Home / Romansa / Istri Buat Om Duda / Bab 5 Kafe yang Sama, Hari yang Berbeda

Share

Bab 5 Kafe yang Sama, Hari yang Berbeda

last update Huling Na-update: 2024-06-13 01:38:42

Musim hujan di Jakarta selalu membuat jalanan macet luar biasa. Lintang menggerutu di balik kemudi, melirik jam di dashboard mobilnya. 10:05. Ia sudah terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan.

"Sial," gumamnya, mengirim pesan cepat ke Arya.

"Lintang: Macet parah. Mungkin telat 15-20 menit. Maaf! 😖"

Balasan datang hampir seketika.

"Arya: Tidak apa-apa. Hati-hati menyetirnya. Aku dan Kayla menunggu di kafe."

Lintang tersenyum. Dua minggu sejak 'makan malam keluarga' pertama mereka, dan entah bagaimana, Arya dan Kayla sudah menjadi bagian rutin dari hidupnya. Setiap Selasa dan Kamis, mereka bertemu di kafe yang sama. Kadang hanya Lintang dan Arya, kadang bertiga dengan Kayla.

20 menit kemudian, Lintang akhirnya tiba di kafe. Rambutnya sedikit lembap karena hujan, blazernya ia lampirkan di lengan. Matanya langsung mencari sosok familiar di sudut kafe.

Di sana, di meja favorit mereka dekat jendela, duduk Arya dan Kayla. Arya sedang membantu Kayla dengan PR matematikanya, sementara gadis kecil itu mengerucutkan bibir dengan pensil tergenggam erat.

"Maaf terlambat," Lintang menghampiri mereka. "Macetnya gila."

"Tante Lintang!" Kayla melompat dari kursinya, memeluk pinggang Lintang erat. "Tante bau hujan!"

Lintang tertawa, mengacak rambut Kayla. "Iya dong, tadi Tante kehujanan sedikit."

Arya berdiri, matanya menyapu Lintang dari atas ke bawah dengan tatapan khawatir. "Kamu tidak apa-apa? Tidak masuk angin?"

"Tenang, aku baik-baik saja," Lintang meyakinkan, tapi hatinya menghangat melihat perhatian Arya. "Jadi, apa yang sedang kalian kerjakan?"

"PR matematika," Kayla cemberut. "Susah, Tante!"

"Coba Tante lihat," Lintang duduk, mendekatkan kertas PR Kayla. Soal perkalian dan pembagian dasar. "Oh, ini gampang kok. Mau Tante ajari trik?"

Mata Kayla berbinar. "Mau!"

Selama setengah jam berikutnya, Lintang dengan sabar mengajari Kayla. Arya memperhatikan mereka, senyum lembut tersungging di bibirnya. Sesekali, mata mereka bertemu, dan Lintang merasa jantungnya berdebar lebih cepat.

"Nah, selesai!" Kayla berseru gembira, memamerkan kertas PR-nya yang penuh dengan coretan dan lingkaran.

"Pintar!" Lintang mengacungkan jempol. "Nanti kalau dapat nilai bagus, kita rayakan ya."

"Es krim?" Kayla bertanya penuh harap.

"Tentu," Arya menyela, mengedipkan mata pada Lintang. "Tapi sekarang, bagaimana kalau kita pesan makanan? Tante Lintang pasti lapar setelah mengajar matematika."

Mereka memesan sandwich dan jus untuk Kayla, kopi dan pastry untuk orang dewasa. Selama makan, Kayla berceloteh tentang sekolahnya, tentang Lia yang sekarang jadi temannya ("Dia minta maaf sudah bilang aku aneh, Pa!"), dan tentang pertunjukan seni bulan depan di mana ia akan menari.

"Tante Lintang harus datang!" Kayla berseru.

Lintang tersedak kopinya. Ia melirik Arya, yang menatapnya dengan alis terangkat, seolah menantang.

"Umm, kita lihat nanti ya, sayang," Lintang menjawab ragu. "Tante kan sibuk..."

"Tapi kamu datang ke kafe ini dua kali seminggu," Arya menyela lembut. "Kurasa kamu bisa meluangkan satu malam untuk Kayla, kan?"

