Share

Bab 3|Uang yang Raib

Kondisi kamarku seperti kapal pecah. Tempat tidur berantakan, lemari pakaian dibiarkan terbuka dengan baju berceceran di sekitarnya, pigura foto dengan kaca yang retak juga berserakan di lantai, dan ada tiga orang pria yang tidak aku kenal. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak dan bicara, lalu menatap ke arahku dengan tajam. Aku menelan ludah dengan berat.

“Ibu Delima Aruna?” tanya seorang pria berpakaian serba hitam dan bertubuh besar yang mendekati aku dengan wajah garang. Aku mengangguk pelan, takut bila aku membuka mulut, suaraku tidak akan keluar. “Kami datang untuk menagih cicilan utang.”

“Ci-cicilan utang?” tanyaku tidak mengerti dengan suara tertahan. Dia mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya, lalu memberikan kepadaku.

“Bakti Ekaputra adalah suami Anda, bukan?” tanyanya. Aku kembali mengangguk pelan. “Dia telah meminjam uang sebesar lima ratus juta rupiah dan pembayaran cicilan ketiganya sudah lewat dua puluh hari.”

“Li-lima ratus juta?” tanyaku bingung. Aku segera mengambil kertas itu dari tangannya. “Kapan dia meminjam uang sebanyak itu? Aku tidak tahu-menahu tentang ini. Kalian pasti salah.”

“Buktinya ada di tangan Ibu. Baca saja. Itu hanya fotokopi. Aslinya ada pada bos saya. Ibu juga bisa periksa apa KTP dan semua data pribadi Ibu dan Pak Bakti adalah benar.”

Aku membaca isi pada kertas tersebut. Namanya benar, begitu juga dengan foto KTP yang tertera di sana. Setiap identitas pribadi dia dan aku juga benar. Lima ratus juta. Aku tidak pernah mendengar atau melihat uang sebanyak itu. Ke mana semua uang itu bila benar dia melakukan peminjaman ini? Oh, Tuhan. Apakah ini ulah keluarganya? Mengapa mereka jahat sekali? Sudah merampas gajinya setiap bulan dan mereka masih meminta uang sebanyak ini?

Mataku kemudian melihat ke arah jumlah cicilan setiap bulannya, lalu bunga harian apabila cicilan tidak dibayar tepat waktu. Apa yang Bakti lakukan? Mengapa dia meminjam uang sebanyak ini dan menggunakan namaku sebagai jaminan, tetapi tidak mendiskusikan hal ini lebih dahulu denganku?

Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membayar cicilannya saja? Gajiku tidak akan cukup karena sebagian besar akan ditarik secara otomatis untuk membayar cicilan kredit rumah ini. Aku maupun Bakti tidak punya simpanan. Emas juga tidak ada.

Kertas yang aku pegang itu bergetar. Aku menarik napas panjang menyadari bahwa tanganku yang gemetar. Jantungku berdetak dengan kencang dan aku merasakan butir keringat mengalir turun di tengah dada dan punggungku. Aku tidak tahu aku sedang marah atau gugup.

Dengan kepergian Bakti, ada satu hal yang melegakan. Aku tidak perlu berhadapan lagi dengan ibu mertua parasit yang tahunya hanya meminta uang hasil kerja keras orang lain. Aku hanya perlu membiayai hidupku sendiri karena aku tidak punya adik. Papa dan Mama punya pendapatan sendiri, Kakak juga hidup mandiri dengan istrinya. Seharusnya aku bebas, bukan malah terlilit utang yang jumlahnya jauh lebih besar seperti ini.

“Aku akan bayar cicilannya nanti. Kalian sudah mengambil barang-barang berharga dari rumah ini, jadi itu bisa menutupi untuk sementara, ‘kan?” Aku melihat mereka mengambil televisi layar datar yang ada di ruang depan, bahkan penyejuk ruangan yang ada di kamar ini pun mereka bongkar.

“Barang itu adalah barang bekas, tidak akan bernilai tinggi. Apa Anda tidak baca jumlah yang harus Anda bayar segera? Lima puluh dua juta.” Dia menunjuk ke arah di mana angka itu berada. “Jumlah itu akan terus bertambah beberapa kali lipat setiap harinya, jadi bayar sekarang juga.”

“Aku tidak punya uang sebanyak ini sekarang. Beri aku waktu. Aku akan menerima gaji pada tanggal sepuluh. Beri aku waktu sampai tanggal itu untuk mengumpulkan sisa uangnya juga,” kataku dengan suara bergetar. Ya, Tuhan. Mengapa Bakti tega sekali?

