“Rupanya Lu malingnya! Ayo, bangun!” Bima menarik kasar Siti, wanita aneh bertubuh langsing layaknya wanita muda tapi berwajah tua. “Wah, memang harus diberi pelajaran! Kenapa lu nyuri?!”
Siti tidak menjawab, dia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan orang asing, apa gunanya? Melihat Siti diam saja, Bima merasa diremehkan. “Bukannya jawab! Lu tuli?!” hardik Bima, sebelah tangannya terangkat untuk memukul Siti. Tapi begitu mengingat dia perempuan, apalagi melihat luka-luka pada wajahnya, Bima menjadi tidak tega. “Gue tanya sekali lagi, kenapa lu nyuri?!”
“Lapar! Saya lapar!” jawab Siti sambil membelalak.
“Yang lu curi bukan makanan tapi perhiasan.” Untung perhiasan itu sudah dikembalikan warga pada pemiliknya dan si pemilik tidak membuat laporan lebih lanjut. Sayangnya Bima merasa perlu mengamankan pencuri seperti Siti yang mungkin akan berulah lagi.
“Saya mencuri ya karena untuk ditukarkan makanan!” Perempuan itu memegang perutnya, Bima yakin dia memang kelaparan. Untuk apa juga Bima menanyakannya, orang mencuri sudah pasti kepepet dengan kebutuhan. Bima tidak banyak bertanya ingin segera membawa Siti ke kantor polisi. Namun ketika dia membonceng gadis yang sedang mengerang kesakitan itu di motor, timbullah rasa iba. Motornya berbelok ke klinik. Sepertinya gadis itu perlu bantuan medis.
“Rusuknya enggak ada yang patah kan?” tanya Bima pada dokter yang memeriksa Siti.
“Enggak ada sih Pak. Nenek ini masih sehat,” balas sang dokter.
“Saya bukan nenek-nenek!” bantah Siti cenderung sinis. Biarpun wajahnya buruk rupa tapi sifat arogan sebagai putri Champa masih ada, dan Siti tidak suka dihina.
“Oh maaf saya enggak tahu Bu,” balas si Dokter menahan tawa yang malah semakin memancing ke tidak sukaan Siti padanya.
“Saya juga bukan ibu-ibu!”
“Berapa memang usia kamu?” tanya Bima, semula dia memang menyimpulkan Siti bukanlah sumuran nenek-nenek seperti yang orang kira. Mungkin sekilas seperti itu, tapi dilihat dari postur tubuhnya, Bima meyakini prediksinya.
“Saya, dua puluh tahun.”
Dokter menyentuh wajah Siti. Meniliknya saksama meski Siti kerap memalingkan wajah. “Progreria Pak. Apa penyakit penuaan dininya mau saya rujuk ke rumah sakit besar?”
“Enggak usah. Cukup obati memar-memarnya saja.”
Setelah dari klinik, sebetulnya Bima ingin segera memasukkan Siti ke dalam sel. Namun entah mengapa dia jadi kasihan lagi. Mungkin karena alasannya mencuri tadi malah membuat Bima terenyuh. Apalagi sejak tadi Siti terus memegangi perut pertanda menahan lapar. Bima pun berhenti di depan warteg. Siti bertambah bingung sebenarnya mau dibawa ke mana dia. Saat Bima terlihat memilih-milih makanan dari etalase, Siti kian menelan ludah. Siti mengira hanya Bima yang makan jadi dia cuma duduk di sudut sambil menopang dagu membuang wajah.
“Makan ini.” Siti menoleh ke piring berisi ayam bakar berada tepat di depan matanya.
“Buat saya?” terkejut wanita itu.
“Iya. Memang buat siapa lagi.” Bima melipat tangan di atas meja mengamati Siti melahap nasi tanpa ampun.
Siti yang risi diperhatikan memelankan kunyahannya. “Kenapa kamu kasih saya makan?”
“Kamu enggak mau?” tanya Bima mengambil ujung piring Siti. Gadis itu menyembunyikannya di balik lengan--memancing tawa Bima. “Makan yang banyak.”
“Makan yang banyak sebab di penjara saya tidak bisa makan enak, begitu?” celetuk Siti.
“Paling enggak kamu dapat makan gratis dari pada mencuri dan luntang-lantung di jalan. Sepertinya kamu masih waras.” Bima memerhatikan Siti lagi, dari cara siti menjawab dia masih kelihatan normal bukan orang gila seperti sangkaannya di awal.
“Memangnya siapa yang bilang saya gila. Kamu yang gila.” Pelotot Siti padanya.
Bima tidak menanggapi, dia malah bertanya hal lain. “Kamu enggak punya kartu identitas? Nama kamu Siapa? Asal kamu dari mana?”
Sambil menggigit paha ayam dan mengoyaknya Siti menjawab, “Siti, saya Siti. Datang jauh dari Champa.”
