Share

Terpaksa Menerima

Bunga adalah orang yang menyambut tubuh Raisa, sebelum tubuh anak itu mendarat ke lantai. Bunga menggendong tubuh Raisa, memeluk anak itu dengan wajah ketakutan yang tergambar. Raisa menangis keras, sampai tangisannya sempat menghilang. Bunga mengayun pelan tubuh anak itu untuk menenangkannya. 

Kafkha marah besar, kedua bola matanya membesar marah menatap Eva. 

"Kamu pikir anakku kucing? Kalian semua lebih baik pergi sebelum aku mengusir kalian secara paksa," usir Kafkha memperingati mereka sambil mengarahkan tangan ke pintu yang terbuka lebar.

Kemarahan Kafkha tak hanya menarik rasa takut ketiga wanita itu, Jelita pun ikut merasa takut dengan kemarahan yang terukir di wajah anaknya itu yang selama ini tidak pernah dilihatnya. Murka Kafkha kali ini membuat Jelita tidak bisa berkutik, menahan ketiga wanita itu untuk meminta maaf sebelum meninggalkan rumah itu.

Kedua wanita yang berdiri di sisi kanan dan kiri Eva menyumut menyalahkan Eva atas kemarahan Kafkha yang ikut membuat mereka dimarahi. Mengapa tidak, Eva yang hampir mencelakai Raisa, tapi mereka juga mendapat imbasnya. 

"Raisa … kamu baik-baik saja, Nak?" Kafkha mengambil Raisa dari gendongan tangan Bunga dengan kecemasan. 

"Popok Raisa harus diganti. Satu lagi, anak itu harus dimandikan dan diberi makan, dia kelaparan. Dia juga kaget, tenangkan dia," ucap Bunga dengan ketenangan.

"Ma. Bukankah Mama mengetahui kalau Raisa setiap pagi dimandikan dan diberi makan? Mengapa Mama malah menjadikannya sebagai bahan uji coba?" tanya Kafkha menahan emosinya keluar kepada Jelita.

"Mama hanya ingin melihat mereka bertiga, sejauh mana mereka bisa mengurus Raisa," jelas Jelita. 

"Caranya tidak tepat, Ma. Mulai hari ini, jangan pernah lakukan hal ini lagi, cukup satu kali ini saja," tegas Kafkha.

Kafkha membawa putrinya menaiki tangga menuju kamar, meninggalkan keberadaan Jelita yang merasa bersalah. Bunga berdiri di tengah ruang tamu, memperhatikan kepergian Kafkha dan mengalihkan pandangan kepada Jelita dengan ekspresi bingung. Bunga tidak tahu kalau ketiga wanita itu adalah calon ibu dari anak yang baru ditolongnya.

"Sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat. Kalau begitu, saya pergi dulu," pamit Bunga. 

"Tunggu! Bunga, kamu punya pacar?" tanya Jelita tanpa basa basi berniat ingin mewujudkan niat yang sempat terbesit di benaknya saat di rumah sakit.

"Kenapa, Tante?" Bunga mengarahkan pandangan pada Jelita setelah kakinya sempat melangkah beberapa langkah menuju pintu.

"Kamu mau menjadi istri Kafkha? Tante merasa kamu orang yang tepat untuk menjaga Raisa. Bukannya Tante ingin egois hanya menjadikanmu sebagai ibu bagi Raisa, tapi Tante juga berharap kamu bisa menjadi istri yang baik untuk Kafkha dan dia bisa mencintaimu juga. Tapi, sebelum itu kamu juga harus menyukainya, Tante harap kamu menyukainya. Jika kamu mau, datang malam ini ke sini," kata Jelita.

"Aku datang ke sini untuk meminta maaf karena tidak datang malam itu. Aku benar-benar lupa. Menyangkut apa yang Tante katakan, aku tidak yakin itu akan terlaksana," ucap Bunga tersenyum paksa.

