Share

Bab 6 Utang Warisan Sang Ayah

"Dasar pria gila! Dia pikir aku ini wanita murahan? Bisa dibeli dengan sejumlah uang? Harusnya dia beli saja wanita bayaran yang sudah jelas-jelas akan menyerahkan dirinya dan rela melakukan apa pun. Aku tidak paham dengan jalan pikiran pria itu!"

Aluna menghempaskan diri di sofa dengan perasaan kesal. Dia masih ingat tentang permintaan pria dingin itu kepada dirinya. Padahal, Aluna yakin kalau Darren itu juga anti-pati kepadanya. Tetapi, siapa sangka? Tiba-tiba saja Aluna dilamar oleh orang yang sangat dia hindari. Gadis itu masih tidak habis pikir dan merasa kalau Darren sedang mempermainkannya. 

"Kenapa kamu datang-datang malah marah-marah?"

"Astaga! Ibu bikin aku kaget saja!" seru Aluna, terkejut.

Lamunan gadis itu pun langsung buyar saat mendengar suara Amalia.

"Kamu yang bikin Ibu kaget, tiba-tiba saja datang sambil ngomel seperti itu. Memang ada masalah apa?" tanya Amalia, sembari duduk di sebelah anaknya. 

Aluna diam sejenak. Sempat terlintas ingin bercerita tentang Darren. Tetapi diurungkan, mengingat ibunya punya masalah lain.

"Loh, kok diam saja?"

"Ya, sedikit masalah yang membuat aku bingung juga kesal," jawab Aluna, sekenanya. 

"Ada apa memangnya? Kenapa? Kamu dapat masalah dari bosmu?"

Aluna terkesiap. Gadis itu sampai menegakkan punggung, heran karena ibunya bisa tahu apa yang sedang dia alami.

"Kok Ibu tahu?"

Amalia terkekeh. "Iya, dong. Masalah kamu di kantor kan keseringan tentang bosmu. Kamu lupa? Kamu sendiri yang sering cerita." 

Aluna tersenyum kaku sembari menggaruk kepalanya sendiri. Dia malu dan baru sadar kalau selama ini sering mengeluh tentang Darren.

"Tentu saja, Bu. Bosku selalu saja seperti itu," ujar Aluna pada akhirnya. 

"Maaf, ya, Nak. Semuanya gara-gara Ibu," ucap Amalia, wajahnya tiba-tiba saja murung. 

"Kok Ibu malah bilang seperti itu, sih? Kenapa malah minta maaf? Ini kan bukan salah Ibu. Memang saja bosnya yang arogan."

Aluna berusaha menghibur ibunya. Karena dia tahu alasan Amalia melontarkan kalimat tadi. 

Wanita paruh baya itu menggelengkan kepala. Dia meraih sebelah tangan anaknya dan menggenggam dengan erat.

"Kalau saja Ibu tidak terlilit utang, mungkin kamu tidak akan bekerja keras sampai seperti ini, bertahan demi mendapatkan gaji dan melunasi utang-utang almarhumah ayahmu," ujar Amalia dengan lirih. 

Mata wanita paruh baya itu bahkan berkaca-kaca. Dia merasa sesak mengingat nasib anaknya dan juga dirinya yang harus berjuang melunasi utang warisan almarhum ayahnya Aluna. Tetapi, kalau bukan Aluna, siapa lagi yang mau melunasinya?

"Bu, itu kan memang kewajibanku sebagai anak. Lagian, aku juga cuma punya Ibu. Tidak masalah aku bekerja keras, yang penting Ibu tidak menderita lagi dan tidak perlu dikejar-kejar oleh rentenir itu," timpal Aluna, berusaha menenangkan ibunya.

Walaupun sebenarnya hati Aluna merasa berat menjalani semua, ditambah mendapat bos yang arogan dan semaunya sendiri. Hanya saja, gadis itu tidak punya pilihan lain. Tumpukan utang yang membebani ibunya, membuat Aluna harus tetap bertahan.

Mungkin jika dia keluar dari perusahaan Darren, Aluna bisa mendapatkan pekerjaan lain. Tetapi, belum tentu gajinya bisa sebesar upah yang diberikan Darren. Dari itulah, Aluna berusaha untuk bertahan. Setidaknya, sampai utang-utang almarhum ayahnya lunas. 

"Tapi, bagaimana kalau misalkan kita tidak bisa membayar utang-utang itu dalam waktu yang sudah ditentukan oleh mereka?" tanya Amalia dengan wajah khawatir.

Aluna terdiam. Dia juga tidak bisa memastikannya, karena utang itu semakin beranak pinak. Namun, dari pada pusing-pusing memikirkan, Aluna hanya bisa berusaha semaksimal mungkin untuk membayarnya, dibandingkan meratapi itu semua. 

"Masalah itu, kamu pasti akan terbebani. Ibu hanya takut kamu akan diambil oleh rentenir itu dan dijadikan istri ketiganya."

Aluna tersentak mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan oleh sang Ibu. Dia tidak tahu jika ada ultimatum itu dari rentenir yang sering menagih utang ke rumahnya. 

