeh sembari menggelengkan kepala. Dia benar-benar kaget dengan sikap Darren saat ini. Pria yang berpikir kalau pernikahan sama dengan jual beli. Aluna tidak suka dan tentu saja akan tetap menolak.
"Terima kasih, Pak. Saya tidak mau."
Erangan keluar dari mulut Darren. Pria itu sampai mengepalkan sebelah tangan, berusaha menahan emosi di depan sang gadis.
"Astaga! Kamu susah sekali dibujuk, ya? Padahal aku sudah menawarkan banyak uang!" seru Darren, wajahnya tampak frustrasi.
"Karena saya itu bukan materialistis. Terserah Bapak mengatai saya seperti apa. Bagi saya, setiap pernikahan itu sakral. Jadi, cari saja wanita lain. Permisi."
Gadis itu pun memilih untuk pergi dari ruangan Darren. Terdengar pria itu memanggil Aluna untuk kembali. Tetapi, sang gadis memilih untuk hengkang. Lagi pula, pembicaraan ini tidak akan pernah berakhir jika Darren tetap pada pendiriannya.
***
"Kenapa kamu baru pulang jam segini?"Darren terkesiap saat mendengar suara ibunya dari belakang. Sang pria sampai menghela napas panjang.
"Ibu? Kupikir Ibu sudah tidur."
"Jangan mengalihkan pembicaraan, jawab pertanyaan Ibu. Kenapa kamu baru pulang jam segini? Apa kamu takut jika Ibu bertanya tentang calon istrimu?"
Mendengar pertanyaan terakhir dari Danita--ibunya Darren--membuat pria itu hanya bisa menahan napas. Kalau sudah begini, Darren harus siap mendengar omelan ibunya lagi.
"Ya Tuhan, Ibu. Bukan masalah seperti itu. Di kantor banyak kerjaan," ucap Darren, mengelak.
Sebenarnya, dia enggan pulang ke rumah ibunya. Karena pasti akan ditagih menantu. Akan tetapi, kalau Darren tidak pulang, sang pria teringat jika Danita sedang mogok makan. Mana mungkin Darren diam saja. Bagaimanapun pria itu harus memenangkan hati ibunya.
"Jangan bohong! Ibu sudah tanya sama Amar. Temanmu itu bilang kerjaan di kantor sudah selesai. Benar, kan?"
Darren memaki Amar dalam hati. Kenapa juga temannya itu malah jujur? Padahal sudah jelas kalau dirinya sedang bermasalah dengan Danita. Kalau sudah begini, Darren harus mencari alasan lain, yang pasti masuk akal dan tidak membuat ibunya semakin marah.
"Kenapa diam saja? Kamu takut jika Ibu tanya tentang calon istrimu?" tanya Danita sembari berkacak pinggang. Sorot mata wanita itu juga terlihat menuntut.
"Bukan seperti itu, Bu. Pekerjaanku memang sudah selesai, tapi aku juga harus mengecek beberapa pekerjaan untuk minggu depan. Jadi aku baru pulang sekarang."
Hanya kalimat itu yang terlintas di benak Darren. Terdengar konyol, tapi daripada tidak memberi alasan, itu akan membuat posisinya semakin terpojok.
"Jangan alasan! Sekarang, mana calon istrimu? Ibu mau tahu."
"Belum ada, Bu," jawab Darren dengan nada lemah. Pada akhirnya, dia tidak bisa membawa Aluna.
"Apa? Belum ada! Kalau begitu kamu harus ikuti perjodohan."
Danita sudah mengambil keputusan. Dia tidak bisa diam saja. Anak semata wayangnya itu tidak bisa diandalkan. Bisa jadi perjaka tua kalau terus-terusan menolak jodoh. Belum lagi, Danita malu kalau ditanya perihal menantu oleh teman-teman arisannya.
"Bu, bukan begitu maksudku. Dia belum bisa menemui Ibu."
Sebuah alasan yang kontan dilontarkan oleh Darren. Sang pria langsung merutuki diri karena malah berbicara seperti itu. Tetapi, Darren tidak bisa menarik kata-katanya, atau sang Ibu akan semakin menjadi.
"Kenapa?" tanya Danita, alisnya bertautan. Dia bingung dengan maksud anaknya. Tadi saja bilang belum ada. Tetapi, sekarang berbeda lagi ucapannya.
"Dia itu kan karyawan di kantorku juga, jadi masih banyak pekerjaan dan belum bisa aku bawa ke sini."
