"Bagaimana makanannya, Bu?"
"Enak sekali. Ini kamu pesan dari mana?" tanya Danita di sela suapannya.
"Tentunya dari restoran ternama. Katanya Ibu mau makan makanan dari luar. Jadi, aku pesan dari restoran yang paling mewah dan paling mahal."
Sekarang, Darren dan Danita sedang makan malam. Ya, makan malam di saat yang kurang tepat. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tetapi, itu lebih baik daripada Darren membuat ibunya kelaparan.
Walaupun sang Ibu berbohong, tapi Danita tidak akan menolak tawaran dari anaknya itu.
"Kamu bisa saja bujuk Ibu, tetapi bukan berarti Ibu membatalkan tuntutan sama kamu, ya. Pokoknya kamu harus tetap mengenalkan gadis itu pada Ibu."
Lama-lama Darren bosan mendengar permintaan ibunya.
"Ya baiklah. Bisakah kita jangan membicarakan itu dulu? Kita kan baru selesai makan," ujar Darren, akhirnya bersuara.
Padahal perutnya baru saja diisi. Bisa-bisa dia mual karena terlalu kenyang mendengar omelan ibunya.
"Loh, justru karena kita sudah selesai makan. Ibu mau bertanya sesuatu kepadamu."
Darren menautkan kedua alisnya. "Pertanyaan apa?"
"Ini tentang wanita jalang itu."
Darren terkesiap. Dia menghela napas kasar dengan wajah kesal. "Ya Tuhan, bisakah jangan membicarakan dia lagi, Bu?"
"Harus! Ibu harus membicarakan dia. Ini sebagai wanti-wanti agar nanti setelah kamu menikah, wanita itu tidak ada lagi dalam kehidupan kamu."
Darren sangat kesal. Ibunya malah membicarakan tentang seseorang yang sudah menorehkan luka di hatinya.
"Memangnya apa yang Ibu ingin bicarakan?" Dengan malas pria itu pun mengajukan pertanyaan.
Danita tidak akan berhenti jika belum mendapat jawaban dari Darren. Jadi, terpaksa pria itu menimpali setiap ucapan ibunya.
"Apa kamu sudah memblokir semua kontak tentangnya?" tanya Danita dengan serius.
"Kenapa Ibu malah membicarakan masalah itu? Aku tidak suka!" seru Darren.
Pria itu pun berdiri. Dia memilih untuk pergi. Takut terpancing emosi kalau terus-terusan membicarakan wanita itu. Tetapi, belum juga melangkah, Danita sudah menarik lengan anaknya. Memerintah sang pria untuk kembali duduk.
"Diam di sini! Dengar, kamu harus menghilangkan semua jejak tentang Monica. Kamu tahu? Gara-gara wanita itu, kamu tidak mau menjalin kasih lagi dengan wanita lain. Bahkan teman Ibu kira kalau kamu itu penyuka sesama jenis. Apa itu tidak memalukan?"
Danita mengeluarkan keluh kesahnya. Dia sudah malu mendengar teman-temannya mengatai Darren. Danita pun jadi ikutan khawatir dan harus memastikannya sendiri.
Danita memang tahu jika Darren tidak mau menikah sebab Monica. Seorang wanita cantik yang berhasil menjadikan Darren ATM berjalan, tapi juga menduakan pria itu.
Darren sangat mencintai Monica saat itu. Dia bahkan berencana melamar sang wanita. Apa pun permintaan Monica adalah keharusan dan selalu dikabulkan oleh Darren.
Namun, setelah dia memberikan hatinya dan banyak pengorbanan, yang didapat hanyalah pengkhianatan. Darren mendapati Monica tengah bergumul dengan pria lain.
Hati sang pria hancur. Sialnya, Darren masih menyimpan perasaan untuk Monica. Akan tetapi saat itu juga, dia tetap memutuskan hubungan dengan Monica. Darren jadi pria yang dingin, arogan dan tidak percaya lagi terhadap cinta juga jalinan asmara. Apalagi pernikahan. Pria itu tidak pernah mau menjalin komitmen.
Dia tidak mau disakiti untuk kedua kalinya. Oleh sebab itulah, hingga detik ini Darren masih melajang.
Namun, itu semua membuat Danita sedih. Dia sudah berusaha menyadarkan Darren dan mengubah pemikiran anaknya tentang sebuah hubungan. Tetapi, tidak berhasil. Hingga akhirnya, hanya cara ini yang bisa Danita lakukan demi perubahan Darren.
"Tapi aku tidak seperti itu, Bu! Aku masih normal," sergah Darren membela diri.
