Share

Istri Belian
Istri Belian
Penulis: Meina H.

Bab 1|Perpisahan Tragis

~Delima~

Tanggal dua puluh lima adalah tanggal suamiku menerima gaji dari tempat kerjanya. Setiap tanggal itu pula, ibu dan adik laki-lakinya datang ke rumah untuk meminta uang. Seakan-akan ingin memberi tanda kepada kami semua, tanggal itu juga yang dipilihnya untuk mati.

Aku hanya bisa duduk dan menatap kosong ke arah tangan suamiku yang berada di atas perutnya. Dia berbaring kaku di dalam kotak kayu jati berukir indah berukuran satu kali dua meter. Benda yang sangat mahal untuk hidup kami yang serba kekurangan.

Orang-orang berpakaian serba hitam datang silih berganti menyatakan duka. Beberapa dari mereka menyelipkan sesuatu di tanganku yang terpaksa aku terima. Uang tunai atau amplop berisi uang duka yang aku masukkan ke tasku. Keluargaku menangis, sahabatku bersedih, bahkan rekan kerjaku meneteskan air mata, tetapi aku tidak.

Setelah ritual singkat di rumah, kami menuju tempat peristirahatan terakhir belahan jiwaku selama lima tahun terakhir. Aku ingin berada di dalam mobil jenazah untuk mendampingi dia yang terakhir kali, tetapi ibu mertuaku melarang. Dia yang masuk ke mobil dan menjerit sedih menangisi putra yang katanya adalah kesayangannya itu.

Aku mengalah dengan duduk di mobil bersama keluargaku. Mama memegang tanganku sepanjang perjalanan. Dia tidak mengatakan apa pun untuk menghibur aku, dan itu sangat menenangkan. Karena aku sedang tidak membutuhkan kata-kata pada saat ini, hanya kehadiran.

Kami semua berdiri melingkari lubang yang telah digali, di mana jasad suamiku akan tinggal untuk seterusnya. Suara isak tangis terdengar saat tanah dijatuhkan ke atas petinya. Jeritan penuh duka memekakkan telinga memenuhi tempat itu ketika kayu nisan ditancapkan.

Hanya aku yang sama sekali tidak menangis. Aku percaya bahwa suamiku sudah meninggal, aku juga tahu bahwa dia tidak sedang berpura-pura mati. Begitu aku kembali ke rumah, aku tahu bahwa dia tidak akan pulang sekalipun aku menunggu hingga larut malam. Dia telah pergi untuk selamanya.

Mungkin aku hanya butuh waktu untuk memproses semua ini. Kami adalah pasangan yang sangat bahagia. Kami saling mencintai dan telah menjalin hubungan sejak kami kuliah. Memang kami juga bertengkar layaknya pasangan suami istri yang lain. Tetapi bukan karena kami sudah tidak cinta lagi.

Pertengkaran itu selalu mengenai uang. Kami sama-sama bekerja, jadi uang seharusnya bukan hal yang perlu dipermasalahkan. Namun hanya aku yang memiliki pendapatan yang bisa kami gunakan untuk bertahan hidup. Gajinya yang jauh lebih besar dikuasai oleh keluarganya. Mereka hanya menyisakan uang sebesar saldo minimal di tabungannya.

“Aku akan bicara baik-baik dengan mamaku, sayang,” katanya yang selalu menjanjikan hal yang sama selama bertahun-tahun, tetapi tidak pernah berani dia lakukan.

“Kapan?” tanyaku menuntut. Dia menyisir rambut dengan tangan kanannya. Gerakan yang dia lakukan setiap kali dia gugup.

“Pada saat gajian nanti, aku akan bicara dengan Mama. Aku janji.”

Tetapi janji hanyalah tinggal janji. Hari di mana dia seharusnya bicara dengan ibunya untuk memberi pengertian malah menjadi hari penuh tangisan. Mama yang melihat putranya itu tergantung tak bernyawa lagi di ambang pintu kamar kami menjerit seperti orang yang kesetanan. Aku bertanya-tanya. Dia sedih karena kehilangan putranya atau sumber pendapatannya?

“Ima, kamu yakin tidak mau tinggal di rumah mama saja? Kamu tinggal sendirian di rumah begini tidak baik. Bagaimana kalau ada apa-apa?” ucap Mama khawatir saat kami sudah kembali ke rumah dan duduk di ruang depan.

“Tidak akan ada bedanya, Ma. Aku tetap tidak akan bisa tidur malam ini. Lebih baik aku tinggal di sini untuk lebih cepat memproses bahwa Bakti sudah tiada,” kataku pelan. Bakti. Namanya memang cocok untuk orangnya. Sampai matinya, dia sangat berbakti kepada orang tuanya.

“Ima benar, Ma. Lagi pula kita bisa datang besok pagi untuk melihat keadaannya.” Kak Pangestu menyentuh bahu Mama.

“Baiklah. Segera kabari kami kalau ada apa-apa.” Mama mengusap-usap tanganku. Aku mengangguk.

Begitu mereka keluar dari rumah, aku mengunci pintu dan membiarkan Kakak yang menggembok pagar. Hal pertama yang aku lakukan adalah mandi dan berganti pakaian. Aroma tubuhku sangat tidak sedap karena seharian berkeringat menyambut tamu di rumah kecil ini.

