Siti tidak dapat hidup tanpa Kumbang. Dia terus mencari kekasihnya yang hilang. Tidak kalah pun dia dengan kesusahan meski harus meninggalkan harta dan takhtanya, Siti rela asalkan bisa bersama Kumbang. Suatu hari ketika perdagangan asing di buka. Diam-diam Siti mengikut kapal pelayaran ke Nusantara tepatnya ke pulau Sumatra. Dari mulut ke mulut Siti mendengar kabar kalau Datuk termasyhur itu tidak lagi tinggal di Minang Kabau, dia menghilang, benar-benar menghilang.
“Kau dengar kemarin baru saja terjadi perampokan lagi di kampung kita.”
“Iya, sekarang sering sekali terjadi hal meresahkan di sini. Perampokanlah, penculikan anak gadis, sampai anak bayi pun jadi korban.”
“Itulah, semenjak Datuk Kumbang pergi dari kampung, banyak penjahat yang berdatangan.”
Siti yang tengah minum di warung makan menjadi tertarik dengan percakapan lelaki di sebelahnya. Dia sedikit mendekat ke arah para pemuda itu. “Adakah Tuan sekalian tahu keberadaan Datuk Kumbang sekarang?”
Para pemuda di samping Siti menoleh “Awak pun tak tahu, tapi dengar sekelebat berita katanyo dia pergi ke dunia gaib untuk memperdalam ilmu.”
“Gaib? Bagaimana caranya bisa pergi ke sana?”
Para pemuda itu tertawa menanggapi pertanyaan Siti. “Uni harus berilmu dulu baru bisa pergi ke dunia-dunia seperti itu.”
“Berilmu?”
“Ya, ilmu gaib. Ada juga yang bilang kalau bertapa di gunung Marapi kita bisa pergi ke dunia lain. Ke dunia siluman, dunia kerajaan-kerajaan gaib. Tapi jarang lah orang yang mau pergi ke sana.”
“Kenapa?”
“Ya karena banyak hal mistis terjadi. Semidi mereka pasti mendapat halang rintangan dari penunggu setempat. Itu pun jarang orang yang selamat.”
Tak pedulilah apa kata orang, dengan berbekal nekat setinggi apa pun gunung tetap Siti tapaki demi cintanya pada Kumbang. Meski harus menempuh jarak ribuan kilo meter. Walau harus bersakit-sakit dan kelaparan. Cinta membutakan Siti yang kala itu masih berumur delapan belas tahun.
Setelah menempuh perjalanan cukup lama dan menghabiskan sisa tenaganya, akhirnya Siti sampai di gunung Marapi yang dianggap sebagai tempat keramat. Perkataan orang memanglah benar, dia harus mengalahkan ketakutan karena kerap mendapat gangguan. Beruntung Siti bertemu seorang nenek tua yang juga sedang bersemedi di dalam gua.
“Kau baru ke sini?” tanya sang Nenek masih memejamkan mata.
“Iya, Nek.” Siti ragu-ragu menduduki batu di sebelah si Nenek berambut kusut. Dia mengikuti cara duduk nenek tua dengan menyilangkan kaki.
“Siapa namamu? Kau tampak masih muda.” Padahal si Nenek tidak membuka matanya sedari tadi. Sepertinya dia sangat sakti hingga bisa melihat Siti meski terpejam.
“Saya Siti, saya memang baru pertama kali ke sini. Kalaulah boleh tahu, siapakah gerangan Nenek sakti ini?”
Nenek itu tertawa singkat. “Panggil saya Serintil. Apa kau tak takut bersemedi di sini?”
Siti menceritakan hal apa yang membawanya hingga ke Marapi. Sebenarnya dia sangat mengharapkan petuah dari seseorang agar hidupnya tidak terus terombang-ambing dalam pencarian tanpa ujung. Siti bingung harus bagaimana dan bertanya pada siapa. Namun sepertinya sang Maha Kuasa mempertemukannya pada orang yang tepat.
“Kau benar-benar nekat. Bagaimana bila di tengah jalan kau bertemu penjahat yang bisa menghabisimu seketika?”
