Kondisi kamarku seperti kapal pecah. Tempat tidur berantakan, lemari pakaian dibiarkan terbuka dengan baju berceceran di sekitarnya, pigura foto dengan kaca yang retak juga berserakan di lantai, dan ada tiga orang pria yang tidak aku kenal. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak dan bicara, lalu menatap ke arahku dengan tajam. Aku menelan ludah dengan berat.
“Ibu Delima Aruna?” tanya seorang pria berpakaian serba hitam dan bertubuh besar yang mendekati aku dengan wajah garang. Aku mengangguk pelan, takut bila aku membuka mulut, suaraku tidak akan keluar. “Kami datang untuk menagih cicilan utang.”
“Ci-cicilan utang?” tanyaku tidak mengerti dengan suara tertahan. Dia mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya, lalu memberikan kepadaku.
“Bakti Ekaputra adalah suami Anda, bukan?” tanyanya. Aku kembali mengangguk pelan. “Dia telah meminjam uang sebesar lima ratus juta rupiah dan pembayaran cicilan ketiganya sudah lewat dua puluh hari.”
“Li-lima ratus juta?” tanyaku bingung. Aku segera mengambil kertas itu dari tangannya. “Kapan dia meminjam uang sebanyak itu? Aku tidak tahu-menahu tentang ini. Kalian pasti salah.”
“Buktinya ada di tangan Ibu. Baca saja. Itu hanya fotokopi. Aslinya ada pada bos saya. Ibu juga bisa periksa apa KTP dan semua data pribadi Ibu dan Pak Bakti adalah benar.”
Aku membaca isi pada kertas tersebut. Namanya benar, begitu juga dengan foto KTP yang tertera di sana. Setiap identitas pribadi dia dan aku juga benar. Lima ratus juta. Aku tidak pernah mendengar atau melihat uang sebanyak itu. Ke mana semua uang itu bila benar dia melakukan peminjaman ini? Oh, Tuhan. Apakah ini ulah keluarganya? Mengapa mereka jahat sekali? Sudah merampas gajinya setiap bulan dan mereka masih meminta uang sebanyak ini?
Mataku kemudian melihat ke arah jumlah cicilan setiap bulannya, lalu bunga harian apabila cicilan tidak dibayar tepat waktu. Apa yang Bakti lakukan? Mengapa dia meminjam uang sebanyak ini dan menggunakan namaku sebagai jaminan, tetapi tidak mendiskusikan hal ini lebih dahulu denganku?
Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membayar cicilannya saja? Gajiku tidak akan cukup karena sebagian besar akan ditarik secara otomatis untuk membayar cicilan kredit rumah ini. Aku maupun Bakti tidak punya simpanan. Emas juga tidak ada.
Kertas yang aku pegang itu bergetar. Aku menarik napas panjang menyadari bahwa tanganku yang gemetar. Jantungku berdetak dengan kencang dan aku merasakan butir keringat mengalir turun di tengah dada dan punggungku. Aku tidak tahu aku sedang marah atau gugup.
Dengan kepergian Bakti, ada satu hal yang melegakan. Aku tidak perlu berhadapan lagi dengan ibu mertua parasit yang tahunya hanya meminta uang hasil kerja keras orang lain. Aku hanya perlu membiayai hidupku sendiri karena aku tidak punya adik. Papa dan Mama punya pendapatan sendiri, Kakak juga hidup mandiri dengan istrinya. Seharusnya aku bebas, bukan malah terlilit utang yang jumlahnya jauh lebih besar seperti ini.
“Aku akan bayar cicilannya nanti. Kalian sudah mengambil barang-barang berharga dari rumah ini, jadi itu bisa menutupi untuk sementara, ‘kan?” Aku melihat mereka mengambil televisi layar datar yang ada di ruang depan, bahkan penyejuk ruangan yang ada di kamar ini pun mereka bongkar.
“Barang itu adalah barang bekas, tidak akan bernilai tinggi. Apa Anda tidak baca jumlah yang harus Anda bayar segera? Lima puluh dua juta.” Dia menunjuk ke arah di mana angka itu berada. “Jumlah itu akan terus bertambah beberapa kali lipat setiap harinya, jadi bayar sekarang juga.”
“Aku tidak punya uang sebanyak ini sekarang. Beri aku waktu. Aku akan menerima gaji pada tanggal sepuluh. Beri aku waktu sampai tanggal itu untuk mengumpulkan sisa uangnya juga,” kataku dengan suara bergetar. Ya, Tuhan. Mengapa Bakti tega sekali?
