Semakin lama lelaki itu mencengkram lehernya, semakin sakit pula Valerie rasakan di sana. Kedua tangan berusaha menggapi pergelangan Jupiter, berharap dia bisa lepas dari tangan lelaki itu. Bola mata yang membulat sempurna pun mulai terbalik sehingga hanya putihnya saja yang terlihat. Jupiter sudah seperti manusia yang kesetanan.
Ketika akhirnya Valerie berhasil memukul pelan pergelangan Jupiter, lelaki itu seperti tersadar bahwa dia hampir saja menjadi pembunuh. Dia lepaskan cengkramannya dengan kesal, membiarkan tubuh Valerie jatuh ke atas lantai.
“Aku bisa membunuhmu kapan saja jika aku ingin. Tapi aku akan rugi jika membunuhmu secepat itu,” kata Jupiter. “Kuperingatkan agar jangan kau coba memancing amarahku jika kau masih menyayangi nyawamu!” ancamnya, pelan tapi cukup tegas di telinga.
Gadis yang terkapar di atas lantai masih berusaha mengumpulkan udara untuk mengisi paru-parunya. Valerie terbatuk memegangi leher yang terasa sangat sakit. Beberapa saat dia harus menahan diri untuk tidak menjawab setiap perkataan Jupiter.
Manusia seperti apa laki-laki ini sebenarnya? Dia berkata rugi jika membunuh dengan cepat, apakah mungkin dia berpikir untuk menyiksa Valerie selamanya? Apa pun niat lelaki ini, Valerie tidak akan membiarkan dirinya mati dalam keadaan yang sia-sia.
“Kau merasa takut jika Rainer membencimu setelah membunuhku!” sahut Valerie di antara napas yang tersengal.
“Diam!” sentak Jupiter. “Aku tidak akan sungkan membunuhmu detik ini juga, jika kau berani membuka mulut itu sekali lagi!”
Dua telapak lelaki itu saling meremas untuk menahan kemarahannya yang kembali memicu. Jupiter meninggalkan Valerie di ruang kerjanya sebelum dia benar-benar kehilangan kendali.
***
“Reiner,” panggil Jupiter, ketika memasuki kamar putranya.
Anak berusia delapan tahun itu tengah memainkan rubik di tangannya. Melirik sejenak, Rainer kembali fokus pada cube berbagai warna itu.
Beberapa saat dia pandangi wajah putranya yang terlihat sangat fokus. Kembali Jupiter teringat dengan perkataan Valerie yang mengatakan Rainer merindukan kasih sayang seorang ibu. Tidak dia pungkiri bahwa pernah di suatu malam Rainer berkata dia sangat ingin melihat wajah ibunya.
Kenapa Rainer masih merindukan ibu yang meninggalkan mereka? Belum cukup kah semua perkataan orang rumah yang menyebutkan Rainer anak yang tidak diharapkan oleh Megan? Hati Jupiter kesal, marah setiap kali mengingat perbuatan mantan istrinya.
“Ayah ingin mengatakan sesuatu?” kata Rainer, setelah sekian detik ayahnya hanya diam.
Lelaki itu seperti dipaksa kembali pada kenyataan dan menatap wajah putranya dengan sendu. Jupiter duduk di tepi ranjang sembari mencari kalimat yang tepat untuk bicara.
“Kau masih ingin melihat wajah ibumu?” tanya Jupiter, mengumpulkan seluruh keberaniannya.
Kembali Rainer menghentikan gerakan cube di tangannya dan menatap wajah Jupiter cukup serius. “Apakah itu penting sekarang? Ayah pernah berkata kita tidak membutuhkan ibu,” sahutnya.
Hati Jupiter terasa seperti dicabik oleh ribuan pisau, dadanya diremah setiap kali mendengar jawaban dari putra sematawayangnya. Rainer mungkin terdengar tegar, tapi Jupiter bisa merasakan kesuraman di dalam nada putranya.
“Ya, kita tidak membutuhkan ibu.” Perlahan, lelaki bertubuh tinggi itu beranjak dari sisi ranjang. Tak tahan dia untuk terus mendoktrin pikiran putranya.
Ketika Jupiter tengah memutar handle pintu, Rainer memanggilnya.
“Ayah, aku tidak mendengar apa pun yang dibicarakan orang di mansion ini. Aku menutup telingaku untuk tuli.”
Mendengarnya, dada Jupiter kembali bergemuruh merasakah kemarahan yang tak bisa dikendalikan. Kalimat yang dikatakan oleh putranya seperti sinyal untuk memberitahu bahwa dia sudah tahu ibunya ada di dalam mansion.
