"Ibu tidak akan tahu karena dia itu karyawan baru," jawab Darren.
Sebenarnya Darren sudah bosan mendengar pertanyaan ibunya perihal Aluna. Karena, mau dijelaskan pun memang mereka belum pernah bertemu. Darren berharap, Danita segera mengakhiri pembicaraan ini.
"Benarkah? Jadi, dia itu karyawan baru?" tanya Danita, memastikan lagi.
"Iya, bukankah aku tadi sudah bilang, dia itu salah satu karyawanku."
"Baguslah kalau begitu, tapi ngomong-ngomong siapa namanya?"
Danita sampai lupa menanyakan nama calon menantunya. Semua itu karena dia terlalu senang mendapatkan kabar ini.
"Namanya Aluna."
"Aluna? Nama yang bagus. Tapi, kamu benar-benar yakin kalau Ibu belum mengenalnya?"
Dalam hati Darren terus merutuk. Kalau berurusan dengan menantu dan pernikahan, ibunya itu terlalu bersemangat. Tetapi, itu malah membuat Darren pusing sendiri. Danita terlalu ingin tahu.
"Iya, Bu. Ibu tidak mengenalnya. Dia baru 2 bulan bekerja di tempatku."
"Oh ya, jadi jabatannya sebagai apa?" tanya Danita lagi.
Darren menggaruk alisnya yang tidak gatal. Sekali lagi, dia merutuk dalam hati. Ingin segera segera mengakhiri pembicaraan ini.
"Sekretarisku," jawab Darren, singkat.
"Ya Tuhan! Jadi, gadis cantik yang selalu ikut denganmu itu adalah sekretarismu?"
Wajah Danita tampak syok. Dia memang belum pernah bertatap muka secara langsung atau berbicara empat mata dengan Aluna. Hanya saja, Danita pernah melihat Aluna beberapa kali saat berkunjung ke kantor anaknya.
Darren berdecak keras mendengar ibunya memuji Aluna. "Dia tidak cantik, Bu."
"Yang benar kalau bicara! Gadis seperti itu cantik, Darren. Bahkan lebih cantik dari Monica."
Darren memejamkan mata sembari menahan napas mendengar ibunya kembali menyebut nama mantan kekasihnya. Dia bahkan memasang wajah cemberut.
"Kenapa wajahmu jadi masam seperti itu? Memang nyatanya demikian. Coba kamu tanya kepada karyawan lain, gadis yang bernama Aluna itu lebih cantik dari Monica."
"Katanya jangan mau membicarakan lagi tentang Monica, tapi Ibu sendiri yang memancingku untuk membicarakan tentang Monica."
Danita mencebik. Dia memalingkan wajah sejenak, lalu kembali menatap Darren.
"Ibu hanya membandingkannya saja. Memang salah, ya?"
"Sudahlah, Bu. Aku mau istirahat," ujar Darren.
Dia harus cepat menghentikan ini. Kalau tidak, emosinya akan terpancing karena membicarakan Monica lagi.
"Baiklah kalau begitu, nanti Ibu akan mencoba menemui Aluna."
Darren kaget. Tubuhnya menegang. Padahal dia sudah berharap ibunya tidak mengatakan apa pun. Tetapi, ibunya malah membuat Darren jantungan.
"Apa?! Jangan!"
Danita mengernyit mendengar seruan dari anaknya. Dia juga terkejut karena anaknya menaikkan nada bicara.
"Kenapa?"
Darren mulai bingung mendengar pertanyaan ibunya. Dia harus memberikan alasan logis. Kalau tidak, Danita akan menerornya lagi dengan banyak pertanyaan.
"Ya, jangan dulu menemui Aluna. Aku akan mengenalkannya kepada Ibu secara resmi," jawab Darren. Wajahnya tampak gusar.
"Kenapa kamu gugup seperti itu? Apakah ada sesuatu yang berbahaya sampai Ibu tidak boleh bertemu dengan Aluna?"
Keringat dingin mulai terasa di kedua telapak tangan Darren. Dia sampai meneguk saliva dengan susah payah. Sang pria harus berpikir cepat. Kalau tidak, Darren akan dipojokkan oleh ibunya.
"Bukan seperti itu, Bu. Dia itu gadis yang pemalu. Kalau tahu yang dihadapannya itu Ibu, pasti malah gugup. Jadi, lebih baik nanti dikenalkan denganku saja."
Danita menelisik wajah anaknya dengan seksama. Dia ingin melihat kejujuran dari mata anaknya itu.
Melihat gelagat Danita, Darren jadi semakin gugup. Tetapi, dia berusaha untuk bersikap normal. Semua tentang Aluna, Darren harus mengaturnya dulu. Jangankan mempertemukan dua wanita itu. Darren saja belum bisa mendapatkan persetujuan Aluna.