Bunga melangkah mundur ke arah pintu, hingga akhirnya berjalan meninggalkan rumah itu bersama beban baru di benaknya mengenai keinginan Jelita. Perkataan Jelita terngiang-ngiang di telinganya sambil mengingat cerita dokter Danar, dokter yang menangani penyakit ibunya. Dokter itu sahabat Kafkha. Danar menceritakan tentang kekelaman hidup Kafkha setelah meninggalnya sang istri, Marissa.

'Sejak saat itu senyuman jarang keluar di bibirnya. Jikapun ada, hanya karena terpaksa. Bagi Kafkha, senyumannya sudah direnggut dan dibawa oleh mendiang istrinya. Kafkha juga sudah berjanji tidak akan pernah menikah lagi, meskipun usianya masih muda. Cintanya besar pada mendiang istrinya.'

Bunga mengingat cerita dokter Danar mengenai Kafkah sambil berjalan di tepi jalan yang dilewati oleh beberapa transportasi.

"Aku menyukainya. Tapi, jika aku menikah dan hanya menjadi penopang untuk anaknya, untuk apa? Aku tidak sebaik orang-orang di luaran sana yang mungkin bisa menjalani kehidupan dalam bayangan mendiang istrinya karena dia tampan dan kaya. Aku tidak membutuhkan itu, tapi aku membutuhkannya. Bukan uang dan ketampanan yang dibutuhkan saat seseorang bersedih, dalam kegelisahan, ataupun dalam ketakutan, tetapi dirinya. Uang dan ketampanan tidak bisa diajak untuk berkomunikasi, hanya dia yang aku butuhkan." Dalam hati Bunga berkata dengan kegundahan memenuhi pikirannya. 

Bunga memberhentikan taksi yang tampak dari jarak 20 m, tangannya melambai pelan. Taksi itu berhenti, ia memasukinya dan menyuruh sopir taksi mengantarnya sesuai alamat rumah yang disebutnya.

***

Jelita menyiapkan makan malam sendirian, pembantu rumah itu masih belum kembali dari kampungnya. Beberapa menu makanan sudah disajikan di atas meja dapur, dari berbagai jenis, dan warna. Kafkha memperhatikan kerepotan Jelita menyiapkan makan malam itu, ia melihat senyuman senang di bibir ibunya itu.

"Banyak sekali. Kita tidak akan sanggup memakan makanan sebanyak ini," kata Kafkha sambil duduk di bangkunya.

"Seseorang akan datang malam ini. Raisa sudah tidur?" tanya Jelita. 

"Sudah, Ma. Setelah makan malam, aku menidurkannya. Setelah makan aku akan ke rumah sakit, ada operasi yang harus aku lakukan," kata Kafkah sambil mengambil nasi dan meletakkannya ke piring.

"Tunggu sebentar. Malam ini kita harus membicarakan sesuatu, mengenai kamu dan masa depanmu, juga masa depan anakmu."Jelita duduk tegak dan menatap Kafkha serius sampai tangan anaknya itu melepaskan sendok nasi.

Jelita menceritakan niat yang terbesit di benaknya mengenai Bunga, calon istri dan ibu sambung yang tepat untuk mereka. 

Kedua tangan Bunga mencengkram keras, reaksinya kaget karena tidak tahu rencana sang ibu. Kafkha tersenyum miris dan tertawa ringan merasa tidak percaya dengan keputusan Jelita. Lalu, senyuman dan tawa itu luntur seketika, berganti dengan tatapan tajam menahan emosional.

"Mama tidak dengar perkataanku tadi? Aku sudah bilang kalau aku tidak ingin mengenal wanita manapun, aku tidak ingin menikah lagi," tekan Kafkha.

"Hanya sebagai ibu untuk anakmu. Kasihan Raisa, dia membutuhkan seorang ibu. Bunga sudah membantu Raisa beberapa kali, bukankah kamu juga mengatakan kalau Bunga sudah membantumu di mobil saat itu? Mama tidak menuntut kamu untuk mencintainya dan menyukainya, tapi ingat anakmu," tegas Jelita. 

Kafkha memalingkan pandangannya menjauh dari Jelita, kedua tangannya masih mencengkram erat di atas meja. 