Harus kah Jupiter menerima tawaran dari perempuan itu? Perlukah dia memberi mantan istrinya uang, demi Rainer mendapatkan kasih sayang? Itu sangat tidak adil. Rainer tidak sepatutnya mendapatkan kasih sayang semu dari seorang ibu yang hanya menginginkan uang! Tapi, dengan membiarkan putranya menjalani hari tanpa kasih sayang seorang ibu, Jupiter tahu akan sangat menyiksa untuk Rainer.
Lelaki yang bersandar di pintu kamar putranya semakin tertekan membayangkan Rainer mungkin akan menjadi lelaki yang keras dan kejam, sama seperti dirinya yang tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu.
****
‘Meski aku marah melihat perselingmu, akan kututup mataku dan melupakan perbuatanmu kali ini, Megan. Demi Rainer, aku akan berpura bodoh dan buta.’‘Dan kau pikir aku peduli tentang itu? Aku ingin bercerai! Dan kukatakan, bahwa aku juga tidak peduli pada putramu yang bodoh itu!’Pertengkaran terkahir yang Jupiter ingat adalah, Megan berkata dia tidak peduli pada Rainer. Wanita itu bahkan menghina, mengatakan putranya seorang autis. Jupiter meremas jemari setiap kali mengingat Megan meninggalkan rumahnya dengan membawa hampir setengah dari kekayaan yang dia miliki. Wanita berhati iblis itu benar-benar menghilang bagai ditelan bumi. Dan ketika Jupiter sudah berhasil melewati semua kesulitannya, siapa sangka dia akan menemukan wanita itu lagi? Dan masih tetap sebagai wanita yang tamak akan uang.Brak!Jupiter memukul meja kerjanya, untuk melepaskan amarah yang tertahan.“Bawa Megan padaku.”Pria yang be
Meladeni Patricia adalah hal yang sia-sia. Valerie hanya akan mendapat masalah jika menjawab perkataan wanita kejam itu. Dia menghela napas berat sebelum melanjutkan langkahnya lagi.“Maaf, aku punya urusan lain.”Valerie mempercepat langkah untuk meninggalkan wanita itu. Valerie gemetar, dia sadari itu. Sebab itu dia bergegas meninggalkan Patricia yang kini menggerutu di belakang sana. Valerie belum siap untuk membalas perkataan wanita kejam yang semakin menjadi-jadi.Di depan pintu kamar Rainer, dia mempersiapkan diri akan mendengar kalimat apa nantinya dari anak itu. Mungkin Rainer akan meledak-ledak seperti kemarin? Tapi untuk mundur bukan lagi pilihan, sebab Valerie sendiri lah yang mengambil keputusan menjadi ibu bagi Rainer.“Selamat pagi,” sapa Valerie, membuat dirinya seramah mungkin. “Kau sedang bermain?” lanjutnya, memasuki kamar Rainer dengan seulas senyum di bibirnya.Anak kecil yang sedang memainkan
Membiarkan Patricia terus mengatakan keburukan Megan, tentunya akan membuat Rainer semakin membenci ibu kandungnya sendiri. Dan sebagai orang yang mengambil peran menjadi ibu anak ini, Valerie akan mendapat kesulitan jika hubungannya dan Rainer menjadi semakin runyam.Berpikir untuk mundur dan menarik ucapannya? Tidak! Valerie tidak akan melakukannya, demi pengobatan Nicky ke depan nanti. Bahkan jika dia harus menjadi musuh bagi semua orang di rumah ini, gadis itu akan menunjukkan bahwa dia bisa lebih baik daripada Megan yang mereka kenal dulu. Tak akan dia biarkan hidupnya berakhir sia-sia di tangan Jupiter, menanggung semua tuduhan yang bukan kesalahannya.Lantas, tanpa peduli dengan tatapan tajam dari Rainer, Valerie memberanikan diri berbicara.“Rainer, mungkin aku buruk di mata semua orang. Aku tahu ada yang salah dengan masa lalu kita, tapi akan kubuktikan bahwa aku adalah ibu yang baik,” ucapnya yakin.Melihat Rainer yang bersifat menge
Keteguhan hati Valerie sudah bulat untuk mendapatkan kepercayaan dari Rainer. Sejak tadi malam dia terus berpikir bagaimana akan membujuk anak itu, sehingga Rainer menjadi baik dan bisa menerimanya. Valerie sampai tidak tidur satu malaman oleh pikiran yang terus mencari ide sehingga ketika di subuh harinya, akhirnya dia mendapatkan gagasan baik untuk mendekati anak itu. Ya, Valerie sudah mengatur rencananya dan akan dia tunjukkan pada Jupiter bahwa dia lah yang akan memenangkan hati Rainer.Pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan bersegera menuju kamar Rainer. Dia bangunkan anak itu tanpa mempedulikan jika Rainer yang mengomel atau bahkan melemparnya lagi.“Rainer, bangun. Ini sudah siang dan kau harus berangkat ke sekolah,” kata Valerie, menarik selimut yang menutupi tubuh anak itu.Rainer mendengarnya dan mendecih kesal, lalu bergumam kesal. “Jangan mengusikku jika kau tak ingin kuusir.”Valerie menahan hatinya mendengar perk
