Share

Istri Cantikku Ternyata Lampir
Istri Cantikku Ternyata Lampir
Penulis: Zi Aldina

1. Hilangnya Sang Putri

Semua orang mempunyai kotak kecil terkunci di dalam sebuah ruang bernama, “rahasia.” Pernahkah terpikir olehmu bagaimana tetanggamu yang ketampanannya bak Lee Dong Wook ternyata seorang pendekar mabuk, atau pernahkah kamu mengetahui kalau temanmu yang kuper ternyata adalah manusia Kalong Super. Ya, semua tertutup rapat dalam kotak pendora terkunci yang ada di dalam memori otak manusia. Seperti halnya seorang pemulung bernama Siti.

“Orang gila ... orang gila ...” para bocah mengekori Siti ketika memasuki area perumahan warga. Bagaimana tidak disebut orang gila, meski waras Siti tidak punya uang untuk sekedar membeli pakaian. Dia selalu menambal pakaiannya yang sobek. Begitu juga dengan sepatu hasil curiannya yang sudah lama menganga menampakkan jari-jarinya.

“Eh, dia bukan orang gila ...” Ajun bocah gembul menjatuhkan bungkusan tahu bulatnya begitu melihat Siti di depan mata. Dia mengernyit lalu mengumpat di belakang tubuh Dodo.

“Lu kenapa sih?!” tanya Dodo tak ingin Ajun menggelandotinya.

“Lihat deh, hidung bengkoknya, kulit keriput, mata besar juga rambut gimbalnya. Di-dia ... hihhh ... dia Nenek Lampir!” Ajun berlari tunggang langgang ketakutan meninggalkan Dodo yang sedang mengamati Siti. Bocah lainnya juga berhenti bersorak--memandangi Siti sama seperti Dodo.

Siti berhenti berjalan begitu mendengar obrolan bocah tadi. Dia menengok ke arah Dodo, menyipitkan mata kemudian semakin lama mata itu semakin membesar membelalak. Mulutnya mengernyih menampakkan barisan gigi hitamnya lalu tertawa mengikik. “Hi hi hi ....”

“Ka-kamu siapa?!” tanya Dodo gemetaran.

Dengan suara seraknya Siti membalas membisik, “Kamu nanyea? Kamu bertanyea-tanyea?”

“Ho oh nanya.” Bocah itu pun mengangguk hati-hati.

Siti mendekatkan wajahnya dengan cepat seraya menjawab dengan intonasi pelan tapi mengerikan, “saye Siti Lampir Maymunah ... A. K. A Siti Lampirrr penguasa gunung Marapi ....”

“Se-setan!” Para bocah tadi pun berhamburan kocar-kacir ketakutan begitu Siti mengikik lagi.

Siti menyeringai kemudian mematung terdiam. Hatinya terasa hampa, lamunannya terbawa pada masa lalu yang sulit dilupakannya. Pada sebuah negeri nun jauh di sana. Tanah subur, tanaman berhijauan, bunga bermekaran, panen berkecukupan, hasil laut menggembirakan, masyarakat sejahtera karena dipimpin seorang raja arif bijak sana. Dahulu, ratusan tahun lalu tempat Siti tinggal--tidak ada bus lalu lalang seperti sekarang. Orang-orang sibuk berdagang, berlayar, memanen padi, tidak sibuk memegang gawai. Siti teringat pada satu nama yang selalu terpatri dalam hatinya bahkan sanggup membuat matanya berkaca-kaca, Datuk Panglima Kumbang ....

“Alangkah eloknya mata Adinda, batu permata pun tak mampu menyaingi eloknya binar  bola mata Adinda.” Di balik ilalang tinggi tersapu angin, kesatria Kumbang mencuri-curi pandang dengan kekasihnya sang putri cantik dari Champa; kerajaan terbesar di negara Vin Diet di wilayah selatan Panduranga.

Siti Maymunah tersenyum malu-malu menanggapi pujian sang kesatria yang termasyhur dengan gelar Datuk Panglima Kumbang; sang pendekar harimau berdarah separuh siluman dari Minang Kabau. Sambil menunduk, Siti melirik Kumbang. “Agaknya tak terasa hubungan kita semakin dekat, tak kuasa Siti terus-terusan dipandangi Datuk. Takut makhluk ke tiga datang menggoda. Apalagi lemah nian hati ini.”

Lelaki berpostur tinggi, berkulit kuning cerah, berparas gagah menampakkan barisan giginya yang rapi. Tampak dia tahu apa maksud dari perkataan cerdas Siti. “Awak akan pulang ke Minang.”

“Kapan?” tanya Siti segera. Tidak ingin rasanya cepat terpisah, tapi Siti juga meresah menanti sang kekasih memberi kepastian.

