Share

Sindiran

Istri Bayaran Sang Opa Menawan

Bab 10 : Sindiran

Musuh bebuyutanku itu--Xeon, menatapku dengan tajam dan penuh permusuhan. Lalu pria tukang bully itu mengajak teman-temannya untuk duduk tak jauh dari meja kami. Aku yakin, pasti akan ada yang diperbuatnya di situ karena sengaja duduk berdekatan dengan meja ini. 

“Hei! Kalian tahu gak? Aku mencium aroma-aroma busuk di sini. Kalian apa gak merasakan?” tanya Xeon yang bernada sindiran dengan suara yang nyaring. 

Aku tahu, itu pasti sindiran untukku. Ternyata dia benar-benar tidak kenal tempat untuk mencari masalah. Namun, aku tetap harus tenang dan tak boleh terpancing olehnya. Lebih baik aku cuekin saja dia mau ngomong apa. 'Kan nanti capek sendiri mulutnya. 

“Hadeuh. Dasar ya, orang kampung! Kalau dekil mah, ya, tetep dekil aja gak usah belagu deh!” sindirnya lagi. 

Aku membuang napas dengan kasar. Laki-laki yang tak memiliki akal pikiran sehat itu terus saja mengeluarkan kata-kata pedasnya untukku. Hah! 

“Kok aroma busuknya makin kuat, ya? Kok kalian tahan sih? Kalau aku mah ogah. Malesin banget!” Lagi, Xeon menyindirku dengan mulut bau jengkolnya itu. Iya, jengkol, sindirannya bikin dongkol.

“Baru hidup enak dikit, dah langsung songong aja!” Dia kembali berkata sini.

Huh, dasar cucu Kakek Tua ini, mulutnya perlu di sekolahin ini. Sabar, Loly, tetap anggun dan cuekin dia. Aku mensugesti diri.

“Itu Xeon kuliah di sini juga? Aduh, kesel banget deh. Kenapa kita harus satu kampus dengan cowok songong itu dan terkenal sebagai tukang bully di sekolah dan korban bullyannya pasti selalu kamu,” bisik Intan. 

Sepertinya bukan hanya Intan yang menyesali, aku pun juga. Apalagi sekarang setiap hari aku akan bertemu dengan laki-laki picik itu, baik di kampus atau juga di rumah. Duh ... Loly, kamu terjebak singa di mana-mana. Aku menggeleng lemas.

“Udah biarin aja,” sahutku pura-pura acuh. 

Aku pun lantas memanggil ibu pemilik kantin ini. 

“Berapa semuanya, Bu?” tanyaku ketika Ibu itu menghampiri meja kami. Wanita setengah tua itu pun mulai menghitung totalannya. 

Usai menghitung jumlahnya, Ibu itu mengatakan nominalnya. Aku pun segera memberikan beberapa lembar kertas berwarna merah dari dalam dompet. 

“Udah yuk kita pergi dari sini!” ajakku pada Intan dan Bagas.

"Ceileeehhh ... orang kaya baru lagi neraktir teman-temannya yang kismin!" Xeon kembali mengeluarkan sindirannya.

Jelas saja sindiran itu tepat mengarah kepadaku, sepertinya perlu dijambak ini mulut singa. Tahan, Loly, tetap anggun dan memesona, buang sikap kampunganmu! Aku mensugesti diri dan tetap pasang wajar datar, Loly harus bisa bersikap elegan.

"Udah, Loly, biarin aja! Entar dia capek sendiri kok." Intan menarik tanganku.

Kuhembuskan napas jengkel dan memalingkan pandangan darinya setelah saling tatap dengan Si Singa Lapar itu. Okelah, tak ada gunanya menanggapi dia, nantinya dia makin tambah senang kalau aku sampai terpancing. Kudoakan dimangsa singa benaran dia, biar aku jadi satu-satunya pewaris tunggal harta opa. Eaaakkk ... hati jadi serasa bertabur bunga sakura.

Aku, Intan dan Bagas meninggalkan kantin. Suasana berubah menjadi tidak tenang semenjak ada Si Tukang Rusuh dan Pembully datang. Awalnya aku memang tidak menggubrisnya, tapi semakin dibiarkan malah semakin menjadi. Asem banget dia! 

Akhirnya aku, Intan dan Bagas berhenti di halaman kampus. Kupandangi ke sekeliling, mencari tempat yang nyaman untuk bercerita pada mereka. Namun, belum sempat aku menemukan tempatnya, tiba-tiba bodyguard-nya Opa Jhon lebih dulu datang menghampiriku. 

"Maaf Nyonya, apakah urusan Nyonya sudah selesai?" tanya pria dengan seragam berwarna hitam itu. 

"Emangnya kenapa?" tanyaku jengkel.

"Sebab, Opa Jhon memberi pesan pada kami, jika urusan Nyonya sudah beres, Nyonya harus segera pulang," ujarnya lagi. 

Aku mendesah dan berdecak kesal. Inilah yang paling tidak aku sukai. Hidup enak, tapi penuh perintah dan sangat ketat sekali peraturannya. Dasar Si Opa Renta, tidak bisa melihat kesenangan orang sebentar. Nyebelin banget sih! Cucu dan Opanya sama-sama nyebelin. Ugh!

Sebenarnya aku sangat kesal pada dua bodyguard ini. Akan tetapi, mau tidak mau, aku harus terpaksa menurut untuk pulang. Dua pria pengawal si kakek tua ini pun sama juga menyebalkan seperti majikannya! 

"Baiklah," sahutku. "Aku pulang duluan ya, Tan, Gas. Nanti sampai di rumah aku chat kamu ya, Tan." Aku berkata pada Intan dan Bagas. 

Mereka mengangguk. Wajah mereka berdua tampak kebingungan dan penuh tanya. Namun, kubiarkan saja. Mungkin mereka penasaran dengan dua orang ini, atau bisa saja penasaran dengan nama majikan yang disebut oleh bodyguard ini barusan. 

"Mereka siapa, Loly?" bisik Intan.

"Hmm ... nanti saja kuceritakan," balasku.

"Iya, Loly. Sampai ketemu lagi," jawab Intan. 

Saat hendak melangkah, aku baru ingat bahwa ada sesuatu di dalam tas ini. Aku lihat dan berniat untuk memberikan pada Intan saja. 

"Oh iya, Tan, ini ambil aja buat kamu." 

Aku menyerahkan sebungkus makanan yang sengaja kubawa dari rumah tadi saat tak sempat untuk sarapan kepada Intan. Lalu aku pergi bersama dua orang berbadan kekar suruhan Opa Jhon. 

"Makasih, ya, Lolyta," ujar Intan setengah berteriak. 

"Kamu hati-hati, ya, Lolyta!" ucap Bagas dengan berteriak juga karena aku telah menjauh dari mereka. 

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status