“Kamu pikir ini main-main, ya? Itu uang yang besar dan kamu meminta kami datang sepuluh hari lagi? Yang mengatur jadwal di sini adalah kami, bukan kamu!” hardik pria itu. Aku menutup mataku untuk membantu menenangkan diriku sendiri.
“Suamiku baru meninggal. Biaya pemakamannya cukup besar. Aku bahkan harus menjual murah sepeda motor miliknya. Setelah kalian mengambil semua barang dari rumah ini, memangnya apa lagi yang bisa aku jual dengan cepat untuk membayar cicilan?” ucapku memberi penjelasan.
Dia berjalan mendekat, aku mundur satu langkah. Dia sengaja memperkecil jarak di antara kami agar aku merasa terintimidasi. Aku beruntung memiliki tinggi badan seratus tujuh puluh dua senti, jadi tubuhku cukup tinggi dari rata-rata orang yang ada di sekitarku, termasuk ketiga pria ini. Tetapi itu tidak membantu mengurangi kecepatan debaran jantungku yang semakin liar.
“Kamu masih punya satu aset lagi yang bisa dijual dengan cepat. Wajah kamu cantik dan tubuh kamu bagus. Aku yakin bila kamu menawarkan diri pada bosku, dia akan mau membayar sekitar sepuluh sampai dua belas juta untuk satu malam. Lima malam bersama, kamu bisa membayar cicilan ini dengan mudah,” katanya setengah berbisik. Aku nyaris muntah mencium aroma mulutnya. “Aku mau membayar lima juta untuk satu jam saja.”
“Jika kalian berani menyentuh aku sedikit saja, aku akan menyusul suamiku. Aku yakin bos kalian lebih membutuhkan aku hidup daripada mati. Karena kalau aku mati, kalian tidak punya jaminan lagi bahwa uang yang dipinjam ini akan kembali. Jadi, hati-hati dengan apa yang akan kalian lakukan dan ucapkan kepadaku.” Aku memberanikan diri untuk menjawab.
Pria itu menatap aku sesaat, lalu mundur satu langkah. Dia saling bertukar pandang dengan kedua temannya. Mereka yang tadi memasang wajah mengejek, kini berubah serius. Jelas sekali bahwa yang aku ucapkan itu benar. Mereka lebih membutuhkan aku tetap hidup daripada mati.
“Delima?” Terdengar suara seorang wanita memanggil dari ambang pintu depan. “Apa kamu tidak apa-apa? Ada yang bisa kami bantu?”
“Sepuluh hari. Kami akan kembali pada tanggal sepuluh dan jangan coba-coba lari. Kami pasti tahu ke mana kamu bersembunyi,” ancam pria itu dengan tatapan mematikan. Dia mengangguk ke arah temannya, lalu mereka berjalan keluar kamar melewati aku.
Begitu terdengar bunyi mobil dan sepeda motor menjauh, aku membiarkan kakiku menyerah dan terduduk di lantai. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan cepat. Setelah cukup lama menahan napas, akhirnya aku bisa bernapas dengan lega.
“Apa yang terjadi, Delima?” tanya wanita tadi yang sudah duduk di sisiku. Dia memberikan segelas air kepadaku. “Siapa para pria itu? Kami tidak berani bertindak karena mereka bertubuh besar dan membawa pemukul. Apa ada yang bisa kami bantu?”
“Terima kasih, Bu. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir.” Aku meletakkan gelas yang sudah kosong tersebut ke lantai, lalu mencoba untuk berdiri. Dia segera membantu aku.
Tanpa bicara, aku menuju dapur dan menemukan apa lagi yang mereka ambil. Kulkas, kompor, dan mesin cuci. Setidaknya mereka tidak mengambil sapu dan sekop. Aku mulai membersihkan kamar dan wanita itu bersama tetanggaku yang lain membantu sebisa mereka.
Pagar dan pintu diperbaiki dengan memasang gerendel baru agar bisa dikunci. Walaupun itu tidak akan ada gunanya. Buktinya, mereka berhasil masuk ke rumah tadi. Tetapi aku berterima kasih atas usaha mereka untuk membuat aku merasa aman pada saat tidur.
Sepulang kerja pada keesokan harinya, aku pergi ke rumah mertuaku. Langkahku terhenti saat aku melihat kondisi rumah itu. Pagarnya terlihat baru dicat, ada sebuah mobil baru di garasi luar, bahkan dinding rumah bagian luar juga baru dicat. Mereka membuat taman kecil di halaman depan dengan rumput yang hijau dan berbagai tanaman bunga. Tanganku mengepal melihat semua itu.
