Share

Calon Istri

Author: Windersone
last update Last Updated: 2023-11-09 10:36:54

Willa memberhentikan motornya di hadapan Bunga yang berdiri di halaman gedung pernikahan, ia sedang mengeluarkan ponsel dari tas yang dijinjingnya.

“Maaf Nga, aku tidak bisa mengantarmu pulang, ada urusan penting. Kamu bisa pulang sendiri, ‘kan?” tanya Willa.

“Iya,” balas Bunga tersenyum.

Willa menurunkan kaca helm, ia membunyikan klakson motor, dan melanjutkan perjalanannya mengendarai motor Vespa berwarna biru miliknya itu. Bunga memperhatikan kepergian motor itu di antara beberapa kendaraan beroda dua yang masih banyak berlalu lalang di tengah malam. Mengapa tidak? Para pekerja shift malam di kota itu mulai bereaksi mengerjakan tugas mereka.

Bunga menghidupkan ponselnya. Tapi, dalam hitungan detik, ponsel itu mati. Padahal, baterai masih tersisa 30%. Tentunya ponsel itu akan mati, kondisi baterai ponsel tersebut sudah tidak bagus. Apakah kalian pernah merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Bunga? Menjengkelkan pastinya. Ingin rasanya Bunga LEM BIRU (Lempar Beli Baru), malah tidak bisa karena uangnya tidak bisa membeli ponsel baru. Bagi Bunga, uang yang didapatkannya lebih penting digunakan untuk makanan sehari-hari dan membawa sang ibu berobat. Berobat tanpa ada kartu jaminan kesehatan sungguh menguras kantong, hal itulah yang dirasakannya selama ini.

“Yah, terpaksa cari angkot. Apa ada malam-malam begini? Ini pertama kalinya aku pulang kerja tengah malam,” keluh Bunga kecewa dan sedikit khawatir.

Bunga berjalan menelusuri jalan, sesekali matanya mencari angkutan umum yang mungkin lewat, meski tidak menemukan angkot.

Hidung Bunga mencium aroma bau sate, ia menoleh ke samping, melihat penjual sate gerobakan yang mangkal di tepi jalan. Bunga menghampiri penjual sate itu, ia memesan beberapa tusuk bersama lontongnya karena kelaparan. Dalam hitungan menit, satenya siap untuk disantap dalam keadaan panas.

“Terima kasih, Mas,” ucap Bunga.

Bunga menyantap sate itu. Baru beberapa gigitan, Bunga diam mematung, ia mengingat ajakan Jelita mengundangnya makan malam ke rumah wanita paruh baya yang ditemuinya di rumah sakit itu.

“Ya ampun. Mengapa aku baru ingat undangan makan malam Tante Jelita? Dua hari lalu dia mengajakku ke rumahnya. Bagaimana bisa aku lupa?” Bunga menepis dahinya beberapa kali karena kesal.

Kafkha melihat Bunga duduk sambil memegang piring sate, ia memperlambat kecepatan mobilnya sampai melewati keberadaan Bunga. Kafkha ingin berhenti, tapi hatinya juga berkata tidak perlu, mengingat Bunga bukan siapa-siapa baginya. Kafkha mengabaikan keberadaan Bunga, ia terus mengemudikan mobilnya. Namun, Kafkha mengubah pikirannya, ia memutar arah mobil setelah berjalan sejauh 50 meter dari keberadaan Bunga.

Wujud Bunga sudah tidak terlihat setelah Kafkha kembali, bangku yang diduduki wanita itu sudah kosong. Sepiring sate yang baru termakan beberapa suap tampak ada di atas bangku itu.

“Mas, wanita yang ada di sini tadi mana?” tanya Kafkah penasaran.

“Mbak tadi? Baru saja pergi. Sepertinya dia terburu-buru,” jelas pria penjual sate.

Kafkha memutar mata, melayangkan pandangan menjelajahi sekitarnya dengan tubuh ikut berputar pelan. Kafkha kembali ke mobilnya, ia kembali mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat itu.

***

"Jadilah pria sejati, yang bisa memegang komitmen dalam kesetiaan." Seorang wanita berambut panjang bergelombang berbicara bersama Kafkha di tepi danau, mereka duduk di atas tikar anyam yang terbuat dari daun pandan yang diberi corak warna-warni.

"Aku janji kalau aku akan selalu bersamamu sampai maut memisahkan kita. Aku tidak akan pernah menduakanmu. Kamu juga harus begitu," balas Kafkha.

Kafkha tersenyum lebar. Tangannya membelai rambut wanita itu yang tengah berbaring dengan kepala berada di atas pahanya yang dijadikan sebagai bantal. Kafkha duduk dengan kaki menjulur panjang ke depan dan wanita itu berbaring melintang. Siapakah wanita cantik blasteran Jerman itu? Itulah mendiang Istrinya, Marissa Syahana, seorang dokter bedah.

"Jika aku meninggal lebih dulu, aku harap kamu bisa bahagia. Menikahlah lagi, jaga anak kita, dan sayangi dia," kata Marissa menatap Kafkha dengan pandangan mengarah ke atas, menatap wajah Kafkha.

"Jika itu terjadi, aku tidak akan menikah lagi, aku akan setia padamu seperti janjiku, sampai maut memisahkan. Maut mu juga maut ku. Aku tidak akan bisa memberikan posisimu kepada wanita manapun," balas Kafkha kesal.

Kafkha menyingkirkan kepala Marissa, wanita itu duduk menatap wajah kesal suaminya yang beralih duduk membelakanginya, ngambek.