“Lusa. Awak akan membicarakan hubungan kita dengan Abak dan Bundo.”

“Siti pun akan bicara pada kedua orang tua Siti.”

Jemari kekar kumbang membelai pipi Siti dengan lembut. Sedang sebelah tangannya mengambil punggung tangan Siti dan mengecupnya. “Semoga kedua orang tua kita merestui. Tak sabar rasanya Awak ingin mempersunting engkau, Dinda.”

Senyum Siti merekah, hatinya berbunga-bunga mendengar ucapan Kumbang merdu terngiang di telinganya.  Siapalah yang tidak senang dinikahi pria perkasa seperti Kumbang. Pribadinya baik, bijak sana, dan lemah lembut pada wanita. Senang hati Siti pun dia bagi pada kedua orang tuanya.

“Ada apa? dari tadi tersenyum-senyum sendiri. Seperti habis menerima upeti saja. Apa yang membuat hati engkau gembira wahai putriku? Coba cerita pada Ayah dan Bunda.” tanya sang Ibu pada Siti.

Siti yang tengah menemani kedua orang tuanya di taman, kini bermanja kepada sang ayahanda. Dia menyandarkan kepalanya pada bahu sang ayah sambil merangkul lengannya. "Ayahanda ... Siti sudah dewasa sekarang. Bolehkah Siti menentukan pilihan pada siapa Siti akan menikah, dan mengabdikan hidup Siti kelak.”

Raja dan Ratu terkejut sejenak kemudian tersenyum saling memandang. Raja mengelus rambut panjang Siti yang lurus sembari berkata, “Rupanya putri Champa sudah dewasa. Siapalah gerangan yang membuat hati putri terus berbunga hingga tak henti-henti  tersenyum sorang diri.”

“Kesatria Kumbang Ayah. Dia nak melamar Siti, bila Ayah bersedia berjumpa dengan keluarganya.”

Raja bangkit dari singgasananya begitu terkejut. “Apa?! Manusia berdarah siluman itu ingin meminang putriku?!”

“I-iya Ayahanda.” Ragu-ragu Siti mengangguk.

“Lancang sekali Inyiak itu!”

“Kenapa Ayah? Kenapa kalau dia seorang Inyiak Balang? Dia disegani dan dipuja di kepulauannya?”

“Ayah tidak sudi menerima menantu separuh siluman! Itu sama saja kau menodai darah biru leluhur kita. Sebaiknya kau nikahi saja pangeran dari Hoi An atau Raja Indravarman!”

“Tapi Siti tidak mencintai mereka. Kalau alasan Ayahanda hanya karena Kumbang adalah Inyiak yang bagi Ayahanda itu hina, lebih baik Siti pergi saja dari Champa.”

Raja mendengkus keras, emosinya semakin tersulur meskipun sang ratu terus berusaha menenangkannya. Rahangnya mengerat, urat-urat pada pelipisnya mengeras, geram tidak bisa dia tahan. “Baiklah kalau kau menginginkannya. Keluar saja dari Champa! Bila kau keluar, kau bukan lagi Putri seorang Raja.”

Air mata Siti menggenang mendengar bentakan sang ayah. Siti tak kuasa memendam kesedihan. Dia berlari kencang kembali ke kamar.

“Raja ...” Ratu memegangi tangan Raja seolah menegur apa yang telah dikatakannya tadi sungguhlah kejam.

“Biarkan saja Dinda, biar dia berpikir. Saya rasa dia tidak akan berani hidup susah hanya demi cinta.” Raja tetap pada pendiriannya, baginya menikahi Putri sucinya dengan siluman bagaikan mencoreng nama baiknya. Dia berkeyakinan bahwa putrinya tak akan berani melanggar perintahnya dengan menanggung risiko kehilangan takhta juga harta. Hari itu Raja memerintahkan pasukan agar menutup gerbang perbatasan bagi pelancong atau pun imigran dari kepulauan Austronesia yang datang. Raja berpikir hanya dengan cara seperti itu yang dapat memisahkan Siti dan Kumbang selama-lamanya. Tanpa tahu kalau malam itu juga putrinya benar-benar kabur dari istana, menyamar sebagai rakyat biasa demi mencari kekasihnya.

“Lapor yang Mulia.” Salah satu dayang istana datang menghadap sang Raja.

“Ada apa?” Raja menjeda rapat dengan mantri-mantri begitu mengetahui dayang itu pucat dan panik.

“Putri yang Mulia ... Putri Siti Maymunah hilang.”

"Hilang?!"

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Cowok Inisial R
modelan saur sepuh dulu ya ini, seru bgt.
goodnovel comment avatar
Nur Cahaya
minang Maksudnya
goodnovel comment avatar
Nur Cahaya
Dari ranah minah kah ini?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status