“Tuan, aku benar-benar tidak nyaman dengan yang tadi.” Alyn mengeluh setelah kembali ke mobil.
Tentu saja Erlan merasa jengah. “Bukan hanya kau, tapi aku juga! Jadi jangan merasa menjadi wanita yang paling malang. Lagipula … anggap saja kejadian tadi sebagai tanda terima kasihmu karena aku sudah menolongmu.”
Alyn langsung bungkam. Ucapan pria itu benar, tetapi bukankah ia juga pernah menolong Erlan ketika dalam kesulitan? Dan Alyn bahkan tidak mengungkit itu!
Betah dalam diam, akhirnya mereka tiba di bandara. Sehingga Alyn lekas turun. “Tuan, terima kasih atas pertolongannya.”
“Hemm.”
Setelahnya Alyn benar-benar pergi dari sana karena sudah terlambat. Wanita itu bahkan terlihat buru-buru ketika akan menyeberang. Membuat Erlan yang melihatnya berdecap pelan.
“Ceroboh. Bisa-bisanya Gempi menyukai wanita seperti itu,” keluhnya.
Pria itu kembali teringat dengan Gempi yang menangis ketika mereka baru tiba di rumah. Hal itu jelas membuat Erlan jengah. Hanya saja … tidak ada yang bisa ia lakukan untuk meredam keinginan Gempi yang sudah berada di puncak.
Entah karena didikannya yang salah, atau ada hal lain. Namun yang pasti, Erlan merasa ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.
“Huufftt ….” Erlan mengembuskan napasnya dengan kasar kemudian kembali melanjutkan perjalanan menuju kantornya yang berjarak tidak jauh dari bandara.
Begitu tiba, pria itu langsung mendapatkan sapaan ramah dari para karyawan yang ada di sekitar. Meski begitu, tidak satupun yang dibalas oleh Erlan.
Pria itu tetap berjalan dengan dagu yang sedikit terangkat. Hingga akhirnya Erlan tiba di ruangannya.
“Pagi, Tuan Erlan.” Mona yang merupakan sekretaris Erlan menyapa dengan senyuman yang manis. Meski begitu tidak mampu menarik perhatian pria yang hatinya sudah beku setelah ditinggal mendiang istrinya ketika melahirkan.
Iya, Gimma–mendiang istri Erlan mengembuskan napas terakhirnya tepat setelah wanita itu melahirkan Gempi. Tentu itu menjadi pukulan yang begitu hebat bagi Erlan yang sangat mencintai istrinya.
Dunia pria itu benar-benar hancur. Langit bahkan terasa runtuh dan menimpa kepalanya. Sehingga pria itu berjanji akan terus mencintai Gimma meski sudah tidak ada sebagai tanda terima kasihnya kepada wanita yang sudah memberikannya gelar sebagai seorang ayah.
“Tuan, apa Anda membutuhkan sesuatu?” tanya Mona menghampiri Erlan yang baru saja duduk di kursi kebesarannya.
“Kopi, buatkan aku kopi.” Erlan bicara tanpa melihat ke arah Mona yang tampak seksi dengan penampilannya.
“Baik, Tuan.” Mona pergi dari ruangan Erlan untuk membuatkan kopi. Sementara Erlan memilih langsung memeriksa berkas yang sudah siap di atas meja.
***
“Papa, kemarin mama sudah berjanji akan mengajakku bermain. Tapi mama belum juga menjemputku.” Baru saja Erlan tiba di rumah, ia sudah mendapatkan keluhan dari Gempi yang sejak tadi menunggu Alyn.
Gadis manis itu masih teringat dengan janji Alyn kemarin. Sehingga tidak sabar untuk bermain. Namun, sore hampir berakhir dan Alyn tidak juga datang.
Tentu saja Erlan kembali dibuat jengah karena lagi-lagi anaknya ingin bertemu dengan wanita yang disebut ceroboh. “Gempi, bermainnya besok lagi. Ini sudah malam,” ujarnya.
