Darren tiba-tiba saja berlari dan menarik tubuh Aluna yang sedang terduduk, membuat gadis itu terkesiap. Amarudin yang ada di sana pun ikutan berdiri, takut jika terjadi pertengkaran hebat antara keduanya. Aluna benar-benar ketakutan melihat reaksi Darren yang tampak marah. Wajahnya memerah, alisnya saling bertautan dengan otot rahang yang begitu mengetat, menandakan sang pria yang ada di depannya ini benar-benar murka. "Apa yang kamu lakukan di sini, hah?! Kamu tahu? Seberapa khawatirnya aku mencarimu. Kenapa kamu pergi tanpa bilang-bilang?!" tanya Darren menyerocos dengan nada tinggi, membuat Aluna tertegun. Entah kenapa rasanya sakit sekali mendengar pertanyaan itu. Walaupun memang Darren khawatir, tapi bisakah pria itu bertanya baik-baik tanpa harus menyentaknya? Tanpa diduga mata Aluna langsung berkaca-kaca. Melihat itu Darren pun terkesiap. Dia melepaskan genggaman tangannya di bahu Aluna. Gadis itu meringis sakit karena Darren terlalu kuat memegang bahunya. Sang pria menggu
"Bapak benar-benar serius mengkhawatirkan saya?" tanya Aluna, tiba-tiba saja membuat Darren melotot sembari menoleh kepada gadis itu.Hampir saja tersentak kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Aluna. Padahal dia serius mengatakan itu semua, tetapi kenapa Aluna malah meragukannya?"Kamu tidak percaya dengan semua perkataanku tadi?" tanya Darren, wajahnya terlihat mengekang. Bahkan kedua alisnya saling bertautan, menandakan bahwa Darren itu menunggu jawaban pasti dari Aluna. Sang gadis meneguk saliva dengan susah payah. Kalau dia salah ucap kemungkinan hal buruk akan terjadi. "Ya, bukannya tidak percaya, Pak. Tapi biasanya kan Bapak itu suka sekali membuat saya marah dan malah bersyukur kalau saya menderita. Iya, kan?" jawab Aluna, akhirnya melontarkan perkataan itu karena memang setiap harinya seperti begitu. Aluna bahkan tidak berpikir kalau Darren itu akan mengkhawatirkannya seperti ini. Darren terperangah, mengerjapkan mata berkali-kali sembari menggelengkan kepala.
Dengan langkah yang agak ragu Amar pun langsung pergi ke ruangan Andri. Dia benar-benar takut jika terjadi sesuatu kepadanya. Setelah mengetuk pintu, dari dalam Andri pun mempersilakan Amar untuk masuk. Amar tidak langsung duduk, melainkan berdiri di depan meja kebesaran Andri. "Bapak memanggil saya?" tanya Amar, berusaha untuk bersikap seperti biasa. Tidak mau sampai menimbulkan kecurigaan dari pria itu.Andri langsung menyadarkan punggungnya sembari menatap tajam kepada pria di hadapannya ini. "Tentu saja, tidak mungkin aku memanggil seorang Rnd yang tiba-tiba saja dipindahkan ke bagian eksim ke sini. Kamu tahu kan aku ini bagian dari divisi marketing? Jadi, pasti ada sesuatu yang lebih penting dibandingkan mencarimu ke sini dan kamu tahu? Aku jarang sekali bertemu denganmu atau menemuimu, karena beberapa alasan. Tentu saja karena kita tidak punya keterikatan dalam pekerjaan. Jadi, kamu mau mengaku atau harus aku paksa?" tanya Andri tiba-tiba saja membuat Amar kaget bukan main. S
"Sebelum aku jawab pertanyaanmu, sebaiknya kamu jawab dulu pertanyaanku. Sebenarnya, benar kamu dianiaya oleh Amar?" tanya Andri sedikit meragukan cerita dari kekasihnya. Karena memang dia tahu kalau Siska itu banyak sekali ulahnya. Sang wanita bisa bertahan di sini juga karena bantuan dari Andri. Kalau saja pria itu tidak mempertahankan pacarnya, mungkin saat ini Siska sudah keluar karena banyak sekali masalah yang ditimbulkan oleh wanita itu. Mendengar pertanyaan Andri, tentu saja Siska kaget bukan main. Kenapa tiba-tiba saja Andri bertanya seperti ini? Padahal sebelumnya dia yakin kalau Andri sudah membereskan Amar. Tampaknya memang terjadi sesuatu sampai kekasihnya meragukan semua keterangan yang diberikan oleh Siska. "Iya, aku jujur, Mas. Kamu lihat sendiri, kan? Ada bekas pukulan di wajahku. Aku bisa melakukan visum, kok, kalau memang semua ini terjadi.""Visum memang bisa dilakukan, tapi kalau kamu menuduh orang sembarangan, maka yang akan celaka aku dan kamu. Coba ingat-ing