Danita terkesiap mendengar suara anaknya, menghempaskan dirinya dari lamunan masa silam.
Darren juga kaget mendengar keterangan ibunya. Pantas saja Danita terus memaksanya menikah, ternyata termakan oleh omongan orang.
"Kalau begitu buktikan! Cepat menikah dan lupakan Monica."
Darren memejamkan mata sejenak, berusaha mengontrol emosi.
"Aku tahu. Lagian, dia juga tidak ada di kota ini."
"Sekarang memang dia tidak ada di kota ini, tapi kalau satu hari nanti dia kembali bagaimana? Apalagi setelah kamu menikah."
Darren terdiam. Pertanyaan ibunya berhasil membuat dia bingung. Bahkan, sang pria tidak pernah memikirkan itu. Membayangkan Monica kembali saja sudah membuat Darren bingung dan marah, apalagi kalau wanita itu benar-benar kembali. Darren pasti akan kacau.
"Kenapa diam saja? Cepat katakan kepada Ibu. Kamu masih menyukai Monica?" tanya Danita, mendesak.
"Bu, sudahlah. Aku tidak mau bahas dia. Aku mohon."
Jika membicarakan Monica, sama saja mengorek luka yang sudah kering. Pasti akan sakit dan tetap meninggalkan jejak.
"Harus. Ibu bilang harus! Ibu harus tahu tentang perasaanmu kepada Monica seperti apa. Ingat, Darren. Kamu disakiti olehnya."
"Bu, sekali lagi aku mohon!" Wajah Darren sudah memelas. Ini terlalu menyakitkan untuknya.
Namun, Danita harus melakukannya. Dia tidak bisa membiarkan anaknya menyimpan luka, apalagi masih mencintai wanita itu. Darren harus move on.
"Dengarkan Ibu! Dia sudah mengkhianatimu, mengeruk hartamu juga. Tapi kamu masih saja mencintai dia? Kamu itu benar-benar bodoh! Cinta itu membuat kamu bodoh. Ibu tidak habis pikir, apa sih bagusnya si Monica? Hanya menang cantiknya saja. Lagian Ibu yakin, pasti ada yang lebih cantik dari Monica."
Darren mengusap kasar wajahnya. Ibunya tidak bisa berhenti juga. Dia harus mencari cara untuk lari dari pembicaraan ini.
"Baiklah, Bu. Aku mengalah. Memang ada yang lebih cantik dari Monica."
"Lalu, kenapa kamu masih memikirkannya?"
Danita masih tidak habis pikir. Sudah tahu disakiti, masih saja menyimpan rasa. Masih banyak wanita yang lebih cantik dari Monica. Tetapi, anaknya itu seolah menutup mata. Dia jadi kesal sendiri.
"Tidak semudah itu, Bu. Monica itu cinta pertamaku."
Darren akhirnya jujur tentang alasannya masih menyimpan rasa untuk Monica. Kata orang, cinta pertama itu sulit dilupakan. Pada nyatanya memang seperti itu. Darren merasakannya sendiri.
"Omong kosong dengan cinta pertama! Kalau menyakitkan, untuk apa dikenang? Ingat, ya! Setelah kamu menikah, Ibu tidak mau tahu. Jangan pernah menyinggung apa pun tentang Monica kepada istrimu. Kamu akan menyakitinya, ingat itu! Kamu mendengarkan Ibu tidak?!"
"Iya, Bu. Aku mendengarkan. kalau begitu aku istirahat dulu, ya."
Darren memilih untuk mengikuti alur pembicaraan ibunya. Ini lebih baik dibandingkan terus menyergah dan membuat suasana hatinya semakin buruk.
"Baiklah kalau begitu. Ingat! Besok Ibu ingin ada kabar baik, kamu harus menepati janji untuk mempertemukan Ibu dengan gadis itu."
Baru juga melangkah, Darren malah mendengar permintaan ibunya lagi. Sang pria pun memilih untuk menganggukkan kepala saja. Bisa lebih panjang urusannya kalau Darren kembali menimpali Danita.
"Tapi ngomong-ngomong, siapa nama gadis itu dan dari mana asal usulnya? Apakah Ibu mengenalnya?"