“Tidak. Aku merindukan mama,” cetus Gempi kembali bersikap keras kepala.
“Gempi—”
“Sudah, Erlan. Jangan memarahi Gempi,” sela Gian yang melihat raut wajah anaknya.
Erlan mendesah pelan lalu menatap ibunya dengan kesal. “Ibu selalu saja memanjakan Gempi. Lihat, sekarang anakku menjadi pembangkang, dan lagi … wanita itu malah menjanjikan sesuatu yang mustahil.”
“Mustahil bagaimana? Tadi ibu mengirim pesan dan Alyn akan ke mari setelah pulang bekerja. Dan ibu sudah mengatakan jika kau akan menjemputnya.”
Lagi-lagi Erlan merasa kesal dengan ibunya yang mengambil kesimpulan secara sepihak. “Ibu, kenapa kau selalu mengambil keputusan tanpa bertanya dulu padaku?”
“Karena jika ibu bertanya, kau akan menolaknya! Sudah lebih baik kau mandi dan bersiap menjemput Alyn.”
Pria itu mendengus lalu pergi begitu saja ke kamarnya.
Meski kesal, tetapi pada kenyataannya Erlan tetap bersiap untuk menjemput Alyn di bandara. Ini benar-benar merepotkan, dan Erlan merasa enggan andai bukan karena anaknya yang terlanjur menyukai pramugari cantik itu.
Ya, Erlan tidak bisa mengelak jika Alyn sangatlah cantik. Namun, hal itu tidak akan cukup untuk membuat Erlan jatuh cinta. Terlebih cintanya sudah habis kepada mendiang istrinya.
“Papa, Gempi ikut!” Gempi langsung merengek begitu melihat papanya akan pergi.
“Tidak, Gempi. Kau tunggulah di rumah,” ujar Erlan membuat Gempi merengut.
“Papa—”
“Yang dikatakan papamu benar, Gempi. Lebih baik kau menunggu di sini bersama nenek. Nanti papa akan membawa mama pulang ke mari.”
“Benarkah?” Mata Gempi langsung berbinar, sedangkan Erlan kembali dibuat terkejut dengan ucapan ibunya.
“Apa yang kau maksud pulang, Ma? Rumahnya bukan di sini. Dia hanya akan bermain sebentar dengan Gempi.” Pria itu cepat meralat.
“Terserah kau saja. Lebih baik sekarang kau jemput Alyn.”
Tidak ingin kembali berdebat, Erlan memilih patuh. Pria itu mengendarai mobilnya menuju bandara.
Tiba di sana Erlan menunggu Alyn beberapa saat. Hingga tidak lama dari itu wanita yang ditunggunya terlihat juga bersama dengan temannya.
Segera Erlan menghubungi nomor Alyn yang ia dapatkan dari ibunya. “Aku menunggu di bagian kanan, kau cepatlah!”
Dapat Erlan lihat jika Alyn mengerutkan keningnya setelah mendengar ia bicara. Wanita lantas mengedarkan pandangan.
“Alyn, kau mencari apa?” tanya Cleo.
“Ah, tidak. Em … Cleo, sepertinya aku harus pergi duluan. Kau tidak apa-apa ‘kan?”
“Yeaah. Jika kau memiliki keperluan, pergilah lebih dulu.”
Alyn mengangguk lalu melambaikan tangan sebelum ia menghampiri Erlan yang tengah melipat kedua tangannya di depan dada. “Kenapa kau lambat sekali?”
Baru saja tiba di hadapan Erlan, pria itu sudah mencerca Alyn. Jelas hal itu membuat Alyn memutar bola matanya dengan malas. “Tuan, jika kau tidak ingin menunggu. Aku bisa menggunakan taksi!”
“Ck! Cepatlah masuk,” cetus Erlan sebelum masuk mobil. Sehingga membuat Alyn mendengus sebal.
Oh, bukankah tadi Erlan yang mengatakannya lambat?