Merasakan perutku lapar, aku memeriksa meja makan dan menemukan ada banyak makanan yang tidak dihabiskan oleh pelayat. Beberapa makanan itu aku simpan di dalam kotak bekal dan aku masukkan ke kulkas. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan, aku tidak perlu memasak.

Aku baru selesai mencuci piring di wastafel ketika ada yang memukul pagar pertanda ada tamu yang datang. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Siapa yang datang? Apa masih ada yang ingin melayat?

Melihat ibu mertua dan adik iparku yang berdiri di balik pagar, aku mendesah pelan. Apa lagi yang mereka inginkan? Aku membuka pintu, kemudian membuka gembok. Mama yang terlihat tidak sabar segera membuka gerendel dan mendorong aku ke samping.

“Ada apa datang ke sini, Ma?” tanyaku bingung. Aku membiarkan pagar tetap terbuka dan mengikuti mereka masuk ke rumah. “Apa ada barang yang tertinggal?”

“Ini adalah rumah anakku. Apa karena dia sudah mati, jadi aku dilarang datang ke sini?” hardik ibu mertuaku hingga aku berhenti melangkah karena terkejut.

“Bukan begitu, Ma. Bila ada yang tertinggal, akan aku bantu carikan.”

Dia melihat ke sekeliling ruang depan entah mencari apa. Lalu dia masuk ke kamarku, membuka setiap laci bufet, lemari, bahkan tasku. Setiap lembar uang, amplop berisi uang duka dimasukkan ke tas tangannya. Dia kemudian berjalan ke dapur memeriksa setiap pakaian kotorku dan memastikan tidak ada isi di dalam setiap kantong.

“Bagaimana bisa kalian berdua tidak punya hati sama sekali? Bahkan uang duka untukku sebagai istri Bakti pun kalian rampas?” Aku tertawa histeris. “Apa uang itu cukup? Kurang berapa lagi? Nanti aku akan berikan uang hasil menjual barang-barang suamiku untuk kalian. Supaya kalian puas.”

“Aku yang mengandung dia selama sembilan bulan. Aku yang menyabung nyawa saat melahirkan dia. Aku juga yang membesarkan, merawat, menyekolahkan hingga dia menjadi orang besar.” Wanita itu menatap aku dengan tajam. “Yang aku minta darinya ini tidak seberapa dibandingkan yang sudah aku korbankan untuknya. Kamu yang tidak pernah punya anak, tidak akan mengerti.”

“Jangan lupa. Mama juga yang sudah membuat dia memilih mati. Dia—” Kalimatku itu terhenti karena sebuah tamparan keras di pipiku.

“Lancang sekali mulutmu! Perempuan tidak tahu diri! Bukan aku yang membuat dia mati tapi kamu! Dia tidak tahan dengan omongan orang karena kamu tidak hamil juga!” tuduhnya dengan jahat.

“Hamil?” Aku mendengus keras. “Bakti tidak mau punya anak sekarang karena ibu dan adiknya yang terus datang merampas uangnya. Memangnya anak kami mau diberi makan apa?”

“Diam! Uang ini hanya untuk menutupi kebutuhan kuliah adikmu selama bulan ini. Aku akan datang bulan depan dan sebaiknya kamu siapkan uang kebutuhan mereka. Bakti sudah tidak ada, maka itu menjadi tanggung jawabmu. Kamu mengerti?” ancamnya. Aku nyaris tertawa mendengarnya.

“Aku tidak punya tanggung jawab apa pun pada kalian. Bakti sudah meninggal, maka kami bercerai secara sah. Kamu sudah bukan ibu mertuaku lagi,” kataku dengan berani. “Kalau kalian masih berani datang mengusik hidupku, aku tidak akan segan-segan mengadu kepada polisi.”

Untuk pertama kalinya, ibu mertuaku tidak bisa berkata-kata. Siapa yang tidak takut pada polisi? Ancaman ini tidak akan berlaku pada saat suamiku masih hidup. Tetapi sekarang, itu menjadi senjata terkuatku. Meskipun dia sering bertindak tanpa berpikir, dia tidak bodoh. Dia pasti tahu bahwa aku tidak punya tanggung jawab apa pun lagi pada mereka setelah suamiku tiada.

Begitu mereka pergi, aku menggembok pagar dan masuk ke rumah. Aku mengingatkan diriku sendiri agar tidak membukakan pintu rumahku untuk mereka lagi. Aku menyandarkan tubuhku ke pintu saat jantungku berdebar lebih kencang dan lututku melemas. Pipiku kini berdenyut dan terasa sakit. Tenagaku seolah-olah mendadak habis hanya beberapa menit bicara dengan ibu mertuaku.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak mau menjadi korban mereka seperti yang mereka lakukan kepada suamiku. Bakti, mengapa dia meninggalkan aku sendiri? Apa masalah yang begitu berat sehingga dia mengakhiri hidupnya?

Meina H.

Terima kasih sudah berkenan mampir. Semoga teman-teman menyukai cerita ini. ♡

| 1
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Meina H.
Iya, Kak. Pelan-pelan kita ke cerita yang romantis, ya. ♡
goodnovel comment avatar
Meina H.
Terima kasih, Kak. Selamat membaca. ♡
goodnovel comment avatar
Anggra
awal cerita aj udah tragis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status