"Ibu tidak akan tahu karena dia itu karyawan baru," jawab Darren.Sebenarnya Darren sudah bosan mendengar pertanyaan ibunya perihal Aluna. Karena, mau dijelaskan pun memang mereka belum pernah bertemu. Darren berharap, Danita segera mengakhiri pembicaraan ini. "Benarkah? Jadi, dia itu karyawan baru?" tanya Danita, memastikan lagi. "Iya, bukankah aku tadi sudah bilang, dia itu salah satu karyawanku.""Baguslah kalau begitu, tapi ngomong-ngomong siapa namanya?"Danita sampai lupa menanyakan nama calon menantunya. Semua itu karena dia terlalu senang mendapatkan kabar ini. "Namanya Aluna.""Aluna? Nama yang bagus. Tapi, kamu benar-benar yakin kalau Ibu belum mengenalnya?"Dalam hati Darren terus merutuk. Kalau berurusan dengan menantu dan pernikahan, ibunya itu terlalu bersemangat. Tetapi, itu malah membuat Darren pusing sendiri. Danita terlalu ingin tahu. "Iya, Bu. Ibu tidak mengenalnya. Dia baru 2 bulan bekerja di tempatku." "Oh ya, jadi jabatannya sebagai apa?" tanya Danita lagi.
"Dasar pria gila! Dia pikir aku ini wanita murahan? Bisa dibeli dengan sejumlah uang? Harusnya dia beli saja wanita bayaran yang sudah jelas-jelas akan menyerahkan dirinya dan rela melakukan apa pun. Aku tidak paham dengan jalan pikiran pria itu!"Aluna menghempaskan diri di sofa dengan perasaan kesal. Dia masih ingat tentang permintaan pria dingin itu kepada dirinya. Padahal, Aluna yakin kalau Darren itu juga anti-pati kepadanya. Tetapi, siapa sangka? Tiba-tiba saja Aluna dilamar oleh orang yang sangat dia hindari. Gadis itu masih tidak habis pikir dan merasa kalau Darren sedang mempermainkannya. "Kenapa kamu datang-datang malah marah-marah?""Astaga! Ibu bikin aku kaget saja!" seru Aluna, terkejut.Lamunan gadis itu pun langsung buyar saat mendengar suara Amalia."Kamu yang bikin Ibu kaget, tiba-tiba saja datang sambil ngomel seperti itu. Memang ada masalah apa?" tanya Amalia, sembari duduk di sebelah anaknya. Aluna diam sejenak. Sempat terlintas ingin bercerita tentang Darren. Te
"Ibu, jangan pikirkan hal seperti itu, biar semua menjadi urusanku," ucap Aluna, masih berusaha menenangkan sang Ibu.Namun demikian, perkataan apa pun yang dilontarkan oleh anaknya, sama sekali tidak membuat wanita paruh baya itu merasa membaik."Tapi, uang 100 juta itu--" "Bu, percayalah kepadaku. Aku akan mencoba untuk mencari jalan keluarnya, yang penting Ibu jangan sampai sakit hanya karena memikirkan ini semua," ujar Aluna menyela."Ini bukan masalah sepele, Aluna. Seratus juta itu uang semua!" seru Amalia, berusaha menyadarkan anaknya kalau uang sebanyak itu tidak bisa didapatkan semudah membalikkan telapak tangan. "Aku tahu, Bu. Maka dari itu, aku mohon, Ibu tetap tenang dan doakan agar aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu."Mendengar itu, Amalia hanya bisa diam. Sekeras apa pun dirinya berusaha untuk menyadarkan Aluna, tapi anaknya juga bersikukuh bisa melunasi itu semua. Sang paruh baya pun hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. "Sekali lagi Ibu minta maaf kar
"Em, maksud lo Amar divisi exim itu?" tanya Aluna, memastikan.Karena setahunya nama Amar hanya pria itu. Lagi pula, memang Aluna sering berkomunikasi dengan Amar meskipun hanya tentang pekerjaan. Tetapi, memang Aluna selalu jutek dan terkesan galak. Aluna berpikir itu adalah cara dirinya melindungi diri. Setidaknya dia punya benteng pertahanan agar tidak ada pria yang meremehkannya atau memperlakukan semena-mena."Iya, memang lo pikir Amar yang mana lagi?" tanya Alika, gemas.Aluna terkekeh pelan. "Memang dia bilang apa?" tanya Aluna penasaran.Selama ini, Amar terlihat bersikap biasa saja. Padahal, kalau memang ada yang mau dibicarakan, pria itu tinggal bilang saja pada Aluna, tidak harus lewat Alika. Itulah yang membuat Aluna penasaran. "Katanya mau bertemu dengan elo, mau berbicara empat mata."Aluna kaget, dia bahkan sampai berdiri. "Benarkah? Hahaha." Sekarang giliran Alika yang keheranan. "Kenapa lo malah tertawa?" "Iya. Bagaimana gue tidak tertawa, kalau dia memang ingin b