Sekarang, tugasnya adalah membuat Aluna setuju dengan perjanjian pernikahan ini. Untuk selanjutnya, Darren bisa mengaturnya dengan apik.
"Ya sudahlah, gimana nanti," timpal Danita, sekenanya.
"Ibu ...."
"Sudahlah, Darren. Katanya kamu mau istirahat. Pergi ke kamarmu. Atau, kamu mau mendengar omelan Ibu tentang Monica?"
Darren kontan menggelengkan kepala. Tanpa mengatakan apa pun lagi, pria itu pun memilih untuk pergi ke kamar.
Danita terkekeh pelan melihat tingkah anaknya. Sepeninggalnya Darren, Danita pun langsung menghubungi Aldo. Dia adalah orang kepercayaan Danita. Wanita yang hampir sepuh itu akan memastikan sesuatu sebelum bertemu dengan gadis bernama Aluna.
Saat nada sambung berbunyi, tak butuh waktu lama sampai suara Aldo pun terdengar dari seberang sana.
"Halo, Aldo."
"Iya, Bu. Bagaimana? Ada yang bisa saya bantu?"
"Kamu ada di mana?" tanya Danita.
Wanita itu melihat ke sekeliling. Takutnya Darren tiba-tiba saja muncul. Kalau sampai anaknya tahu apa yang sedang direncanakan, Darren pasti akan membatalkan niat untuk menikah.
Membuat anaknya sampai seperti ini, adalah hal tersulit bagi Danita. Jadi, dia tidak mau sampai mengacaukan semua yang sudah dia usahakan.
"Saya baru saja pulang dari kantor."
Danita mengangguk-anggukkan kepala. Lagi-lagi menoleh ke sekeliling. Hatinya tidak tenang kalau berbicara di sana. Jadi, Danita memilih untuk masuk ke kamar, agar pembicaraan ini bisa lakukan dengan leluasa.
"Begini, Aldo. Tolong kamu selidiki tentang gadis yang bernama Aluna."
"Aluna?" Aldo kaget mendengar permintaan sang majikan.
Aldo yakin, Aluna yang dimaksud Danita pasti sekretaris Darren.
"Iya, Aluna. Sekretarisnya Darren. Kamu tahu, kan?"
Sesuai dugaan, ini tentang gadis yang anti-pati pada Darren.
"Tentu saja, Bu. Saya tahu."
"Bagus! Aku mau informasi tentang gadis itu. Aku mau laporannya diterima besok."
"Maksudnya Ibu mau menyelidiki Aluna?"
"Betul sekali! Apa kamu tahu sesuatu tentang Aluna?"
Aldo diam sejenak. Dia bingung menjawab pertanyaan majikannya itu. Karena, pada nyatanya, Aluna juga Darren itu seperti kucing dan tikus.
"Kenapa diam saja? Ayo jawab!"
Danita jadi curiga, karena orang kepercayaannya itu malah diam saja.
"Em, begini, Bu. Sebenarnya saya tidak terlalu tahu tentang Aluna. Saya hanya tahu kalau Tuan itu kurang akur dengan Aluna."
"Hah?! Maksudnya kurang akur bagaimana?"
Danita sampai syok mendengar keterangan dari Aldo. Padahal, sebelumnya Darren sudah janji akan mengenalkan dia dan Aluna. Tetapi, kenapa malah ada kabar seperti ini?
"Mereka itu terlihat tidak baik-baik saja, Bu. Aluna juga tidak seperti gadis lain, yang biasanya mengejar-ngejar Pak Darren."
"Benarkah?"
Kekagetan itu langsung berubah menjadi kejutan untuk Danita. Jika benar begitu, ini adalah kabar bagus untuknya.
"Betul, Bu."
"Itu bagus! Sepertinya Darren punya pemikiran lain. Baiklah, aku ingin informasi lebih cepat. Karena aku punya rencana baik untuk gadis bernama Aluna."
"Baik, Bu. Saya akan lakukan seperti yang Ibu perintahkan."
Panggilan pun berakhir. Sekarang, Danita sedang tersenyum jumawa. Dia sudah merencanakan sesuatu untuk Aluna.
"Darren sampai berani memilih Aluna untuk menjadi istrinya. Padahal, selama ini aku sudah berulang kali menawarkan gadis untuk menjodohkan dengan Darren. Tetapi anak itu terus saja menolak. Baiklah, mari kita lihat, sampai mana kelebihan Aluna sampai Darren mau menjadikan gadis itu sebagai calon istrinya."
Lantas, apa yang akan Danita lakukan pada Aluna?
