“Ima? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ayu, teman baik sekaligus rekan kerjaku di tempat ini. Melihat dia yang masuk ke ruanganku, sepertinya dia yang ditunjuk untuk menggantikan posisiku sementara selama aku cuti karena duka.
“Tentu saja melakukan tugasku,” kataku seraya tersenyum. Aku membawa dokumen yang telah aku periksa ke ruangan direktur utama.
“Apa kamu yakin kamu sudah siap untuk bekerja?” Dia mengikuti aku hanya sampai ambang pintu.
“Jangan khawatir. Bekerja justru membantu aku menjauh dari rasa sedih.” Aku meletakkan semua dokumen itu di atas meja kerja, lalu merapikan beberapa peralatan tulis yang berantakan.
“Baiklah. Kalau kamu butuh bantuanku, kamu tahu mencari aku di mana.” Ayu tersenyum.
“Terima kasih,” ucapku tulus.
Kami keluar ruangan bersama karena aku harus melewati elevator menuju dapur. Ayu menunggu pintu lift terbuka, sedangkan aku menyiapkan kopi hangat untuk atasanku. Saat aku berjalan kembali ke ruang kerjaku, sahabatku sudah tidak ada lagi di depan pintu elevator tersebut.
Yakin semua yang dibutuhkan bosku sudah ada di ruangannya, aku mengerjakan tugasku yang lain. Hari Senin ada rapat dewan direksi, maka aku menyiapkan ruang rapat sesuai instruksi atasanku. Minuman hangat, kudapan, hingga materi rapat sudah aku letakkan di tempatnya masing-masing.
“Delima? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya bosku saat aku kembali ke ruang kerjaku.
“Selamat pagi, Pak. Ruang rapat sudah saya siapkan, setiap dokumen yang Bapak butuhkan juga sudah ada di atas meja Bapak. Untuk menjawab pertanyaan Bapak, saya sedang bekerja,” ucapku dengan sopan.
“Tidak perlu berlagak pintar bicara denganku. Aku jelas-jelas memberi kamu cuti sampai hari Rabu. Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau pekerjaanku hari ini rusak karena kamu mendadak menangis saat rapat atau diskusi dengan kolegaku nanti,” katanya berang.
“Saya akan bekerja dengan baik seperti biasanya, Pak,” kataku berjanji. Dia menatap aku sesaat. Aku sudah siap menghadapi amarahnya selanjutnya.
“Baiklah,” katanya mengejutkan aku. “Panggil aku saat rapat akan dimulai.”
Dia membalikkan badan dan memasuki ruangannya. Tumben. Biasanya dia marah-marah selama tiga puluh menit setiap pagi. Hal yang bukan kesalahanku pun akan dia sebutkan, kalau perlu dia akan mencari-cari kesalahanku sampai dia puas.
Kematian suamiku sepertinya membawa hal positif juga. Bosku jadi kasihan kepadaku dan tidak memarahi aku pagi ini. Semoga saja selama seharian segalanya akan berjalan sebaik ini. Walaupun aku lebih suka mendengar amarahnya daripada belasungkawanya.
Rapat berjalan dengan lancar tanpa perdebatan yang berarti. Bosku tersenyum bahagia karena aku mengerjakan tugasku dengan sigap. Tidak ada yang mengeluhkan presentasi tidak lengkap, halaman laporan yang tercetak tidak sesuai urutan, atau makanan tidak enak. Semua peserta rapat puas.
Aku bersiap untuk pertemuan berikutnya yang tidak kalah pentingnya. Bosku akan makan siang dengan salah satu koleganya yang cukup disegani di negeri ini. Benedict Kumara. Pengusaha pakaian, sepatu, juga tas yang modelnya disukai oleh ibu-ibu untuk anak mereka. Sebagai pemilik tiga mal besar di ibu kota, kehadiran merek dagang pria itu membuat pusat perbelanjaan milik bosku selalu ramai dengan pengunjung.
Hanya satu yang tidak aku mengerti. Pria itu tidak mau bertemu secara langsung dengan bosku atau siapa pun. Setiap pertemuan mereka selalu dilakukan melalui panggilan video. Tetapi kamera hanya tertuju pada pemandangan di luar jendela kantornya atau kursi kerjanya yang dilihat dari belakang. Kami bisa mendengar suaranya dengan jelas, cuma orangnya yang tidak pernah terlihat.
Dari desas-desus yang beredar, dia adalah pria yang pemalu. Karena itu wajahnya tidak pernah tampil di mana pun. Orang-orang mencoba mencari tahu, wartawan mengikuti dia, tetapi belum ada yang berhasil mendapatkan fotonya.