"Aku tidak mau! Jadi, istri pertama pria tua bangka itu saja aku tidak mau, apalagi harus jadi istri ketiga!" seru Aluna dengan lantang dan tegas.

Dia memang akan melunasi semua utang almarhum ayahnya, tapi tidak untuk menggadaikan diri demi itu semua. Aluna masih punya harga diri. Dia yakin, ada banyak cara untuk melunasi utang-utang itu tanpa harus menikahkan dirinya dengan sang rentenir.

"Maka dari itu, sepertinya kita harus menjual rumah ini."

Sekarang gadis itu kembali dikejutkan dengan saran Amalia. Kenapa pilihan yang diberikan ibunya malah membuat Aluna tak setuju? 

"Jangan, Bu! Kalau kita menjual rumah ini, kita mau tinggal di mana?" tanya Amalia, mulai frustrasi. 

"Kita bisa ngontrak," jawab Amalia, masih berusaha memberikan solusi. 

"Biaya kontrakan di sini kan cukup mahal, Bu. Lagian belum tentu kan lingkungannya juga mendukung."

Bagaimanapun, Aluna tidak setuju kalau rumah ini dijual. Apalagi hanya itu satu-satunya peninggalan almarhum ayahnya.

"Iya, Ibu mengerti maksud kamu. Hanya saja, Ibu tidak tega kalau terus-terusan melihat kamu bekerja keras seperti ini." 

"Sudahlah, Ibu terlalu banyak pikiran. Jangan terus merasa terbebani karena aku bekerja keras seperti ini, yang penting utang-utang kita segera lunas. Dengan begitu kita juga tidak akan terus ketakutan dikejar-kejar rentenir." 

Aluna masih berusaha menenangkan ibunya. Walaupun dia tidak bisa memberikan solusi lain, tapi untuk sekarang sang gadis hanya bisa meredakan ketakutan ibunya. 

"Masalahnya, bunganya saja sudah besar, Aluna. Apa kita mampu membayar semua itu?"

Amalia merasa stres. Dia selalu dihantui ketakutan. Banyak pertanyaan buruk yang singgah. Walaupun Aluna berusaha melunasi, tapi bunganya saja terus bertambah setiap hari. Wanita paruh baya itu tertekan.

"Aku juga tidak tahu, Bu. Tetapi setidaknya kita sudah berusaha. Lagian aku heran, bagaimana bisa Ayah punya utang sebanyak itu, dalam jumlah ratusan juta pula? Ya, walaupun Ibu sudah menceritakannya, tetap saja aku masih tidak mengerti kenapa rentenir itu bisa memberikan uang sebanyak itu."

Jika mengingat tentang utang ayahnya, Aluna selalu pusing sendiri. Nominal yang tidak terlalu banyak, bisa beranak pinak seperti itu. 

"Sebenarnya, utang ayahmu itu hanya 50 juta, Nak. Tetapi karena usaha Ayah gulung tikar, jadi kami tidak bisa membayar utang-utang itu, sampai ayahmu akhirnya meninggal karena kecelakaan."

"Tetapi dari 50 juta sampai ke 100 juta itu terlalu banyak, Bu. Itu tidak masuk akal!" seru Aluna, tidak terima.

"Itu karena bunganya yang terus bertambah. Aduh, Nak. Semenjak meninggalnya ayahmu, Ibu tidak bisa lagi membayar utang-utang itu. Hingga akhirnya tiba-tiba saja menggunung. Ibu pikir rentenir itu mau berbaik hati untuk memotong bunganya dan bisa memberikan pembayaran 50 juta, yang pokoknya saja."

"Lalu, rentenir itu bilang apa?" 

Aluna semakin penasaran. Kalau saja dulu ayahnya tidak meminjam ke rentenir, mungkin sekarang dia dan sang Ibu tidak akan kesusahan seperti ini. Namun, mau disesali pun tidak akan mengubah apa-apa.

"Mereka menolak. Mereka tidak mau menerima pokoknya saja. Padahal kalau uang pokoknya dibayarkan, mungkin bisa lunas. Karena kan asuransi kematian ayahmu juga bisa diklaim, tetapi ternyata malah sebanyak itu utangnya."

Aluna menghela napas berat. Mendengar itu, Amalia semakin merasa bersalah. 

"Aluna, bukan maksud Ibu ingin meragukan keyakinanmu, tetapi gaji sekretaris itu tidak akan bisa melunasi utang-utang kita dalam waktu dekat. Apakah kamu punya jalan lain? Maksud Ibu, apa mungkin kita sebaiknya jual saja rumah dan isinya dengan harga yang murah, asalkan kita bisa terbebas dari utang."

Aluna langsung menggelengkan kepala, menolak semua saran ibunya. "Tidak, Bu. Ini adalah rumah satu-satunya peninggalan Ayah, tidak ada lagi yang lain. Bukan masalah kita tinggal di mana. Tapi, rumah ini banyak kenangan." 

"Lalu, bagaimana, Aluna? Satu minggu lagi rentenir itu pasti akan datang untuk meminta pembayaran. Apa yang harus kita lakukan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status