Share

Tebakan Intan

Istri Bayaran Sang Opa Menawan

Bab 9 : Tebakan Intan

Demi keamanan, sebaiknya tak kubuka dulu chat dari Si Opa alias suami tuaku itu. Anggap aja aku gak tahu kalau dia ada chat. Yeah, itu bagus. Setidaknya biarkanlah aku bersama teman-temanku dulu.

Aku memanggil pelayan di kantin. Wanita yang memakai baju kaos itu segera menghampiri meja kami. Kupersilakan Intan dan Bagas untuk memilih dan memesan makanan serta minuman yang mereka mau. Setelah itu baru lah aku memesan makanan dan minuman untukku. 

Usai mencatat pesanan aku, Intan dan Bagas, wanita yang kuperkirakan berusia tiga puluhan tahun itu pergi meninggalkan meja kami. 

Tiba-tiba aku kepikiran untuk menanyakan keadaan mereka setelah lulus sekolah kemarin. Firasatku mengatakan bahwa nanti Intan akan menuntutku untuk menceritakan tentang mengapa perubahan diriku cepat sekali, sebaiknya kualihkan dulu topik obrolan ini.

“Oh iya, apa aktivitas kalian berdua setelah lulus sekolah kemarin?” 

“Kalau aku sih cari-cari informasi tentang beasiswa di beberapa kampus incaranku,” jawab Intan. 

“Kalau kamu, Gas?” tanyaku sembari beralih ke pria turunan Jawa itu. 

“Sama sih cari informasi beasiswa juga. Cuma bedanya aku memang bertekad mau kuliah di sini. Soalnya ini kampus bergengsi dan sudah lama aku bermimpi bisa kuliah di sini. Akhirnya kesampaian juga.” 

Wah siapa sangka aku dan Bagas memiliki mimpi yang sama untuk bisa kuliah di universitas ternama ini. 

Akan tetapi, aku tak boleh menampakkannya di depan mereka. Anggap saja ini hanya sebuah kebetulan. 

“Kebetulan sekali ya kita berasal dari sekolah SMA yang sama dan kini melanjutkan studi juga di tempat yang sama.” 

Setelah aku mengatakan itu, wanita yang mencatat pesanan kami tadi datang bersama temannya membawa beberapa nampan makanan. 

“Terima kasih,” ucap Intan ramah pada dua wanita itu. 

“Oh iya, Loly, ceritain dong sama kita gimana kamu bisa hidup mewah seperti sekarang ini!” pinta Intan setengah memaksaku. 

Mampus aku. Aku harus segera mengalihkan pembicaraan dan perhatian mereka ke hal yang lain. 

“Nanti sajalah ceritanya. Menurutku mending sekarang kita makan dulu, yuk. Nanti keburu dingin makanannya gak enak loh,” saranku sambil mulai mengambil sendok. 

“Iya nih, Ntan, nanti ajalah sambung ceritanya, kita makan dulu. Aku dah laper banget nih,” celetuk Bagas yang menyetujui saranku. 

Mendengar itu, Intan hanya mendesah saja sambil mengambil piringnya yang berisi makanan pesanannya tadi. Di atas meja ini ada beraneka ragam menu. 

Kami pun mulai menyantap makanan masing-masing. Disela-sela makan, Intan terus saja mengoceh, dasar gak bisa diam nih anak walau udah disogok makanan enak pun.

“Itu yang di jari manis kamu cincin apa, Lol?” tanya gadis berpipi chubby itu sambil melihat ke arah jariku sebelah kiri, tepat di mana cincin berlian yang disematkan oleh Opa Jhon. 

“Eh ... anu ....” Aku tergagap, bingung harus menjawab apa. 

“Jangan bilang kamu udah nikah? Dan kamu diperistri oleh seorang juragan kaya raya?” tebaknya sambil menatapku dalam-dalam. 

Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba saja Bagas mendengus. Kenapa dia? Wajahnya mendadak berubah. Cemberut. 

“Apaan sih, ada-ada saja kamu,” elakku cepat. Aku tak ingin mereka tahu dulu yang sebenarnya untuk saat ini. Aku belum siap. 

Aku mengeluarkan ponsel mahal dari dalam tasku. Sengaja karena ingin meminta nomor mereka juga. 

“Wah, ini hape kamu? Busettt! Ini hape mahal, Lol. Kok kamu punya sih? Apa jangan-jangan kamu jadi simpanan om-om?” tebak wanita berbibir tebal itu lagi. 

Aku hanya nyengir saja. 

“Makin ngaco deh kamu,” selaku. 

“Soalnya bukan gimana-gimana, selama sebulan setelah pengumuman kelulusan sekolah dan perpisahan kita gak pernah ketemu lagi,” ujarnya lagi. 

“Udah gila kamu nih, Tan. Aku tahu Lolyta ini orangnya gimana. Gak mungkinlah dia ngelakuin kayak yang kamu tuduhkan itu,” bela Bagas tak terima. 

“Siapa yang nuduh? Aku 'kan cuma nanya doang. Lagian kok kamu yang sewot?” balas Intan tak mau kalah. 

Aku memerhatikan dua orang ini beradu mulut hanya karena diriku. Dari sorot mata Bagas, tampak seperti dia memang tidak terima dengan tebakan yang dilontarkan dan bernada menuduh padaku. Aku sedikit curiga pada Bagas, segitunya dia membelaku. Sebenarnya kenapa dia? Apakah dia melakukan itu atas dasar membela seorang teman? 

“Udah-udah, kalian berdua kenapa sih?” tanyaku mencoba melerai. “Dah, mendingan ini kalian catat nomor teleponku. Biar nanti kita enak chattingan ya,” lanjutku lagi. 

“Tahu nih, Intan.” Wajah Bagas terlihat memerah.

“Rezeki orang 'kan kita gak ada yang tahu. Dan ... semua tebakan kamu itu salah, Tan. Gak mungkinlah aku begitu.” Aku menjawab pertanyaan dari Intan tadi dengan penuh percaya diri meski ada yang tertampar di dalam sini. Ya, di mana lagi, kalau bukan di hati bidadari bersuamikan Kakek Renta itu. Gak apa sih, yang penting bisa hidup enak.

Hmm ... gimana, ya, seperti untuk menghindari tuduhan yang aneh-aneh, aku ceritakan hal yang sebenarnya saja kali, ya. Aku masih menimbang-nimbang dengan ragu.

Baru saja hendak menceritakan pada dua temanku ini, tiba-tiba segerombolan laki-laki datang masuk ke kantin. Mereka berjumlah enam orang. Ternyata itu adalah rombongan Xeon dan gengnya. Morgan dan Exel, sepupunya Xeon juga ada ikut serta. 

Bersambung ..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status