"Dasar pria gila! Dia pikir aku ini wanita murahan? Bisa dibeli dengan sejumlah uang? Harusnya dia beli saja wanita bayaran yang sudah jelas-jelas akan menyerahkan dirinya dan rela melakukan apa pun. Aku tidak paham dengan jalan pikiran pria itu!"
Aluna menghempaskan diri di sofa dengan perasaan kesal. Dia masih ingat tentang permintaan pria dingin itu kepada dirinya. Padahal, Aluna yakin kalau Darren itu juga anti-pati kepadanya. Tetapi, siapa sangka? Tiba-tiba saja Aluna dilamar oleh orang yang sangat dia hindari. Gadis itu masih tidak habis pikir dan merasa kalau Darren sedang mempermainkannya.
"Kenapa kamu datang-datang malah marah-marah?"
"Astaga! Ibu bikin aku kaget saja!" seru Aluna, terkejut.
Lamunan gadis itu pun langsung buyar saat mendengar suara Amalia.
"Kamu yang bikin Ibu kaget, tiba-tiba saja datang sambil ngomel seperti itu. Memang ada masalah apa?" tanya Amalia, sembari duduk di sebelah anaknya.
Aluna diam sejenak. Sempat terlintas ingin bercerita tentang Darren. Tetapi diurungkan, mengingat ibunya punya masalah lain.
"Loh, kok diam saja?"
"Ya, sedikit masalah yang membuat aku bingung juga kesal," jawab Aluna, sekenanya.
"Ada apa memangnya? Kenapa? Kamu dapat masalah dari bosmu?"
Aluna terkesiap. Gadis itu sampai menegakkan punggung, heran karena ibunya bisa tahu apa yang sedang dia alami.
"Kok Ibu tahu?"
Amalia terkekeh. "Iya, dong. Masalah kamu di kantor kan keseringan tentang bosmu. Kamu lupa? Kamu sendiri yang sering cerita."
Aluna tersenyum kaku sembari menggaruk kepalanya sendiri. Dia malu dan baru sadar kalau selama ini sering mengeluh tentang Darren.
"Tentu saja, Bu. Bosku selalu saja seperti itu," ujar Aluna pada akhirnya.
"Maaf, ya, Nak. Semuanya gara-gara Ibu," ucap Amalia, wajahnya tiba-tiba saja murung.
"Kok Ibu malah bilang seperti itu, sih? Kenapa malah minta maaf? Ini kan bukan salah Ibu. Memang saja bosnya yang arogan."
Aluna berusaha menghibur ibunya. Karena dia tahu alasan Amalia melontarkan kalimat tadi.
Wanita paruh baya itu menggelengkan kepala. Dia meraih sebelah tangan anaknya dan menggenggam dengan erat.
"Kalau saja Ibu tidak terlilit utang, mungkin kamu tidak akan bekerja keras sampai seperti ini, bertahan demi mendapatkan gaji dan melunasi utang-utang almarhumah ayahmu," ujar Amalia dengan lirih.
Mata wanita paruh baya itu bahkan berkaca-kaca. Dia merasa sesak mengingat nasib anaknya dan juga dirinya yang harus berjuang melunasi utang warisan almarhum ayahnya Aluna. Tetapi, kalau bukan Aluna, siapa lagi yang mau melunasinya?
"Bu, itu kan memang kewajibanku sebagai anak. Lagian, aku juga cuma punya Ibu. Tidak masalah aku bekerja keras, yang penting Ibu tidak menderita lagi dan tidak perlu dikejar-kejar oleh rentenir itu," timpal Aluna, berusaha menenangkan ibunya.
Walaupun sebenarnya hati Aluna merasa berat menjalani semua, ditambah mendapat bos yang arogan dan semaunya sendiri. Hanya saja, gadis itu tidak punya pilihan lain. Tumpukan utang yang membebani ibunya, membuat Aluna harus tetap bertahan.
Mungkin jika dia keluar dari perusahaan Darren, Aluna bisa mendapatkan pekerjaan lain. Tetapi, belum tentu gajinya bisa sebesar upah yang diberikan Darren. Dari itulah, Aluna berusaha untuk bertahan. Setidaknya, sampai utang-utang almarhum ayahnya lunas.
"Tapi, bagaimana kalau misalkan kita tidak bisa membayar utang-utang itu dalam waktu yang sudah ditentukan oleh mereka?" tanya Amalia dengan wajah khawatir.
Aluna terdiam. Dia juga tidak bisa memastikannya, karena utang itu semakin beranak pinak. Namun, dari pada pusing-pusing memikirkan, Aluna hanya bisa berusaha semaksimal mungkin untuk membayarnya, dibandingkan meratapi itu semua.
"Masalah itu, kamu pasti akan terbebani. Ibu hanya takut kamu akan diambil oleh rentenir itu dan dijadikan istri ketiganya."
Aluna tersentak mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan oleh sang Ibu. Dia tidak tahu jika ada ultimatum itu dari rentenir yang sering menagih utang ke rumahnya.
"Aku tidak mau! Jadi, istri pertama pria tua bangka itu saja aku tidak mau, apalagi harus jadi istri ketiga!" seru Aluna dengan lantang dan tegas.
Dia memang akan melunasi semua utang almarhum ayahnya, tapi tidak untuk menggadaikan diri demi itu semua. Aluna masih punya harga diri. Dia yakin, ada banyak cara untuk melunasi utang-utang itu tanpa harus menikahkan dirinya dengan sang rentenir.
"Maka dari itu, sepertinya kita harus menjual rumah ini."
Sekarang gadis itu kembali dikejutkan dengan saran Amalia. Kenapa pilihan yang diberikan ibunya malah membuat Aluna tak setuju?
"Jangan, Bu! Kalau kita menjual rumah ini, kita mau tinggal di mana?" tanya Amalia, mulai frustrasi.
"Kita bisa ngontrak," jawab Amalia, masih berusaha memberikan solusi.
"Biaya kontrakan di sini kan cukup mahal, Bu. Lagian belum tentu kan lingkungannya juga mendukung."
Bagaimanapun, Aluna tidak setuju kalau rumah ini dijual. Apalagi hanya itu satu-satunya peninggalan almarhum ayahnya.
"Iya, Ibu mengerti maksud kamu. Hanya saja, Ibu tidak tega kalau terus-terusan melihat kamu bekerja keras seperti ini."
"Sudahlah, Ibu terlalu banyak pikiran. Jangan terus merasa terbebani karena aku bekerja keras seperti ini, yang penting utang-utang kita segera lunas. Dengan begitu kita juga tidak akan terus ketakutan dikejar-kejar rentenir."
Aluna masih berusaha menenangkan ibunya. Walaupun dia tidak bisa memberikan solusi lain, tapi untuk sekarang sang gadis hanya bisa meredakan ketakutan ibunya.
"Masalahnya, bunganya saja sudah besar, Aluna. Apa kita mampu membayar semua itu?"
Amalia merasa stres. Dia selalu dihantui ketakutan. Banyak pertanyaan buruk yang singgah. Walaupun Aluna berusaha melunasi, tapi bunganya saja terus bertambah setiap hari. Wanita paruh baya itu tertekan.
"Aku juga tidak tahu, Bu. Tetapi setidaknya kita sudah berusaha. Lagian aku heran, bagaimana bisa Ayah punya utang sebanyak itu, dalam jumlah ratusan juta pula? Ya, walaupun Ibu sudah menceritakannya, tetap saja aku masih tidak mengerti kenapa rentenir itu bisa memberikan uang sebanyak itu."
Jika mengingat tentang utang ayahnya, Aluna selalu pusing sendiri. Nominal yang tidak terlalu banyak, bisa beranak pinak seperti itu.
"Sebenarnya, utang ayahmu itu hanya 50 juta, Nak. Tetapi karena usaha Ayah gulung tikar, jadi kami tidak bisa membayar utang-utang itu, sampai ayahmu akhirnya meninggal karena kecelakaan."
"Tetapi dari 50 juta sampai ke 100 juta itu terlalu banyak, Bu. Itu tidak masuk akal!" seru Aluna, tidak terima.
"Itu karena bunganya yang terus bertambah. Aduh, Nak. Semenjak meninggalnya ayahmu, Ibu tidak bisa lagi membayar utang-utang itu. Hingga akhirnya tiba-tiba saja menggunung. Ibu pikir rentenir itu mau berbaik hati untuk memotong bunganya dan bisa memberikan pembayaran 50 juta, yang pokoknya saja."
"Lalu, rentenir itu bilang apa?"
Aluna semakin penasaran. Kalau saja dulu ayahnya tidak meminjam ke rentenir, mungkin sekarang dia dan sang Ibu tidak akan kesusahan seperti ini. Namun, mau disesali pun tidak akan mengubah apa-apa.
"Mereka menolak. Mereka tidak mau menerima pokoknya saja. Padahal kalau uang pokoknya dibayarkan, mungkin bisa lunas. Karena kan asuransi kematian ayahmu juga bisa diklaim, tetapi ternyata malah sebanyak itu utangnya."
Aluna menghela napas berat. Mendengar itu, Amalia semakin merasa bersalah.
"Aluna, bukan maksud Ibu ingin meragukan keyakinanmu, tetapi gaji sekretaris itu tidak akan bisa melunasi utang-utang kita dalam waktu dekat. Apakah kamu punya jalan lain? Maksud Ibu, apa mungkin kita sebaiknya jual saja rumah dan isinya dengan harga yang murah, asalkan kita bisa terbebas dari utang."
Aluna langsung menggelengkan kepala, menolak semua saran ibunya. "Tidak, Bu. Ini adalah rumah satu-satunya peninggalan Ayah, tidak ada lagi yang lain. Bukan masalah kita tinggal di mana. Tapi, rumah ini banyak kenangan."
"Lalu, bagaimana, Aluna? Satu minggu lagi rentenir itu pasti akan datang untuk meminta pembayaran. Apa yang harus kita lakukan?"
"Ibu, jangan pikirkan hal seperti itu, biar semua menjadi urusanku," ucap Aluna, masih berusaha menenangkan sang Ibu.Namun demikian, perkataan apa pun yang dilontarkan oleh anaknya, sama sekali tidak membuat wanita paruh baya itu merasa membaik."Tapi, uang 100 juta itu--" "Bu, percayalah kepadaku. Aku akan mencoba untuk mencari jalan keluarnya, yang penting Ibu jangan sampai sakit hanya karena memikirkan ini semua," ujar Aluna menyela."Ini bukan masalah sepele, Aluna. Seratus juta itu uang semua!" seru Amalia, berusaha menyadarkan anaknya kalau uang sebanyak itu tidak bisa didapatkan semudah membalikkan telapak tangan. "Aku tahu, Bu. Maka dari itu, aku mohon, Ibu tetap tenang dan doakan agar aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu."Mendengar itu, Amalia hanya bisa diam. Sekeras apa pun dirinya berusaha untuk menyadarkan Aluna, tapi anaknya juga bersikukuh bisa melunasi itu semua. Sang paruh baya pun hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. "Sekali lagi Ibu minta maaf kar
"Em, maksud lo Amar divisi exim itu?" tanya Aluna, memastikan.Karena setahunya nama Amar hanya pria itu. Lagi pula, memang Aluna sering berkomunikasi dengan Amar meskipun hanya tentang pekerjaan. Tetapi, memang Aluna selalu jutek dan terkesan galak. Aluna berpikir itu adalah cara dirinya melindungi diri. Setidaknya dia punya benteng pertahanan agar tidak ada pria yang meremehkannya atau memperlakukan semena-mena."Iya, memang lo pikir Amar yang mana lagi?" tanya Alika, gemas.Aluna terkekeh pelan. "Memang dia bilang apa?" tanya Aluna penasaran.Selama ini, Amar terlihat bersikap biasa saja. Padahal, kalau memang ada yang mau dibicarakan, pria itu tinggal bilang saja pada Aluna, tidak harus lewat Alika. Itulah yang membuat Aluna penasaran. "Katanya mau bertemu dengan elo, mau berbicara empat mata."Aluna kaget, dia bahkan sampai berdiri. "Benarkah? Hahaha." Sekarang giliran Alika yang keheranan. "Kenapa lo malah tertawa?" "Iya. Bagaimana gue tidak tertawa, kalau dia memang ingin b
Aluna terdiam memandang lurus ke depan. Setelah pembicaraannya dengan Alika, dia pun berpikir matang-matang. Kalau misalkan Aluna meminjam uang kepada Darren, apakah mungkin pria itu memberikannya? Sementara sebelumnya sang pria menawarkan 500 juta untuk mahar agar dia mau menikah dengan Darren. Ini benar-benar memalukan untuknya.Bagaimana bisa dia mendatangi Darren dan meminjam uang 100 juta? Pasti pria itu akan menertawakannya dan sang pria akan menawarkan lagi 500 juta itu untuk mahar yang katanya demi menikahi gadis cuek seperti Aluna. "Yang benar saja! Masa aku harus nikah sama Pak Darren? Dia kan lebih tua dariku. Harusnya itu dia jadi pamanku. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kalau misalkan menolak permintaan Pak Darren, tentu saja aku juga tidak akan mendapatkan 100 juta itu. Tapi, kalau aku tidak meminjam kepada Pak Darren, bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat?" Aluna mulai frustrasi. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Jika menjual rumah
"Jadi, maksud Ibu aku akan jadikan barang jaminan untuk melunasi utang-utang Ayah? Ibu mau menjualku?" tanya Aluna dengan nada tak percaya. Karena dia pikir ibunya akan membahas masalah lain, ternyata malah menyuruhnya menikahi rentenir yang harusnya menjadi ayahnya sendiri. Amalia langsung menggelengkan kepala, menolak tuduhan yang dilayangkan oleh anaknya itu. "Bukan seperti itu, Nak. Ibu bukan bermaksud menyuruhmu menyerahkan diri untuk menjadi jaminan atas utang-utang kita. Ibu mengatakan ini karena dia itu duda. Dia tidak punya istri. Jadi, apa salahnya kalau kamu menikah dengannya? Kamu juga pasti akan terjamin hidup bersama pria itu. Ya, walaupun memang usianya sudah cukup tua. Tapi menurut Ibu itu lebih baik dibandingkan kamu berjuang mati-matian untuk mengumpulkan uang sebanyak itu," ungkap Amalia berusaha untuk memaparkan maksud baiknya. Walaupun memang ini sangat menyedihkan, tetapi itu adalah jalan satu-satunya yang terbaik. Mumpung rentenir itu berbaik hati untuk memb
"Loh, Amar?" tanya Aluna kaget, saat tiba-tiba saja pria itu sudah ada di depannya.Sementara pria itu tampak tersenyum kaku. Wajahnya terlihat sekali pucat, tetapi sang pria berusaha untuk bersikap santai. Mungkin tidak mau sampai mempermalukan diri di depan gadis yang sangat dia sukai.Ya, Amar memang menyukai Aluna sejak pertama kali bertemu dengan gadis itu. Amar lebih dahulu masuk ke pabrik itu dibandingkan Aluna, yang baru saja beberapa bulan. Sementara sang pria sudah 1 tahun bekerja di bagian divisi ekspor impor. Dia sudah berusaha untuk mendekati Aluna. Tetapi gadis itu terlalu cuek dan jutek, sementara dia takut jika berhadapan dengan wanita yang seperti itu. Hingga rasa sukanya itu tidak bisa dipendam lagi dan akhirnya meminta bantuan kepada Alika. Mungkin memang terdengar tidak gentlemen, tetapi ketakutannya beserta rasa suka yang berbaur menjadi satu, membuat pria itu akhirnya memilih jalan tersebut. "Ada apa?" tanya Aluna dengan wajah datar. Seperti biasa gadis itu ak