“Kamu pikir ini main-main, ya? Itu uang yang besar dan kamu meminta kami datang sepuluh hari lagi? Yang mengatur jadwal di sini adalah kami, bukan kamu!” hardik pria itu. Aku menutup mataku untuk membantu menenangkan diriku sendiri.

“Suamiku baru meninggal. Biaya pemakamannya cukup besar. Aku bahkan harus menjual murah sepeda motor miliknya. Setelah kalian mengambil semua barang dari rumah ini, memangnya apa lagi yang bisa aku jual dengan cepat untuk membayar cicilan?” ucapku memberi penjelasan.

Dia berjalan mendekat, aku mundur satu langkah. Dia sengaja memperkecil jarak di antara kami agar aku merasa terintimidasi. Aku beruntung memiliki tinggi badan seratus tujuh puluh dua senti, jadi tubuhku cukup tinggi dari rata-rata orang yang ada di sekitarku, termasuk ketiga pria ini. Tetapi itu tidak membantu mengurangi kecepatan debaran jantungku yang semakin liar.

“Kamu masih punya satu aset lagi yang bisa dijual dengan cepat. Wajah kamu cantik dan tubuh kamu bagus. Aku yakin bila kamu menawarkan diri pada bosku, dia akan mau membayar sekitar sepuluh sampai dua belas juta untuk satu malam. Lima malam bersama, kamu bisa membayar cicilan ini dengan mudah,” katanya setengah berbisik. Aku nyaris muntah mencium aroma mulutnya. “Aku mau membayar lima juta untuk satu jam saja.”

“Jika kalian berani menyentuh aku sedikit saja, aku akan menyusul suamiku. Aku yakin bos kalian lebih membutuhkan aku hidup daripada mati. Karena kalau aku mati, kalian tidak punya jaminan lagi bahwa uang yang dipinjam ini akan kembali. Jadi, hati-hati dengan apa yang akan kalian lakukan dan ucapkan kepadaku.” Aku memberanikan diri untuk menjawab.

Pria itu menatap aku sesaat, lalu mundur satu langkah. Dia saling bertukar pandang dengan kedua temannya. Mereka yang tadi memasang wajah mengejek, kini berubah serius. Jelas sekali bahwa yang aku ucapkan itu benar. Mereka lebih membutuhkan aku tetap hidup daripada mati.

“Delima?” Terdengar suara seorang wanita memanggil dari ambang pintu depan. “Apa kamu tidak apa-apa? Ada yang bisa kami bantu?”

“Sepuluh hari. Kami akan kembali pada tanggal sepuluh dan jangan coba-coba lari. Kami pasti tahu ke mana kamu bersembunyi,” ancam pria itu dengan tatapan mematikan. Dia mengangguk ke arah temannya, lalu mereka berjalan keluar kamar melewati aku.

Begitu terdengar bunyi mobil dan sepeda motor menjauh, aku membiarkan kakiku menyerah dan terduduk di lantai. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan cepat. Setelah cukup lama menahan napas, akhirnya aku bisa bernapas dengan lega.

“Apa yang terjadi, Delima?” tanya wanita tadi yang sudah duduk di sisiku. Dia memberikan segelas air kepadaku. “Siapa para pria itu? Kami tidak berani bertindak karena mereka bertubuh besar dan membawa pemukul. Apa ada yang bisa kami bantu?”

“Terima kasih, Bu. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir.” Aku meletakkan gelas yang sudah kosong tersebut ke lantai, lalu mencoba untuk berdiri. Dia segera membantu aku.

Tanpa bicara, aku menuju dapur dan menemukan apa lagi yang mereka ambil. Kulkas, kompor, dan mesin cuci. Setidaknya mereka tidak mengambil sapu dan sekop. Aku mulai membersihkan kamar dan wanita itu bersama tetanggaku yang lain membantu sebisa mereka.

Pagar dan pintu diperbaiki dengan memasang gerendel baru agar bisa dikunci. Walaupun itu tidak akan ada gunanya. Buktinya, mereka berhasil masuk ke rumah tadi. Tetapi aku berterima kasih atas usaha mereka untuk membuat aku merasa aman pada saat tidur.

