Beranda / Romansa / Istri Best Seller / Bunga Pengantin

Share

Bunga Pengantin

Penulis: Windersone
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-09 10:36:22

Kafkha keluar dari ruangan operasi, membawakan informasi baik untuk keluarga pasien yang di operasinya, bahwa pasien itu sudah keluar dari masa kritisnya. Reaksi keluarga pasien tampak lega dan berterima kasih padanya.

Pria itu lanjut berjalan menuju toilet untuk membasuh tangan. Di tengah kaki melangkah menuju toilet, ia melepaskan sarung tangan, penutup kepala, dan pakaian serba hijau yang digunakannya saat operasi. 

Setelah sampai di toilet, langkah Kafkha berhenti di pintu toilet pria setelah mendengar suara Bunga berbicara dari toilet wanita yang ada di sebelah. Kafkha menyadari keberadaan Bunga di sana setelah mendengar suara wanita itu menyebut nama Raisa, ia sedang menganga anak itu.

“Ba! Jangan menangis lagi, ya? Nanti Mama Raisa sedih. Hari ini Tante juga sedih, Tante tidak jadi bekerja. Tante tidak menyalahkan Raisa, mungkin belum rezekinya di sana. Tunggu bentar, Tante cuci tangan dulu,” ucap Bunga kepada Raisa yang berada di gendongan depannya. 

Kafkha memperhatikan Bunga dari pintu toilet yang sedikit dibuka.

“Dokter Kafkha!” panggil Sarah, seorang dokter kandungan di rumah sakit itu. 

Kafkha bergegas menutup pintu dan salah tingkah, bertingkah seolah dirinya sedang tak melakukan hal yang buruk.

“Dokter kenapa di sini? Dokter ….” Sarah tersenyum.

“Oh!” Bunga kaget setelah keluar dari toilet, ia menganggukan kepala sekali sambil tersenyum menyapa kedua dokter yang ada di hadapannya.

“Bawa Raisa ke ruangan ku. Tunggu aku di sana!” suruh Kafkha dengan raut wajah datar.

Kafkha memasuki toilet pria, ia meletakkan atribut operasinya ke samping wastafel dan mencuci tangannya sambil mengingat perkataan Bunga tadi. 

Kafkha bertemu perawat setelah keluar dari toilet, ia menyuruh perawat tersebut membawa pakaian operasi yang tadi digunakan olehnya. Kafkha lanjut berjalan menuju ruangannya yang ada di lantai tiga. 

Setelah membuka pintu ruangan, Kafkha melihat Bunga sedang duduk membelakangi keberadaannya, duduk di bangku pasien yang berkunjung sambil berbicara mengenai susu.

"Tante akan kasih kamu susu," kata Bunga.

Kafkha salah paham, ia mengira wanita itu sedang menyusui anaknya. Padahal, Raisa sedang meminum susu dari botol susu berukuran kecil yang ada di tangan Bunga dan tidak terlihat karena tubuhnya.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Kafkha, kaget, sambil berjalan cepat hadir di samping wanita itu. 

Kafkha melongo diam karena salah paham kepada Bunga. Bibirnya tak bisa berkata-kata setelah melihat dan sadar dirinya salah sangka. 

“Kenapa?” tanya Bunga, bingung. 

“Semua barang-barang ini?” tanya Kafkha dengan ekspresi seakan bertanya.

“Aku membelinya. Sebenarnya aku sudah membawa Raisa ke tempatku bekerja, karena aku tidak tahu harus meninggalkannya kepada siapa. Jadi, aku membawa Raisa bersamaku,” ucap Bunga, merasa bersalah.

“Jangan sesekali membawa putriku semau mu, dia bukan putrimu,” ucap Kafkha dengan dingin sambil mengambil anak itu dari pangkuan Bunga. 

Kafkha berdiri membelakangi Bunga sambil menenangkan Raisa yang kembali menangis menggeliatkan tubuh. Bunga mendekati Kafkha, ingin membantu pria itu menenangkan putrinya. Namun, Kafkha menjauhkan Raisa dari Bunga dan menyuruh wanita itu meninggalkan ruangannya dan tidak pernah mendekati putrinya. 

Tangan yang sempat terangkat ingin mengambil Raisa turun kembali dengan gendongan bayi yang masih berada ada di bagian depan tubuhnya. Bunga melangkah mundur, memutar tubuh dan berjalan ingin meninggalkan ruangan itu. Namun, Kafkha menyuruhnya berhenti.

“Bawa botol susu itu! Jangan berpikir untuk memberikan putriku benda semacam itu,” pesan Kafkha. 

Perkataan Kafkha menyakiti hati Bunga, tapi wanita itu hanya mengalah dan diam meski kehadiran Raisa sudah membuat pekerjaannya lenyap. Sekian itu juga merugikan dirinya sudah membeli barang-barang bayi itu. Bunga mengambil botol yang masih berisi separuh susu di dalamnya yang ada di atas meja, ia bergegas meninggalkan ruangan itu bersama kemarahan yang ditahan. 

Setelah Bunga pergi, Kafkha baru menyesal telah bertingkah kasar kepada wanita itu, mengingat Bunga sudah membantunya menjaga Raisa. Kafkha ingin meminta maaf, tapi gengsi membuatnya tidak sanggup melakukannya. 

***

Dua Hari Kemudian ....

Willa dan Bunga menghidangkan makanan di atas meja tamu undangan sebuah pernikahan. Bunga bekerja di tempat kerja Willa dengan profesi yang sama, sebagai petugas marketing di salah satu wedding organizer. Bunga sudah kembali ke perusahaan tempat di mana ia diterima dan ditolak sebelumnya, tapi posisi itu sudah ditempati oleh orang lain sehari setelah ia ditolak karena Raisa.

“Bisa bantu adikku membuat cerpen, ngak? Kebetulan, adikku membutuhkan bantuanmu,” kata Willa berjalan di samping Bunga dengan nampan makanan di tangan mereka berdua. 

“Bisa. Akhir-akhir ini aku tidak menulis, kamu bisa menyuruh adikmu ke rumahku karena aku belum bisa meninggalkan Mama di rumah sendiri. Penyakitnya kambuh lagi dua hari belakangan,” jelas Bunga sambil menyajikan makanan di tengah keributan yang sedikit terdengar di bawa tenda pernikahan yang berukuran cukup luas itu.

“Baiklah! Tidak hanya sendirian, dia membawa temannya, anak orang kaya, tapi temannya itu ingin belajar matematika.”

“Iya,” balas Bunga, singkat.

Bunga dan Willa berjalan ke arah yang berbeda, berjalan di antara beberapa tubuh dan bangku yang diduduki oleh beberapa tamu undangan. Selain melayani, Bunga ikut menyaksikan acara pernikahan sepasang sejoli itu sampai akhirnya acara pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh kedua sepasang pengantin itu. 

“Satu ... dua ... ti ... ga!” teriak semua orang bersambut dengan buket bunga melayang ke atas dengan posisi kedua pengantin itu berdiri membelakangi tamu undangan di atas panggung pelaminan.

Semua orang menoleh ke belakang, lanjut memutar badan memandangi buket bunga yang dilempa akan jatuh ke tangan siapa? Buket bunga tersebut melayang dan jatuh tepat di atas nampan kosong yang dipegang Bunga. Wanita itu tercengang kaget, termasuk beberapa tamu undangan.

“Bunga? Kamu akan menikah?” tanya Willa, tersenyum tak menyangka. 

Willa menyenggol bahu Bunga menyuruh wanita itu mengambilnya, tapi tangan Bunga ragu untuk mengambil bunga tersebut. Bunga mengambil bunga itu, kedua bola matanya memperhatikan buket bunga mawar putih itu. Tepuk tangan terdengar untuknya karena sudah mendapat buket bunga tersebut. Mata Bunga berkeliling menjelajah beberapa wajah yang tersenyum di sekelilingnya.