“Champa?” Dahi Bima mengerut.
“Kamu tidak tahu? Saya bukan berasal dari nusantara, aku hanya bertualang di negeri ini.”
Bima mencondongkan kedua bahunya. “Kamu imigran gelap? Wah, banyak sekali pelanggaranmu.”
“Cih!” Siti mengernyit kan hidung mengangkat sisi atas bibirnya sejenak lalu kembali makan. Tak lama dilihatnya pemuda berompi biru itu tampak tergesa mengangkat gawainya yang berdering.
“Di mana? Baik-baik saya segera ke sana.” Pemuda itu segera berdiri, memakai helm lalu menarik tangan Siti. “Cepat, kamu ikut saya!”
“Makanannya?” Siti menengok hidangan lezat yang baru dimakannya setengah. Daging ayam itu bagai memanggilnya untuk tidak pergi. Tapi apa daya, Bima terus menariknya sedang sebelah tangan Siti hanya bisa meraih udara.
Belum juga kenyang, Siti harus mengikuti lelaki itu pergi dengan sepeda motornya; benda yang mirip seperti kuda bagi Siti. Dia tak tahu apa nama benda yang ia naiki. Yang jelas dulu kekuatannya lebih sakti dari benda yang didudukinya. Seperti bisa terbang atau berjalan di permukaan air hanya dengan mengucap mantra. Berbeda jauh dengan manusia zaman sekarang yang lebih banyak menggantungkan kebutuhannya dengan bantuan benda-benda bermesin.
Motor Bima minggir ke sisi jalan raya repat di belakang mobil hitam yang menabrak pagar pembatas. Ada beberapa orang di dalam mobil termasuk seorang bayi yang tengah menangis dalam pelukan ibunya. Tampaknya luka sang ibu sangat parah di bagian kepala sampai Bima ragu apa perempuan itu masih hidup atau tidak.
“Sudah telepon ambulans?” tanya Bima pada rekannya yang sibuk membuka kunci pintu mobil.
“Masih di jalan, mungkin sebentar lagi sampai.”
“Ditabrak atau kecelakaan tunggal?” Bima mencungkil jendela pintu agar bisa menarik tuas dari dalam.
“Tunggal.”
Dengan mengeluarkan tenaga akhirnya pintu terbuka tepat ketika ambulans datang. Bima dibantu rekannya mengeluarkan satu persatu orang yang terjepit, sayangnya mereka sudah meninggal. Termasuk ibu dari si bayi, lalu bayinya ... Bima menggendong bayi lelaki sehat itu dan bingung harus meletakkannya di mana.
“Tolong pegang dulu.” Lelaki itu memberikan bayi pada Siti yang sedang melamun memandang sirene ambulans.
Siti terkesiap, dia tidak suka pada tangisan anak kecil apa lagi bayi. Oh, bahkan bayi yang terus menangis seperti ini mungkin sudah menjadi bahan penyempurna ramuan sup percobaannya agar bisa kembali cantik. Siti mengangkat si bayi montok sejajar dengan kepalanya. Kemudian dia menyeringai, membengis seperti singa berhadapan dengan mangsa. Si Bayi malah berhenti menangis, hal itu memancing Siti untuk kembali melakukan hal yang sama. Kaki si bayi bergerak-gerak dan anehnya lagi dia malah tertawa. Siti melotot memandang mata si bayi agar berhenti bersuara. Pandangan mereka bertemu, bagaikan tersengat sesuatu yang mengejutkannya. Ada penglihatan baru yang muncul. Sekelebat bayangan kilat menampakkan gambaran-gambaran kejadian yang mungkin dilihat si bayi sewaktu di rumah. Bagaimana dia berada di kursi roda sebelum masuk ke dalam mobil dan kedua orang tuanya sibuk mengurus barang-barang di dalam. Ada seseorang, ya seseorang lagi yang melakukan sesuatu dengan ban mobil selagi orang-orang di sana sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
“Oke pekerjaannya sudah selesai. Kamu pegang dulu ya bayinya, kita ke kantor polisi sekarang,” perkataan Bima memutus bayangan abnormal Siti. Dia mengerjap, melihat mobil hitam yang separuh hancur itu sedang di tarik mobil derek.
“Itu bukan kecelakaan,” gumam Siti yang masih bisa Bima dengar. “Mereka semua dibunuh.”
Bima berhenti memasang kaitan helm, lalu melihat telunjuk Siti mengarah pada ban belakang. Tadinya lelaki itu tidak ingin menghiraukan perkataan Siti. Tapi keseriusan wajahnya memicu rasa penasaran Bima.
“Tunggu! Tunggu!” Bima berlari menyilangkan tangannya ke atas menyuruh mobil derek berhenti. Sambil berjongkok Bima memeriksa ban belakang mobil yang kempes dengan lumuran oli pada permukaan kulit ban. Dia tidak menyangka apa yang di katakan Siti tadi kemungkinan besar memanglah benar. Bima menengok pada perempuan berwajah tua di samping motornya, tatapannya seolah bertanya pada gadis itu, “Bagai mana mungkin tanpa menyentuh ban dia bisa tahu?”
