"Saya bawa makan siang buat Bapak. Kebetulan tadi habis masak opor ayam," ucap Aluna, sembari menyodorkan rantang yang dibawa. Mendengar itu, Darren langsung berdiri dengan wajah marah. "Kenapa kamu masak?! Apakah Ibu yang menyuruhmu atau siapa yang menyuruhmu masak?!" tanya Darren dengan nada tinggi, yang membuat Aluna kaget bukan main. Ekspresi gadis itu yang berusaha terlihat ceria dari tadi pun langsung berubah ketakutan. Dia merasa kalau yang dikatakannya itu tidak ada yang salah, tetapi kenapa tiba-tiba saja Darren marah seperti ini? Benar-benar di luar dugaan dan membuat Aluna terheran-heran. "Saya, saya masak sendiri, Pak. Tidak ada yang menyuruh saya. Saya juga belum bertemu dengan orang tua Bapak." Mendengar itu Darren langsung mengusap kasar rambutnya, sembari memejamkan mata. Sang pria berkacak pinggang, lalu melipat tangan di depan dada. "Harusnya kamu tidak usah masak! Yang tugas masak itu maid di sana. Nanti kalau misalkan kita pindah ke apartemen pun, kamu tidak
"Loh, ini bukannya sekretaris Pak Darren?" tanya seseorang membuat Aluna langsung menoleh, ternyata itu Danita yang memakai masker dengan penampilan sederhana, sama dengan OG yang sempat ditolong oleh Aluna. Aluna menelisik penampilan wanita di depannya, lalu terfokuskan kepada wajah wanita paruh baya itu. "Bukankah ini Ibu yang OG itu, kan?" tanya Aluna dengan senyum. Danita langsung menganggukkan kepala. "Ya Tuhan. Ibu, ke mana aja? Apa Ibu nggak datang ke pernikahan saya?" tanya Aluna, karena dia yakin semua orang yang ada di kantor ini sudah tahu perihal pernikahannya bersama Darren. "Oh, saya datang, Nak. Cuma saya tidak di depan, malu. Kami kan berada di belakang, jadi saya juga agak sungkan untuk maju ke depan mendekati pelaminan," ujar Danita membuat Aluna terkekeh sembari menggelengkan kepala."Ya nggak apa-apa kali, Bu. Lagian kan kita sama-sama bekerja di perusahaan Pak Darren." "Beda lah, kalau kamu sekarang sudah jadi istrinya Tuan muda. Jadi, tidak mungkin kami seb
Mendengar itu Siska kaget. Ternyata wanita paruh baya ini berani juga kepadanya. Dia tidak mau takut, walaupun memang ada karisma yang terpancar dari Danita. Tetapi Siska tidak mau dikalahkan oleh wanita tua, apalagi posisinya sebagai anak baru. "Memang kamu siapa? Kamu punya siapa di perusahaan ini? Jangan sembarangan, ya! Aku juga punya orang dalam di sini. Jadi, nanti kamu yang akan kalah jika melawanku," ujar Siska dengan percaya diri.Danita tersenyum miring. Dia pun ikut melipat tangan di depan dada, menantang Siska dengan kekesalannya. Kalau saja wanita ini tidak mengacaukan perasaannya yang membaik karena mendapat makanan dari menantunya, mungkin kejadiannya tidak akan sama. Tetapi Siska malah menumpahkan masakan pertama yang dibuat oleh menantu. Ini benar-benar membuatnya kesal. Tidak bisa lagi ditunda-tunda dan menahan semua amarah yang ada di dadanya. "Benarkah? Apa maksudmu itu Pak Andri dari divisi marketing? Benar?" Siska kaget. Dia menurunkan kedua tangan dengan waja
"Aku nggak melakukan apa pun, kok, Bu. Lagian, aku yang harus bertanya, Ibu di mana? Kenapa tidak ada di rumah? Hari ini aku pindah dan ingin tinggal dulu beberapa hari di rumah Ibu." Mendengar itu Danita langsung senang. Itu artinya dia bisa bertemu dengan menantunya setiap hari. Dia juga bisa mengorek informasi apa pun perihal Aluna. Mungkin saja Danita menjadi punya teman untuk ke mana-mana, karena sudah punya menantu yang baik hati seperti Aluna."Simpan dulu informasi itu. Pokoknya, kamu harus temui Ibu di rumah. Kalau tidak, jangan harap kamu bisa masuk ke rumah! Sebaiknya kamu tidur aja di kantor!" seru Danita, langsung menutup teleponnya. Wanita itu pun bergegas untuk pulang. Dia akan bilang kepada Pak Aman kalau dirinya tidak enak badan. Walaupun itu bohong, tetapi demi menyambut menantu barunya, tentu saja Danita akan melakukan apa pun. Sementara itu Darren mulai khawatir, takut jika Aluna sudah bertemu dengan Danita dan menceritakan apa yang terjadi di kantor. Pria itu m
