Awalnya, Lintang ragu untuk menjalin hubungan dengan Arya, mengingat status Arya sebagai duda dan jarak usia mereka terpaut 12 tahun. Namun, kebaikan hati Arya, kematangannya dalam menghadapi masalah, dan kasih sayangnya pada putrinya yang berusia 7 tahun, perlahan-lahan meluluhkan hati Lintang. Hubungan mereka tidaklah mulus. Orang tua Lintang menentang keras, menganggap Arya tidak pantas untuk putri mereka. Sementara itu, mantan istri Arya juga kembali muncul, berniat merebut hak asuh anaknya.
View MoreLintang mengetuk-ngetuk kan jarinya dengan tidak sabar di meja kafe. Matanya terus melirik jam tangan mahal pemberian orangtuanya untuk ulang tahunnya yang ke -25 tahun lalu. Sudah hampir 20 menit ia menunggu pesanannya: satu gelas latte dingin dan sepotong cheesecake blueberry, menu favoritnya setiap kali ia butuh menenangkan diri setelah rapat yang melelahkan.
"Maaf, Nona, pesanan Anda," seorang barista meletakkan nampan di mejanya. Lintang mengernyitkan dahi. Di atas nampan ada secangkir kopi hitam dan sepotong roti bakar salmon. Bukan pesanannya. "Maaf, tapi ini bukan pesanan saya," ujar Lintang, berusaha menjaga nada suaranya tetap sopan meski kekesalan mulai terasa. "Saya pesan latte dingin dan cheesecake blueberry." Barista itu terlihat bingung, lalu memeriksa struk pesanan. "Oh, astaga! Maafkan saya, sepertinya pesanan Anda tertukar. Saya akan segera mengambilkan yang benar." Tepat saat barista itu berbalik, seorang pria berusia sekitar awal 40 an menghampiri meja Lintang. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku, dasi biru tua, dan celana hitam yang tampak mahal. Rambutnya hitam dengan sedikit uban di pelipis, memberikan kesan matang dan berwibawa. "Permisi, sepertinya ini pesanan saya," ujar pria itu dengan suara bariton yang dalam. Matanya yang cokelat gelap menatap Lintang dengan senyum minta maaf. Lintang mendongak, sedikit terkejut oleh penampilan pria itu. "Oh, ya. Maaf, tadi pesanan kita tertukar." "Tidak apa-apa, kesalahan bisa terjadi," pria itu mengambil nampan dari meja Lintang. "Saya Arya, ngomong-ngomong." "Lintang," balas Lintang singkat, masih sedikit kesal dengan situasi ini. Arya tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi barista tadi kembali dengan pesanan Lintang yang benar. "Ini pesanan Anda, Nona. Sekali lagi maaf atas ketidaknyamanannya. Kami akan memberikan diskon 20% untuk pesanan Anda hari ini." Mood Lintang sedikit membaik. "Terima kasih, saya menghargai itu." Arya, yang masih berdiri di samping meja, tersenyum. "Nah, setidaknya ada hikmahnya, kan? Diskon 20% tidak buruk." Lintang, mau tidak mau, tersenyum kecil. "Ya, kurasa begitu." "Baiklah, saya tidak mau mengganggu waktu Anda lebih lama. Selamat menikmati latte dan cheesecake Anda, Lintang," Arya mengangguk sopan sebelum berbalik menuju mejanya sendiri di sudut lain kafe. Lintang menatap kepergiannya sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dari pria itu. Caranya berbicara, sikapnya yang tenang meski terjadi kesalahan... Lintang menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu. Ia punya banyak hal lain untuk dipikirkan, seperti presentasi besok pagi yang akan menentukan apakah ia akan dipromosikan menjadi manajer marketing termuda di perusahaannya. Sambil menyesap latte dinginnya, Lintang kembali fokus pada laptop dan dokumen-dokumennya. Namun, sesekali, ia mendapati dirinya melirik ke arah Arya yang sedang serius membaca sesuatu di tabletnya. Lintang tidak tahu, pertemuan singkat ini adalah awal dari perubahan besar dalam hidupnya. (◕‿◕) Satu jam berlalu dengan cepat. Lintang begitu tenggelam dalam pekerjaannya hingga tidak sadar bahwa kafe mulai