"Benarkah? Jadi calon istrimu itu karyawanmu sendiri?"
"Kenapa? Apa Ibu tidak suka?"
Darren jadi khawatir kalau ibunya menolak. Padahal, Aluna itu gadis yang paling cocok untuk jadi istri bayarannya.
"Jelas Ibu suka. Itu lebih baik dibandingkan kamu mencari wanita matre di luar sana. Jadi, Ibu juga bisa tahu lebih banyak tentang sifat calon istrimu dari karyawan lainnya. Kalau begitu siapa nama gadis itu?"
Danita terlihat bersemangat sekali. Dia jadi tidak sabar untuk bertemu calon menantunya.
"Nanti aku akan kasih tahu."
"Kenapa nanti? Sekarang saja," ujar Danita, tidak sabar.
"Bukan begitu, Bu. Aku ingin mandi dulu, istirahat dulu sebentar. Nanti kita bicarakan masalah ini. Lagian, ini sudah hampir tengah malam. Mana mungkin aku bawa dia sekarang."
"Tidak bisa, pokoknya Ibu mau sekarang!"
Darren mengusap rambutnya sembari mendengkus kasar. Kalau sudah begini, akan sulit.
"Jangan mendengkus seperti itu. Kamu pikir Ibu tidak lelah terus-terusan ditanyai oleh teman-teman Ibu kapan kamu menikah? Ingat usiamu itu sudah 39 tahun. Jangan membuat Ibu malu! Cepat cari menantu buat Ibu dan cepat juga beri Ibu cucu," papar Danita, benar-benar kesal kepada anaknya itu.
Darren hanya bisa diam mendengarkan omelan ibunya. Mau tidak mau, dia harus mengabulkan keinginan Danita, atau ibunya akan berulah lagi.
"Baiklah, Bu. Nanti besok atau lusa aku akan membawa gadis itu ke hadapan Ibu."
"Benarkah?" tanya Danita dengan mana berbinar.
"Iya, aku serius. Apa Ibu senang?"
"Tentu saja. Ingat, ya! Jangan ingkar janji."
Raut wajah Danita terlihat penuh harap. Darren jadi tidak tega kalau membiarkan ibunya terus-terusan memohon seperti ini.
"Iya, aku janji. Sekarang Ibu sudah makan belum?"
"Ibu kan menunggu kamu. Kalau hari ini kamu tidak punya calon istri juga, tadinya Ibu mau melanjutkan mogok makan," jawab Danita, pura-pura kesal.
Padahal, sebenarnya Danita makan walaupun beberapa suap. Itu pun sembunyi-sembunyi dari ART-nya. Mana kuat dia menahan lapar seharian? Apalagi diusia yang sudah senja. Hanya saja, demi anaknya, Danita pun harus berbohong seperti ini.
"Sudah jangan seperti itu. Aku mandi dulu, nanti kita makan malam, ya?"
"Baiklah. Tapi, kamu janji akan membawa Ibu bertemu dengan gadis itu, kan?" tanya Danita memastikan.
Dia tidak mau sampai aksinya ini sia-sia, sementara Darren hanya memberi harapan palsu. Jadi, Danita meminta sebuah kepastian.
"Iya, Bu. Aku janji."
"Baiklah. Ya sudah, kamu mandi dulu. Ibu tunggu di ruang makan."
Darren pun memilih membersihkan diri. Dia disergap kebingungan, bagaimana caranya mengenalkan Aluna pada Danita, sementara Aluna sudah menolaknya mentah-mentah? Apa yang akan Darren lakukan selanjutnya?