Ayah mertua yang membukakan pintu rumah untukku dan mengajak aku masuk. Keadaan di dalam rumah lebih mengherankan lagi. Beberapa perabotan lama diganti, ada karpet baru, tirai jendela yang terlihat mewah, dan cat tembok yang juga masih baru.
“Ada apa datang kemari, Delima? Tidak biasanya kamu datang tanpa memberi tahu,” kata pria itu. Seorang wanita yang tidak aku kenal datang membawa baki berisi minuman hangat dan kudapan. Mereka bahkan mempekerjakan seorang asisten rumah tangga sekarang. Dia meletakkan gelas di depanku, Papa, dan satu lagi di sisi ayah mertuaku itu. Pasti itu untuk istrinya.
“Di mana Mama, Pa?” Aku melihat ke bagian dalam rumah.
“Sebentar lagi dia akan turun, ah, itu dia.” Wanita yang menjadi pembicaraan itu muncul dari balik tembok yang memisahkan ruang tengah dengan dapur.
“Ada apa kamu datang kemari? Setelah mengusir aku dari rumah anakku sendiri dan mengancam akan melapor ke polisi, apa kamu datang untuk meminta maaf?” tanya wanita itu dengan arogan.
“Mama sudah mencuri uang dari rumahku, bersyukurlah, aku tidak melaporkan perbuatan Mama ke polisi.” Aku membuka tas dan mengeluarkan buku tabungan suamiku. “Ke mana uang lima ratus juta yang ada di buku ini? Berapa pun yang tersisa, tolong, kembalikan kepadaku.”
Wanita itu segera merebut buku itu dari tanganku dan matanya membulat melihat angka tersebut. Matanya bergerak-gerak dengan liar seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu telunjuknya bergerak di atas buku itu, mungkin sedang menghitung jumlah angka nol di sana.
“Ma, apa benar ini? Mama meminta uang sebanyak ini dari Bakti?” tanya Papa tidak percaya.
“Aku tidak pernah tahu tentang uang ini. Bakti tidak pernah memberi uang sebanyak ini kepadaku.” Wanita itu melemparkan buku itu dengan marah ke atas meja. Pembohong. Papa segera mengambil dan membukanya.
“Uang ini diambil secara tunai dan tidak ditransfer. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa ibumu yang memiliki uang ini, Delima?” tanya Papa. Aku nyaris tertawa mendengar pertanyaan itu. Selama ini hanya mereka yang berani datang meminta uang dengan cara mengancam pada kami. Siapa lagi yang tega melakukan ini kalau bukan mereka?
“Gampang saja. Aku akan cari tahu jawabannya sekarang.” Aku berdiri dan berjalan memasuki bagian dalam rumah.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu mau ke mana?” pekik ibu mertuaku panik dari arah belakangku.
Aku tahu di mana kamar mereka, jadi aku segera menaiki tangga dan memasuki kamar yang ada di lantai atas. Lemari pakaian menjadi tempat pertama yang aku periksa. Nihil. Aku menarik tanganku dari genggaman Mama yang memaksa aku untuk keluar dari kamarnya, lalu memeriksa semua laci nakas, bufet, sampai di bawah kasur. Nihil. Uang tunai yang aku temukan jumlahnya tidak sampai sepuluh juta. Wanita itu segera mengambil uang itu dari tanganku.
“Di mana Mama sembunyikan uang itu? Katakan, di mana?” tuntutku mulai frustrasi. Lima ratus juta itu bukan jumlah yang main-main.
“Keluar dari rumah ini sebelum aku memanggil polisi!” usirnya sambil menarik tanganku dengan paksa. Aku melepaskan diri darinya, lalu menuju kamar adik iparku. Bisa jadi dia menyembunyikan uang itu di sana.
Aku memeriksa kamar kedua adik Bakti. Setiap lemari, laci, dan sudut ruangan aku periksa dengan teliti, tetapi uang itu juga tidak ada. Aku tidak mau menghabiskan seluruh hidupku membayar utang yang sama sekali tidak aku gunakan. Rasanya aku ingin sekali berteriak marah, menangis, ketika membayangkan sepuluh hari bukanlah waktu yang lama. Ke mana? Ke mana uang sebanyak itu bisa hilang tidak berbekas?