Danita berusaha untuk mencari orang-orang yang bisa diajak berbicara perihal masalah yang terjadi, tapi sayangnya dia tidak tahu bagian marketing. Hanya manajer marketing yang bisa diajak bicara, tapi tidak mungkin dengan pakaiannya yang sebagai seorang OG. Akhirnya Danita pun memilih untuk menelepon Amarudin. Hanya dengan cara ini dia bisa mendapatkan informasi apa pun perihal yang terjadi di divisi marketing dan kaitannya dengan Siska.Wanita paruh baya itu pusing memikirkannya. Ternyata banyak sekali masalah yang mungkin saja tidak diketahui oleh Darren. Wajar saja, sih, dalam perusahaan besar pasti ada orang-orang yang tidak setia. Bahkan mungkin melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang akan berujung fatal.Dia pun memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Mungkin saja ada sesuatu yang bisa didapatkan dengan cara dirinya yang menyamar. Sementara itu, Amar masih berusaha untuk mencari tahu apa pun yang pernah terjadi dengan Siska dan Andri. Jangan sampai dia yang lebih dulu mendapatk
"Lo jangan bercanda dong, Alika! Bikin gue takut aja. Lo tahu sendiri, kan? Amar itu sempat ngancam gue, karena gue menolaknya. Gue takut kalau mungkin Amar juga menyatakan perasaan sama Siska, terus berujung seperti ini," ungkap Aluna, jadi ketakutan sendiri. Alika juga bingung harus mengatakan seperti apa, karena dia belum tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi, sampai Siska tiba-tiba saja menjadi babak telur oleh Amar. "Kalau masalah itu, gue juga nggak tahu, sih. Karena gue belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja, kepala marketing itu marah-marah sama bawahannya sebab belum menemukan bukti kalau Amar itu memukuli Siska. Ini aneh kan? Dan katanya kejadian ini saat pesta pernikahan semalam," ujar Alika, membuat Aluna terdiam. Dia jadi ingat kalau semalam dia tidak mendapati Amar di mana-mana, mungkin karena terlalu banyak tamu jadi yang dilihat hanyalah orang-orang terdepan, yang belakang dia tidak melihatnya. Saat Darren mengitari tamu-tamu bersamanya pun hanya seba
"Hah! Seminggu? Bukankah kata Bapak kita akan di sana itu cuma 1 sampai 2 hari? Bapak bahkan menjamin kalau saya tidak akan lama-lama di rumah Bapak. Tapi kenapa tiba-tiba saja jadi seminggu?" tanya Aluna kaget.Saat Darren tiba-tiba saja datang ke kamar dan mengatakan kalau dirinya harus kembali ke kantor. Bukan itu yang membuatnya kaget, tapi Darren mengultimatum kalau dia dan Aluna harus tinggal di rumah Danita, kurang lebih satu minggu. Jelas saja semua keputusan Darren itu dadakan dan membuat Aluna ketar-ketir. Bagaimana bisa dia satu minggu bersama mertua? Bahkan baru bertemu di hari pernikahan saja. Pemikiran buruk lainnya itu bersarang di benak. Bagaimana kalau misalkan wanita itu tidak suka kepadanya? Sementara sikap Danita sewaktu di pesta pernikahan hanyalah sebuah kamuflase dan akting saja, agar orang-orang tidak berpikiran buruk kepada keluarga Darren. "Harus bagaimana lagi? Aku mendapat panggilan dadakan dari Amarudin, karena ada sebuah masalah besar yang harus kuseles
Aluna diam melihat rumah yang begitu megah dan mewah. Ini seperti bukan rumah lagi, melainkan istana yang sering dia lihat di kartun-kartun bertemakan kerajaan. "Ini rumah Bapak?" tanya Aluna agak ragu, membuat Darren tersenyum miring. "Bukan, ini rumah orang tuaku." Aluna mendengkus kesal. "Ya, saya tahu, Pak. Maksudnya sama saja. Bapak tinggal jawab pertanyaan saya, apa susahnya, sih?" Padahal, hari ini baru saja mengagumi kemewahan gedung di depannya, tapi pria ini malah membuyarkan semua itu. "Ya, beda saja dong. Kalau aku membawamu ke sini, berarti ini tempat yang akan kamu tinggali. Bagaimana, sih? Katanya kamu cerdas," timpal Darren, membuat Aluna menahan napas. Sepertinya dia tidak bisa lagi berbicara panjang lebar dengan pria di sampingnya ini, tidak akan pernah berubah. Pria itu selalu saja memperpanjang masalah dan mempermasalahkan apa pun perihal kecil. "Baiklah, Pak. Kalau begitu, daripada kita berdebat, bagaimana kalau kita ke dalam saja? Masalahnya saya kepanasan