~Delima~
Tanggal dua puluh lima adalah tanggal suamiku menerima gaji dari tempat kerjanya. Setiap tanggal itu pula, ibu dan adik laki-lakinya datang ke rumah untuk meminta uang. Seakan-akan ingin memberi tanda kepada kami semua, tanggal itu juga yang dipilihnya untuk mati.
Aku hanya bisa duduk dan menatap kosong ke arah tangan suamiku yang berada di atas perutnya. Dia berbaring kaku di dalam kotak kayu jati berukir indah berukuran satu kali dua meter. Benda yang sangat mahal untuk hidup kami yang serba kekurangan.
Orang-orang berpakaian serba hitam datang silih berganti menyatakan duka. Beberapa dari mereka menyelipkan sesuatu di tanganku yang terpaksa aku terima. Uang tunai atau amplop berisi uang duka yang aku masukkan ke tasku. Keluargaku menangis, sahabatku bersedih, bahkan rekan kerjaku meneteskan air mata, tetapi aku tidak.
Setelah ritual singkat di rumah, kami menuju tempat peristirahatan terakhir belahan jiwaku selama lima tahun terakhir. Aku ingin berada di dalam mobil jenazah untuk mendampingi dia yang terakhir kali, tetapi ibu mertuaku melarang. Dia yang masuk ke mobil dan menjerit sedih menangisi putra yang katanya adalah kesayangannya itu.
Aku mengalah dengan duduk di mobil bersama keluargaku. Mama memegang tanganku sepanjang perjalanan. Dia tidak mengatakan apa pun untuk menghibur aku, dan itu sangat menenangkan. Karena aku sedang tidak membutuhkan kata-kata pada saat ini, hanya kehadiran.
Kami semua berdiri melingkari lubang yang telah digali, di mana jasad suamiku akan tinggal untuk seterusnya. Suara isak tangis terdengar saat tanah dijatuhkan ke atas petinya. Jeritan penuh duka memekakkan telinga memenuhi tempat itu ketika kayu nisan ditancapkan.
Hanya aku yang sama sekali tidak menangis. Aku percaya bahwa suamiku sudah meninggal, aku juga tahu bahwa dia tidak sedang berpura-pura mati. Begitu aku kembali ke rumah, aku tahu bahwa dia tidak akan pulang sekalipun aku menunggu hingga larut malam. Dia telah pergi untuk selamanya.
Mungkin aku hanya butuh waktu untuk memproses semua ini. Kami adalah pasangan yang sangat bahagia. Kami saling mencintai dan telah menjalin hubungan sejak kami kuliah. Memang kami juga bertengkar layaknya pasangan suami istri yang lain. Tetapi bukan karena kami sudah tidak cinta lagi.
Pertengkaran itu selalu mengenai uang. Kami sama-sama bekerja, jadi uang seharusnya bukan hal yang perlu dipermasalahkan. Namun hanya aku yang memiliki pendapatan yang bisa kami gunakan untuk bertahan hidup. Gajinya yang jauh lebih besar dikuasai oleh keluarganya. Mereka hanya menyisakan uang sebesar saldo minimal di tabungannya.
“Aku akan bicara baik-baik dengan mamaku, sayang,” katanya yang selalu menjanjikan hal yang sama selama bertahun-tahun, tetapi tidak pernah berani dia lakukan.
“Kapan?” tanyaku menuntut. Dia menyisir rambut dengan tangan kanannya. Gerakan yang dia lakukan setiap kali dia gugup.
“Pada saat gajian nanti, aku akan bicara dengan Mama. Aku janji.”
Tetapi janji hanyalah tinggal janji. Hari di mana dia seharusnya bicara dengan ibunya untuk memberi pengertian malah menjadi hari penuh tangisan. Mama yang melihat putranya itu tergantung tak bernyawa lagi di ambang pintu kamar kami menjerit seperti orang yang kesetanan. Aku bertanya-tanya. Dia sedih karena kehilangan putranya atau sumber pendapatannya?