Lintang terdiam. Ya, kenapa ia ragu? Bukankah minggu-minggu belakangan ini ia memang meluangkan waktu untuk mereka? Tapi ini berbeda. Menonton pertunjukan Kayla... itu terasa seperti melangkah ke level yang lebih dalam. Lebih... keluarga.

"Tentu, Kayla," akhirnya Lintang menjawab. "Tante pasti datang."

Senyum lebar Kayla membuatnya lupa akan keraguannya.

Setelah makan, Kayla sibuk dengan buku gambarnya. Lintang dan Arya berbicara pelan, membahas pekerjaan dan hal-hal ringan lainnya. Tapi ada sesuatu yang mengganggu Lintang.

"Arya," ia memulai ragu. "Apa tidak apa-apa? Maksudku... aku dan Kayla... aku tidak mau dia bingung."

Arya menatapnya lama. "Maksudmu, kau takut dia menganggap mu sebagai... pengganti ibunya?"

Lintang mengangguk, tenggorokannya terasa kering.

Arya menghela nafas. "Lintang, aku sudah memikirkan ini. Hubungan kita memang... rumit. Tapi aku tidak pernah berbohong pada Kayla. Dia tahu kau temanku, teman spesial. Dan dia menyukaimu apa adanya."

"Tapi bagaimana kalau suatu hari..." Lintang tidak menyelesaikan kalimatnya. Bagaimana kalau suatu hari mereka putus? Bagaimana kalau Kayla terlanjur terikat padanya?

Seolah membaca pikirannya, Arya mengulurkan tangan, menggenggam tangan Lintang di atas meja. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku tahu, setiap momen yang Kayla habiskan denganmu adalah momen berharga. Kau memberinya perhatian, kasih sayang. Itu tidak pernah salah."

Lintang menatap tangan mereka yang bertautan. Tangan Arya besar dan kasar, penuh garis-garis kehidupan. Tangannya sendiri lebih kecil, lembut tapi dengan kapalan kecil di jari telunjuk dan ibu jari—hasil dari jam-jam mengetik.

"Oke," akhirnya Lintang mengangguk. "Aku akan ada di baris depan saat pertunjukan Kayla."

Senyum Arya melebar, dan untuk sesaat, Lintang lupa cara bernafas.

"Ini dia, pesanan yang benar!" barista rambut hijau datang, meletakkan nampan dengan latte dingin dan cheesecake. "Sekali lagi maaf, ya. Ini ada tambahan croissant sebagai permintaan maaf."

"Terima kasih," Lintang tersenyum. Mungkin, pikirnya, kesalahan kecil seperti pesanan tertukar tidak selalu buruk. Terkadang, hal-hal kecil yang tidak direncanakan bisa membawa pada sesuatu yang luar biasa.

Seperti saat ini. Di kafe yang sama tempat mereka pertama bertemu, di hari yang berbeda, dengan perasaan yang terus berkembang. Lintang tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi saat ia melihat Arya membantu Kayla mewarnai, ia sadar. Apa pun yang terjadi, saat-saat seperti ini, saat-saat kecil penuh kehangatan, akan selalu ia hargai.

Dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar, jauh lebih indah, dari yang pernah ia bayangkan.

(◕‿◕)

Waktu berlalu dengan cepat di kafe itu. Sebelum Lintang sadari, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11:30. Ia tersentak.

"Astaga, aku harus kembali ke kantor!" Lintang buru-buru membereskan barangnya. "Ada rapat strategi jam 12."

"Rapat apa?" tanya Arya, membantu Kayla membereskan alat gambarnya.

"Strategi marketing untuk kuartal depan," Lintang menjelaskan sambil mengenakan blazernya. "Sebagai manajer baru, mereka ingin aku yang memimpin."

Arya mengangguk paham. "Kau pasti gugup."

"Sedikit," Lintang mengakui. "Tapi lebih banyak bersemangat. Aku punya banyak ide untuk revitalisasi brand."

"Tante Lintang pasti bisa!" Kayla berseru, mengacungkan kedua jempolnya. "Tante kan pintar, seperti Papa!"

Lintang tertegun. Ia menatap Kayla, lalu Arya yang tersenyum bangga pada putrinya. Rasa hangat menyebar di dadanya. Dukungan sederhana dari gadis kecil ini entah mengapa terasa lebih berarti daripada pujian dari para eksekutif.