Tidak ingin membuat suasana semakin keruh, Alyn lantas masuk. Membuat Cleo yang tanpa sengaja melihat kejadian barusan mengerutkan kening.
“Bukankah itu Tuan Erlan, lalu kenapa Alyn bersamanya?” gumam Cleo sambil terus melihat mobil yang dikendarai Erlan menjauh.
"Tadi Gempi merengek ingin ikut dan bertemu denganmu, jadi aku sengaja membawanya ke mari," terang Erlan setelah mereka menghabiskan waktu bersama dengan Gempi.Kini gadis manis itu sudah tidur di antara Erlan dan Alyn, dengan posisi memeluk lengan Alyn. Sehingga membuat Alyn sulit bergerak."Aku minta maaf, karena waktu tenangmu jadi terganggu." Erlan menambahkan sambil melirik ke arah Gempi.Dengan pelan Alyn menggeleng. Kemudian wanita itu berkata, "Tidak apa-apa, Mas. Mas Erlan tidak perlu meminta maaf.""Tapi tetap saja. Bukankah kau membutuhkan waktu untuk beristirahat?""Aku memang membutuhkannya, tapi aku rasa sudah cukup. Em ... besok aku juga akan pulang," terang Alyn membuat Erlan mengerjap beberapa kali, lalu menatap wanita itu dengan tatapan tak percaya."Maksudnya, kau akan kembali ke rumah kita?" Erlan memastikan jika dirinya tidak salah mendengar."Bukankah sekarang itu adalah rumahku juga, Mas? Kau suamiku, tempat aku pulang ketika masih berada di dunia adalah kau ...
Alyn yang tidak memiliki jadwal penerbangan pun memilih menghabiskan waktu di kebun kecil yang ada di halaman belakang rumahnya. Kebetulan Erin memang senang berkebun untuk dikonsumsi sendiri, maupun dibagikan kepada para tetangga. "Alyn, apa kau tidak akan pulang?" tanya Erin menghentikan kegiatannya sejenak. "Memang aku harus pulang ke mana? Bukankah ini rumahmu, Bu? Jadi rumahku juga!" Erin mendesah pelan lalu menatap Alyn dengan serius. "Maksud ibu rumah Erlan. Mau bagaimanapun sekarang kau adalah istrinya, sudah seharusnya kau ikut dengannya." "Jadi apa artinya aku tidak bisa tinggal di sini, Bu?" "Oh astaga, kenapa pikiranmu sempit begitu?" keluh Erin menbuat Alyn terkekeh kecil. Wanita itu paham ke mana arah bicara ibunya, tetapi memiliki berpura-pura pada awalnya. "Aku sudah mengatakan akan tinggal sementara waktu di sini, dan Mas Erlan tidak keberatan. Jadi bukankah tidak apa-apa aku tinggal di sini? Aku sudah mendapatkan izin, Bu!" "Yeah, tapi bagaima
"Apa kau akan ikut pulang dengannku sekarang?" tanya Erlan setelah mereka sarapan. Pelan Alyn menggeleng, membuat Erlan yang melihatnya tampak mendesah. "Maaf, Mas. Tapi jika boleh, aku ingin menginap sehari lagi di sini. Apa tidak apa-apa?" Tak langsung menjawab, Erlan tampak menatap istrinya sejenak. Setelahnya ia mengangguk pelan. "Kalau memang itu yang kau inginkan, maka baiklah. Aku izinkan," ucapnya. "Terima kasih." "Sama-sama, Sayang," balas Erlan kemudian bersiap untuk berangkat. "Aku berangkat dulu, kamu istirahatlah yang cukup," sambung Pria itu menarik Alyn ke dalam pelukannya, kemudian mengecup kening sang istri dengan singkat. Maunya Erlan berlama-lama, tetapi pria itu juga sadar betul jika ia terlalu ugal-ugalan, maka Alyn bisa saja merasa semakin tidak nyaman saat bersamanya. Sehingga Erlan memilih melakukan pendekatan secara perlahan .... "Hemm," sahut Alyn singkat lalu mundur satu langkah setelah Erlan melepaskan pelukan. Melihat hal itu membuat E
