Share

Calon Istri

Willa memberhentikan motornya di hadapan Bunga yang berdiri di halaman gedung pernikahan, ia sedang mengeluarkan ponsel dari tas yang dijinjingnya.

“Maaf Nga, aku tidak bisa mengantarmu pulang, ada urusan penting. Kamu bisa pulang sendiri, ‘kan?” tanya Willa.

“Iya,” balas Bunga tersenyum.

Willa menurunkan kaca helm, ia membunyikan klakson motor, dan melanjutkan perjalanannya mengendarai motor Vespa berwarna biru miliknya itu. Bunga memperhatikan kepergian motor itu di antara beberapa kendaraan beroda dua yang masih banyak berlalu lalang di tengah malam. Mengapa tidak? Para pekerja shift malam di kota itu mulai bereaksi mengerjakan tugas mereka.

Bunga menghidupkan ponselnya. Tapi, dalam hitungan detik, ponsel itu mati. Padahal, baterai masih tersisa 30%. Tentunya ponsel itu akan mati, kondisi baterai ponsel tersebut sudah tidak bagus. Apakah kalian pernah merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Bunga? Menjengkelkan pastinya. Ingin rasanya Bunga LEM BIRU (Lempar Beli Baru), malah tidak bisa karena uangnya tidak bisa membeli ponsel baru. Bagi Bunga, uang yang didapatkannya lebih penting digunakan untuk makanan sehari-hari dan membawa sang ibu berobat. Berobat tanpa ada kartu jaminan kesehatan sungguh menguras kantong, hal itulah yang dirasakannya selama ini.

“Yah, terpaksa cari angkot. Apa ada malam-malam begini? Ini pertama kalinya aku pulang kerja tengah malam,” keluh Bunga kecewa dan sedikit khawatir.

Bunga berjalan menelusuri jalan, sesekali matanya mencari angkutan umum yang mungkin lewat, meski tidak menemukan angkot.

Hidung Bunga mencium aroma bau sate, ia menoleh ke samping, melihat penjual sate gerobakan yang mangkal di tepi jalan. Bunga menghampiri penjual sate itu, ia memesan beberapa tusuk bersama lontongnya karena kelaparan. Dalam hitungan menit, satenya siap untuk disantap dalam keadaan panas.

“Terima kasih, Mas,” ucap Bunga.

Bunga menyantap sate itu. Baru beberapa gigitan, Bunga diam mematung, ia mengingat ajakan Jelita mengundangnya makan malam ke rumah wanita paruh baya yang ditemuinya di rumah sakit itu.

“Ya ampun. Mengapa aku baru ingat undangan makan malam Tante Jelita? Dua hari lalu dia mengajakku ke rumahnya. Bagaimana bisa aku lupa?” Bunga menepis dahinya beberapa kali karena kesal.

Kafkha melihat Bunga duduk sambil memegang piring sate, ia memperlambat kecepatan mobilnya sampai melewati keberadaan Bunga. Kafkha ingin berhenti, tapi hatinya juga berkata tidak perlu, mengingat Bunga bukan siapa-siapa baginya. Kafkha mengabaikan keberadaan Bunga, ia terus mengemudikan mobilnya. Namun, Kafkha mengubah pikirannya, ia memutar arah mobil setelah berjalan sejauh 50 meter dari keberadaan Bunga.

Wujud Bunga sudah tidak terlihat setelah Kafkha kembali, bangku yang diduduki wanita itu sudah kosong. Sepiring sate yang baru termakan beberapa suap tampak ada di atas bangku itu.

“Mas, wanita yang ada di sini tadi mana?” tanya Kafkah penasaran.

“Mbak tadi? Baru saja pergi. Sepertinya dia terburu-buru,” jelas pria penjual sate.

Kafkha memutar mata, melayangkan pandangan menjelajahi sekitarnya dengan tubuh ikut berputar pelan. Kafkha kembali ke mobilnya, ia kembali mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat itu.

***

"Jadilah pria sejati, yang bisa memegang komitmen dalam kesetiaan." Seorang wanita berambut panjang bergelombang berbicara bersama Kafkha di tepi danau, mereka duduk di atas tikar anyam yang terbuat dari daun pandan yang diberi corak warna-warni.

"Aku janji kalau aku akan selalu bersamamu sampai maut memisahkan kita. Aku tidak akan pernah menduakanmu. Kamu juga harus begitu," balas Kafkha.

Kafkha tersenyum lebar. Tangannya membelai rambut wanita itu yang tengah berbaring dengan kepala berada di atas pahanya yang dijadikan sebagai bantal. Kafkha duduk dengan kaki menjulur panjang ke depan dan wanita itu berbaring melintang. Siapakah wanita cantik blasteran Jerman itu? Itulah mendiang Istrinya, Marissa Syahana, seorang dokter bedah.

"Jika aku meninggal lebih dulu, aku harap kamu bisa bahagia. Menikahlah lagi, jaga anak kita, dan sayangi dia," kata Marissa menatap Kafkha dengan pandangan mengarah ke atas, menatap wajah Kafkha.

"Jika itu terjadi, aku tidak akan menikah lagi, aku akan setia padamu seperti janjiku, sampai maut memisahkan. Maut mu juga maut ku. Aku tidak akan bisa memberikan posisimu kepada wanita manapun," balas Kafkha kesal.

Kafkha menyingkirkan kepala Marissa, wanita itu duduk menatap wajah kesal suaminya yang beralih duduk membelakanginya, ngambek.