"Terima kasih, sayang," Lintang berlutut, memeluk Kayla. "Doanya ya."

"Mau ku antar ke kantor?" tawar Arya. "Mobilku di parkiran depan."

Lintang menggeleng. "Tidak usah, aku bawa mobil. Tapi terima kasih."

Mereka berjalan keluar kafe bersama. Di trotoar, Lintang berhenti dan berbalik menghadap Arya dan Kayla. Entah mengapa, ia merasa berat berpisah, meski hanya untuk beberapa jam.

"Nah," Arya memulai, satu tangan di bahu Kayla, "selamat berjuang di rapat. Tunjukkan pada mereka kenapa kau layak jadi manajer termuda."

"Akan ku usahakan," Lintang tersenyum. Ia sudah akan berbalik saat Kayla menarik tangannya.

"Tante," gadis kecil itu berkata serius, "kalau rapatnya sukses, nanti kita rayakan lagi ya. Tapi kali ini Tante yang masak di rumah kami. Tante bisa masak kan?"

Lintang tertawa kecil, teringat malam beberapa hari lalu saat ia datang ke rumah Arya membawa bahan-bahan untuk membuat pasta. Malam yang diisi dengan tawa Kayla saat mencoba memotong tomat, celotehan Arya tentang klien-kliennya yang unik, dan perasaan hangat yang menyeruak di dada Lintang saat ia menyadari betapa nyamannya mereka bertiga bersama.

"Bisa dong," Lintang mengedipkan mata. "Pasta lagi?"

"Jangan!" Kayla mengerucutkan bibir. "Aku mau yang lain. Papa, aku mau apa ya?"

Arya tampak berpikir sejenak, matanya menatap Lintang dengan senyum jahil. "Hmm, bagaimana kalau nasi goreng? Tante Lintang pernah cerita dia bisa buat nasi goreng enak."

Lintang tersipu. Itu cerita yang ia bagi saat mereka makan siang berdua minggu lalu, saat Kayla di sekolah. Ia tidak menyangka Arya masih mengingatnya.

"Oke, nasi goreng!" Kayla berseru gembira. "Tapi Papa yang goreng telurnya ya. Papa jago bikin telur mata sapi!"

Melihat interaksi ayah-anak ini, Lintang merasa sesuatu dalam dirinya bergeser. Sebuah dinding yang tidak ia sadari ada, perlahan runtuh. Dinding yang ia bangun untuk melindungi diri dari emosi, dari keterlibatan yang terlalu dalam. Dinding yang memberinya fokus pada karir, tapi juga membuatnya kesepian.

"Baiklah," Lintang berkata lembut. "Kita buat kesepakatan. Kalau rapat siang ini sukses, aku akan buat nasi goreng terenak yang pernah kalian makan. Dan Arya, kau tanggung jawab atas telur mata sapinya."

"Deal!" Kayla menjabat tangan Lintang dengan semangat, membuat kedua orang dewasa tertawa.

"Tante Lintang," Kayla berkata lagi, matanya berbinar, "aku senang kita bisa main lagi. Aku suka main sama Tante."

Kata-kata polos itu menghantam Lintang dengan kekuatan yang tak terduga. Ia berlutut, memeluk Kayla erat. "Tante juga suka main sama kamu, Kayla," bisiknya, mati-matian menahan air mata.

Saat Lintang berdiri, ia melihat Arya menatapnya dengan tatapan yang membuat napasnya tercekat. Bukan kasihan atau simpati, tapi pengertian. Seolah ia tahu betapa kata-kata Kayla telah mengguncang Lintang sampai ke inti.

"Hati-hati di jalan," Arya berkata pelan, tangannya menyentuh siku Lintang sekilas. "Kirim pesan kalau sudah sampai kantor, ya."

Lintang hanya bisa mengangguk. Ia berbalik dan berjalan cepat ke arah mobilnya, detak jantungnya masih tidak karuan.

Di dalam mobil, Lintang bersandar pada setir, memejamkan mata. Apa yang terjadi padanya? Sejak kapan ia, Lintang si wanita karir ambisius, jadi begitu terikat pada seorang duda dan putrinya?