“Menikah bagaimana? Calonnya saja belum ada." Bunga berbicara dengan suara kecil dan  mencondongkan tubuhnya ke arah Willa.

Lalu, Bunga tersenyum kepada beberapa orang yang ada di hadapannya. 

Bunga melangkah mundur dan tidak sengaja menabrak sebuah tubuh setelah melangkah sebanyak 5 langkah. Bunga memutar tubuh melihat orang yang ditabraknya dan menaikkan pandangan.

Sejenak Bunga terdiam, memperhatikan kedua bola mata orang itu yang merupakan Kafkha. Bunga menundukkan pandangan dan meminta maaf. Lalu, Bunga memperhatikan wanita berambut panjang bergelombang yang berdiri di belakang Kafkha dan sedang menggendong Raisa, ia tersenyum kepada wanita itu. 

Seorang anak perempuan usia 7 tahun menabrak tubuh Bunga dari belakang, anak itu tampak sedang main kejar-kejaran bersama temannya. Tak sengaja, Bunga menjatuhkan nampan di tangannya, membuat buket bunga mawar putih itu jatuh ke lantai. 

“Kamu baik-baik saja?” Bunga lebih mengutamakan kondisi anak yang terjatuh di belakangnya setelah menabrak tubuhnya. Bunga memutar tubuh membelakangi keberadaan Kafkha dan membantu anak itu berdiri. 

Ibu bocah perempuan itu meminta maaf dan menarik tangan anak itu, membawanya pergi dari keramaian sambil memarahinya karena tidak mau mendengarkan perkataannya. Namanya juga anak-anak.

Bunga kembali menujukan mata kepada Kafkha, tapi pandangannya langsung mendapati buket bunga mawar putih yang disodorkan ke arahnya. Sejenak Bunga terbuai dalam suasana, situasi saat itu membuatnya berimajinasi seolah dokter tampan itu sedang melamarnya menggunakan buket bunga itu. 

“Bunga!” panggil Willa dengan suara kecil dari belakang setelah melihat Bunga diam menatap Kafkha dengan wajah melamun, sedangkan Kafkha terus mencoba menghancurkan lamunanya dengan menyuruh Bunga mengambil buket bunga itu.

“Ini bunganya!” ucap Kafkha, mulai kesal karena tidak ingin berada di situasi itu setelah melihat pandangan beberapa orang memperhatikan mereka.

“I-iya. Maaf,” ucap Bunga sambil mengambil buket bunga di tangan Kafkha.

Kafkha melanjutkan langkahnya, melewati tubuh Bunga dengan ekspresi santai. Wanita yang menggendong Raisa mengikuti Kafkha dan tersenyum kepada Bunga saat melewati tubuhnya.

Semua orang yang sempat berkumpul perlahan bubar, mereka kembali ke tempat duduk mereka masing-masing untuk menyudahi acara pernikahan itu. Willa mendekati Bunga, mengajak wanita itu kembali bekerja sambil mengambil nampan yang sempat dijatuhkan ke lantai.

Bunga mengikuti Willa, kepalanya menoleh ke belakang, memperhatikan Kafkah dan wanita yang bersamanya yang sudah berada di pelaminan dan sedang memberikan ucapan selamat pernikahan kepada kedua pengantin. Bunga kembali mengarahkan pandangan ke depan. Bergantian Kafkha yang memperhatikannya dari kejauhan. Sejenak pria itu diam menatap punggung Bunga. Lalu, ia tersenyum merespons perkataan pengantin pria yang merupakan seorang dokter, teman dekatnya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Best Seller    Terima Kasih

    Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu

  • Istri Best Seller    Masa Depan Prioritas Utamaku

    Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “

  • Istri Best Seller    Tidak Menyangka

    Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,

  • Istri Best Seller    Surat Titipan

    Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it

  • Istri Best Seller    Kejutan Apa?

    Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se

  • Istri Best Seller    Catat Waktu Kematiannya

    Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status