Beberapa menyimpulkan bahwa dia punya wajah buruk rupa atau tubuh yang cacat sehingga dia tidak mau publik melihat dan mengetahuinya. Tetapi aku lebih setuju pada pendapat pertama, dia seorang yang pemalu. Didengar dari suaranya yang berat dan dalam, aku tahu bahwa dia bukan pria yang buruk rupa.
“Delima,” panggilnya tiba-tiba setelah mereka selesai membahas beberapa poin penting mengenai penambahan kuantitas produknya yang perlu dikirim ke salah satu mal milik bosku. Aku mengangkat kepalaku dari buku catatanku. “Aku turut berbelasungkawa atas kepergian suamimu. Maaf, aku tidak bisa datang melayat.”
“Terima kasih, Pak Ben. Tidak apa-apa. Bunga dan uang duka dari Bapak sudah saya terima,” kataku dengan sopan. Sayang sekali, amplop paling tebal yang pernah aku terima itu malah diambil oleh ibu mertuaku. Bahkan amplop dari atasanku sendiri tidak sampai seperempat amplop itu tebalnya.
“Aku harap bukan Pak Luis yang memaksa kamu masuk kerja pada hari cuti dukamu,” kata pria itu setengah bercanda. Pak Luis mengangkat kedua alisnya saat menoleh ke arahku.
“Ti-tidak, Pak. Sama sekali tidak. Saya yang ingin masuk kerja karena tidak tahan lama-lama diam saja di rumah. Ini bukan salah Pak Luis.” Aku cepat-cepat membela atasanku.
“Baiklah. Sampai pertemuan berikutnya, Luis, Delima.” Kami membalas salamnya dan panggilan video itu pun berakhir. Atasanku menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berdiri. Dia menuju mejanya, maka aku bergegas merapikan kotak makanan kami dan mengembalikan laptopnya ke meja kerjanya.
Badanku terasa remuk saat tiba di rumah pada malam itu. Namun aku memaksa diri untuk mandi, berganti pakaian dan makan malam. Saat aku akan kembali ke kamar, aku melihat ke arah ventilasi di atas pintu kamar. Tubuh Bakti yang terkulai tak bernyawa, dengan lehernya terjerat dasinya sendiri masih bisa aku ingat dengan jelas.
Aku sudah memeriksa ponselnya, tas kerjanya, dompetnya, bahkan saku celana dan kemeja yang dia kenakan pada hari itu. Tidak ada satu petunjuk pun yang bisa menjelaskan mengapa dia sampai nekat begini. Aku tahu hidup kami susah karena semua gajinya diberikan kepada mamanya, lalu sebagian besar gajiku digunakan untuk membayar cicilan kredit rumah ini. Tetapi alasan ekonomi terlalu lemah untuk menjadi alasannya mengakhiri hidupnya.
“Senangnya sudah awal bulan lagi!” seru Ayu saat kami makan siang bersama di kantin. “Sebentar lagi kita akan gajian.”
“Sepuluh hari lagi. Itu masih lama,” gerutu Adel, rekan kerja kami yang duduk di sisinya. “Kamu yang masih sendiri enak, semua gajimu hanya untukmu. Aku harus menggunakan setiap pesernya dengan baik agar bisa cukup makan selama sebulan penuh. Belum lagi pengeluaran tambahan suami dan anak-anak yang tidak ada habisnya.”
“Kita semua punya kebutuhan masing-masing. Aku juga sama seperti kalian. Gaji hanya menumpang lewat di rekening.” Ayu mendesah pelan. “Enak, ya, jadi orang kaya. Bisa hidup nyaman dan tidak pusing memikirkan uang seperti kita.”
“Apa yang kamu keluhkan, Yu? Kamu, ‘kan, belum menikah. Belajarlah dari pengalaman kami dan pilih suami yang bisa memberi kamu segala hal. Jangan menikah karena cinta. Itu hanya perasaan sesaat,” ucap Adel yang aku setujui dengan anggukan.
Sedikit banyak yang dikatakan Adel ada benarnya. Aku dan Bakti menikah karena cinta dan lihatlah di mana kami sekarang. Dia meninggalkan aku sendiri tanpa pesan atau ucapan perpisahan. Mungkin ikatan di antara kami sudah lama hilang karena aku tidak merasakan adanya firasat atau pertanda sebelum kepergiannya. Hal yang biasanya dialami orang saat orang terdekat mereka akan meninggal.
Ada sebuah mobil yang parkir di depan rumah pada saat aku pulang kerja. Melihat lampu di dalam rumah menyala, aku segera mempercepat langkahku. Siapa yang datang dan bagaimana dia bisa masuk? Bahkan ibu mertuaku pun tidak memegang kunci rumah kami. Ada beberapa sepeda motor yang diparkir di belakang mobil tersebut yang tidak terlihat saat aku berjalan dari arah depan mobil. Para tetangga melihat ke arah rumahku dengan rasa ingin tahu.
