Pintu kamar terbuka sedikit.Yuze menarik Anli lebih rapat ke dadanya, tubuh tinggi besarnya menekan gadis itu di sisi ranjang. Bibirnya menunduk dekat ke telinga Anli. Suaranya rendah, nyaris seperti geraman.“Dengarkan dan ikuti perintahku!”Anli sempat hendak bertanya, tapi jemari Yuze sudah menekan pinggangnya kuat. Dekapan itu sangat erat, terlalu intim. Napas hangatnya menyapu kulit leher gadis itu.“A—Anda…”“Mendesah!” bisik Yuze dingin. “Biar mereka kira kita sedang… sibuk.”Wajah Anli memanas seketika. Darahnya naik ke pipi. “Tuan Qin, Anda gila—”Tapi Yuze menekan lagi, menahan tubuhnya tepat di bawahnya. Sorot matanya merah, penuh desakan bukan hanya untuk menipu pengawal, tapi juga untuk meyakinkan dirinya bahwa ia benar-benar rela melakukan ini.Di luar pintu, suara pengawal terdengar lagi.“Periksa. Cepat!"Yuze menunduk, bibirnya nyaris menyentuh kulit leher Anli. “Sekarang, Anli. Mendesahlah! Aku... tidak ingin mereka membawamu pergi."Anli menggigit bibir, hatinya be
Lorong-lorong rumah Qin berdenyut seperti nadi. Lampu sensor menyala saat dilintasi, padam ketika ditinggalkan. Cuihua menyapu sepanjang sisi timur, ruang teh kecil kosong, trolly minuman terparkir rapi, gudang kecil tertutup, kunci masih menggantung, kebun kaca terkunci dari dalam. Ia menelan ludah.“Nyonya Muda… di mana?” gumamnya, hampir panik.Yuze tiba lebih dulu di ruang tertutup tempat ia bersama Anli barusan. Pintu masih menutup sempurna. Ia mendorong, dan… kosong. Meja kayu rapi. Tidak ada jejak langkah, tidak ada kain tersangkut. Hanya aroma samar herbal yang masih tinggal seperti garis tak terlihat.Ia menekan pelipis. “Sial!”“Tu-Tuan Qin!” Cuihua hampir menabraknya di tikungan. Ia terbelalak, membungkuk panik. “Maaf… saya—”“Cari Anli di sisi barat,” potong Yuze cepat. “Kalau tidak ada, kembali lapor ke Ibu. Jangan menyebar kabar.” Nadanya tegas, tapi ada nada yang tidak biasa. Gelisah.“Baik!” Cuihua mengangguk dan berlari lagi.Yuze berdiri di persimpangan lorong, menim
Para tamu duduk, kipas-kipas sutra bergerak, gelas sampanye diangkat, seolah tak ada yang barusan nyaris berubah menjadi kekacauan.Di meja utama, Madam Qin tersenyum tipis menyambut tamu senior. Xiumei di sisi kiri mengatur ritme pelayan dengan isyarat mata. Haoran berbincang seperlunya dengan pejabat kementerian, menjaga nada.Yuze berdiri agak di belakang, mengamati seisi aula dengan tatapan dingin yang menyapu pintu masuk, panggung hadiah, dan… kosong.Dia mengerut. ‘Anli… di mana?’Sejenak ia menahan diri untuk tidak menoleh terang-terangan. Biasanya, sosok itu akan berdiri di radius aman di sisi kiri aula, tidak terlalu dekat dengan kerumunan, tidak terlalu jauh dari Xiumei. Rambut tergerai, gaun krem, wangi herbal lembut. Sekarang, tidak ada.Madam Qin menepuk halus punggung tangan Xiumei tanpa mengubah senyum. “Anli belum terlihat,” ucapnya datar, hanya terdengar oleh telinga yang duduk sangat dekat.Senyum Xiumei nyaris tak berubah, tapi bola matanya berpendar. “Cuihua,” bisi
Ciuman itu berakhir dengan berat. Yuze menarik diri setengah inci, napasnya terengah, matanya merah, seolah baru saja tenggelam lalu muncul ke permukaan dengan paksa. Jemarinya masih menggenggam dagu Anli, terlalu kuat untuk disebut lembut, tapi juga terlalu rapuh untuk disebut keras.Anli membuka matanya pelan. Pandangannya memang buram, hanya siluet abu-abu hitam yang samar, tapi ia bisa merasakan jelas sorot tajam Yuze di depannya.Hatinya gemetar, bukan karena ciuman itu menyentuh, tapi karena ia tahu, dirinya hanyalah pelarian.Suara Anli terdengar datar, namun tegas.“Kalau ini yang Anda butuhkan untuk melupakan kesepian Anda… maka saya akan diam.”Yuze tertegun. Jemarinya melemah di dagu Anli.Anli menarik napas, lalu melanjutkan, suara beningnya menusuk lebih dalam.“Tapi jangan salah paham, Tuan Qin. Saya bukan Qianyi. Dan saya tidak akan pernah menjadi dia.”Kata-kata itu jatuh seperti bilah tipis ke dada Yuze. Ia mundur selangkah, matanya menajam, rahangnya mengeras. Amarah
Riuh rendah di aula perlahan mereda setelah Yan Shiming kembali ditemukan oleh pengawal kerajaan. Beberapa tamu yang tadi panik kini duduk lagi, meski bisik-bisik mereka tak kunjung padam.“Berani sekali… ada yang mencoba membunuh raja terdahulu di pesta sebesar ini.”“Kalau bukan musuh keluarga Qin, siapa lagi?”“Bisa saja… ada orang dalam yang ikut bermain.”Nada suara rendah itu berputar di antara deretan tamu. Kipas sutra terangkat, gelas anggur disentuh bibir, namun mata-mata penuh rasa curiga terus melirik ke sekeliling.Haoran berdiri di depan panggung, suaranya tegas menjaga wibawa.“Pesta ini tetap berlanjut. Keamanan sudah diperketat, semua tamu bisa merasa aman.”Namun tatapannya gelap, ia sendiri tahu ini bukan sekadar gangguan kecil.Di kursi kehormatan, Yan Shiming sudah didorong kembali oleh pengawal. Tubuh tuanya tampak rapuh, selimut di pangkuannya bergetar halus karena tangan yang gemetar. Tetapi sorot matanya jauh menembus keramaian, seolah tidak lagi berada di aula
Pria bermasker maju lagi, ayunan pisaunya ganas, tapi gerakannya kasar. Anli mendengar napasnya semakin tidak teratur. Ia menunggu momen, lalu menangkap lengan pria itu dengan cepat, menekuknya ke samping.Klak!Pisau terlepas dan jatuh berdenting ke lantai.Pria itu meraung, mencoba melawan. Namun Anli masih menggenggam lengannya. Jemarinya meraih rambut pria itu, menariknya ke bawah dengan kasar. Dengan lututnya, ia menghantam perut pria itu keras-keras.“Ughhh!” Suara pelayan bermasker itu teredam. Tubuhnya terbungkuk, napasnya tersengal.Anli tidak berhenti. Jemarinya bergerak cepat, meraba sisi tubuh pria itu, mencari titik tertentu. Saat ia menemukannya, ia menekan dengan presisi.Pria bermasker itu terhuyung, tubuhnya kejang sebentar, lalu jatuh terjerembab ke lantai, tak mampu bergerak.Lorong kembali hening.Yan Shiming menatap lekat ke arah gadis yang berdiri di depannya. Samar, dalam cahaya redup, ia melihat wajah Anli dari dekat. Nafasnya tercekat.“Titik motorik…” gumamnya