“Hidup saya seolah tak berarti lagi tanpa dia, Nek. Saya berani melawan apa saja asal bisa bersama Datuk.”
“Gadis muda ... gadis muda ... kau yakin cinta lelaki itu tulus padamu?” Serintil akhirnya membuka mata dan menghadapkan wajahnya pada Siti.
“Sangat yakin Nek.”
“Baiklah, akan kubantu agar kau bisa bertemu dengannya.”
“Benarkah Nek? Bagaimana caranya?”
Siti berilmu pada Serintil sang nenek sakti. Dia harus mempelajari ilmu hitam sang nenek agar mendapat kekuatan menembus alam gaib. Bukan sehari dua hari Siti mempelajarinya, tapi bertahun-tahun dia menekuni apa yang Serintil ajarkan sampai ilmunya mumpuni.
Waktunya tiba, Serintil membolehkan Siti masuk ke dunia gaib yakni dunia para siluman. Berbagai bentuk siluman baru dijumpai Siti. Ada yang berkepala manusia berbuntut ular, ada yang seperti kera dan ada yang berbentuk naga. Dunia asing ini diterima Siti dengan keberanian dan tekat kuat. Dia pun memulai petualangannya dengan ilmu silat bercampur sihir, menjadikan yang tidak ada seolah ada, dengan saling bekerja sama dengan kaum siluman pemuja iblis. Siti kini merasa bangga dengan pencapaiannya, artinya bila suatu saat dia bertemu kumbang mereka mempunyai drajat yang sama karena Siti bukan lagi seorang manusia tidak berdaya.
“Saya sudah berilmu, dan sudah berhasil bertahan hidup di dunia siluman ini Nenek. Lantas, kapan saya bisa bertemu dengan Kumbang?”
Serintil sedang asyik mengamati senjata saktinya. Sebuah tombak itu dia seka berkali-kali dengan kain putih dicampur minyak melati. “Sabarlah serahkan semua pada Batara Kala. Karena kau sudah sampai titik ini. Aku yakin Batara Kala tidak akan tinggal diam.” Srintil melempar tombaknya pada Siti yang sigap menangkap. “Siapkan dirimu. Karena kita akan berperang melawan pasukan Ki Putih.”
Sesungguhnya Siti tidak suka ikut dalam perang memperebutkan kekuasaan apalagi perang kerajaan ini mempertaruhkan nyawanya. Dia berusaha melawan ketakutan besar demi tidak mengecewakan sang guru. Beginilah cara Siti membalas budi.
Saat perang tiba Pasukkan ilmu hitam berhasil menguasai pasukan Ki Putih. Ada perasaan puas tersendiri yang Siti rasakan, pasalnya dia baru saja ikut andil ke medan perang tapi sudah berhasil menumbangkan lawan. Siti berbangga hati ketika berhasil melibas puluhan Siluman. Dia pun menghampiri prajurit lainnya menawarkan bantuan.
“Mana lagi yang harus saya enyahkan?” tanyanya sambil mengayuh tombak pemberian Serintil.
“Di sebelah sana, ada yang sulit dikalahkan, panglima besar perang. Hati-hati dengannya! Kau bisa saja terbunuh di tangannya.”
“Saya tak takut! Meski harus melawan dedemit besar pun saya tak takut.”
Siti berlari pada sosok yang tengah dikepung oleh pasukan Serintil. Diangkat tombaknya tinggi-tinggi. Menerobos tubuh-tubuh yang menutupi bayangan seseorang di sana yang dia tuju sambil berseru pada yang lainnya agar membuka jalan, “minggir!”
Langkah Siti terhenti sejurus tombak ditangannya terjatuh ke tanah, matanya mengerjap kemudian membelalak lebar saat seseorang yang hendak dia tusuk membalikkan tubuh. Pun begitu seseorang itu, dia menurunkan pedangnya, mematung mengetahui siapa di depan mata.
Seorang gadis kesatria, rambut hitam terurai tampak berantakan, tak ada lagi perhiasan bahkan mahkota di atas kepalanya. Pipi lembut itu kini terdapat beberapa goresan pedang. Mata indahnya kini terdapat bara api yang seketika redup padam. Merebak bulir jernih dari pandangan Kumbang, betapa wanita yang dirinduinya kini benar-benar nyata.