Keadaan pagar sedikit bengkok karena dibuka paksa saat gemboknya masih terpasang, pintu juga rusak pada bagian kenop dengan salah satu engselnya hampir lepas, dan kondisi dalam rumah berantakan dengan beberapa barang dilempar begitu saja ke lantai. Ada suara orang sedang bicara dengan sengit dan melakukan sesuatu di kamar tidur. Aku mendekat dan menarik napas terkejut.
Kondisi kamarku seperti kapal pecah. Tempat tidur berantakan, lemari pakaian dibiarkan terbuka dengan baju berceceran di sekitarnya, pigura foto dengan kaca yang retak juga berserakan di lantai, dan ada tiga orang pria yang tidak aku kenal. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak dan bicara, lalu menatap ke arahku dengan tajam. Aku menelan ludah dengan berat. “Ibu Delima Aruna?” tanya seorang pria berpakaian serba hitam dan bertubuh besar yang mendekati aku dengan wajah garang. Aku mengangguk pelan, takut bila aku membuka mulut, suaraku tidak akan keluar. “Kami datang untuk menagih cicilan utang.” “Ci-cicilan utang?” tanyaku tidak mengerti dengan suara tertahan. Dia mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya, lalu memberikan kepadaku. “Bakti Ekaputra adalah suami Anda, bukan?” tanyanya. Aku kembali mengangguk pelan. “Dia telah meminjam uang sebesar lima ratus juta rupiah dan pembayaran cicilan ketiganya sudah lewat dua puluh hari.” “Li-lima ratus juta?” tanyaku bingung. Aku segera
“Apa kau sedang mempermainkan kami!?” hardik pria itu di depan wajahku. Pria yang datang kali ini adalah pria yang berbeda. Bila sebelumnya yang datang adalah tiga orang, maka yang datang malam ini adalah empat orang. Dua di antaranya bertubuh lebih tinggi dariku. Mereka pasti sengaja memilih orang-orang ini untuk mengintimidasi aku. Jantungku yang sudah berdebar sangat cepat, kini serasa akan lepas dari dadaku. Telingaku nyaris tuli mendengar detak jantungku sendiri dan gertakan mereka. Tubuhku bergetar dengan hebat menahan rasa takut. Aku menggigit bibirku dengan kuat menahan diriku agar tidak berteriak. “Hanya itu yang bisa aku kumpulkan dalam waktu sepuluh hari yang kalian berikan.” Aku berusaha memberanikan diriku sendiri untuk menjawab. Syukurlah, aku tidak tergagap saat bicara. “Utang itu bukan utangku. Bagaimana aku bisa mencari alternatif lain untuk mencari uang secepat ini?” “Kau seorang perempuan, mengapa kau tidak pikirkan saja cara lain untuk mendapatkan uang yang lebih
Aku tidak menduga dia akan mengajukan hal itu sebagai syaratnya. Karena dia adalah rekan bisnis bosku, aku pikir dia akan meminta aku membujuk Pak Luis untuk menyetujui proyek baru darinya atau hal lain yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Hari Kamis artinya tiga hari lagi. Bila kami menikah pada hari Kamis, apa utangku baru akan dibayar setelah kami resmi menjadi suami istri? Tetapi kami tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak tahu seperti apa orangnya. Tidak, tidak. Apa yang membuat aku ragu? Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Pria mana yang mau menikah dengan janda yang terlilit utang seperti aku? Terlebih lagi, Pak Benedict bukan pria biasa. Dia seorang pengusaha sukses yang punya banyak usaha lain selain yang berhubungan dengan garmen. Aku bukan hanya lepas dari utang, tetapi aku juga akan hidup nyaman selama dia masih menginginkan aku menjadi istrinya. Aku tidak akan hidup susah lagi seperti yang aku alami bersama Bakti. “Jadi, maksud Bapak, kita menikah pada hari Ka
~Benedict~ Lahir dan besar di tengah-tengah keluarga terpandang dan kaya raya memberi aku begitu banyak kemudahan. Sebagai anak pertama, aku merasakan semua kemewahan sejak aku masih sangat kecil. Pakaian yang aku kenakan lebih bagus dari anak-anak kebanyakan. Makanan yang aku santap selalu enak di lidah. Rumah dan tempat tinggalku juga sangat nyaman. Kedua orang tua juga kakek dan nenekku sangat menyayangi aku. Hidupku penuh dengan cinta dan kasih sayang yang mereka curahkan kepadaku. Meskipun aku punya seorang adik laki-laki dan adik perempuan, mereka selalu memfokuskan perhatian mereka kepadaku. Aku sadar dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadaku sebagai penerus utama keluarga kami. Karena itu sejak aku masih sangat muda, aku belajar keras untuk mempersiapkan diriku menjadi pengganti Ayah kelak. Ibu meninggalkan kariernya demi membantu aku belajar di rumah. Namun saat aku menginjak usia sebelas tahun, Ayah menemukan ada yang aneh padaku. Ketika aku berusia dua belas tahun d