Tapi saat ia membuka mata dan melihat bungkusan croissant di jok penumpang, Lintang sadar bahwa mungkin, inilah yang selama ini ia butuhkan. Bukan hanya kesuksesan karir, tapi juga kehangatan keluarga. Kebahagiaan sederhana dari bermain dengan seorang anak, memasak bersama, dan tatapan lembut seorang pria yang mulai ia percayai.

Lintang menyalakan mesin mobil, tekad baru membara dalam dirinya. Ia akan memenangkan rapat ini. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk dua orang yang menunggunya dengan janji nasi goreng dan telur mata sapi.

Karena di kafe yang sama hari ini, Lintang menyadari sesuatu. Bahwa kadang-kadang, kebahagiaan datang dalam bentuk yang tidak terduga. Dalam bentuk seorang ayah tunggal yang cerdas dan lembut, dan seorang gadis kecil yang cerianya menular.

Dan mungkin, hanya mungkin, inilah awal dari kisah cinta yang tidak pernah ia bayangkan akan ia miliki. Kisah yang dimulai dengan pesanan kopi yang tertukar di kafe yang sama, tapi di hari yang sangat berbeda.

(◕‿◕)

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri Buat Om Duda   Bab 56

    Sementara karir Lintang melambung tinggi, Arya mulai merasakan keinginan untuk memiliki tantangan baru dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun bekerja di perusahaan konsultan, ia merasa sudah waktunya untuk mencoba sesuatu yang berbeda.Suatu malam, saat anak-anak sudah tidur, Arya membuka pembicaraan dengan Lintang."Sayang," ujarnya, "aku sedang memikirkan sesuatu."Lintang menoleh, penasaran. "Apa itu, Ar?""Aku... aku ingin mencoba memulai bisnis kecil sendiri," Arya mengungkapkan keinginannya.Lintang tersenyum, "Itu ide yang bagus! Bisnis apa yang kamu pikirkan?"Arya menghela napas, "Aku ingin membuka toko buku kecil, dengan kafe di dalamnya. Tempat dimana orang bisa membaca sambil menikmati kopi.""Wah, itu terdengar menarik!" Lintang berseru antusias. "Tapi, apa kamu yakin ingin meninggalkan pekerjaanmu yang sekarang?"Arya mengangguk, "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Dengan posisimu sekarang, aku rasa ini saat yang tepat untuk mencoba sesuatu yang baru."Lintang mengge

  • Istri Buat Om Duda   Bab 55

    Lintang menemui Pak Hendra dan menerima tawaran tersebut. Ia memulai perannya sebagai Wakil Direktur Utama dengan semangat baru.Meskipun jadwalnya menjadi lebih padat, Lintang berusaha untuk tetap menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Ia selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama dan menghadiri acara-acara penting anak-anaknya.Suatu malam, saat Lintang sedang lembur di kantor, ia mendapat video call dari keluarganya. Mereka menunjukkan makan malam yang sudah mereka siapkan."Kami tahu Mama sedang sibuk, jadi kami buatkan makan malam spesial!" seru Rizki.Lintang tersenyum lebar, merasa beruntung memiliki keluarga yang begitu pengertian.Seiring berjalannya waktu, Lintang semakin mahir mengelola waktunya. Ia bahkan mulai mengajarkan Kayla tentang manajemen waktu dan kepemimpinan, berbagi pengalamannya sebagai wanita karir.Melalui perjuangannya menghadapi krisis dan tantangan barunya sebagai Wakil Direktur Utama, Lintang membuktikan bahwa dengan dukungan keluarga dan teka

  • Istri Buat Om Duda   Bab 54

    "Lintang Menghadapi Krisis Perusahaan" Lintang terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Sudah seminggu ini perusahaan tempatnya bekerja sebagai Direktur Keuangan menghadapi krisis yang cukup serius.Arya, yang merasakan kegelisahan istrinya, membuka mata. "Ada apa, sayang?" tanyanya lembut.Lintang menghela napas panjang. "Aku khawatir tentang situasi di kantor, Ar. Kita kehilangan beberapa klien besar bulan ini, dan angka penjualan menurun drastis."Arya menggenggam tangan Lintang, memberikan dukungan tanpa kata. "Kamu pasti bisa mengatasinya. Kamu selalu punya solusi untuk setiap masalah."Lintang tersenyum lemah, "Terima kasih, Ar. Aku harap begitu."Saat sarapan, Kayla dan Rizki bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti ibu mereka."Mama kenapa?" tanya Rizki polos.Lintang berusaha tersenyum, "Tidak apa-apa, sayang. Mama hanya sedang banyak pikiran tentang pekerjaan."Kayla, yang kini sudah lebih dewasa, mengerti