"Kamu mungkin tidak bisa memberikan posisi itu, tapi anak kita pasti membutuhkannya. Jika aku berada di posisi itu, mungkin aku akan menikah lagi. Maaf," ucap Marissa

"Kenapa kamu malah membahas kematian? Jangan pernah memikirkannya. Kita akan hidup bahagia bersama anak kita yang akan lahir satu bulan lagi. Kita akan menua bersama, dan bermain bersama cucu-cucu kita nantinya," alih Kafkha dan duduk mengarah kepada Marissa.

Perlahan Kafkha membuka mata, air matanya jatuh dan mengalir di sudut matanya sampai ke pipi dengan posisi tubuh berbaring di atas kasur dan pandangannya mengarah ke langit-langit kamar. Kafkha bersedih usai bangun tidur, pembicaraan bersama mendiang istrinya itu hanya sebuah mimpi nyata yang dulu pernah mereka bicarakan.

Kafkha duduk, memperhatikan jam di atas meja yang menunjukkan pukul 8.00 pagi. Ia mendekati keranjang bayi untuk melihat kondisi Raisa. Sejak meninggalnya Marissa, Raisa bagaikan intan yang paling berharga dalam hidupnya yang harus dijaga dengan baik, bahkan melebihi dirinya sendiri.

“Raisa di mana? Apa Mama membawanya?” Kafkha cemas melihat keranjang bayi kosong.

Jangankan orang lain, Kafkha juga tidak akan tenang jika Jelita membawa anaknya itu tanpa sepengetahuannya.

Suara tangis Raisa terdengar samar dari luar. Dokter tampan itu bergegas keluar kamar dalam balutan baju tidur, ia berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu. Kafkha berhenti melangkah di tengah tangga setelah melihat tiga wanita duduk di hadapan Jelita. Dan, salah satu di antara mereka, wanita yang memakai hijab biru muda sedang menggendong Raisa. Wanita itu mencoba untuk menenangkan Raisa yang sedang menangis sebagai tugas pertama yang harus mereka lalukan sebagai syarat dari Jelita untuk dijadikan menantunya, istri Kafkha.

Kafkha lanjut menuruni tangga, berlari menghampiri mereka dan mengambil Raisa dengan gelagat cepat dari tangan wanita itu.

“Kalian apa-apaan? Ma! Kenapa Mama membiarkan dia menggendong Raisa? Mereka siapa? Tunggu, jangan bilang kalau Mama benar melakukan apa yang pernah Mama katakan?” tanya Kafkha marah.

Jelita berdiri dari sofa, ia tersenyum kepada ketiga wanita yang ada di hadapannya itu untuk menutupi situasi yang memanas itu. Lalu, Jelita memegang bahu Kafkha dan mengajaknya masuk ke kamarnya untuk berbicara.

“Ini yang terbaik. Sudah dua tahun kamu tidak diperhatikan, Raisa juga. Kamu harus berkorban untuk putrimu sendiri, dia butuh seorang ibu. Mama tahu kamu tidak membutuhkan istri lagi, karena kamu mencintai mendiang istrimu, tapi jangan lupakan Raisa. Banyak orang tua di luaran sana yang berkorban demi anak mereka. Lihat putrimu, apa kamu bisa memberhentikan tangisannya sebagai seorang Ibu? Percayakan semuanya pada Mama,” bujuk Jelita.

Kafkha menghela napas, pasrah dengan tingkah sang ibu yang selalu membuatnya jenuh setiap kali membahas seorang istri untuknya.

Mereka keluar dari kamar, menghampiri ketiga wanita itu yang tersenyum manis. Tentunya, mereka ingin meluluhkan dan menaklukkan tantangan yang diberikan Jelita untuk menjadi menantu idaman dan istri terbaik untuk Kafkha, termasuk menjadi ibu sambung yang tepat bagi Raisa.

“Hera sudah. Sekarang giliran Silla dan Eva,” kata Jelita kepada dua wanita yang memakai pakaian feminim. Tapi, pakaian Silla sedikit lebih minim dalam balutan kemeja dan rok hingga paha.

“Salah satu dari mereka tidak ada yang memiliki kepribadian ataupun penampilan seperti Marissa. Bagaimana bisa aku hidup bersama salah satu dari mereka?” Dalam hati Kafkha berbicara sambil memperhatikan ketiga wanita itu sembari menenangkan Raisa yang masih menangis.

Silla, wanita berambut bergelombang panjang itu tersenyum dan mengambil Raisa dari gendongan Kafkha yang duduk di samping Jelita.

Dalam lima menit, Silla tidak berhasil menenangkan Raisa. Posisinya digantikan Eva, pemilik salon kecantikan. Namun, Eva juga tidak bisa memberhentikan tangisan anak itu. Raut wajahnya berubah kesal, apalagi setelah Raisa ngompol saat berada di gendongannya. Eva tidak sengaja nyerocos kesal memarahi anak itu di hadapan Kafkha dan Jelita. Selain itu, bau tak sedap mulia tercium, Raisa buang air besar. Dalam posisi berdiri, tangan Eva refleks melepaskan tangannya dari Raisa karena tidak sanggup memegang anak yang dalam keadaan kotor itu.

“Raisa!” teriak Kafkha kaget.

Bukan hanya Kafkha, mereka yang duduk di ruang tamu itu ikut kaget dan mata melebar melihat Raisa jatuh dari gendongan Eva.

Dua pasang tangan menyambut tubuh Raisa di atas lantai. Siapakah pemilik tangan itu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Best Seller    Terima Kasih

    Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu

  • Istri Best Seller    Masa Depan Prioritas Utamaku

    Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “

  • Istri Best Seller    Tidak Menyangka

    Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,

  • Istri Best Seller    Surat Titipan

    Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it

  • Istri Best Seller    Kejutan Apa?

    Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se

  • Istri Best Seller    Catat Waktu Kematiannya

    Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status