Kelas sangat riuh oleh suara anak-anak yang baru saja memasuki ruangan. Valerie berdiri di balik jendela kaca untuk mengawasi putranya yang duduk sendiri di sebuah meja. Tak satu pun anak yang datang ke tempatnya, bahkan seorang anak lelaki lainnya memilih duduk di meja yang sudah diduduki dua anak lain. Terdengar kebisingan dari anak yang bangkunya direbut paksa oleh si lelaki bertubuh gendut. “Ini mejaku, kau tidak boleh merebutnya begitu saja,” kata anak perempuan yang mengenakan kipang rambut berwarna hijau. “Tapi aku ingin duduk di sini. Kau bisa pergi jika tidak senang.” Si gendut mengotot dan mendorong anak perempuan, membuatnya menjerit. Guru wanita yang baru saja masuk datang melerai kebisingan itu, memberi pengertian pada si anak gendut. “Jean, kau tidak boleh mendorong anak perempuan, oke? Berikan kursi milik Lalita, dan pindah lah ke mejamu,” kata si guru wanita berkaca mata bulat itu. Si gendut yang dipanggil Jean, segera menggele
"Kau ... kau ibu anak itu?" Si wanita bertubuh gempal bertanya ragu. "Bagaimana bisa? Jangan bercanda, Nona, kau terlihat seperti seseorang yang belum memiliki anak." Sindirnya lagi, menatap Valerie dari atas sampai ke bawah."Apakah aku menyuruhmu untuk mengomentari tubuhku? Jelaskan kenapa kau sangat tega menyakiti hati seorang anak kecil!" kata Valerie tegas.Wanita si tubuh gempal terlihat gugup beberapa saat, tapi kemudian dia mengangkat wajahnya dengan berani. Matanya menatap Valerie dengan sorot menghina sebelum kalimat pedas itu keluar dari mulutnya."Oh, jadi kau ibu anak itu? Ah ... baik lah, karena kau sudah ada di sini, maka aku akan mengatakan padamu bahwa anakmu sangat tidak terdidik! Dia tidak pantas berada di kelas ini, dan membuat semua anak takut padanya! Bawa lah anakmu pergi dari sini agar tidak menyakiti anak lainnya!"Tajam. Kalimat itu sudah di luar batas, membuat Valerie tidak bisa mengendalikan kemarahan. Dia mem
“Kau tidak harus menjawabnya,” ucap anak itu kemudian. Nada kecewa menyelimuti kalimat yang terucapkan sangat pelan. Rainer menginginkan Valerie terus di sisinya, tapi tidak berani mengutarakan apa yang ada di dalam hati. Dia takut kecewa jika menaruh harapan pada wanita yang dia yakini adalah ibunya.Sebelum Valerie menemukan jawaban yang tepat untuk Rainer, mereka didatangi Kepala Sekolah yang sudah berusia sepuh. Pria berpakaian rapi itu meminta mereka ikut ke kantor untuk menyelesaikan masalah yang tadi sempat heboh. Di sana, terdapat wali murid juga sedang duduk di atas sofa menunggu kedatangan mereka. Si wanita bertubuh gempal mencibirkan bibir melihat Valerie dan Rainer duduk di depannya.“Maaf, Nyonya, tolong meminta maaf lah pada Rainer, seperti yang dikatakan Nyonya Lemanuel,” katanya Kepala Sekolah itu kemudian.Tentu saja si wanita gempal tidak rela. Menurutnya sangat tidak wajah seorang dewasa harus meminta maaf pada seorang
“Lepaskan, Perempuan Gila! Dasar keluarga gila!” teriak si wanita yang rambutnya masih Valerie jambak, membuat gadis itu semakin geram mendengarnya.Valerie menarik rambut itu lebih keras lagi sehingga si wanita bertubuh gempal terjatuh di atas lantai. Valerie benar-benar menggila, dia sangat tidak bisa menerima hinaan yang keluar dari mulut wanita itu. Wanita si tubuh gempal memegangi pinggangnya, sakit oleh benturan yang baru saja dia rasakan.“Apa kau memang gila?! Bagaimana jika kepalaku yang terbentur ke atas lantai?” Si wanita berteriak lagi.Hingga detik ini Valerie belum melihat kedatangan Jupiter di ambang pintu. Dadanya naik turun menatap si wanita di depannya, dan gadis itu membalas dengan nada pelan yang anggun.“Mungkin memang lebih bagus jika aku membenturkan kepalamu ke atas lantai, agar bisa kulihat apakah kau memiliki otak atau tidal.” Dia benar-benar geram melihatnya. Lalu, Valerie mengarahkan matanya