ramai dengan orang-orang yang masuk untuk makan siang. Ia baru mendongak ketika menyadari seseorang berdiri di samping mejanya lagi. "Maaf mengganggu," suara Arya membuat Lintang sedikit ter lonjak. "Boleh saya duduk di sini? Tempat lain sudah penuh." Lintang mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Memang benar, semua meja sudah terisi. Ia menghela nafas pelan, "Ya, silakan." Arya duduk dengan senyum berterima kasih. "Terima kasih. Saya janji tidak akan mengganggu pekerjaan Anda." Lintang hanya mengangguk, kembali fokus pada laptopnya. Namun, konsentrasinya mulai terganggu. Ia bisa mencium aroma maskulin dari cologne Arya, campuran kayu cedar dan sedikit citrus. Tanpa sadar, matanya melirik ke tangan kiri Arya. Tidak ada cincin pernikahan. "Jadi," Arya tiba-tiba bersuara, membuat Lintang sedikit tersentak, "apa yang membuat seorang wanita muda seperti Anda bekerja begitu keras di kafe seperti ini? Biasanya orang ke sini untuk bersantai." Lintang menutup laptopnya perlahan. Jelas, pria ini tidak akan membiarkannya bekerja dengan tenang. "Saya punya presentasi penting besok. Kalau berhasil, saya bisa jadi manajer marketing termuda di perusahaan." Mata Arya berbinar dengan ketertarikan tulus. "Wow, itu pencapaian yang luar biasa. Di usia berapa, kalau boleh tahu?" "Dua puluh delapan," jawab Lintang, sedikit bangga. "Anda sendiri? Sepertinya punya pekerjaan yang cukup... serius." Ia melirik ke arah tablet Arya yang menampilkan grafik dan angka-angka rumit. Arya tertawa kecil. "Ah, ini. Saya konsultan finansial. Hari ini ada pertemuan dengan klien tentang strategi investasi jangka panjang mereka." "Kedengarannya menarik," komentar Lintang, tiba-tiba merasa tertarik. "Tapi pasti stres juga, kan? Mengatur uang orang lain?" "Kadang-kadang," Arya mengangguk. "Tapi saya suka tantangannya. Setiap klien punya cerita unik, tujuan berbeda. Membantu mereka mencapai tujuan itu... rasanya memuaskan." Lintang tertegun. Ada kilatan di mata Arya saat ia berbicara tentang pekerjaannya. Kilatan yang sama yang Lintang lihat setiap kali ia memandang cermin dan memikirkan karirnya. Tiba-tiba, ponsel Arya berdering. Ia melirik layarnya dan tersenyum minta maaf. "Maaf, ini dari putri saya. Saya harus mengangkatnya." Putri? Jadi Arya adalah seorang ayah. Dan dari ketiadaan cincin di jarinya... seorang duda? Lintang tidak tahu mengapa informasi itu membuatnya merasa... entahlah, tidak nyaman? Atau mungkin lebih tertarik? "Halo, sayang," suara Arya melembut saat berbicara di telepon. "Ya, Papa masih di kafe. Sebentar lagi pulang kok. Kamu sudah makan? ... Bagus. Jangan lupa kerjakan PR-nya ya. Papa sayang kamu." Arya menutup telepon dengan senyum lembut yang membuat wajahnya yang tampan semakin bercahaya. "Maaf soal itu. Kayla, putri saya. Dia baru tujuh tahun." "Tidak apa-apa," Lintang tersenyum, terkejut oleh kehangatan dalam suaranya sendiri. "Anda... sepertinya ayah yang baik." Untuk sesaat, wajah Arya menjadi sendu. "Saya berusaha. Sejak perceraian dua tahun lalu, tidak mudah. Tapi Kayla segalanya bagi saya." Atmosfer di antara mereka berubah. Bukan lagi obrolan santai antara dua orang asing, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih pribadi. Lintang merasa seolah ia baru saja diberi akses ke bagian Arya yang mungkin tidak banyak orang tahu. "Saya rasa," Lintang berkata pelan, "itu yang terpenting. Bahwa Anda berusaha." Arya menatapnya, mata cokelatnya penuh rasa terima kasih. Untuk beberapa saat, mereka hanya saling memandang, sebuah koneksi tak terlihat terbentuk di antara denting cangkir dan dengungan obrolan di sekeliling mereka. Akhirnya, Arya berdiam dan berdiri. "Saya harus