Sepulang kerja pada keesokan harinya, aku pergi ke rumah mertuaku. Langkahku terhenti saat aku melihat kondisi rumah itu. Pagarnya terlihat baru dicat, ada sebuah mobil baru di garasi luar, bahkan dinding rumah bagian luar juga baru dicat. Mereka membuat taman kecil di halaman depan dengan rumput yang hijau dan berbagai tanaman bunga. Tanganku mengepal melihat semua itu.

Ayah mertua yang membukakan pintu rumah untukku dan mengajak aku masuk. Keadaan di dalam rumah lebih mengherankan lagi. Beberapa perabotan lama diganti, ada karpet baru, tirai jendela yang terlihat mewah, dan cat tembok yang juga masih baru.

“Ada apa datang kemari, Delima? Tidak biasanya kamu datang tanpa memberi tahu,” kata pria itu. Seorang wanita yang tidak aku kenal datang membawa baki berisi minuman hangat dan kudapan. Mereka bahkan mempekerjakan seorang asisten rumah tangga sekarang. Dia meletakkan gelas di depanku, Papa, dan satu lagi di sisi ayah mertuaku itu. Pasti itu untuk istrinya.

“Di mana Mama, Pa?” Aku melihat ke bagian dalam rumah.

“Sebentar lagi dia akan turun, ah, itu dia.” Wanita yang menjadi pembicaraan itu muncul dari balik tembok yang memisahkan ruang tengah dengan dapur.

“Ada apa kamu datang kemari? Setelah mengusir aku dari rumah anakku sendiri dan mengancam akan melapor ke polisi, apa kamu datang untuk meminta maaf?” tanya wanita itu dengan arogan.

“Mama sudah mencuri uang dari rumahku, bersyukurlah, aku tidak melaporkan perbuatan Mama ke polisi.” Aku membuka tas dan mengeluarkan buku tabungan suamiku. “Ke mana uang lima ratus juta yang ada di buku ini? Berapa pun yang tersisa, tolong, kembalikan kepadaku.”

Wanita itu segera merebut buku itu dari tanganku dan matanya membulat melihat angka tersebut. Matanya bergerak-gerak dengan liar seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu telunjuknya bergerak di atas buku itu, mungkin sedang menghitung jumlah angka nol di sana.

“Ma, apa benar ini? Mama meminta uang sebanyak ini dari Bakti?” tanya Papa tidak percaya.

“Aku tidak pernah tahu tentang uang ini. Bakti tidak pernah memberi uang sebanyak ini kepadaku.” Wanita itu melemparkan buku itu dengan marah ke atas meja. Pembohong. Papa segera mengambil dan membukanya.

“Uang ini diambil secara tunai dan tidak ditransfer. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa ibumu yang memiliki uang ini, Delima?” tanya Papa. Aku nyaris tertawa mendengar pertanyaan itu. Selama ini hanya mereka yang berani datang meminta uang dengan cara mengancam pada kami. Siapa lagi yang tega melakukan ini kalau bukan mereka?

“Gampang saja. Aku akan cari tahu jawabannya sekarang.” Aku berdiri dan berjalan memasuki bagian dalam rumah.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu mau ke mana?” pekik ibu mertuaku panik dari arah belakangku.

Aku tahu di mana kamar mereka, jadi aku segera menaiki tangga dan memasuki kamar yang ada di lantai atas. Lemari pakaian menjadi tempat pertama yang aku periksa. Nihil. Aku menarik tanganku dari genggaman Mama yang memaksa aku untuk keluar dari kamarnya, lalu memeriksa semua laci nakas, bufet, sampai di bawah kasur. Nihil. Uang tunai yang aku temukan jumlahnya tidak sampai sepuluh juta. Wanita itu segera mengambil uang itu dari tanganku.

“Di mana Mama sembunyikan uang itu? Katakan, di mana?” tuntutku mulai frustrasi. Lima ratus juta itu bukan jumlah yang main-main.

“Keluar dari rumah ini sebelum aku memanggil polisi!” usirnya sambil menarik tanganku dengan paksa. Aku melepaskan diri darinya, lalu menuju kamar adik iparku. Bisa jadi dia menyembunyikan uang itu di sana.

Aku memeriksa kamar kedua adik Bakti. Setiap lemari, laci, dan sudut ruangan aku periksa dengan teliti, tetapi uang itu juga tidak ada. Aku tidak mau menghabiskan seluruh hidupku membayar utang yang sama sekali tidak aku gunakan. Rasanya aku ingin sekali berteriak marah, menangis, ketika membayangkan sepuluh hari bukanlah waktu yang lama. Ke mana? Ke mana uang sebanyak itu bisa hilang tidak berbekas?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status