“Ima, kamu yakin tidak mau tinggal di rumah mama saja? Kamu tinggal sendirian di rumah begini tidak baik. Bagaimana kalau ada apa-apa?” ucap Mama khawatir saat kami sudah kembali ke rumah dan duduk di ruang depan.
“Tidak akan ada bedanya, Ma. Aku tetap tidak akan bisa tidur malam ini. Lebih baik aku tinggal di sini untuk lebih cepat memproses bahwa Bakti sudah tiada,” kataku pelan. Bakti. Namanya memang cocok untuk orangnya. Sampai matinya, dia sangat berbakti kepada orang tuanya.
“Ima benar, Ma. Lagi pula kita bisa datang besok pagi untuk melihat keadaannya.” Kak Pangestu menyentuh bahu Mama.
“Baiklah. Segera kabari kami kalau ada apa-apa.” Mama mengusap-usap tanganku. Aku mengangguk.
Begitu mereka keluar dari rumah, aku mengunci pintu dan membiarkan Kakak yang menggembok pagar. Hal pertama yang aku lakukan adalah mandi dan berganti pakaian. Aroma tubuhku sangat tidak sedap karena seharian berkeringat menyambut tamu di rumah kecil ini.
Merasakan perutku lapar, aku memeriksa meja makan dan menemukan ada banyak makanan yang tidak dihabiskan oleh pelayat. Beberapa makanan itu aku simpan di dalam kotak bekal dan aku masukkan ke kulkas. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan, aku tidak perlu memasak.
Aku baru selesai mencuci piring di wastafel ketika ada yang memukul pagar pertanda ada tamu yang datang. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Siapa yang datang? Apa masih ada yang ingin melayat?
Melihat ibu mertua dan adik iparku yang berdiri di balik pagar, aku mendesah pelan. Apa lagi yang mereka inginkan? Aku membuka pintu, kemudian membuka gembok. Mama yang terlihat tidak sabar segera membuka gerendel dan mendorong aku ke samping.
“Ada apa datang ke sini, Ma?” tanyaku bingung. Aku membiarkan pagar tetap terbuka dan mengikuti mereka masuk ke rumah. “Apa ada barang yang tertinggal?”
“Ini adalah rumah anakku. Apa karena dia sudah mati, jadi aku dilarang datang ke sini?” hardik ibu mertuaku hingga aku berhenti melangkah karena terkejut.
“Bukan begitu, Ma. Bila ada yang tertinggal, akan aku bantu carikan.”
Dia melihat ke sekeliling ruang depan entah mencari apa. Lalu dia masuk ke kamarku, membuka setiap laci bufet, lemari, bahkan tasku. Setiap lembar uang, amplop berisi uang duka dimasukkan ke tas tangannya. Dia kemudian berjalan ke dapur memeriksa setiap pakaian kotorku dan memastikan tidak ada isi di dalam setiap kantong.
“Bagaimana bisa kalian berdua tidak punya hati sama sekali? Bahkan uang duka untukku sebagai istri Bakti pun kalian rampas?” Aku tertawa histeris. “Apa uang itu cukup? Kurang berapa lagi? Nanti aku akan berikan uang hasil menjual barang-barang suamiku untuk kalian. Supaya kalian puas.”
“Aku yang mengandung dia selama sembilan bulan. Aku yang menyabung nyawa saat melahirkan dia. Aku juga yang membesarkan, merawat, menyekolahkan hingga dia menjadi orang besar.” Wanita itu menatap aku dengan tajam. “Yang aku minta darinya ini tidak seberapa dibandingkan yang sudah aku korbankan untuknya. Kamu yang tidak pernah punya anak, tidak akan mengerti.”
“Jangan lupa. Mama juga yang sudah membuat dia memilih mati. Dia—” Kalimatku itu terhenti karena sebuah tamparan keras di pipiku.