pergi. Kayla menunggu, dan saya masih harus menyiapkan beberapa hal untuk pertemuan nanti." "Ya, tentu," Lintang juga berdiri. "Saya juga harus kembali ke kantor." "Semoga sukses dengan presentasi Anda besok," Arya mengulurkan tangan. Lintang menyambutnya, terkejut oleh kehangatan dan kekuatan genggaman Arya. "Terima kasih. Semoga pertemuan Anda juga lancar." Arya mengangguk, lalu seolah ragu-ragu sejenak sebelum berkata, "Mungkin... kita bisa bertemu lagi di sini? Saya biasanya ke kafe ini setiap Selasa dan Kamis." Lintang terdiam sejenak. Haruskah ia? Arya jelas lebih tua, seorang duda dengan anak. Tapi ada sesuatu padanya... sesuatu yang membuat Lintang ingin tahu lebih banyak. "Mungkin," akhirnya Lintang menjawab dengan senyum kecil. "Saya juga sering ke sini." Dengan anggukan terakhir dan senyum yang membuat mata Arya berkerut di sudutnya, pria itu berbalik dan meninggalkan kafe. Lintang menatap kepergiannya, perasaan aneh berkecamuk di dadanya. Ia menggelengkan kepala. Itu hanya obrolan kafe biasa, bukan? Tak perlu dipikirkan terlalu dalam. Sekarang, ia harus fokus pada presentasinya. Tapi saat Lintang melangkah keluar kafe, ia tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya, akankah ia benar-benar kembali ke sini hari Selasa atau Kamis? (◕‿◕)Sementara karir Lintang melambung tinggi, Arya mulai merasakan keinginan untuk memiliki tantangan baru dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun bekerja di perusahaan konsultan, ia merasa sudah waktunya untuk mencoba sesuatu yang berbeda.Suatu malam, saat anak-anak sudah tidur, Arya membuka pembicaraan dengan Lintang."Sayang," ujarnya, "aku sedang memikirkan sesuatu."Lintang menoleh, penasaran. "Apa itu, Ar?""Aku... aku ingin mencoba memulai bisnis kecil sendiri," Arya mengungkapkan keinginannya.Lintang tersenyum, "Itu ide yang bagus! Bisnis apa yang kamu pikirkan?"Arya menghela napas, "Aku ingin membuka toko buku kecil, dengan kafe di dalamnya. Tempat dimana orang bisa membaca sambil menikmati kopi.""Wah, itu terdengar menarik!" Lintang berseru antusias. "Tapi, apa kamu yakin ingin meninggalkan pekerjaanmu yang sekarang?"Arya mengangguk, "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Dengan posisimu sekarang, aku rasa ini saat yang tepat untuk mencoba sesuatu yang baru."Lintang mengge
Lintang menemui Pak Hendra dan menerima tawaran tersebut. Ia memulai perannya sebagai Wakil Direktur Utama dengan semangat baru.Meskipun jadwalnya menjadi lebih padat, Lintang berusaha untuk tetap menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Ia selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama dan menghadiri acara-acara penting anak-anaknya.Suatu malam, saat Lintang sedang lembur di kantor, ia mendapat video call dari keluarganya. Mereka menunjukkan makan malam yang sudah mereka siapkan."Kami tahu Mama sedang sibuk, jadi kami buatkan makan malam spesial!" seru Rizki.Lintang tersenyum lebar, merasa beruntung memiliki keluarga yang begitu pengertian.Seiring berjalannya waktu, Lintang semakin mahir mengelola waktunya. Ia bahkan mulai mengajarkan Kayla tentang manajemen waktu dan kepemimpinan, berbagi pengalamannya sebagai wanita karir.Melalui perjuangannya menghadapi krisis dan tantangan barunya sebagai Wakil Direktur Utama, Lintang membuktikan bahwa dengan dukungan keluarga dan teka