Syarat yang pertama bisa dengan mudah aku penuhi. Aku membangun usaha yang aku miliki dari nol. Pengkhianatan rekan kerja pertama telah memberi aku pelajaran yang berharga. Jadi, aku berhati-hati saat memilih orang yang bekerja untukku, terutama mereka yang mengelola uangku. Berawal dari usaha pakaian yang tidak punya penjahit sendiri, kini aku punya beberapa pabrik, butik, bahkan peternakan dan perkebunan yang membantu persediaan bahan mentah usahaku. Merek dagangku diminati oleh para ibu, jadi aku tidak hanya menyediakan pakaian untuk orang spesial seperti aku, tetapi juga merambah pakaian anak-anak. Dalam waktu lima tahun, aku berhasil mengalahkan kesuksesan usaha perhotelan milik Kakek. Aku bahkan masuk daftar orang terkaya di ASEAN dua peringkat lebih tinggi dari Kakek. Keluargaku tidak berhenti mengejek dan menghina prestasiku. Tetapi aku mengabaikan hal itu dan fokus pada tujuan. Kakek adalah pria terhormat yang selalu memegang kata-katanya. Karena itu, aku percaya dia akan me
Reaksi keluargaku sudah bukan kejutan lagi. Ini bukan pertama kalinya aku datang menemui mereka menyatakan rencanaku untuk menikah. Jadi, mereka tertawa dan mengejek aku dengan kalimat yang sudah aku hapal di luar kepala. Setelah mendengar mereka akan datang pada hari pernikahanku, maka tidak ada lagi yang perlu aku lakukan di rumah itu. Aku yakin bahwa mereka pasti akan datang. Mereka tidak akan melewatkan momen di mana aku mengalami hari paling sial dalam hidupku. “Ben.” Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara ibuku. Aku membalikkan badan dan melihat dia tersenyum kepadaku. “Apa kamu sudah makan malam?” “Aku akan makan malam di apartemenku, Bu. Karno menunggu dan dia juga belum makan malam.” Aku menolak tawarannya sehalus mungkin. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang sayang kepadaku. Tetapi aku tidak mau menjadi sumber pertengkarannya dengan Ayah. Jadi, sebelum Ayah keluar dari ruang keluarga dan melihat aku masih ada di rumah ini, lebih baik bagiku untuk pergi. “Kalau
Musik memecahkan keheningan di dalam bangunan besar yang hanya diisi oleh beberapa orang tersebut. Pianis memainkan lagu pernikahan dan pintu belakang gereja pun terbuka. Aku melihat ke arah belakang di mana Delima berjalan didampingi oleh ayahnya. Dia mengenakan gaun berwarna hitam dengan rok panjang menutupi hingga mata kakinya. Aku sudah melihat dia di ruang tunggu, jadi aku tahu dia sengaja menata rambutnya dengan sederhana tanpa hiasan apa pun. Perhiasan satu-satunya pada tubuhnya adalah anting panjang mutiara di telinganya. Dia membawa bunga mawar pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya melingkar di lekukan lengan ayahnya. Meskipun dia tidak tersenyum, kecantikannya sama sekali tidak berkurang. Wajahnya kini sedikit lebih rileks, tidak setegang saat aku bicara dengannya. Berbeda dengan pria yang berjalan di sisinya. Ayahnya terlihat berusaha keras untuk menutupi rasa marahnya. Itukah sebabnya mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk datang? Apa mereka bertengkar di rua
~Delima~ Pria itu tidak berbohong. Dia telah membayar lunas semua utang yang diwariskan Bakti kepadaku. Jumlah totalnya kurang dari lima ratus juta karena mereka memberi diskon untuk pelunasan tunai dalam waktu kurang dari satu tahun peminjaman diterima. Nama Bakti, nomor tanda pengenal, juga namaku dan nomor tanda pengenalku ada pada selembar kertas pelunasan tersebut. Aku sudah tidak punya kewajiban apa pun lagi kepada para rentenir itu. Aku sepenuhnya bebas dari lilitan utang. Air mata menetes satu per satu membasahi surat tersebut. Aku segera menjauhkannya dariku agar bukti pembayaran itu tidak rusak. Orang-orang jahat itu tidak akan datang lagi untuk mengancam dan mengintimidasi aku. Tidak ada lagi teriakan, benda yang dilempar, atau kunjungan dadakan yang membuat aku tidak bisa tidur. Aku juga tidak perlu menahan rasa malu harus meminjam uang kepada orang lain. Aku sudah selamat. Karena pria itu telah menepati janjinya lebih cepat dari waktu yang sudah kami sepakati bersama,