“Lancang sekali mulutmu! Perempuan tidak tahu diri! Bukan aku yang membuat dia mati tapi kamu! Dia tidak tahan dengan omongan orang karena kamu tidak hamil juga!” tuduhnya dengan jahat.
“Hamil?” Aku mendengus keras. “Bakti tidak mau punya anak sekarang karena ibu dan adiknya yang terus datang merampas uangnya. Memangnya anak kami mau diberi makan apa?”
“Diam! Uang ini hanya untuk menutupi kebutuhan kuliah adikmu selama bulan ini. Aku akan datang bulan depan dan sebaiknya kamu siapkan uang kebutuhan mereka. Bakti sudah tidak ada, maka itu menjadi tanggung jawabmu. Kamu mengerti?” ancamnya. Aku nyaris tertawa mendengarnya.
“Aku tidak punya tanggung jawab apa pun pada kalian. Bakti sudah meninggal, maka kami bercerai secara sah. Kamu sudah bukan ibu mertuaku lagi,” kataku dengan berani. “Kalau kalian masih berani datang mengusik hidupku, aku tidak akan segan-segan mengadu kepada polisi.”
Untuk pertama kalinya, ibu mertuaku tidak bisa berkata-kata. Siapa yang tidak takut pada polisi? Ancaman ini tidak akan berlaku pada saat suamiku masih hidup. Tetapi sekarang, itu menjadi senjata terkuatku. Meskipun dia sering bertindak tanpa berpikir, dia tidak bodoh. Dia pasti tahu bahwa aku tidak punya tanggung jawab apa pun lagi pada mereka setelah suamiku tiada.
Begitu mereka pergi, aku menggembok pagar dan masuk ke rumah. Aku mengingatkan diriku sendiri agar tidak membukakan pintu rumahku untuk mereka lagi. Aku menyandarkan tubuhku ke pintu saat jantungku berdebar lebih kencang dan lututku melemas. Pipiku kini berdenyut dan terasa sakit. Tenagaku seolah-olah mendadak habis hanya beberapa menit bicara dengan ibu mertuaku.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak mau menjadi korban mereka seperti yang mereka lakukan kepada suamiku. Bakti, mengapa dia meninggalkan aku sendiri? Apa masalah yang begitu berat sehingga dia mengakhiri hidupnya?
Terima kasih sudah berkenan mampir. Semoga teman-teman menyukai cerita ini. ♡
“Ima? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ayu, teman baik sekaligus rekan kerjaku di tempat ini. Melihat dia yang masuk ke ruanganku, sepertinya dia yang ditunjuk untuk menggantikan posisiku sementara selama aku cuti karena duka. “Tentu saja melakukan tugasku,” kataku seraya tersenyum. Aku membawa dokumen yang telah aku periksa ke ruangan direktur utama. “Apa kamu yakin kamu sudah siap untuk bekerja?” Dia mengikuti aku hanya sampai ambang pintu. “Jangan khawatir. Bekerja justru membantu aku menjauh dari rasa sedih.” Aku meletakkan semua dokumen itu di atas meja kerja, lalu merapikan beberapa peralatan tulis yang berantakan. “Baiklah. Kalau kamu butuh bantuanku, kamu tahu mencari aku di mana.” Ayu tersenyum. “Terima kasih,” ucapku tulus. Kami keluar ruangan bersama karena aku harus melewati elevator menuju dapur. Ayu menunggu pintu lift terbuka, sedangkan aku menyiapkan kopi hangat untuk atasanku. Saat aku berjalan kembali ke ruang kerjaku, sahabatku sudah tidak ada lagi di depa