"Ekhem!" Deheman itu berhasil membuat Alyn dan Erin menoleh ke arah sumber suara. Sehingga membuat kedua wanita berbeda generasi itu terkejut--khawatir andai Erlan mendengar apa yang dikatakan Alyn barusan. Meski pada kenyataannya memang Erlan sudah mendengar. Namun, pria itu tampaknya memilih untuk berpura-pura tak mendengar. Terbukti dengan senyum yang ia tampilkan kepada istri dan mertuanya. "Kalian sedang apa?" tanya Erlan membuat Erin menyenggol lengan anaknya. "Em ... aku sedang membantu ibu membuat sarapan," jawab Alyn pada akhirnya. "Kalau begitu, apa aku harus membantu juga?" Pria itu benar-benar berusaha keras untuk berpura-pura dan tidak memikirkan ucapan Alyn tadi. Meski tak dapat ia pungkiri jika dirinya merasa terganggu dengan itu semua. Bercerai? Tidak, Erlan tidak akan melepaskan Alyn. Ini bukan lagi tentang Erlan yang takut jika Gempi kehilangan sosok ibu. Namun, ini mengenai perasaannya yang sudah menyadari jika dirinya begitu mencintai Alyn. "Tidak.
Menggeliat, Alyn baru saja bangun merasakan tubuhnya terasa berat. Sehingga dengan segera ia membuka mata dan mendapati ada Erlan yang memeluknya dengan erat. Hal itu jelas membuat Alyn terdiam beberapa saat sambil menatap wajah Erlan yang terlelap dengan seksama. Hingga akhirnya wanita itu memilih untuk menyingkirkan lengan Erlan secara perlahan, karena panggilan alam mendesaknya untuk lekas ke kamar mandi. Namun, gerakan kecil yang Alyn lakukan malah membuat Erlan terganggu. Pria itu membuka mata secara perlahan lalu menatap Alyn dengan matanya yang sayu. Hanya beberapa detik, karena setelahnya Erlan yang tersadar langsung menarik diri. "Sayang, maaf aku sudah lancang." Tidak seperti biasanya--Erlan yang sering mengelak, tetapi kali ini pria itu malah meminta maaf. Membuat Alyn terkejut dengan sikap Erlan. Maka dengan gerakan kaku Alyn mengangguk. "Hemm," sahutnya. "Aku akan ke kamar mandi." Wanita itu menambahkan seraya turun dari ranjang. "Iya," sahut Erlan sambil menga
"Apa ada tempat yang ingin kau kunjungi lebih dulu sebelum pulang, Sayang?" tanya Erlan setelah mereka selesai makan. Alyn menggeleng pelan. Kemudian berkata, "Aku ingin langsung pulang saja. Sejujurnya aku masih merasa letih." "Aku mengerti. Maaf, tidak seharusnya aku mengajakmu makan di luar." Kembali wanita itu menggeleng. "Aku yang menginginkannya, jadi kau tidak perlu meminta maaf, Mas." Entah harus apa, Erlan mengangguk saja. Setelahnya ia merangkul pinggang Alyn dengan ragu-ragu karena takut jika sang istri akan menolak. Namun, melihat Alyn yang diam saja membuat Erlan semakin percaya diri dengan mengeratkan langkulan. Sehingga posisi keduanya menjadi semakin menempel. Tersenyum tipis, sesekali Erlan mencuri pandang ke arah Alyn yang memilih menatap lurus ke depan. Hingga akhirnya mereka tiba di depan mobil. Lekas Erlan melepaskan rangkulan kemudian membukakan pintu untuk Alyn. "Sayang, hati-hati," ucapnya dibalas anggukan oleh Alyn. "Terima kasih," ucap Alyn. "