"Lintang Menghadapi Krisis Perusahaan" Lintang terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Sudah seminggu ini perusahaan tempatnya bekerja sebagai Direktur Keuangan menghadapi krisis yang cukup serius.Arya, yang merasakan kegelisahan istrinya, membuka mata. "Ada apa, sayang?" tanyanya lembut.Lintang menghela napas panjang. "Aku khawatir tentang situasi di kantor, Ar. Kita kehilangan beberapa klien besar bulan ini, dan angka penjualan menurun drastis."Arya menggenggam tangan Lintang, memberikan dukungan tanpa kata. "Kamu pasti bisa mengatasinya. Kamu selalu punya solusi untuk setiap masalah."Lintang tersenyum lemah, "Terima kasih, Ar. Aku harap begitu."Saat sarapan, Kayla dan Rizki bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti ibu mereka."Mama kenapa?" tanya Rizki polos.Lintang berusaha tersenyum, "Tidak apa-apa, sayang. Mama hanya sedang banyak pikiran tentang pekerjaan."Kayla, yang kini sudah lebih dewasa, mengerti
Kayla mengangguk, tersenyum hangat, "Iya, Pa. Aku bersyukur kita semua bisa bersama sekarang."Sementara itu, di meja makan, Rizki sibuk menggambar dengan crayon warna-warninya. Lintang memperhatikan dengan penuh kasih sayang."Nah, sudah selesai!" seru Rizki bangga, mengangkat hasil karyanya.Lintang melihat gambar itu - lima sosok stick figure dengan ukuran berbeda-beda, berdiri bergandengan tangan dengan senyum lebar di wajah mereka."Ini Papa," Rizki menunjuk figur tertinggi, "ini Mama," ia menunjuk figur di sebelahnya, "ini Kak Kayla," figur yang sedikit lebih pendek, "ini aku," figur terkecil, "dan ini..." Rizki terdiam sejenak."Siapa itu, sayang?" tanya Lintang lembut.Rizki tersenyum malu-malu, "Ini adik bayi. Aku ingin punya adik, Ma."Lintang terkejut mendengar ini. Ia memeluk Rizki erat, "Oh, sayang. Kita lihat nanti ya. Yang penting sekarang, kita sudah punya keluarga yang sangat bahagia."Malam itu, setelah anak-anak tidur, Arya dan Lintang berbincang di kamar mereka."K
Pagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi kegaduhan yang menyenangkan. Hari ini adalah hari pertama Rizki, putra bungsu mereka yang berusia 6 tahun, masuk Sekolah Dasar."Rizki, ayo cepat makan sarapanmu," ujar Lintang, sambil merapikan dasi seragam putranya.Rizki, dengan mata berbinar penuh semangat, melahap roti isinya dengan cepat. "Sudah, Ma! Aku siap berangkat!"Arya tertawa melihat antusiasme putranya. "Pelan-pelan, jagoan. Kita masih punya waktu."Kayla, yang kini duduk di kelas 2 SMA, turun dari lantai atas dengan tas sekolahnya. "Wah, adikku sudah besar ya," godanya sambil mengacak rambut Rizki."Kak Kayla! Jangan mengacak rambutku," protes Rizki, tapi tetap tersenyum lebar.Lintang memandang ketiga orang yang dicintainya dengan haru. "Baiklah, ayo kita berangkat. Tidak ingin terlambat di hari pertama, kan?"Mereka semua naik ke mobil. Arya menyetir, sesekali melirik ke kursi belakang dimana Rizki duduk dengan gelisah, jemarinya memainkan tali tas barunya."Nervous, nak
Minggu pertama Kayla di SMA berlalu dengan cepat. Setiap hari ia pulang dengan cerita baru, membuat Arya dan Lintang semakin penasaran dengan kehidupan SMA putri mereka.Saat makan malam keluarga, Kayla tiba-tiba berkata, "Pa, Ma, besok ada pertemuan orangtua murid."Arya dan Lintang saling pandang. "Oh ya? Kenapa baru memberitahu sekarang, sayang?" tanya Lintang.Kayla mengangkat bahu, "Maaf, Ma. Aku lupa. Tapi... bisakah kalian datang?""Tentu saja," jawab Arya. "Papa dan Mama akan mengatur jadwal kami."Keesokan harinya, Arya dan Lintang duduk di aula sekolah bersama orangtua murid lainnya. Mereka mendengarkan penjelasan kepala sekolah tentang kurikulum dan kegiatan sekolah.Tiba-tiba, Lintang menyenggol Arya pelan. "Lihat," bisiknya, menunjuk ke arah seorang pria yang duduk beberapa baris di depan mereka. "Bukankah itu ayah Rafi?"Arya memicingkan mata, lalu mengangguk. "Sepertinya iya."Setelah pertemuan selesai, Arya dan Lintang memutuskan untuk mendekati ayah Rafi."Permisi," s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments