Share

Bunga Pengantin

Kafkha keluar dari ruangan operasi, membawakan informasi baik untuk keluarga pasien yang di operasinya, bahwa pasien itu sudah keluar dari masa kritisnya. Reaksi keluarga pasien tampak lega dan berterima kasih padanya.

Pria itu lanjut berjalan menuju toilet untuk membasuh tangan. Di tengah kaki melangkah menuju toilet, ia melepaskan sarung tangan, penutup kepala, dan pakaian serba hijau yang digunakannya saat operasi. 

Setelah sampai di toilet, langkah Kafkha berhenti di pintu toilet pria setelah mendengar suara Bunga berbicara dari toilet wanita yang ada di sebelah. Kafkha menyadari keberadaan Bunga di sana setelah mendengar suara wanita itu menyebut nama Raisa, ia sedang menganga anak itu.

“Ba! Jangan menangis lagi, ya? Nanti Mama Raisa sedih. Hari ini Tante juga sedih, Tante tidak jadi bekerja. Tante tidak menyalahkan Raisa, mungkin belum rezekinya di sana. Tunggu bentar, Tante cuci tangan dulu,” ucap Bunga kepada Raisa yang berada di gendongan depannya. 

Kafkha memperhatikan Bunga dari pintu toilet yang sedikit dibuka.

“Dokter Kafkha!” panggil Sarah, seorang dokter kandungan di rumah sakit itu. 

Kafkha bergegas menutup pintu dan salah tingkah, bertingkah seolah dirinya sedang tak melakukan hal yang buruk.

“Dokter kenapa di sini? Dokter ….” Sarah tersenyum.

“Oh!” Bunga kaget setelah keluar dari toilet, ia menganggukan kepala sekali sambil tersenyum menyapa kedua dokter yang ada di hadapannya.

“Bawa Raisa ke ruangan ku. Tunggu aku di sana!” suruh Kafkha dengan raut wajah datar.

Kafkha memasuki toilet pria, ia meletakkan atribut operasinya ke samping wastafel dan mencuci tangannya sambil mengingat perkataan Bunga tadi. 

Kafkha bertemu perawat setelah keluar dari toilet, ia menyuruh perawat tersebut membawa pakaian operasi yang tadi digunakan olehnya. Kafkha lanjut berjalan menuju ruangannya yang ada di lantai tiga. 

Setelah membuka pintu ruangan, Kafkha melihat Bunga sedang duduk membelakangi keberadaannya, duduk di bangku pasien yang berkunjung sambil berbicara mengenai susu.

"Tante akan kasih kamu susu," kata Bunga.

Kafkha salah paham, ia mengira wanita itu sedang menyusui anaknya. Padahal, Raisa sedang meminum susu dari botol susu berukuran kecil yang ada di tangan Bunga dan tidak terlihat karena tubuhnya.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Kafkha, kaget, sambil berjalan cepat hadir di samping wanita itu. 

Kafkha melongo diam karena salah paham kepada Bunga. Bibirnya tak bisa berkata-kata setelah melihat dan sadar dirinya salah sangka. 

“Kenapa?” tanya Bunga, bingung. 

“Semua barang-barang ini?” tanya Kafkha dengan ekspresi seakan bertanya.

“Aku membelinya. Sebenarnya aku sudah membawa Raisa ke tempatku bekerja, karena aku tidak tahu harus meninggalkannya kepada siapa. Jadi, aku membawa Raisa bersamaku,” ucap Bunga, merasa bersalah.

“Jangan sesekali membawa putriku semau mu, dia bukan putrimu,” ucap Kafkha dengan dingin sambil mengambil anak itu dari pangkuan Bunga. 

Kafkha berdiri membelakangi Bunga sambil menenangkan Raisa yang kembali menangis menggeliatkan tubuh. Bunga mendekati Kafkha, ingin membantu pria itu menenangkan putrinya. Namun, Kafkha menjauhkan Raisa dari Bunga dan menyuruh wanita itu meninggalkan ruangannya dan tidak pernah mendekati putrinya. 

Tangan yang sempat terangkat ingin mengambil Raisa turun kembali dengan gendongan bayi yang masih berada ada di bagian depan tubuhnya. Bunga melangkah mundur, memutar tubuh dan berjalan ingin meninggalkan ruangan itu. Namun, Kafkha menyuruhnya berhenti.

“Bawa botol susu itu! Jangan berpikir untuk memberikan putriku benda semacam itu,” pesan Kafkha. 

Perkataan Kafkha menyakiti hati Bunga, tapi wanita itu hanya mengalah dan diam meski kehadiran Raisa sudah membuat pekerjaannya lenyap. Sekian itu juga merugikan dirinya sudah membeli barang-barang bayi itu. Bunga mengambil botol yang masih berisi separuh susu di dalamnya yang ada di atas meja, ia bergegas meninggalkan ruangan itu bersama kemarahan yang ditahan. 

Setelah Bunga pergi, Kafkha baru menyesal telah bertingkah kasar kepada wanita itu, mengingat Bunga sudah membantunya menjaga Raisa. Kafkha ingin meminta maaf, tapi gengsi membuatnya tidak sanggup melakukannya. 

***

Dua Hari Kemudian ....

Willa dan Bunga menghidangkan makanan di atas meja tamu undangan sebuah pernikahan. Bunga bekerja di tempat kerja Willa dengan profesi yang sama, sebagai petugas marketing di salah satu wedding organizer. Bunga sudah kembali ke perusahaan tempat di mana ia diterima dan ditolak sebelumnya, tapi posisi itu sudah ditempati oleh orang lain sehari setelah ia ditolak karena Raisa.