Kondisi kamarku seperti kapal pecah. Tempat tidur berantakan, lemari pakaian dibiarkan terbuka dengan baju berceceran di sekitarnya, pigura foto dengan kaca yang retak juga berserakan di lantai, dan ada tiga orang pria yang tidak aku kenal. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak dan bicara, lalu menatap ke arahku dengan tajam. Aku menelan ludah dengan berat. “Ibu Delima Aruna?” tanya seorang pria berpakaian serba hitam dan bertubuh besar yang mendekati aku dengan wajah garang. Aku mengangguk pelan, takut bila aku membuka mulut, suaraku tidak akan keluar. “Kami datang untuk menagih cicilan utang.” “Ci-cicilan utang?” tanyaku tidak mengerti dengan suara tertahan. Dia mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya, lalu memberikan kepadaku. “Bakti Ekaputra adalah suami Anda, bukan?” tanyanya. Aku kembali mengangguk pelan. “Dia telah meminjam uang sebesar lima ratus juta rupiah dan pembayaran cicilan ketiganya sudah lewat dua puluh hari.” “Li-lima ratus juta?” tanyaku bingung. Aku segera
“Apa kau sedang mempermainkan kami!?” hardik pria itu di depan wajahku. Pria yang datang kali ini adalah pria yang berbeda. Bila sebelumnya yang datang adalah tiga orang, maka yang datang malam ini adalah empat orang. Dua di antaranya bertubuh lebih tinggi dariku. Mereka pasti sengaja memilih orang-orang ini untuk mengintimidasi aku. Jantungku yang sudah berdebar sangat cepat, kini serasa akan lepas dari dadaku. Telingaku nyaris tuli mendengar detak jantungku sendiri dan gertakan mereka. Tubuhku bergetar dengan hebat menahan rasa takut. Aku menggigit bibirku dengan kuat menahan diriku agar tidak berteriak. “Hanya itu yang bisa aku kumpulkan dalam waktu sepuluh hari yang kalian berikan.” Aku berusaha memberanikan diriku sendiri untuk menjawab. Syukurlah, aku tidak tergagap saat bicara. “Utang itu bukan utangku. Bagaimana aku bisa mencari alternatif lain untuk mencari uang secepat ini?” “Kau seorang perempuan, mengapa kau tidak pikirkan saja cara lain untuk mendapatkan uang yang lebih
Aku tidak menduga dia akan mengajukan hal itu sebagai syaratnya. Karena dia adalah rekan bisnis bosku, aku pikir dia akan meminta aku membujuk Pak Luis untuk menyetujui proyek baru darinya atau hal lain yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Hari Kamis artinya tiga hari lagi. Bila kami menikah pada hari Kamis, apa utangku baru akan dibayar setelah kami resmi menjadi suami istri? Tetapi kami tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak tahu seperti apa orangnya. Tidak, tidak. Apa yang membuat aku ragu? Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Pria mana yang mau menikah dengan janda yang terlilit utang seperti aku? Terlebih lagi, Pak Benedict bukan pria biasa. Dia seorang pengusaha sukses yang punya banyak usaha lain selain yang berhubungan dengan garmen. Aku bukan hanya lepas dari utang, tetapi aku juga akan hidup nyaman selama dia masih menginginkan aku menjadi istrinya. Aku tidak akan hidup susah lagi seperti yang aku alami bersama Bakti. “Jadi, maksud Bapak, kita menikah pada hari Ka
~Benedict~ Lahir dan besar di tengah-tengah keluarga terpandang dan kaya raya memberi aku begitu banyak kemudahan. Sebagai anak pertama, aku merasakan semua kemewahan sejak aku masih sangat kecil. Pakaian yang aku kenakan lebih bagus dari anak-anak kebanyakan. Makanan yang aku santap selalu enak di lidah. Rumah dan tempat tinggalku juga sangat nyaman. Kedua orang tua juga kakek dan nenekku sangat menyayangi aku. Hidupku penuh dengan cinta dan kasih sayang yang mereka curahkan kepadaku. Meskipun aku punya seorang adik laki-laki dan adik perempuan, mereka selalu memfokuskan perhatian mereka kepadaku. Aku sadar dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadaku sebagai penerus utama keluarga kami. Karena itu sejak aku masih sangat muda, aku belajar keras untuk mempersiapkan diriku menjadi pengganti Ayah kelak. Ibu meninggalkan kariernya demi membantu aku belajar di rumah. Namun saat aku menginjak usia sebelas tahun, Ayah menemukan ada yang aneh padaku. Ketika aku berusia dua belas tahun d
Syarat yang pertama bisa dengan mudah aku penuhi. Aku membangun usaha yang aku miliki dari nol. Pengkhianatan rekan kerja pertama telah memberi aku pelajaran yang berharga. Jadi, aku berhati-hati saat memilih orang yang bekerja untukku, terutama mereka yang mengelola uangku. Berawal dari usaha pakaian yang tidak punya penjahit sendiri, kini aku punya beberapa pabrik, butik, bahkan peternakan dan perkebunan yang membantu persediaan bahan mentah usahaku. Merek dagangku diminati oleh para ibu, jadi aku tidak hanya menyediakan pakaian untuk orang spesial seperti aku, tetapi juga merambah pakaian anak-anak. Dalam waktu lima tahun, aku berhasil mengalahkan kesuksesan usaha perhotelan milik Kakek. Aku bahkan masuk daftar orang terkaya di ASEAN dua peringkat lebih tinggi dari Kakek. Keluargaku tidak berhenti mengejek dan menghina prestasiku. Tetapi aku mengabaikan hal itu dan fokus pada tujuan. Kakek adalah pria terhormat yang selalu memegang kata-katanya. Karena itu, aku percaya dia akan me
Reaksi keluargaku sudah bukan kejutan lagi. Ini bukan pertama kalinya aku datang menemui mereka menyatakan rencanaku untuk menikah. Jadi, mereka tertawa dan mengejek aku dengan kalimat yang sudah aku hapal di luar kepala. Setelah mendengar mereka akan datang pada hari pernikahanku, maka tidak ada lagi yang perlu aku lakukan di rumah itu. Aku yakin bahwa mereka pasti akan datang. Mereka tidak akan melewatkan momen di mana aku mengalami hari paling sial dalam hidupku. “Ben.” Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara ibuku. Aku membalikkan badan dan melihat dia tersenyum kepadaku. “Apa kamu sudah makan malam?” “Aku akan makan malam di apartemenku, Bu. Karno menunggu dan dia juga belum makan malam.” Aku menolak tawarannya sehalus mungkin. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang sayang kepadaku. Tetapi aku tidak mau menjadi sumber pertengkarannya dengan Ayah. Jadi, sebelum Ayah keluar dari ruang keluarga dan melihat aku masih ada di rumah ini, lebih baik bagiku untuk pergi. “Kalau
Musik memecahkan keheningan di dalam bangunan besar yang hanya diisi oleh beberapa orang tersebut. Pianis memainkan lagu pernikahan dan pintu belakang gereja pun terbuka. Aku melihat ke arah belakang di mana Delima berjalan didampingi oleh ayahnya. Dia mengenakan gaun berwarna hitam dengan rok panjang menutupi hingga mata kakinya. Aku sudah melihat dia di ruang tunggu, jadi aku tahu dia sengaja menata rambutnya dengan sederhana tanpa hiasan apa pun. Perhiasan satu-satunya pada tubuhnya adalah anting panjang mutiara di telinganya. Dia membawa bunga mawar pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya melingkar di lekukan lengan ayahnya. Meskipun dia tidak tersenyum, kecantikannya sama sekali tidak berkurang. Wajahnya kini sedikit lebih rileks, tidak setegang saat aku bicara dengannya. Berbeda dengan pria yang berjalan di sisinya. Ayahnya terlihat berusaha keras untuk menutupi rasa marahnya. Itukah sebabnya mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk datang? Apa mereka bertengkar di rua