"Kamu mungkin tidak bisa memberikan posisi itu, tapi anak kita pasti membutuhkannya. Jika aku berada di posisi itu, mungkin aku akan menikah lagi. Maaf," ucap Marissa

"Kenapa kamu malah membahas kematian? Jangan pernah memikirkannya. Kita akan hidup bahagia bersama anak kita yang akan lahir satu bulan lagi. Kita akan menua bersama, dan bermain bersama cucu-cucu kita nantinya," alih Kafkha dan duduk mengarah kepada Marissa.

Perlahan Kafkha membuka mata, air matanya jatuh dan mengalir di sudut matanya sampai ke pipi dengan posisi tubuh berbaring di atas kasur dan pandangannya mengarah ke langit-langit kamar. Kafkha bersedih usai bangun tidur, pembicaraan bersama mendiang istrinya itu hanya sebuah mimpi nyata yang dulu pernah mereka bicarakan.

Kafkha duduk, memperhatikan jam di atas meja yang menunjukkan pukul 8.00 pagi. Ia mendekati keranjang bayi untuk melihat kondisi Raisa. Sejak meninggalnya Marissa, Raisa bagaikan intan yang paling berharga dalam hidupnya yang harus dijaga dengan baik, bahkan melebihi dirinya sendiri.

“Raisa di mana? Apa Mama membawanya?” Kafkha cemas melihat keranjang bayi kosong.

Jangankan orang lain, Kafkha juga tidak akan tenang jika Jelita membawa anaknya itu tanpa sepengetahuannya.

Suara tangis Raisa terdengar samar dari luar. Dokter tampan itu bergegas keluar kamar dalam balutan baju tidur, ia berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu. Kafkha berhenti melangkah di tengah tangga setelah melihat tiga wanita duduk di hadapan Jelita. Dan, salah satu di antara mereka, wanita yang memakai hijab biru muda sedang menggendong Raisa. Wanita itu mencoba untuk menenangkan Raisa yang sedang menangis sebagai tugas pertama yang harus mereka lalukan sebagai syarat dari Jelita untuk dijadikan menantunya, istri Kafkha.

Kafkha lanjut menuruni tangga, berlari menghampiri mereka dan mengambil Raisa dengan gelagat cepat dari tangan wanita itu.

“Kalian apa-apaan? Ma! Kenapa Mama membiarkan dia menggendong Raisa? Mereka siapa? Tunggu, jangan bilang kalau Mama benar melakukan apa yang pernah Mama katakan?” tanya Kafkha marah.

Jelita berdiri dari sofa, ia tersenyum kepada ketiga wanita yang ada di hadapannya itu untuk menutupi situasi yang memanas itu. Lalu, Jelita memegang bahu Kafkha dan mengajaknya masuk ke kamarnya untuk berbicara.

“Ini yang terbaik. Sudah dua tahun kamu tidak diperhatikan, Raisa juga. Kamu harus berkorban untuk putrimu sendiri, dia butuh seorang ibu. Mama tahu kamu tidak membutuhkan istri lagi, karena kamu mencintai mendiang istrimu, tapi jangan lupakan Raisa. Banyak orang tua di luaran sana yang berkorban demi anak mereka. Lihat putrimu, apa kamu bisa memberhentikan tangisannya sebagai seorang Ibu? Percayakan semuanya pada Mama,” bujuk Jelita.

Kafkha menghela napas, pasrah dengan tingkah sang ibu yang selalu membuatnya jenuh setiap kali membahas seorang istri untuknya.

Mereka keluar dari kamar, menghampiri ketiga wanita itu yang tersenyum manis. Tentunya, mereka ingin meluluhkan dan menaklukkan tantangan yang diberikan Jelita untuk menjadi menantu idaman dan istri terbaik untuk Kafkha, termasuk menjadi ibu sambung yang tepat bagi Raisa.

“Hera sudah. Sekarang giliran Silla dan Eva,” kata Jelita kepada dua wanita yang memakai pakaian feminim. Tapi, pakaian Silla sedikit lebih minim dalam balutan kemeja dan rok hingga paha.

“Salah satu dari mereka tidak ada yang memiliki kepribadian ataupun penampilan seperti Marissa. Bagaimana bisa aku hidup bersama salah satu dari mereka?” Dalam hati Kafkha berbicara sambil memperhatikan ketiga wanita itu sembari menenangkan Raisa yang masih menangis.

Silla, wanita berambut bergelombang panjang itu tersenyum dan mengambil Raisa dari gendongan Kafkha yang duduk di samping Jelita.

Dalam lima menit, Silla tidak berhasil menenangkan Raisa. Posisinya digantikan Eva, pemilik salon kecantikan. Namun, Eva juga tidak bisa memberhentikan tangisan anak itu. Raut wajahnya berubah kesal, apalagi setelah Raisa ngompol saat berada di gendongannya. Eva tidak sengaja nyerocos kesal memarahi anak itu di hadapan Kafkha dan Jelita. Selain itu, bau tak sedap mulia tercium, Raisa buang air besar. Dalam posisi berdiri, tangan Eva refleks melepaskan tangannya dari Raisa karena tidak sanggup memegang anak yang dalam keadaan kotor itu.

“Raisa!” teriak Kafkha kaget.

Bukan hanya Kafkha, mereka yang duduk di ruang tamu itu ikut kaget dan mata melebar melihat Raisa jatuh dari gendongan Eva.

Dua pasang tangan menyambut tubuh Raisa di atas lantai. Siapakah pemilik tangan itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status