Savanah makin terhenyak.
Storm bersedia menikahinya?
Savanah memang cukup mengenal Storm karena pria itu adalah kakak tiri Moreno.
Tapi hanya itu saja. Mereka tidak pernah berinteraksi sebelum ini.
Masalah lainnya lagi, Storm Schaeffer tidak terkenal karena prestasinya, tapi karena wataknya yang meledak-ledak. Menyinggung seorang Storm sama dengan menawarkan diri menjadi samsak bagi pria itu.
Bahkan saat ini pun, Savanah bisa melihat bagaimana tampilan Storm sangat cocok dengan julukan yang disematkan padanya. Berandalan.
Tubuh Storm yang tinggi dan kekar ditunjang dengan wajahnya yang memetakan kekerasan hati. Dengan rambut setengah gondrong, serta kemeja lengan panjang yang bagian lengan digulung sampai siku, tapi dikenakannya tanpa dimasukkan ke dalam celana jeans-nya, Storm jauh dari kata rapi.
Apalagi saat Savanah menatap bagian depan kemejanya. Tiga kancing bagian dadanya dibiarkan terbuka begitu saja.
Tidak bisakah dia merapikan dirinya dulu sebelum datang ke tempat seperti ini?
Meski begitu, Storm yang berandal bukanlah hal yang paling meresahkan, melainkan statusnya yang pengangguran.
Dia berandal, juga pengangguran. Kehidupan macam apa yang bisa didapatkannya dari menikahi pria seperti itu?
Memikirkan itu saja sudah membuat Savanah resah bukan main.
Namun, sudut benaknya tiba-tiba mengingatkannya akan satu hal.
Dia sendiri bukanlah wanita sempurna. Dan dia baru saja merasakan sakitnya direndahkan ibunya Moreno. Lantas, kenapa kini dia malah merendahkan Storm di dalam pikirannya.
Savanah tiba-tiba merasa malu pada dirinya sendiri.
Dia sampai tak kunjung meraih uluran tangan Storm yang sedari tadi menunggu Savanah untuk menyambutnya.
“Sudah, terima saja, Sav! Daripada kau tidak jadi menikah, itu bisa bad luck lho! Berita ini akan tersiar dengan cepat. Lalu, lelaki mana lagi yang akan bersedia mempersuntingmu? Namamu sudah pasti rusak setelah ini!”
Kata-kata Milka berhasil membuat Savanah tersadar dari perenungannya dan mendelik tajam padanya.
Milka sepupunya, kenapa tiba-tiba menjadi sejahat padanya?
Semua ini demi Moreno kah? Atau demi status sosial yang bisa dia dapatkan dari menjadi bagian dari keluarga Dyazz?
Andai dia bisa bicara, Savanah sudah pasti akan membalas kata-kata jahat Milka.
Meskipun demikian, saat ini pun rasanya Savanah ingin sekali mencekik leher Milka dan melihatnya megap-megap kehabisan napas. Jika sudah begitu, masihkah dia bisa berbicara seburuk tadi?
Gejolak kemarahan itu semakin melilit sekujur tubuhnya sampain-sampai dia tak menyadari saat tubuhnya ditarik menjauh dari kerumunan keluarga Moreno.
Ternyata Storm-lah yang menariknya dan setelah cukup jauh, pria itu tiba-tiba menggenggam tangannya dan berbisik hangat padanya,
“Menikahlah denganku.
Aku akan sungguh-sungguh mengasihimu sebagai istriku. Aku juga akan mencukupkan segala kebutuhan hidupmu. Dan aku berjanji akan memastikan tidak ada satu orang pun yang berani merendahkanmu.
Menikahlah denganku, Sav.”
***
Pada akhirnya Savanah menerima Storm dan pernikahan berlangsung bersamaan dengan Moreno dan Milka juga.
Sulit untuk tidak membuat tamu terkejut akan pernikahan mereka apalagi jika pasangan yang awalnya Moreno dan Savanah, kini menjadi Moreno-Milka, lalu Storm-Savanah.
Ketika upacara pernikahan telah selesai pun Savanah masih bisa merasakan lirikan para tamu mengandung keheranan yang mendalam terhadapnya. Lalu mereka akan berbisik-bisik.
Sudah pasti dia-lah yang menjadi bahan pergunjingan.
Savanah sebenarnya tidak terlalu peduli pada semua pergunjingan itu. Toh semua itu sudah berlangsung dua tahun lamanya sejak dia kecelakaan dan menjadi sulit bicara.