“Bisa bantu adikku membuat cerpen, ngak? Kebetulan, adikku membutuhkan bantuanmu,” kata Willa berjalan di samping Bunga dengan nampan makanan di tangan mereka berdua. 

“Bisa. Akhir-akhir ini aku tidak menulis, kamu bisa menyuruh adikmu ke rumahku karena aku belum bisa meninggalkan Mama di rumah sendiri. Penyakitnya kambuh lagi dua hari belakangan,” jelas Bunga sambil menyajikan makanan di tengah keributan yang sedikit terdengar di bawa tenda pernikahan yang berukuran cukup luas itu.

“Baiklah! Tidak hanya sendirian, dia membawa temannya, anak orang kaya, tapi temannya itu ingin belajar matematika.”

“Iya,” balas Bunga, singkat.

Bunga dan Willa berjalan ke arah yang berbeda, berjalan di antara beberapa tubuh dan bangku yang diduduki oleh beberapa tamu undangan. Selain melayani, Bunga ikut menyaksikan acara pernikahan sepasang sejoli itu sampai akhirnya acara pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh kedua sepasang pengantin itu. 

“Satu ... dua ... ti ... ga!” teriak semua orang bersambut dengan buket bunga melayang ke atas dengan posisi kedua pengantin itu berdiri membelakangi tamu undangan di atas panggung pelaminan.

Semua orang menoleh ke belakang, lanjut memutar badan memandangi buket bunga yang dilempa akan jatuh ke tangan siapa? Buket bunga tersebut melayang dan jatuh tepat di atas nampan kosong yang dipegang Bunga. Wanita itu tercengang kaget, termasuk beberapa tamu undangan.

“Bunga? Kamu akan menikah?” tanya Willa, tersenyum tak menyangka. 

Willa menyenggol bahu Bunga menyuruh wanita itu mengambilnya, tapi tangan Bunga ragu untuk mengambil bunga tersebut. Bunga mengambil bunga itu, kedua bola matanya memperhatikan buket bunga mawar putih itu. Tepuk tangan terdengar untuknya karena sudah mendapat buket bunga tersebut. Mata Bunga berkeliling menjelajah beberapa wajah yang tersenyum di sekelilingnya.

“Menikah bagaimana? Calonnya saja belum ada." Bunga berbicara dengan suara kecil dan  mencondongkan tubuhnya ke arah Willa.

Lalu, Bunga tersenyum kepada beberapa orang yang ada di hadapannya. 

Bunga melangkah mundur dan tidak sengaja menabrak sebuah tubuh setelah melangkah sebanyak 5 langkah. Bunga memutar tubuh melihat orang yang ditabraknya dan menaikkan pandangan.

Sejenak Bunga terdiam, memperhatikan kedua bola mata orang itu yang merupakan Kafkha. Bunga menundukkan pandangan dan meminta maaf. Lalu, Bunga memperhatikan wanita berambut panjang bergelombang yang berdiri di belakang Kafkha dan sedang menggendong Raisa, ia tersenyum kepada wanita itu. 

Seorang anak perempuan usia 7 tahun menabrak tubuh Bunga dari belakang, anak itu tampak sedang main kejar-kejaran bersama temannya. Tak sengaja, Bunga menjatuhkan nampan di tangannya, membuat buket bunga mawar putih itu jatuh ke lantai. 

“Kamu baik-baik saja?” Bunga lebih mengutamakan kondisi anak yang terjatuh di belakangnya setelah menabrak tubuhnya. Bunga memutar tubuh membelakangi keberadaan Kafkha dan membantu anak itu berdiri. 

Ibu bocah perempuan itu meminta maaf dan menarik tangan anak itu, membawanya pergi dari keramaian sambil memarahinya karena tidak mau mendengarkan perkataannya. Namanya juga anak-anak.

Bunga kembali menujukan mata kepada Kafkha, tapi pandangannya langsung mendapati buket bunga mawar putih yang disodorkan ke arahnya. Sejenak Bunga terbuai dalam suasana, situasi saat itu membuatnya berimajinasi seolah dokter tampan itu sedang melamarnya menggunakan buket bunga itu. 

“Bunga!” panggil Willa dengan suara kecil dari belakang setelah melihat Bunga diam menatap Kafkha dengan wajah melamun, sedangkan Kafkha terus mencoba menghancurkan lamunanya dengan menyuruh Bunga mengambil buket bunga itu.

“Ini bunganya!” ucap Kafkha, mulai kesal karena tidak ingin berada di situasi itu setelah melihat pandangan beberapa orang memperhatikan mereka.

“I-iya. Maaf,” ucap Bunga sambil mengambil buket bunga di tangan Kafkha.

Kafkha melanjutkan langkahnya, melewati tubuh Bunga dengan ekspresi santai. Wanita yang menggendong Raisa mengikuti Kafkha dan tersenyum kepada Bunga saat melewati tubuhnya.

Semua orang yang sempat berkumpul perlahan bubar, mereka kembali ke tempat duduk mereka masing-masing untuk menyudahi acara pernikahan itu. Willa mendekati Bunga, mengajak wanita itu kembali bekerja sambil mengambil nampan yang sempat dijatuhkan ke lantai.

Bunga mengikuti Willa, kepalanya menoleh ke belakang, memperhatikan Kafkah dan wanita yang bersamanya yang sudah berada di pelaminan dan sedang memberikan ucapan selamat pernikahan kepada kedua pengantin. Bunga kembali mengarahkan pandangan ke depan. Bergantian Kafkha yang memperhatikannya dari kejauhan. Sejenak pria itu diam menatap punggung Bunga. Lalu, ia tersenyum merespons perkataan pengantin pria yang merupakan seorang dokter, teman dekatnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status