"Kalau begitu aku akan menunggumu sampai kamu siap," ucap Amar tiba-tiba saja membuat Aluna terperangah, kaget. Baru kali ini dia mendapat pernyataan perasaan dari seorang pria sampai memaksa seperti ini. Padahal sudah jelas-jelas Aluna mengatakan kalau dirinya itu belum siap berhubungan. "Amar, entah sampai kapan aku siap. Lalu, perasaan juga tidak bisa dipaksakan," ujar sang gadis.Jujur, dia sama sekali tidak suka kepada Amar. Tetapi pria itu banyak sekali diam, hanya saja matanya terus saja memperhatikan. Selama ini, bukannya Aluna yang tidak tahu kalau Amar sering mencuri pandang kepadanya. Tetapi, gadis itu tidak mau memusingkan, karena baginya pekerjaan yang dibebankan kepada Aluna lebih penting juga lebih banyak dibandingkan harus mengurusi seorang pria seperti Amar. Selama sang pria tidak mengganggunya, Aluna tidak mau mengambil tindakan. Lagian, selama ini Amar juga tidak menyakitinya atau mengusik sang gadis. Hanya saja, setelah mendapatkan kejujuran dari Amar, Aluna mu
"Maksud Bapak apa?" tanya Aluna. Dia berpura-pura tidak tahu saja, karena gadis itu tidak mau membuat masalah. Kalau misalkan sekarang Aluna terus terang tentang apa yang terjadi sebelumnya, pasti Darren akan semakin marah juga gadis itu yakin, Darren marah sebab pria itu berpikir kalau dia punya hubungan dengan Amar, sementara lamaran Darren ditolak oleh sang gadis dengan mentah-mentah. "Jangan berpura-pura bodoh, Aluna! Aku mendengar semuanya. Aku melihat kalian berbicara di koridor itu. Iya, kan?"Aluna langsung tersentak. Dia sampai meneguk saliva dengan susah payah, sebab mendengar pernyataan dari bosnya. Jadi, pernyataan cinta Amar kepadanya itu didengar langsung oleh Darren? Gadis itu mengaduh dalam hati. Sekarang dia benar-benar terpojokkan dengan semua keadaan ini. Kalau misalkan mungkin Darren yang kesal pada Amar atau bisa jadi pria itu melakukan hal yang aneh-aneh kepada Amar. Pemikiran buruk itu terus saja berdatangan kepada sang gadis, hingga Darren pun kembali berseru
Aluna menautkan jari-jarinya karena merasa malu jika membicarakan nominal uang yang harus dipinjam, serta utang almarhum ayahnya. Hanya saja, kalau misalkan dia tidak jujur, Darren pasti akan melakukan sesuatu, entah marah atau berujung dia dihukum dengan segudang pekerjaan yang tidak akan pernah selesai hari itu juga. "Begini, Pak. Sebenarnya utang Ini bukan utang saya." Pria itu menaikkan setelah alis penasaran. Apa yang sebenarnya Aluna katakan? Kalau memang bukan utangnya, kenapa gadis itu malah meminta pinjaman kepada Darren? Karena pria itu tahu Aluna bukanlah seorang yang matre. Itu terlihat jelas dari sang gadis jika menanggapi semua hal yang berkaitan dengan materi. "Kalau sudah tahu itu bukan utangmu, kenapa kamu minjam kepada saya? Kamu tidak malu, hah?! Apalagi kamu sudah menolakku," sindir Darren akhirnya mengungkapkan itu juga. Padahal dari tadi Aluna berdoa semoga saja pria itu tidak pernah menyinggung masalah kemarin, tetapi dengan terang-terangan Darren malah mengu