"Bagaimana makanannya, Bu?""Enak sekali. Ini kamu pesan dari mana?" tanya Danita di sela suapannya."Tentunya dari restoran ternama. Katanya Ibu mau makan makanan dari luar. Jadi, aku pesan dari restoran yang paling mewah dan paling mahal."Sekarang, Darren dan Danita sedang makan malam. Ya, makan malam di saat yang kurang tepat. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tetapi, itu lebih baik daripada Darren membuat ibunya kelaparan.Walaupun sang Ibu berbohong, tapi Danita tidak akan menolak tawaran dari anaknya itu. "Kamu bisa saja bujuk Ibu, tetapi bukan berarti Ibu membatalkan tuntutan sama kamu, ya. Pokoknya kamu harus tetap mengenalkan gadis itu pada Ibu."Lama-lama Darren bosan mendengar permintaan ibunya. "Ya baiklah. Bisakah kita jangan membicarakan itu dulu? Kita kan baru selesai makan," ujar Darren, akhirnya bersuara. Padahal perutnya baru saja diisi. Bisa-bisa dia mual karena terlalu kenyang mendengar omelan ibunya."Loh, justru karena kita sudah selesai makan. I
"Ibu tidak akan tahu karena dia itu karyawan baru," jawab Darren.Sebenarnya Darren sudah bosan mendengar pertanyaan ibunya perihal Aluna. Karena, mau dijelaskan pun memang mereka belum pernah bertemu. Darren berharap, Danita segera mengakhiri pembicaraan ini. "Benarkah? Jadi, dia itu karyawan baru?" tanya Danita, memastikan lagi. "Iya, bukankah aku tadi sudah bilang, dia itu salah satu karyawanku.""Baguslah kalau begitu, tapi ngomong-ngomong siapa namanya?"Danita sampai lupa menanyakan nama calon menantunya. Semua itu karena dia terlalu senang mendapatkan kabar ini. "Namanya Aluna.""Aluna? Nama yang bagus. Tapi, kamu benar-benar yakin kalau Ibu belum mengenalnya?"Dalam hati Darren terus merutuk. Kalau berurusan dengan menantu dan pernikahan, ibunya itu terlalu bersemangat. Tetapi, itu malah membuat Darren pusing sendiri. Danita terlalu ingin tahu. "Iya, Bu. Ibu tidak mengenalnya. Dia baru 2 bulan bekerja di tempatku." "Oh ya, jadi jabatannya sebagai apa?" tanya Danita lagi.
"Dasar pria gila! Dia pikir aku ini wanita murahan? Bisa dibeli dengan sejumlah uang? Harusnya dia beli saja wanita bayaran yang sudah jelas-jelas akan menyerahkan dirinya dan rela melakukan apa pun. Aku tidak paham dengan jalan pikiran pria itu!"Aluna menghempaskan diri di sofa dengan perasaan kesal. Dia masih ingat tentang permintaan pria dingin itu kepada dirinya. Padahal, Aluna yakin kalau Darren itu juga anti-pati kepadanya. Tetapi, siapa sangka? Tiba-tiba saja Aluna dilamar oleh orang yang sangat dia hindari. Gadis itu masih tidak habis pikir dan merasa kalau Darren sedang mempermainkannya. "Kenapa kamu datang-datang malah marah-marah?""Astaga! Ibu bikin aku kaget saja!" seru Aluna, terkejut.Lamunan gadis itu pun langsung buyar saat mendengar suara Amalia."Kamu yang bikin Ibu kaget, tiba-tiba saja datang sambil ngomel seperti itu. Memang ada masalah apa?" tanya Amalia, sembari duduk di sebelah anaknya. Aluna diam sejenak. Sempat terlintas ingin bercerita tentang Darren. Te
"Ibu, jangan pikirkan hal seperti itu, biar semua menjadi urusanku," ucap Aluna, masih berusaha menenangkan sang Ibu.Namun demikian, perkataan apa pun yang dilontarkan oleh anaknya, sama sekali tidak membuat wanita paruh baya itu merasa membaik."Tapi, uang 100 juta itu--" "Bu, percayalah kepadaku. Aku akan mencoba untuk mencari jalan keluarnya, yang penting Ibu jangan sampai sakit hanya karena memikirkan ini semua," ujar Aluna menyela."Ini bukan masalah sepele, Aluna. Seratus juta itu uang semua!" seru Amalia, berusaha menyadarkan anaknya kalau uang sebanyak itu tidak bisa didapatkan semudah membalikkan telapak tangan. "Aku tahu, Bu. Maka dari itu, aku mohon, Ibu tetap tenang dan doakan agar aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu."Mendengar itu, Amalia hanya bisa diam. Sekeras apa pun dirinya berusaha untuk menyadarkan Aluna, tapi anaknya juga bersikukuh bisa melunasi itu semua. Sang paruh baya pun hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. "Sekali lagi Ibu minta maaf kar
"Em, maksud lo Amar divisi exim itu?" tanya Aluna, memastikan.Karena setahunya nama Amar hanya pria itu. Lagi pula, memang Aluna sering berkomunikasi dengan Amar meskipun hanya tentang pekerjaan. Tetapi, memang Aluna selalu jutek dan terkesan galak. Aluna berpikir itu adalah cara dirinya melindungi diri. Setidaknya dia punya benteng pertahanan agar tidak ada pria yang meremehkannya atau memperlakukan semena-mena."Iya, memang lo pikir Amar yang mana lagi?" tanya Alika, gemas.Aluna terkekeh pelan. "Memang dia bilang apa?" tanya Aluna penasaran.Selama ini, Amar terlihat bersikap biasa saja. Padahal, kalau memang ada yang mau dibicarakan, pria itu tinggal bilang saja pada Aluna, tidak harus lewat Alika. Itulah yang membuat Aluna penasaran. "Katanya mau bertemu dengan elo, mau berbicara empat mata."Aluna kaget, dia bahkan sampai berdiri. "Benarkah? Hahaha." Sekarang giliran Alika yang keheranan. "Kenapa lo malah tertawa?" "Iya. Bagaimana gue tidak tertawa, kalau dia memang ingin b
Aluna terdiam memandang lurus ke depan. Setelah pembicaraannya dengan Alika, dia pun berpikir matang-matang. Kalau misalkan Aluna meminjam uang kepada Darren, apakah mungkin pria itu memberikannya? Sementara sebelumnya sang pria menawarkan 500 juta untuk mahar agar dia mau menikah dengan Darren. Ini benar-benar memalukan untuknya.Bagaimana bisa dia mendatangi Darren dan meminjam uang 100 juta? Pasti pria itu akan menertawakannya dan sang pria akan menawarkan lagi 500 juta itu untuk mahar yang katanya demi menikahi gadis cuek seperti Aluna. "Yang benar saja! Masa aku harus nikah sama Pak Darren? Dia kan lebih tua dariku. Harusnya itu dia jadi pamanku. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kalau misalkan menolak permintaan Pak Darren, tentu saja aku juga tidak akan mendapatkan 100 juta itu. Tapi, kalau aku tidak meminjam kepada Pak Darren, bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat?" Aluna mulai frustrasi. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Jika menjual rumah
"Jadi, maksud Ibu aku akan jadikan barang jaminan untuk melunasi utang-utang Ayah? Ibu mau menjualku?" tanya Aluna dengan nada tak percaya. Karena dia pikir ibunya akan membahas masalah lain, ternyata malah menyuruhnya menikahi rentenir yang harusnya menjadi ayahnya sendiri. Amalia langsung menggelengkan kepala, menolak tuduhan yang dilayangkan oleh anaknya itu. "Bukan seperti itu, Nak. Ibu bukan bermaksud menyuruhmu menyerahkan diri untuk menjadi jaminan atas utang-utang kita. Ibu mengatakan ini karena dia itu duda. Dia tidak punya istri. Jadi, apa salahnya kalau kamu menikah dengannya? Kamu juga pasti akan terjamin hidup bersama pria itu. Ya, walaupun memang usianya sudah cukup tua. Tapi menurut Ibu itu lebih baik dibandingkan kamu berjuang mati-matian untuk mengumpulkan uang sebanyak itu," ungkap Amalia berusaha untuk memaparkan maksud baiknya. Walaupun memang ini sangat menyedihkan, tetapi itu adalah jalan satu-satunya yang terbaik. Mumpung rentenir itu berbaik hati untuk memb
"Loh, Amar?" tanya Aluna kaget, saat tiba-tiba saja pria itu sudah ada di depannya.Sementara pria itu tampak tersenyum kaku. Wajahnya terlihat sekali pucat, tetapi sang pria berusaha untuk bersikap santai. Mungkin tidak mau sampai mempermalukan diri di depan gadis yang sangat dia sukai.Ya, Amar memang menyukai Aluna sejak pertama kali bertemu dengan gadis itu. Amar lebih dahulu masuk ke pabrik itu dibandingkan Aluna, yang baru saja beberapa bulan. Sementara sang pria sudah 1 tahun bekerja di bagian divisi ekspor impor. Dia sudah berusaha untuk mendekati Aluna. Tetapi gadis itu terlalu cuek dan jutek, sementara dia takut jika berhadapan dengan wanita yang seperti itu. Hingga rasa sukanya itu tidak bisa dipendam lagi dan akhirnya meminta bantuan kepada Alika. Mungkin memang terdengar tidak gentlemen, tetapi ketakutannya beserta rasa suka yang berbaur menjadi satu, membuat pria itu akhirnya memilih jalan tersebut. "Ada apa?" tanya Aluna dengan wajah datar. Seperti biasa gadis itu ak