Savanah sudah biasa.
Hanya saja, ketika Milka lagi-lagi bersuara, Savanah tak bisa menahan lagi gejolak kemarahan di dalam dadanya.
“Fiuuuh ... akhirnya dia mau juga menerima kakak tirimu itu, Beib. Dengan demikian, kau tidak perlu dicap sebagai penjahat hanya karena membuang wanita cacat sepertinya demi masa depanmu.”
Langkah Savanah terhenti seketika itu juga dan dia berbalik hendak menarik tatanan rambut Milka. Kata-kata Milka begitu menyakitinya hingga Savanah siap untuk menjadi tontonan orang banyak saat itu juga.
Tapi Storm yang berada di sampingnya, sigap menahan tubuh Savanah dan menuntunnya menjauh dari Milka.
“Tidak perlu dengarkan dia, Sav! Biarkan saja dia kali ini.
Ada waktunya nanti kita akan membalas mereka semua!”
Savanah menatap heran pada sepasang mata Storm yang tampak menyorot tajam. Hatinya pun bertanya-tanya, 'Kita? Membalas? Bagaimana caranya?'
Savanah masih dipenuhi keraguan dan tanda tanya besar karena beranggapan tidak memiliki apapun untuk membalas Milka dan keluarga Moreno. Namun usapan lembut pada sisi pinggangnya membuat Savanah menoleh pada Storm.
Tepat saat pandangan mereka saling beradu, Storm berbisik meyakinkannya, “Percayalah padaku, Sav. Kita akan menghempas mereka. Beri aku sedikit waktu lalu kita akan membalas setiap penghinaan mereka padamu!”
“Sekolah yang baik, ya!” Storm memeluk satu per satu anak-anak ketika mengantarkan mereka ke gerbang sekolah.“Dah, Daddy, dah Mommy! Dah Aspen! See you all!”Sky dan River menyahut ceria karena hari ini mereka diantar sekolah oleh daddy dan mommy bersama-sama. Rasanya senang sekali.Setelah kedua bocah itu tak terlihat lagi dari depan gerbang sekolah, Storm pun merangkul Savanah menuju mobil.Aspen berada di genggaman tangan Savanah.“Kita akan ke rumah baru. Oliver menunggu di sana.”Savanah mengangguk lalu tersenyum.Dengan mengikuti share loc dari Oliver, Storm melajukan mobilnya.Mereka berhenti di depan sebuah perumahan mewah yang memiliki keamanan tingkat tinggi di sana.Security terlihat berjaga di depan pos perumahan.Dan Oliver sudah menunggu di sana dengan mobilnya.“Ini bos saya,” kata Oliver pada security di sana.Mereka mengangguk lalu mempersilakan mobil Storm lewat.Savanah menatap kagum pada tempat itu. Setiap rumah yang mereka lewati terdapat beberapa lantai dan sang
Savanah memeluk Storm dari belakang, mengalungkan lengannya di leher Storm, lalu berbisik lembut, “Redakan amarahmu. Langit sudah gelap, tidak baik menahan marah sampai esok hari.Kita akan membekali Sky, River, dan Aspen dengan pembelajaran bahwa jika ayahmu mendekati mereka lagi, lalu mengajak pergi bersama, mereka harus pastikan bahwa kita berdua ikut, atau setidaknya diberitahu.”Selesai berbisik, Savanah menciumi tengkuk pria itu agar amarahnya sedikit teralihkan.Benar saja, Storm mulai meletakkan ponselnya lalu memanjangkan lengannya ke arah belakang dan merangkul leher Savanah. Dia lalu membawa sang istri ke depan dan kini posisi Savanah yang didekapnya dari belakang.Seakan hasrat sudah mengambil alih, kini giliran Storm yang menciumi tengkuk Savanah setelah dia menyampirkan rambut panjang Savanah ke bahu kiri sang istri.Leher putih, mulus, dan jenjang itu begitu menggoda, membuat kemarahannya pun sedikit mereda digantikan hasrat yang mengembang apalagi rasa frustrasinya tad
Savanah menatap Braxton yang menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali. Pria itu malah terkesan menikmati kekesalan dan kekhawatiran Savanah.Tidak tahukah dia bahwa Savanah begitu khawatir pada River sampai-sampai dia tidak nafsu makan, bahkan tidak mengingat bagaimana Sky dan Aspen makan malam tadi. Apakah mereka makan dengan benar, dengan cukup? Atau malah mereka hanya memainkan makanan mereka?Andai bisa, Savanah rasanya ingin meninggalkan Braxton tanpa kata sama sekali dan langsung membawa anak-anak dan keluarganya masuk. Biarkan saja dia merasa tidak dianggap.Tapi ada ayah dan ibunya yang turut mendelik tajam pada Braxton. Hanya saja pria itu seakan tidak menganggap kekesalan mereka semua dengan serius. Braxton malah membiarkan wajahnya terlihat senang seperti tak ada rasa bersalah pada Savanah dan yang lainnya.Dia menunjuk sekotak hadiah besar yang dipegang River.“Kakek kenapa mengajak River jalan-jalan tidak izin dulu dengan mommy dan daddy? Asal kakek tahu, Mommy dan Daddy
Storm marah. Dia pun mengajak Savanah dan anak-anak untuk segera pulang. Perjalanan yang tadinya terasa menyenangkan dengan berjalan santai bersama, kini terasa terlalu panjang seakan tak berujung.“Mommy, kenapa dengan River? Bukankah kata Mommy, kakek Braxton adalah ayahnya daddy? Mungkin saja Kakek Braxton sedang bermain bersama River.”Celotehan Sky membuat Storm terperangah. Savanah pun ikut kehilangan kata-katanya.Mereka berpandangan dan merasa sulit untuk menjelaskan pada Sky.Sudah jelas Savanah tidak ingin menjelekkan Braxton di depan anak-anak mereka. Biar bagaimanapun Braxton adalah ayahnya Storm. Tidak baik jika dia menjelekkannya di hadapan anak-anaknya.Dan sekalipun Storm tidak peduli jika sifat asli ayahnya dikuak di depan anak-anaknya, dia tetap tidak menyalahkan Savanah. Storm menghormati keputusan Savanah untuk tetap menjaga image ayahnya.Storm juga mengerti jika dari sudut pandang anak-anak, mereka masih sep
“Hei!” seru Braxton menyapa Sky dengan senyum ramah.Pria itu mengambilkan bola yang menggelinding lalu memberikannya pada Sky.“Kakek? Terima kasih.” Sky mengambil bola yang disodorkan.Braxton pun mengangguk senang dengan mata berbinar-binar.Sky lalu berbalik hendak kembali, tapi dia berhenti sejenak lalu berbalik lgi menghadap Braxton.“Kakek ... ayahnya daddyku, bukan?” tanyanya dengan polos.Hanya pertanyaan sederhana tapi Braxton terharu. Ternyata Storm masih menceritakan jati dirinya dengan benar pada anak-anaknya.“Iya, aku kakekmu.”Sky lalu tersenyum padanya dan merentangkan tangan. Braxton terkesiap melihatnya dan segera membungkukkan tubuh agar bisa dipeluk Sky.“Aku senang karena masih memiliki kakek. Jadi sekarang, kakekku ada dua. Kakek Zach dan kakek.”Braxton begitu tersentuh sampai-sampai air matanya menetes. Hatinya kembali berat ketika Sky melepaskan pelukan mereka.“Dah, Kakek. Aku mau bermain lagi.” Sky melambaikan tangan dan berlari pergi.Bergeming di tempatny
Siang yang santai, Storm mengajak anak-anak dan Savanah untuk berjalan-jalan santai sedikit jauh dari rumah. Mereka melwati pohon-pohon dengan daun yang sudah berubah beberapa warna, yang juga berguguran di jalanan.Warna kuning, merah, lalu coklat, menjadi dominan di pepohonan, menggantikan daun hijau yang menghias musim panas yang lalu.Suhu udara juga turun cukup banyak di musim gugur ini sehingga berjalan di siang hari adalah waktu yang tepat. Lagipula, siang hari menjadi lebih pendek, dan langit menggelap di sore hari.Storm merangkul Savanah yang perutnya kini sudah cukup besar. Jaket dan syal melingkupi tubuh Savanah yang kini seahri-hari mengenakan dress longgar demi kenyamanan perut besarnya. Storm sendiri hanya mengenakan sweater lengan panjang yang tidak terlalu tebal serta celana jeansnya yang berwarna biru muda, kesukaannya.Sky berjalan di depan mereka mendorong sebuah stroller yang akan ditempati Aspen jika bocah itu lelah.“Di ujung sana ada taman bermain, Daddy. Boleh