“Apa kau sedang mempermainkan kami!?” hardik pria itu di depan wajahku. Pria yang datang kali ini adalah pria yang berbeda. Bila sebelumnya yang datang adalah tiga orang, maka yang datang malam ini adalah empat orang. Dua di antaranya bertubuh lebih tinggi dariku. Mereka pasti sengaja memilih orang-orang ini untuk mengintimidasi aku. Jantungku yang sudah berdebar sangat cepat, kini serasa akan lepas dari dadaku. Telingaku nyaris tuli mendengar detak jantungku sendiri dan gertakan mereka. Tubuhku bergetar dengan hebat menahan rasa takut. Aku menggigit bibirku dengan kuat menahan diriku agar tidak berteriak. “Hanya itu yang bisa aku kumpulkan dalam waktu sepuluh hari yang kalian berikan.” Aku berusaha memberanikan diriku sendiri untuk menjawab. Syukurlah, aku tidak tergagap saat bicara. “Utang itu bukan utangku. Bagaimana aku bisa mencari alternatif lain untuk mencari uang secepat ini?” “Kau seorang perempuan, mengapa kau tidak pikirkan saja cara lain untuk mendapatkan uang yang lebih
Aku tidak menduga dia akan mengajukan hal itu sebagai syaratnya. Karena dia adalah rekan bisnis bosku, aku pikir dia akan meminta aku membujuk Pak Luis untuk menyetujui proyek baru darinya atau hal lain yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Hari Kamis artinya tiga hari lagi. Bila kami menikah pada hari Kamis, apa utangku baru akan dibayar setelah kami resmi menjadi suami istri? Tetapi kami tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak tahu seperti apa orangnya. Tidak, tidak. Apa yang membuat aku ragu? Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Pria mana yang mau menikah dengan janda yang terlilit utang seperti aku? Terlebih lagi, Pak Benedict bukan pria biasa. Dia seorang pengusaha sukses yang punya banyak usaha lain selain yang berhubungan dengan garmen. Aku bukan hanya lepas dari utang, tetapi aku juga akan hidup nyaman selama dia masih menginginkan aku menjadi istrinya. Aku tidak akan hidup susah lagi seperti yang aku alami bersama Bakti. “Jadi, maksud Bapak, kita menikah pada hari Ka
~Benedict~ Lahir dan besar di tengah-tengah keluarga terpandang dan kaya raya memberi aku begitu banyak kemudahan. Sebagai anak pertama, aku merasakan semua kemewahan sejak aku masih sangat kecil. Pakaian yang aku kenakan lebih bagus dari anak-anak kebanyakan. Makanan yang aku santap selalu enak di lidah. Rumah dan tempat tinggalku juga sangat nyaman. Kedua orang tua juga kakek dan nenekku sangat menyayangi aku. Hidupku penuh dengan cinta dan kasih sayang yang mereka curahkan kepadaku. Meskipun aku punya seorang adik laki-laki dan adik perempuan, mereka selalu memfokuskan perhatian mereka kepadaku. Aku sadar dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadaku sebagai penerus utama keluarga kami. Karena itu sejak aku masih sangat muda, aku belajar keras untuk mempersiapkan diriku menjadi pengganti Ayah kelak. Ibu meninggalkan kariernya demi membantu aku belajar di rumah. Namun saat aku menginjak usia sebelas tahun, Ayah menemukan ada yang aneh padaku. Ketika aku berusia dua belas tahun d
Syarat yang pertama bisa dengan mudah aku penuhi. Aku membangun usaha yang aku miliki dari nol. Pengkhianatan rekan kerja pertama telah memberi aku pelajaran yang berharga. Jadi, aku berhati-hati saat memilih orang yang bekerja untukku, terutama mereka yang mengelola uangku. Berawal dari usaha pakaian yang tidak punya penjahit sendiri, kini aku punya beberapa pabrik, butik, bahkan peternakan dan perkebunan yang membantu persediaan bahan mentah usahaku. Merek dagangku diminati oleh para ibu, jadi aku tidak hanya menyediakan pakaian untuk orang spesial seperti aku, tetapi juga merambah pakaian anak-anak. Dalam waktu lima tahun, aku berhasil mengalahkan kesuksesan usaha perhotelan milik Kakek. Aku bahkan masuk daftar orang terkaya di ASEAN dua peringkat lebih tinggi dari Kakek. Keluargaku tidak berhenti mengejek dan menghina prestasiku. Tetapi aku mengabaikan hal itu dan fokus pada tujuan. Kakek adalah pria terhormat yang selalu memegang kata-katanya. Karena itu, aku percaya dia akan me