Aluna terdiam memandang lurus ke depan. Setelah pembicaraannya dengan Alika, dia pun berpikir matang-matang. Kalau misalkan Aluna meminjam uang kepada Darren, apakah mungkin pria itu memberikannya? Sementara sebelumnya sang pria menawarkan 500 juta untuk mahar agar dia mau menikah dengan Darren. Ini benar-benar memalukan untuknya.Bagaimana bisa dia mendatangi Darren dan meminjam uang 100 juta? Pasti pria itu akan menertawakannya dan sang pria akan menawarkan lagi 500 juta itu untuk mahar yang katanya demi menikahi gadis cuek seperti Aluna. "Yang benar saja! Masa aku harus nikah sama Pak Darren? Dia kan lebih tua dariku. Harusnya itu dia jadi pamanku. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kalau misalkan menolak permintaan Pak Darren, tentu saja aku juga tidak akan mendapatkan 100 juta itu. Tapi, kalau aku tidak meminjam kepada Pak Darren, bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat?" Aluna mulai frustrasi. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Jika menjual rumah
"Jadi, maksud Ibu aku akan jadikan barang jaminan untuk melunasi utang-utang Ayah? Ibu mau menjualku?" tanya Aluna dengan nada tak percaya. Karena dia pikir ibunya akan membahas masalah lain, ternyata malah menyuruhnya menikahi rentenir yang harusnya menjadi ayahnya sendiri. Amalia langsung menggelengkan kepala, menolak tuduhan yang dilayangkan oleh anaknya itu. "Bukan seperti itu, Nak. Ibu bukan bermaksud menyuruhmu menyerahkan diri untuk menjadi jaminan atas utang-utang kita. Ibu mengatakan ini karena dia itu duda. Dia tidak punya istri. Jadi, apa salahnya kalau kamu menikah dengannya? Kamu juga pasti akan terjamin hidup bersama pria itu. Ya, walaupun memang usianya sudah cukup tua. Tapi menurut Ibu itu lebih baik dibandingkan kamu berjuang mati-matian untuk mengumpulkan uang sebanyak itu," ungkap Amalia berusaha untuk memaparkan maksud baiknya. Walaupun memang ini sangat menyedihkan, tetapi itu adalah jalan satu-satunya yang terbaik. Mumpung rentenir itu berbaik hati untuk memb
"Loh, Amar?" tanya Aluna kaget, saat tiba-tiba saja pria itu sudah ada di depannya.Sementara pria itu tampak tersenyum kaku. Wajahnya terlihat sekali pucat, tetapi sang pria berusaha untuk bersikap santai. Mungkin tidak mau sampai mempermalukan diri di depan gadis yang sangat dia sukai.Ya, Amar memang menyukai Aluna sejak pertama kali bertemu dengan gadis itu. Amar lebih dahulu masuk ke pabrik itu dibandingkan Aluna, yang baru saja beberapa bulan. Sementara sang pria sudah 1 tahun bekerja di bagian divisi ekspor impor. Dia sudah berusaha untuk mendekati Aluna. Tetapi gadis itu terlalu cuek dan jutek, sementara dia takut jika berhadapan dengan wanita yang seperti itu. Hingga rasa sukanya itu tidak bisa dipendam lagi dan akhirnya meminta bantuan kepada Alika. Mungkin memang terdengar tidak gentlemen, tetapi ketakutannya beserta rasa suka yang berbaur menjadi satu, membuat pria itu akhirnya memilih jalan tersebut. "Ada apa?" tanya Aluna dengan wajah datar. Seperti biasa gadis itu ak
"Kalau begitu aku akan menunggumu sampai kamu siap," ucap Amar tiba-tiba saja membuat Aluna terperangah, kaget. Baru kali ini dia mendapat pernyataan perasaan dari seorang pria sampai memaksa seperti ini. Padahal sudah jelas-jelas Aluna mengatakan kalau dirinya itu belum siap berhubungan. "Amar, entah sampai kapan aku siap. Lalu, perasaan juga tidak bisa dipaksakan," ujar sang gadis.Jujur, dia sama sekali tidak suka kepada Amar. Tetapi pria itu banyak sekali diam, hanya saja matanya terus saja memperhatikan. Selama ini, bukannya Aluna yang tidak tahu kalau Amar sering mencuri pandang kepadanya. Tetapi, gadis itu tidak mau memusingkan, karena baginya pekerjaan yang dibebankan kepada Aluna lebih penting juga lebih banyak dibandingkan harus mengurusi seorang pria seperti Amar. Selama sang pria tidak mengganggunya, Aluna tidak mau mengambil tindakan. Lagian, selama ini Amar juga tidak menyakitinya atau mengusik sang gadis. Hanya saja, setelah mendapatkan kejujuran dari Amar, Aluna mu