  • Istri Buat Om Duda   Bab 53

    Kayla mengangguk, tersenyum hangat, "Iya, Pa. Aku bersyukur kita semua bisa bersama sekarang."Sementara itu, di meja makan, Rizki sibuk menggambar dengan crayon warna-warninya. Lintang memperhatikan dengan penuh kasih sayang."Nah, sudah selesai!" seru Rizki bangga, mengangkat hasil karyanya.Lintang melihat gambar itu - lima sosok stick figure dengan ukuran berbeda-beda, berdiri bergandengan tangan dengan senyum lebar di wajah mereka."Ini Papa," Rizki menunjuk figur tertinggi, "ini Mama," ia menunjuk figur di sebelahnya, "ini Kak Kayla," figur yang sedikit lebih pendek, "ini aku," figur terkecil, "dan ini..." Rizki terdiam sejenak."Siapa itu, sayang?" tanya Lintang lembut.Rizki tersenyum malu-malu, "Ini adik bayi. Aku ingin punya adik, Ma."Lintang terkejut mendengar ini. Ia memeluk Rizki erat, "Oh, sayang. Kita lihat nanti ya. Yang penting sekarang, kita sudah punya keluarga yang sangat bahagia."Malam itu, setelah anak-anak tidur, Arya dan Lintang berbincang di kamar mereka."K

  • Istri Buat Om Duda   Bab 52

    Pagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi kegaduhan yang menyenangkan. Hari ini adalah hari pertama Rizki, putra bungsu mereka yang berusia 6 tahun, masuk Sekolah Dasar."Rizki, ayo cepat makan sarapanmu," ujar Lintang, sambil merapikan dasi seragam putranya.Rizki, dengan mata berbinar penuh semangat, melahap roti isinya dengan cepat. "Sudah, Ma! Aku siap berangkat!"Arya tertawa melihat antusiasme putranya. "Pelan-pelan, jagoan. Kita masih punya waktu."Kayla, yang kini duduk di kelas 2 SMA, turun dari lantai atas dengan tas sekolahnya. "Wah, adikku sudah besar ya," godanya sambil mengacak rambut Rizki."Kak Kayla! Jangan mengacak rambutku," protes Rizki, tapi tetap tersenyum lebar.Lintang memandang ketiga orang yang dicintainya dengan haru. "Baiklah, ayo kita berangkat. Tidak ingin terlambat di hari pertama, kan?"Mereka semua naik ke mobil. Arya menyetir, sesekali melirik ke kursi belakang dimana Rizki duduk dengan gelisah, jemarinya memainkan tali tas barunya."Nervous, nak

  • Istri Buat Om Duda   Bab 51

    Minggu pertama Kayla di SMA berlalu dengan cepat. Setiap hari ia pulang dengan cerita baru, membuat Arya dan Lintang semakin penasaran dengan kehidupan SMA putri mereka.Saat makan malam keluarga, Kayla tiba-tiba berkata, "Pa, Ma, besok ada pertemuan orangtua murid."Arya dan Lintang saling pandang. "Oh ya? Kenapa baru memberitahu sekarang, sayang?" tanya Lintang.Kayla mengangkat bahu, "Maaf, Ma. Aku lupa. Tapi... bisakah kalian datang?""Tentu saja," jawab Arya. "Papa dan Mama akan mengatur jadwal kami."Keesokan harinya, Arya dan Lintang duduk di aula sekolah bersama orangtua murid lainnya. Mereka mendengarkan penjelasan kepala sekolah tentang kurikulum dan kegiatan sekolah.Tiba-tiba, Lintang menyenggol Arya pelan. "Lihat," bisiknya, menunjuk ke arah seorang pria yang duduk beberapa baris di depan mereka. "Bukankah itu ayah Rafi?"Arya memicingkan mata, lalu mengangguk. "Sepertinya iya."Setelah pertemuan selesai, Arya dan Lintang memutuskan untuk mendekati ayah Rafi."Permisi," s

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status