“Dinda ....”
Kumbang menjatuhkan pedangnya segera menghampiri Siti lalu menyentuh sisi wajah wanitanya. “Apakah ini mimpi?”
Tidak kuasa Siti menahan tangis. Apa yang diharapkannya kini terwujud. Jerih payah berilmu terbayar sudah. Siti meraba wajah Kumbang, pundak dan dadanya demi memastikan dia lah kekasih yang selama ini Siti cari. Batin Siti terus berucap, “benar dia ... dia kekasihku kumbang.” Rindu menyeruak di antara haru biru.
"Tidaklah kita bermimpi. Siti memang menjumpai Datuk.” Siti menggenggam tangan Kumbang di pipinya yang basah air mata. “Siti sangat rindu Datuk, sangat rindu ....”
“Awak pun Dinda ... Awak pun,” balas Kumbang masih berkaca-kaca.
Air mata Siti berhenti mengalir begitu melihat di balik tubuh Kumbang ada seseorang yang hendak membidikkan anak panah.
“Datuk!” belum sempat Siti menarik tubuh Kumbang mata panah sudah menancap sempurna di punggung lelaki itu, menembus dada.
“Sebenarnya saya tidak percaya pada dia.” Datok Ranggih melirik Siti berganti melirik tongkat sakti yang Siti pegang.“Datok, percayalah Siti tidak bermaksud--" kalimat Bima terjeda oleh Siti.“Bima, wajar bila ada yang tidak percaya pada saya,” Siti menyadari betul kebodohannya 600 tahun mempercayai Serintil.“Lalu apa yang kau inginkan sekarang Lampir?” tanya Datok Ranggih masih menilik penjelasan Siti. “Apa kau ingin Bima membukakan pusaran waktu kembali?”“Apa kamu ingin kembali ke kehidupan lamamu Siti?” kini mata Bima berkaca-kaca. Dia tahu Siti masih terjebak pada zaman yang tidak seharusnya. Mungkinkah Siti masih ingin memperbaiki masa lalunya?“Saya ...” Siti menjeda kalimatnya. Dia memberikan tongkat saktinya pada Bima. “Pertama saya ingin mengembalikan tongkat pusaka ini pada negara.” Lalu dia menggenggam tangan Bima seraya memandangi kedua manik ma
“Ke mana dia pergi Malik?” tanya Datok Ranggih yang kini sudah berubah menjadi manusia.“Saya tidak tahu Datok. Dia sudah nekat! Saya cemas malah Uda Bima nanti yang terbawa tipu muslihat istrinya.”“Istrinya?! Apa maksud kau?” lelaki tua itu terkejut menilik Malik.Mengetahui kesalahannya Malik langsung membungkuk di depan gurunya. “Maaf Datok. Saya berhutang janji pada Uda Bima agar tidak mengatakan rahasia ini.”“Jelaskan pada saya apa maksud perkataan kau tadi!”“Sebelum Uda Bima tahu dirinya adalah Inyiak Balang. Dia sudah menikah dengan Lampir, Datok. Dia juga tidak tahu istri yang dia nikahi sebenarnya adalah Lampir.”Datok Ranggih hanya bisa menggeleng lemah. “Mengapa sedari kemarin kau tak bilang pada Datok! Tak tahukah kau, dengan melibatkan cinta nyawa Bima terancam. Lampir pandai merayunya, bertipu muslihat berpura-pura lemah di depan Bima sampai anak m
Dalam kabut hitam nan pekat, meski mata Siti memejam saat menyilangkan kedua kakinya di atas batu tempat sang guru dahulu sering bertapa. Mata batinnya melihat sesosok itu datang dari balik kabut hitam. Rambut putih, punggung bengkok, kulit keriput dan celak mata hitam. Serintil mengikik berjalan pelan ke arah Siti. “Bagaimana keadaanmu Lampir?” “Tidaklah baik Nek. Mengapa Nenek tidak pernah bicara kalau dialah Inyiak yang saya cari.” Mata Siti terus memejam, ya dia hanya bisa menemui Serintil lewat perantara mimpi atau bersemedi seperti sekarang. “Kau pikir aku lebih sakti dari Batara Kala? Aku sudah sering kali berkata padamu jangan sekali-sekali mempercayai manusia. Kau terperdaya pada cinta Siti, tidak ingatkah kau bertapa menyakitkannya leluhur Inyiak muda itu melukaimu. Mereka semua sama sebab dalam diri pemuda itu mengalir darah murni Inyiak, darah dari Kumbang si busuk itu! Sebelum dia terlanjur melukaimu, bunuh dia Lampir ... sebelum dia membunuhmu ... jebak dia dengan per
