Beranda / Romansa / Istri Bayaran Sang CEO / Bab 3 Tuntutan Danita

Share

Bab 3 Tuntutan Danita

Penulis: Dhesu Nurill
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-14 22:53:46

"Satu miliar?" tanya Aluna. Wajahnya masih syok, tampak tak percaya.

"Iya, itu maharnya saja. Kamu bisa meminta apa pun. Rumah, perhiasan, baju-baju bagus, tas branded atau mungkin kamu butuh mobil? Boleh. Kamu juga tidak perlu bekerja lagi sebagai sekretarisku. Gampang, kan?" jelas Darren. Dia tersenyum, percaya diri.

Kali ini sang pria yakin, Aluna tidak akan menolaknya. Siapa yang bisa menolak jika diberi iming-iming harta dan kemewahan? Menurut Darren tidak ada. 

"Bapak bercanda, kan?"

Aluna masih tidak percaya. Apalagi Darren terkenal arogan dan dingin. Mana mungkin memberikan semua itu kepada gadis biasa sepertinya.

"Tidak, aku serius mengatakan ini semua. Aku menawarkan ini hanya padamu saja, bagaimana?"

Aluna terkekeh sembari menggelengkan kepala. Dia benar-benar kaget dengan sikap Darren saat ini. Pria yang berpikir kalau pernikahan sama dengan jual beli. Aluna tidak suka dan tentu saja akan tetap menolak. 

"Terima kasih, Pak. Saya tidak mau." 

Erangan keluar dari mulut Darren. Pria itu sampai mengepalkan sebelah tangan, berusaha menahan emosi di depan sang gadis.

"Astaga! Kamu susah sekali  dibujuk, ya? Padahal aku sudah menawarkan banyak uang!" seru Darren, wajahnya tampak frustrasi. 

"Karena saya itu bukan materialistis. Terserah Bapak mengatai saya seperti apa. Bagi saya, setiap pernikahan itu sakral. Jadi, cari saja wanita lain. Permisi."

Gadis itu pun memilih untuk pergi dari ruangan Darren. Terdengar pria itu memanggil Aluna untuk kembali. Tetapi, sang gadis memilih untuk hengkang. Lagi pula, pembicaraan ini tidak akan pernah berakhir jika Darren tetap pada pendiriannya. 

***

"Kenapa kamu baru pulang jam segini?"

Darren terkesiap saat mendengar suara ibunya dari belakang. Sang pria sampai menghela napas panjang. 

"Ibu? Kupikir Ibu sudah tidur."

"Jangan mengalihkan pembicaraan, jawab pertanyaan Ibu. Kenapa kamu baru pulang jam segini? Apa kamu takut jika Ibu bertanya tentang calon istrimu?"

Mendengar pertanyaan terakhir dari Danita--ibunya Darren--membuat pria itu hanya bisa menahan napas. Kalau sudah begini, Darren harus siap mendengar omelan ibunya lagi. 

"Ya Tuhan, Ibu. Bukan masalah seperti itu. Di kantor banyak kerjaan," ucap Darren, mengelak.

Sebenarnya, dia enggan pulang ke rumah ibunya. Karena pasti akan ditagih menantu. Akan tetapi, kalau Darren tidak pulang, sang pria teringat jika Danita sedang mogok makan. Mana mungkin Darren diam saja. Bagaimanapun pria itu harus memenangkan hati ibunya.

"Jangan bohong! Ibu sudah tanya sama Amar. Temanmu itu bilang kerjaan di kantor sudah selesai. Benar, kan?"

Darren memaki Amar dalam hati. Kenapa juga temannya itu malah jujur? Padahal sudah jelas kalau dirinya sedang bermasalah dengan Danita. Kalau sudah begini, Darren harus mencari alasan lain, yang pasti masuk akal dan tidak membuat ibunya semakin marah. 

"Kenapa diam saja? Kamu takut jika Ibu tanya tentang calon istrimu?" tanya Danita sembari berkacak pinggang. Sorot mata wanita itu juga terlihat menuntut. 

"Bukan seperti itu, Bu. Pekerjaanku memang sudah selesai, tapi aku juga harus mengecek beberapa pekerjaan untuk minggu depan. Jadi aku baru pulang sekarang."