Reaksi keluargaku sudah bukan kejutan lagi. Ini bukan pertama kalinya aku datang menemui mereka menyatakan rencanaku untuk menikah. Jadi, mereka tertawa dan mengejek aku dengan kalimat yang sudah aku hapal di luar kepala. Setelah mendengar mereka akan datang pada hari pernikahanku, maka tidak ada lagi yang perlu aku lakukan di rumah itu. Aku yakin bahwa mereka pasti akan datang. Mereka tidak akan melewatkan momen di mana aku mengalami hari paling sial dalam hidupku. “Ben.” Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara ibuku. Aku membalikkan badan dan melihat dia tersenyum kepadaku. “Apa kamu sudah makan malam?” “Aku akan makan malam di apartemenku, Bu. Karno menunggu dan dia juga belum makan malam.” Aku menolak tawarannya sehalus mungkin. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang sayang kepadaku. Tetapi aku tidak mau menjadi sumber pertengkarannya dengan Ayah. Jadi, sebelum Ayah keluar dari ruang keluarga dan melihat aku masih ada di rumah ini, lebih baik bagiku untuk pergi. “Kalau
Musik memecahkan keheningan di dalam bangunan besar yang hanya diisi oleh beberapa orang tersebut. Pianis memainkan lagu pernikahan dan pintu belakang gereja pun terbuka. Aku melihat ke arah belakang di mana Delima berjalan didampingi oleh ayahnya. Dia mengenakan gaun berwarna hitam dengan rok panjang menutupi hingga mata kakinya. Aku sudah melihat dia di ruang tunggu, jadi aku tahu dia sengaja menata rambutnya dengan sederhana tanpa hiasan apa pun. Perhiasan satu-satunya pada tubuhnya adalah anting panjang mutiara di telinganya. Dia membawa bunga mawar pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya melingkar di lekukan lengan ayahnya. Meskipun dia tidak tersenyum, kecantikannya sama sekali tidak berkurang. Wajahnya kini sedikit lebih rileks, tidak setegang saat aku bicara dengannya. Berbeda dengan pria yang berjalan di sisinya. Ayahnya terlihat berusaha keras untuk menutupi rasa marahnya. Itukah sebabnya mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk datang? Apa mereka bertengkar di rua
~Delima~ Pria itu tidak berbohong. Dia telah membayar lunas semua utang yang diwariskan Bakti kepadaku. Jumlah totalnya kurang dari lima ratus juta karena mereka memberi diskon untuk pelunasan tunai dalam waktu kurang dari satu tahun peminjaman diterima. Nama Bakti, nomor tanda pengenal, juga namaku dan nomor tanda pengenalku ada pada selembar kertas pelunasan tersebut. Aku sudah tidak punya kewajiban apa pun lagi kepada para rentenir itu. Aku sepenuhnya bebas dari lilitan utang. Air mata menetes satu per satu membasahi surat tersebut. Aku segera menjauhkannya dariku agar bukti pembayaran itu tidak rusak. Orang-orang jahat itu tidak akan datang lagi untuk mengancam dan mengintimidasi aku. Tidak ada lagi teriakan, benda yang dilempar, atau kunjungan dadakan yang membuat aku tidak bisa tidur. Aku juga tidak perlu menahan rasa malu harus meminjam uang kepada orang lain. Aku sudah selamat. Karena pria itu telah menepati janjinya lebih cepat dari waktu yang sudah kami sepakati bersama,
Aku tidak berniat menjawab telepon itu karena aku tidak punya hubungan apa pun lagi dengan mereka. Tetapi mengingat sifat mantan ibu mertuaku itu, yang tidak akan berhenti mengganggu aku sampai aku menjawab panggilan darinya, maka aku menjawabnya. “Kamu ada di mana? Mengapa kamu tidak ada di rumahmu?” tanyanya tanpa basa-basi. “Maaf, Tante.” Aku sengaja memberi penegasan pada kata tante. “Kita sudah tidak punya hubungan apa pun lagi, jadi aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu.” “Tidak punya hubungan? Kamu adalah janda putraku. Sampai kamu mati nanti, kamu masih punya kewajiban kepadaku. Putraku sudah tidak ada, maka mengurus keperluanku dan adik-adiknya sudah menjadi tanggung jawabmu,” katanya dengan tegas. Perempuan ini memang sudah gila dan tidak tahu malu. Aku dan Bakti sudah bercerai secara resmi lewat kematian. Kami tidak punya anak, lalu apa yang masih mengikat antara aku dan keluarganya? Tidak ada. Apa wanita ini pura-pura tidak tahu mengenai fakta tersebut