"Pikirkan anakmu, Kafkha," kata Jelita membujuk. 

Perkataan Jelita memasuki ruang pikiran Kafkha. Ia mengakui dan membenarkan perkataan ibunya itu. Tapi, ia tidak sanggup menerima seseorang menggantikan posisi sang istri dalam hidupnya. Kafkha tidak bisa melihat wanita lain tidur disampingnya dan selalu berada di hadapannya sebagai seorang istri.

"Sekarang percayakan semuanya kepada Mama. Mama sudah memikirkannya. Mama akan kasih waktu untuk Bunga beradaptasi di sisimu dalam jangka 3 bulan. Jika dia tidak bisa, kita bisa mengakhiri segalanya dan Mama tidak akan memintamu menikah lagi," terang Jelita meyakini Kafkha. 

Jelita memiliki keyakinan kalau Bunga bisa meluluhkan hati Kafkha melalui kepribadian baiknya. Meski baru bertemu beberapa kali bersama Bunga, Jelita yakin wanita itu orang yang baik. 

"Secara tidak langsung, perkataan Mama bertujuan untuk memasukkan wanita itu dalam hidupku juga. Baiklah! Aku tidak ingin debat berulang kali mengenai ini. Aku kasih Mama kesempatan. Tapi, jika Raisa kenapa-napa seperti hari ini, jangan salahkan aku akan bertindak seperti apa yang aku inginkan. Satu lagi, aku tidak yakin dia bisa menggantikan posisi Marissa di hatiku. Sekeras apa pun kalian melakukannya, aku tidak yakin itu berhasil," balas Kafkha.

Usai Kafkha menyetujui keputusan itu, bersambut bel rumah terdengar berbunyi. Jelita tersenyum senang mendengar keputusan anaknya itu dan bertambah senang mendengar suara bel. Hatinya berkata, orang yang sudah memencet bel tersebut adalah Bunga. Wanita paruh baya itu bergegas berjalan keluar dari dapur menuju pintu rumah. Kedua tangannya membuka pintu itu selebar mungkin untuk orang yang berada di balik pintu tersebut. Dan, orang itu benar Bunga.

"Bunga. Ternyata benar itu kamu. Ayo masuk!" ajak Jelita sambil merangkul bahu Bunga berjalan menuju dapur. 

Bunga memperlambat langkah kaki setelah melihat duduk Kafkha menatapnya masuk ke dapur. Raut wajah dingin Kafkha membuat Bunga merasa keputusannya datang ke rumah itu adalah kesalahan karena mengusik ketenangan Kafkha.

Jelita menarik bangku di samping Kafkha,menyuruh Bunga duduk di samping anaknya itu. Lalu, ia duduk di bangkunya yang ada di hadapan mereka. Jelita menjadi juru bicara dari mereka berdua. Jelita memberikan penjelasan kepada Kafkha kalau Bunga bersedia menjadi ibu sambung Raisa dan menjadi istrinya, begitu juga sebaliknya. 

Kafkha dan Bunga hanya diam, tidak bicara satu kata pun. Beberapa kali mereka saling menoleh dan Bunga selalu melihat wajah dingin Kafkha. Mereka berdua sama-sama berpikir kalau hubungan itu tidak akan berjalan lancar. Tapi, ujungnya hanya bisa diam.

"Tidak ada di antara kalian yang menyelah perkataan Mama, kan? Kalian bisa menyanggahnya," ucap Jelita.

Tapi, Jelita berharap tidak ada satupun di antara mereka yang angkat bicara. Apalagi, menolak sarannya itu.

"Mama hanya perlu ingat dengan janji yang sudah Mama katakan," ujar Kafkha.

Kafkha berdiri, berjalan meninggalkan dapur tanpa makanan makanan di piringnya. Bunga memperhatikan kepergian Kafkha dengan perasaan bersalah telah mengusik ketenangan pria itu. Jelita meraih tangannya, mengajak Bunga makan dan menjelaskan tentang kepergian Kafkha yang pergi begitu saja karena operasi di rumah sakit. Padahal, Jelita tahu anaknya itu kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status