"Dasar pria gila! Dia pikir aku ini wanita murahan? Bisa dibeli dengan sejumlah uang? Harusnya dia beli saja wanita bayaran yang sudah jelas-jelas akan menyerahkan dirinya dan rela melakukan apa pun. Aku tidak paham dengan jalan pikiran pria itu!"Aluna menghempaskan diri di sofa dengan perasaan kesal. Dia masih ingat tentang permintaan pria dingin itu kepada dirinya. Padahal, Aluna yakin kalau Darren itu juga anti-pati kepadanya. Tetapi, siapa sangka? Tiba-tiba saja Aluna dilamar oleh orang yang sangat dia hindari. Gadis itu masih tidak habis pikir dan merasa kalau Darren sedang mempermainkannya. "Kenapa kamu datang-datang malah marah-marah?""Astaga! Ibu bikin aku kaget saja!" seru Aluna, terkejut.Lamunan gadis itu pun langsung buyar saat mendengar suara Amalia."Kamu yang bikin Ibu kaget, tiba-tiba saja datang sambil ngomel seperti itu. Memang ada masalah apa?" tanya Amalia, sembari duduk di sebelah anaknya. Aluna diam sejenak. Sempat terlintas ingin bercerita tentang Darren. Te
"Ibu, jangan pikirkan hal seperti itu, biar semua menjadi urusanku," ucap Aluna, masih berusaha menenangkan sang Ibu.Namun demikian, perkataan apa pun yang dilontarkan oleh anaknya, sama sekali tidak membuat wanita paruh baya itu merasa membaik."Tapi, uang 100 juta itu--" "Bu, percayalah kepadaku. Aku akan mencoba untuk mencari jalan keluarnya, yang penting Ibu jangan sampai sakit hanya karena memikirkan ini semua," ujar Aluna menyela."Ini bukan masalah sepele, Aluna. Seratus juta itu uang semua!" seru Amalia, berusaha menyadarkan anaknya kalau uang sebanyak itu tidak bisa didapatkan semudah membalikkan telapak tangan. "Aku tahu, Bu. Maka dari itu, aku mohon, Ibu tetap tenang dan doakan agar aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu."Mendengar itu, Amalia hanya bisa diam. Sekeras apa pun dirinya berusaha untuk menyadarkan Aluna, tapi anaknya juga bersikukuh bisa melunasi itu semua. Sang paruh baya pun hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. "Sekali lagi Ibu minta maaf kar
"Em, maksud lo Amar divisi exim itu?" tanya Aluna, memastikan.Karena setahunya nama Amar hanya pria itu. Lagi pula, memang Aluna sering berkomunikasi dengan Amar meskipun hanya tentang pekerjaan. Tetapi, memang Aluna selalu jutek dan terkesan galak. Aluna berpikir itu adalah cara dirinya melindungi diri. Setidaknya dia punya benteng pertahanan agar tidak ada pria yang meremehkannya atau memperlakukan semena-mena."Iya, memang lo pikir Amar yang mana lagi?" tanya Alika, gemas.Aluna terkekeh pelan. "Memang dia bilang apa?" tanya Aluna penasaran.Selama ini, Amar terlihat bersikap biasa saja. Padahal, kalau memang ada yang mau dibicarakan, pria itu tinggal bilang saja pada Aluna, tidak harus lewat Alika. Itulah yang membuat Aluna penasaran. "Katanya mau bertemu dengan elo, mau berbicara empat mata."Aluna kaget, dia bahkan sampai berdiri. "Benarkah? Hahaha." Sekarang giliran Alika yang keheranan. "Kenapa lo malah tertawa?" "Iya. Bagaimana gue tidak tertawa, kalau dia memang ingin b
Aluna terdiam memandang lurus ke depan. Setelah pembicaraannya dengan Alika, dia pun berpikir matang-matang. Kalau misalkan Aluna meminjam uang kepada Darren, apakah mungkin pria itu memberikannya? Sementara sebelumnya sang pria menawarkan 500 juta untuk mahar agar dia mau menikah dengan Darren. Ini benar-benar memalukan untuknya.Bagaimana bisa dia mendatangi Darren dan meminjam uang 100 juta? Pasti pria itu akan menertawakannya dan sang pria akan menawarkan lagi 500 juta itu untuk mahar yang katanya demi menikahi gadis cuek seperti Aluna. "Yang benar saja! Masa aku harus nikah sama Pak Darren? Dia kan lebih tua dariku. Harusnya itu dia jadi pamanku. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kalau misalkan menolak permintaan Pak Darren, tentu saja aku juga tidak akan mendapatkan 100 juta itu. Tapi, kalau aku tidak meminjam kepada Pak Darren, bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat?" Aluna mulai frustrasi. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Jika menjual rumah