“Astagfirullah ... uda kenapa?” tanya Malik begitu Bima mendatangi tempat tinggalnya. Dadanya berdarah jalannya sempoyongan. Begitu masuk Bima langsung terduduk di lantai, dia mengeluarkan tusuk konde dari dalam kantungnya.“Saya ... saya sudah bertemu dia.” Bima memberikan tusuk konde itu pada Malik.“Lampir? Dia menusuk Uda?”Bima tidak menjawab, dia masih syok, linglung, entah apa lagi sebutannya. “Saya pikir dia akan langsung membunuh saya.”Malik menilik ujung tusuk konde itu kemudian mengendus. “Dia tidak membubuhkan racun bunga kalmia. Lampir selalu membubuhkan racun di setiap senjatanya.”Bima tertegun, berarti Siti memang tidak berniat membunuhnya. Jikalau dia memang ingin membunuh Bima saat itu. Lampir bisa menggunakan tongkat saktinya seperti yang dia lakukan pada Rodrigo dan Pram. Siti hanya menancapkan ujung tusuk konde kecil ke dada Bima. “Mengapa ... kami harus saling membunuh?” tanya Bima bersandar pada dinding.“Karena dia sudah berjanji akan membunuh semua keturuna
“Katakan di mana perempuan busuk itu?!” Pram menarik rambut Bima hingga kepalanya menengadah. Dia belum puas menyiksa Bima sampai lelaki itu bicara.“Saya tidak tahu!” Tentu saja Bima bisa langsung menghabisi mereka semua dengan kekuatan tersembunyinya andai kata dia boleh membunuh banyak orang tanpa takut jati dirinya terbuka.“Katakan! Atau saya akan menghabisimu perlahan!”“Lebih baik saya mati dari pada mengatakannya!”Pram menertawakan Bima. “Mana mungkin aku percaya pada polisi yang menyembunyikan seorang penyihir. Kalian pasti berkomplot dan kau Bima ... kau telah mencoreng institusi negara dengan menyembunyikan tongkat itu.”“Siti bukan penyihir! Dan kau yang telah berkhianat pada negara! Memalukan!” Bima membuang ludah mengenai Pram.“Beraninya kau!” Pram kembali menarik rambut Bima lalu berseru pada anak buahnya. “Siksa dia sampai bicara!&rdqu
“Sudah aku bilang kan Bima. Dia enggak mungkin bisa kabur kalau bukan agen mata-mata yang diberi perangkat canggih.” Pandangan Mena berkeliling ke segala penjuru. Memerhatikan slot jeruji yang masih utuh. Mencari cela untuk Siti kabur. Tidak ada, semua masih rapi seperti sediakala.“Saya akan mencarinya sendiri. Dia pasti menemui saya.” Bima tidak menyangka istrinya bisa menghilang lagi. Dia pun bingung bagaimana cara menghubungi gawai Siti. Tak ada guna, sebab gawai itu sudah hilang entah ke mana.Bima kembali ke rumah berharap bisa menemukan Siti, Tapi nihil. Dari rumah satu ke rumah lainnya Bima datangi, semua rumahnya yang berupa-rupa itu pun masih kosong tak ada jejak manusia. Bima meremas kepalanya pertanda lelah sudah menghinggapi dirinya. Bima teringat perkataan Malik tentang penyihir hitam yang mungkin saja mencelakai keluarga Bima bukan hanya klan inyiak saja. Sontak Bima bergegas mencari Malik, mungkin saja Siti diculik dengan makhluk gaib bukannya melarikan diri seperti pe