Hanya kalimat itu yang terlintas di benak Darren. Terdengar konyol, tapi daripada tidak memberi alasan, itu akan membuat posisinya semakin terpojok. 

"Jangan alasan! Sekarang, mana calon istrimu? Ibu mau tahu." 

"Belum ada, Bu," jawab Darren dengan nada lemah. Pada akhirnya, dia tidak bisa membawa Aluna. 

"Apa? Belum ada! Kalau begitu kamu harus ikuti perjodohan."

Danita sudah mengambil keputusan. Dia tidak bisa diam saja. Anak semata wayangnya itu tidak bisa diandalkan. Bisa jadi perjaka tua kalau terus-terusan menolak jodoh. Belum lagi, Danita malu kalau ditanya perihal menantu oleh teman-teman arisannya.

"Bu, bukan begitu maksudku. Dia belum bisa menemui Ibu."

Sebuah alasan yang kontan dilontarkan oleh Darren. Sang pria langsung merutuki diri karena malah berbicara seperti itu. Tetapi, Darren tidak bisa menarik kata-katanya, atau sang Ibu akan semakin menjadi.

"Kenapa?" tanya Danita, alisnya bertautan. Dia bingung dengan maksud anaknya. Tadi saja bilang belum ada. Tetapi, sekarang berbeda lagi ucapannya. 

"Dia itu kan karyawan di kantorku juga, jadi masih banyak pekerjaan dan belum bisa aku bawa ke sini." 

"Benarkah? Jadi calon istrimu itu karyawanmu sendiri?"

"Kenapa? Apa Ibu tidak suka?" 

Darren jadi khawatir kalau ibunya menolak. Padahal, Aluna itu gadis yang paling cocok untuk jadi istri bayarannya. 

"Jelas Ibu suka. Itu lebih baik dibandingkan kamu mencari wanita matre di luar sana. Jadi, Ibu juga bisa tahu lebih banyak tentang sifat calon istrimu dari karyawan lainnya. Kalau begitu siapa nama gadis itu?"

Danita terlihat bersemangat sekali. Dia jadi tidak sabar untuk bertemu calon menantunya. 

"Nanti aku akan kasih tahu." 

"Kenapa nanti? Sekarang saja," ujar Danita, tidak sabar. 

"Bukan begitu, Bu. Aku ingin mandi dulu, istirahat dulu sebentar. Nanti kita bicarakan masalah ini. Lagian, ini sudah hampir tengah malam. Mana mungkin aku bawa dia sekarang." 

"Tidak bisa, pokoknya Ibu mau sekarang!"

Darren mengusap rambutnya sembari mendengkus kasar. Kalau sudah begini, akan sulit. 

"Jangan mendengkus seperti itu. Kamu pikir Ibu tidak lelah terus-terusan ditanyai oleh teman-teman Ibu kapan kamu menikah? Ingat usiamu itu sudah 39 tahun. Jangan membuat Ibu malu! Cepat cari menantu buat Ibu dan cepat juga beri Ibu cucu," papar Danita, benar-benar kesal kepada anaknya itu. 

Darren hanya bisa diam mendengarkan omelan ibunya. Mau tidak mau, dia harus mengabulkan keinginan Danita, atau ibunya akan berulah lagi.

"Baiklah, Bu. Nanti besok atau lusa aku akan membawa gadis itu ke hadapan Ibu." 

"Benarkah?" tanya Danita dengan mana berbinar. 

"Iya, aku serius. Apa Ibu senang?" 

"Tentu saja. Ingat, ya! Jangan ingkar janji." 

Raut wajah Danita terlihat penuh harap. Darren jadi tidak tega kalau membiarkan ibunya terus-terusan memohon seperti ini. 

"Iya, aku janji. Sekarang Ibu sudah makan belum?"

"Ibu kan menunggu kamu. Kalau hari ini kamu tidak punya calon istri juga, tadinya Ibu mau melanjutkan mogok makan," jawab Danita, pura-pura kesal.

Padahal, sebenarnya Danita makan walaupun beberapa suap. Itu pun sembunyi-sembunyi dari ART-nya. Mana kuat dia menahan lapar seharian? Apalagi diusia yang sudah senja. Hanya saja, demi anaknya, Danita pun harus berbohong seperti ini.

"Sudah jangan seperti itu. Aku mandi dulu, nanti kita makan malam, ya?"

"Baiklah. Tapi, kamu janji akan membawa Ibu bertemu dengan gadis itu, kan?" tanya Danita memastikan.

Dia tidak mau sampai aksinya ini sia-sia, sementara Darren hanya memberi harapan palsu. Jadi, Danita meminta sebuah kepastian.

"Iya, Bu. Aku janji."

"Baiklah. Ya sudah, kamu mandi dulu. Ibu tunggu di ruang makan."

Darren pun memilih membersihkan diri. Dia disergap kebingungan, bagaimana caranya mengenalkan Aluna pada Danita, sementara Aluna sudah menolaknya mentah-mentah? Apa yang akan Darren lakukan selanjutnya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Bayaran Sang CEO   Bab 159 Malah Jadi Bumerang

    "Serius kalian menginap di sini? Lalu Nak Darren gimana? Dia masih banyak pekerjaan, kan?""Iya, Bu. Saya masih banyak pekerjaan. Sebenarnya saya juga mau menginap di sini, tapi masalahnya pekerjaan saya sangat banyak. Takutnya ada beberapa project yang terlepas kalau saya kelamaan di luar. Mohon maaf sebelumnya ya, Bu."Aluna membulatkan mata. Dia tidak percaya kalau Darren mengatakan hal seperti ini. Sama saja pria itu tidak setuju kalau mereka menginap. Padahal dia masih ingin lama-lama di sini. Sepertinya seru juga kalau mengerjai Darren di rumah ini, karena dia yakin pria itu tidak akan berani macam-macam kalau ada di rumah ibunya. "Oh ya, kalau gitu nggak apa-apa. Kalian bisa nginep kapan saja.""Atau gini aja, Bu. Aku aja yang nginep di sini. Gak masalah Mas Darren enggak ikut nginep juga."Mendengar itu Darren terkejut. Dia hampir membulatkan mata dan ingin sekali memarahi istrinya ini. Tetapi tentu saja tidak berani melakukan itu. Kalau sampai Ibu mertuanya tahu, bisa-bisa d

  • Istri Bayaran Sang CEO   Bab 158 Tiba-tiba Melembut

    "Aku tidak akan memaafkan Bapak sebelum Bapak mengatakannya dengan baik dan benar, bukan malah nada tinggi dan membuatku takut," ujar Aluna. Kali ini dia tidak mau kalah. Lagi pula ini di rumah ibunya, bisa bebas mengatakan apa pun karena dia yakin Darren tidak akan berani mengucapkan hal-hal yang tidak baik, apalagi sampai membentaknya. Pria itu terperangah. Dia benar-benar kaget menghadapi Aluna yang seperti ini. Apakah memang wanita pada dasarnya maunya sendiri dan menjengkelkan? Dia tidak bisa berpikir jernih jika Aluna terus saja memancingnya seperti ini. "Kenapa diam seperti itu, Pak? Ya udah, kalau misalkan Bapak tidak mau meminta maaf, terserah. Ini juga kamarku kok, kalau Bapak punya malu paling Bapak cuma berdiri aja," ungkap Aluna pergi tanpa berbalik menghadap ke arah Darren, hingga akhirnya pria itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Aluna kaget. "Ya, baiklah. Aku minta maaf. Tolong akhiri perdebatan ini, aku janji tidak akan mengulangi," terang Darren dengan suara r

  • Istri Bayaran Sang CEO   Bab 157 Sekarang Sudah Berbeda

    Aluna terdiam mendengar semua itu. Dengan kata lain dia harus segera menyerahkan uang ratusan juta kepada bosnya ini. Dengan begitu juga mungkin dia akan menjadi janda dalam beberapa hari. Membayangkannya membuat Aluna pusing. Mana mungkin dia melakukan semua itu. Dari mana juga uangnya? Kalau sampai menggunakan sertifikat rumah, lalu dia dan ibunya akan tinggal di mana? semua akan benar-benar lenyap dalam sekejap mata. Tetapi dia juga tidak bisa memaafkan Darren begitu saja setelah apa yang dilakukan oleh pria ini.Ciuman pertamanya sudah diambil dan itu merupakan hal yang sangat berarti bagi Aluna. Memang Darren adalah suaminya, tetapi bukan suami asli yang benar-benar dicintai oleh sang gadis. Tidak bisa begitu saja menyerahkan yang paling berharga di hidupnya, termasuk ciuman pertama dan kehormatannya. Dia bukanlah orang yang bisa dengan mudah menyerahkan sesuatu hanya demi memenuhi hal-hal yang tidak pasti. "Apa begini cara Bapak membujuk seorang gadis? Pantas saja Bapak tidak l

  • Istri Bayaran Sang CEO   Bab 156 Dikunci Berdua

    "Pokoknya kamu ikuti saja semua kata Ibu. Kamu harus bujuk Aluna bagaimanapun caranya, oke?" ucap Amalia membuat Darren kebingungan, tetapi tak urung pria itu akhirnya menganggukkan kepala. Tanpa aba-aba, Amalia tiba-tiba saja menggedor-gedor pintu kamar Aluna, membuat sang gadis yang ada di dalamnya terkejut. "Buka, Aluna! Jangan seperti ini, Ibu tidak suka kalau kamu punya masalah dan hanya didiamkan saja. Hadapi semuanya dengan tenang," ungkap Amalia marah-marah, membuat Darren semakin kebingungan. Dia tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh mertuanya, karena tiba-tiba saja mengendor kamar Aluna tanpa memberikan penjelasan apa rencana yang sebenarnya akan dilakukan oleh wanita paruh baya ini. Aluna juga kaget dan tidak tahu harus melakukan apa. Caranya terlalu tergesa-gesa dan ini malah membuat Aluna semakin kebingungan. "Kenapa diam saja? Ayo cepat buka! Kalau tidak, Ibu akan marah dan tidak akan memaafkanmu." Seketika Aluna membuka pintu dengan wajah takut juga kaget b

  • Istri Bayaran Sang CEO   Bab 155 Terpaksa Menurunkan Ego

    Sepeninggalnya Aluna, Amalia dan Darren hanya saling pandang. Mereka juga kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi barusan. Setelah suara pintu tertutup, barulah keduanya tersadar.Darren langsung berdiri dan menghampiri kamar Aluna. Dia mengetuk pintu kamar sembari berkata kalau dirinya harus berbicara dengan wanita itu. "Dengarkan aku dulu, ayo kita berbicara dari hati ke hati," ucap Darren membuat Amalia menepuk jidat.Harusnya menantunya itu diam saja, memakai trik yang lembut dan juga hati-hati. Bukan malah sembrono dan menghampiri Aluna. Secara lembut saja Aluna begitu sikapnya, apalagi kalau tergesa-gesa seperti sekarang. Aluna sempat kaget di dalam, karena Darren tiba-tiba saja mengetuk pintunya. Ini benar-benar membuat gadis itu semakin tidak suka dan tidak mau dekat-dekat dengan Darren. "Ayolah, Aluna. Aku minta maaf karena sudah melakukan kesalahan, jadi bisakah kita saling berbaikan dan pulang? Aku tidak mau sampai ibuku marah-marah." Darren terus terang. Dia ti

  • Istri Bayaran Sang CEO   Bab 154 Manusia Transparan

    Aroma makanan yang menyerang itu membuat rasa lapar semakin menjadi. Bahkan suara perutnya terdengar. Gadis itu meringis sembari memegangi perut. Kalau sudah begini, apakah dia harus menyerah untuk keluar? Tetapi bagaimana kalau ternyata benar Darren ada di sana? Yang ada dia gengsi dan malu sendiri, sebab tahu kalau dirinya kabur tanpa pamit kepada bosnya. Bagaimanapun Darren itu adalah bosnya sendiri. Pasti akan ada kata-kata yang membuat Aluna kembali merasa sakit hati, tapi kalau diam saja pun dia pasti akan kelaparan dan entah sampai jam berapa pria itu akan ada di sini. Darren melihat ke sekitar, berharap kalau Aluna datang. Tetapi tidak juga keluar. Dia berbisik kepada mertuanya, apakah rencana yang tadi itu berhasil atau tidak."Aluna belum keluar, Bu?" tanya Darren memastikan."Sudah tenang aja, sebaiknya kamu makan, ya?" Amalia terlihat santai.Dia malah menyendokan makanan di piring menantunya. Sebab Amalia mengatakan kalau Aluna pasti akan keluar. Entah cepat atau lambat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status