"Jadi, maksud Ibu aku akan jadikan barang jaminan untuk melunasi utang-utang Ayah? Ibu mau menjualku?" tanya Aluna dengan nada tak percaya. Karena dia pikir ibunya akan membahas masalah lain, ternyata malah menyuruhnya menikahi rentenir yang harusnya menjadi ayahnya sendiri. Amalia langsung menggelengkan kepala, menolak tuduhan yang dilayangkan oleh anaknya itu. "Bukan seperti itu, Nak. Ibu bukan bermaksud menyuruhmu menyerahkan diri untuk menjadi jaminan atas utang-utang kita. Ibu mengatakan ini karena dia itu duda. Dia tidak punya istri. Jadi, apa salahnya kalau kamu menikah dengannya? Kamu juga pasti akan terjamin hidup bersama pria itu. Ya, walaupun memang usianya sudah cukup tua. Tapi menurut Ibu itu lebih baik dibandingkan kamu berjuang mati-matian untuk mengumpulkan uang sebanyak itu," ungkap Amalia berusaha untuk memaparkan maksud baiknya. Walaupun memang ini sangat menyedihkan, tetapi itu adalah jalan satu-satunya yang terbaik. Mumpung rentenir itu berbaik hati untuk memb
"Loh, Amar?" tanya Aluna kaget, saat tiba-tiba saja pria itu sudah ada di depannya.Sementara pria itu tampak tersenyum kaku. Wajahnya terlihat sekali pucat, tetapi sang pria berusaha untuk bersikap santai. Mungkin tidak mau sampai mempermalukan diri di depan gadis yang sangat dia sukai.Ya, Amar memang menyukai Aluna sejak pertama kali bertemu dengan gadis itu. Amar lebih dahulu masuk ke pabrik itu dibandingkan Aluna, yang baru saja beberapa bulan. Sementara sang pria sudah 1 tahun bekerja di bagian divisi ekspor impor. Dia sudah berusaha untuk mendekati Aluna. Tetapi gadis itu terlalu cuek dan jutek, sementara dia takut jika berhadapan dengan wanita yang seperti itu. Hingga rasa sukanya itu tidak bisa dipendam lagi dan akhirnya meminta bantuan kepada Alika. Mungkin memang terdengar tidak gentlemen, tetapi ketakutannya beserta rasa suka yang berbaur menjadi satu, membuat pria itu akhirnya memilih jalan tersebut. "Ada apa?" tanya Aluna dengan wajah datar. Seperti biasa gadis itu ak
"Kalau begitu aku akan menunggumu sampai kamu siap," ucap Amar tiba-tiba saja membuat Aluna terperangah, kaget. Baru kali ini dia mendapat pernyataan perasaan dari seorang pria sampai memaksa seperti ini. Padahal sudah jelas-jelas Aluna mengatakan kalau dirinya itu belum siap berhubungan. "Amar, entah sampai kapan aku siap. Lalu, perasaan juga tidak bisa dipaksakan," ujar sang gadis.Jujur, dia sama sekali tidak suka kepada Amar. Tetapi pria itu banyak sekali diam, hanya saja matanya terus saja memperhatikan. Selama ini, bukannya Aluna yang tidak tahu kalau Amar sering mencuri pandang kepadanya. Tetapi, gadis itu tidak mau memusingkan, karena baginya pekerjaan yang dibebankan kepada Aluna lebih penting juga lebih banyak dibandingkan harus mengurusi seorang pria seperti Amar. Selama sang pria tidak mengganggunya, Aluna tidak mau mengambil tindakan. Lagian, selama ini Amar juga tidak menyakitinya atau mengusik sang gadis. Hanya saja, setelah mendapatkan kejujuran dari Amar, Aluna mu
"Maksud Bapak apa?" tanya Aluna. Dia berpura-pura tidak tahu saja, karena gadis itu tidak mau membuat masalah. Kalau misalkan sekarang Aluna terus terang tentang apa yang terjadi sebelumnya, pasti Darren akan semakin marah juga gadis itu yakin, Darren marah sebab pria itu berpikir kalau dia punya hubungan dengan Amar, sementara lamaran Darren ditolak oleh sang gadis dengan mentah-mentah. "Jangan berpura-pura bodoh, Aluna! Aku mendengar semuanya. Aku melihat kalian berbicara di koridor itu. Iya, kan?"Aluna langsung tersentak. Dia sampai meneguk saliva dengan susah payah, sebab mendengar pernyataan dari bosnya. Jadi, pernyataan cinta Amar kepadanya itu didengar langsung oleh Darren? Gadis itu mengaduh dalam hati. Sekarang dia benar-benar terpojokkan dengan semua keadaan ini. Kalau misalkan mungkin Darren yang kesal pada Amar atau bisa jadi pria itu melakukan hal yang aneh-aneh kepada Amar. Pemikiran buruk itu terus saja berdatangan kepada sang gadis, hingga Darren pun kembali berseru