Beberapa menit kemudian Aluna pun kembali datang ke mobil itu. Tak sengaja melihat wajah sang sopir, tampak sekali berubah. Berbeda seperti sebelumnya. Pria itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi ditahan.Rasa penasarannya begitu tinggi. Aluna berusaha untuk berdiam sejenak, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi kepada sopir ini. Lalu, tak lama kemudian dia tampaknya paham apa yang sedang terjadi. Karena tidak mau sampai ada masalah lagi dan menceritakan siapa Adit yang sebenarnya. Sopir itu mengangguk-anggukkan kepala, merasa malu juga. Ternyata Aluna bisa membaca pikiran sang sopir. "Iya, Pak. Dia itu teman lama saya. Saya juga benar-benar kaget waktu dia datang menghampiri saya. Sebelumnya, bahkan saya tidak mengenalinya, kalau dia tidak menyebutkan nama," ucap Aluna yang diangguki lagi oleh sopir itu. "Oh ya. Kalau begitu apa kita mau pulang?" tanya sang sopir, karena ini sudah hampir jam 3.Sebentar lagi Darren atau Danita akan pulang. Aluna terdiam sejenak. Entah kenapa b
"Ya sudah, kalau begitu kamu istirahat dulu sebentar di sini, ya. Kalau memang ada masalah, kamu jangan sungkan cerita sama Ibu." Amalia terdiam sejenak, melihat ekspresi Aluna yang hanya terdiam sembari menunduk. Sebagai seorang Ibu, dia punya firasat kuat, kalau anaknya sedang memikirkan sesuatu. Tetapi tampaknya Aluna berusaha untuk menyembunyikan dari sang Ibu. Amalia pun tidak bisa berbuat banyak dan berharap kalau Aluna bisa menyelesaikan masalahnya dengan cepat. "Ya sudah, kalau begitu Ibu tinggal dulu, ya," ucap Amalia, setelah itu meninggalkan Aluna di kamarnya.Gadis itu memejamkan mata sembari menghela napas panjang. Akhirnya, bisa terbebas dari berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh ibunya. Sekarang dia bisa tenang dan berharap kalau rasa sesak dan tak enak hati ini segera hilang. Setelah itu bisa pulang ke rumah megah itu di waktu jam kerja berakhir.Sementara sang sopir dipersilakan untuk istirahat dulu di sana. Tampaknya sopir itu pula tidak bisa berbuat banyak,
Malam telah tiba, tapi Darren belum juga menemukan Aluna. Sementara itu sang sopir pun mulai khawatir, karena sudah beranjak malam. Dia berusaha bertanya kepada Amalia, di mana Aluna berada. Tidak mau sampai menjadi masalah besar untuk dirinya juga Nyonya mudanya itu. "Sebentar, ya, Pak. Saya panggilin dulu Aluna." Amalia segera memanggil anaknya itu untuk segera pulang. Tetapi, ternyata di luar dugaan. Aluna malah menyuruh agar sopir saja yang pulang. Dia tidak apa-apa untuk tinggal di sini terlebih dahulu. "Loh, jangan seperti itu, dong, Aluna. Kalau misalkan Darren marah-marah dan sampai sopir dipecat bagaimana?" "Nggak akan, Bu. Aku yakin sopir itu nggak akan dipecat, karena dia satu-satunya orang yang tahu di mana aku berada," ucap Aluna berusaha meyakinkan Amalia, mengingat bagaimana tabiat Darren. "Tapi ....""Bu, aku mohon. Aku benar-benar butuh kesiapan untuk bertemu dengan Pak Darren. Rasanya ini butuh kesiapan mental."Padahal pernikahan ini sandiwara saja, tetapi tern
"Bagaimana kalau 500 juta?" ucap Darren dengan serius.Wajah tegas dengan rahang kokoh itu semakin memperjelas ekspresi yang tidak main-main. Walaupun saat ini usianya sudah 39 tahun, tapi Darren masih terlihat gagah dan tampan. Bahkan, banyak wanita yang mendambakan pria matang itu."Apa Bapak bilang? 500 juta? Bapak mau membeli saya, ya?" cetus Aluna, kesal.Bagaimana tidak? Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, hampir semua karyawan sudah pulang. Tetapi, Aluna tertahan di sana karena ulah Darren--sang CEO--yang tidak lain bosnya sendiri.Darren terkesiap mendengar pertanyaan gadis itu. Alis tebalnya saling bertautan. "Aku mau memberimu tawaran, bukan membeli kamu. Kalau kamu berpikiran begitu, silakan saja."Mata indah Aluna membulat sempurna. Bosnya itu dengan enteng melontarkan kalimat terakhir dengan mudah. Ekspresinya juga sangat meremehkan Aluna, dan sang gadis tidak suka."Saya anggap seperti itu. Bapak pikir saya wanita murahan? Lagian, apa Bapak gila menginginkan ha