“Sebenarnya saya tidak percaya pada dia.” Datok Ranggih melirik Siti berganti melirik tongkat sakti yang Siti pegang.“Datok, percayalah Siti tidak bermaksud--" kalimat Bima terjeda oleh Siti.“Bima, wajar bila ada yang tidak percaya pada saya,” Siti menyadari betul kebodohannya 600 tahun mempercayai Serintil.“Lalu apa yang kau inginkan sekarang Lampir?” tanya Datok Ranggih masih menilik penjelasan Siti. “Apa kau ingin Bima membukakan pusaran waktu kembali?”“Apa kamu ingin kembali ke kehidupan lamamu Siti?” kini mata Bima berkaca-kaca. Dia tahu Siti masih terjebak pada zaman yang tidak seharusnya. Mungkinkah Siti masih ingin memperbaiki masa lalunya?“Saya ...” Siti menjeda kalimatnya. Dia memberikan tongkat saktinya pada Bima. “Pertama saya ingin mengembalikan tongkat pusaka ini pada negara.” Lalu dia menggenggam tangan Bima seraya memandangi kedua manik ma
“Ke mana dia pergi Malik?” tanya Datok Ranggih yang kini sudah berubah menjadi manusia.“Saya tidak tahu Datok. Dia sudah nekat! Saya cemas malah Uda Bima nanti yang terbawa tipu muslihat istrinya.”“Istrinya?! Apa maksud kau?” lelaki tua itu terkejut menilik Malik.Mengetahui kesalahannya Malik langsung membungkuk di depan gurunya. “Maaf Datok. Saya berhutang janji pada Uda Bima agar tidak mengatakan rahasia ini.”“Jelaskan pada saya apa maksud perkataan kau tadi!”“Sebelum Uda Bima tahu dirinya adalah Inyiak Balang. Dia sudah menikah dengan Lampir, Datok. Dia juga tidak tahu istri yang dia nikahi sebenarnya adalah Lampir.”Datok Ranggih hanya bisa menggeleng lemah. “Mengapa sedari kemarin kau tak bilang pada Datok! Tak tahukah kau, dengan melibatkan cinta nyawa Bima terancam. Lampir pandai merayunya, bertipu muslihat berpura-pura lemah di depan Bima sampai anak m
Dalam kabut hitam nan pekat, meski mata Siti memejam saat menyilangkan kedua kakinya di atas batu tempat sang guru dahulu sering bertapa. Mata batinnya melihat sesosok itu datang dari balik kabut hitam. Rambut putih, punggung bengkok, kulit keriput dan celak mata hitam. Serintil mengikik berjalan pelan ke arah Siti. “Bagaimana keadaanmu Lampir?” “Tidaklah baik Nek. Mengapa Nenek tidak pernah bicara kalau dialah Inyiak yang saya cari.” Mata Siti terus memejam, ya dia hanya bisa menemui Serintil lewat perantara mimpi atau bersemedi seperti sekarang. “Kau pikir aku lebih sakti dari Batara Kala? Aku sudah sering kali berkata padamu jangan sekali-sekali mempercayai manusia. Kau terperdaya pada cinta Siti, tidak ingatkah kau bertapa menyakitkannya leluhur Inyiak muda itu melukaimu. Mereka semua sama sebab dalam diri pemuda itu mengalir darah murni Inyiak, darah dari Kumbang si busuk itu! Sebelum dia terlanjur melukaimu, bunuh dia Lampir ... sebelum dia membunuhmu ... jebak dia dengan per
“Astagfirullah ... uda kenapa?” tanya Malik begitu Bima mendatangi tempat tinggalnya. Dadanya berdarah jalannya sempoyongan. Begitu masuk Bima langsung terduduk di lantai, dia mengeluarkan tusuk konde dari dalam kantungnya.“Saya ... saya sudah bertemu dia.” Bima memberikan tusuk konde itu pada Malik.“Lampir? Dia menusuk Uda?”Bima tidak menjawab, dia masih syok, linglung, entah apa lagi sebutannya. “Saya pikir dia akan langsung membunuh saya.”Malik menilik ujung tusuk konde itu kemudian mengendus. “Dia tidak membubuhkan racun bunga kalmia. Lampir selalu membubuhkan racun di setiap senjatanya.”Bima tertegun, berarti Siti memang tidak berniat membunuhnya. Jikalau dia memang ingin membunuh Bima saat itu. Lampir bisa menggunakan tongkat saktinya seperti yang dia lakukan pada Rodrigo dan Pram. Siti hanya menancapkan ujung tusuk konde kecil ke dada Bima. “Mengapa ... kami harus saling membunuh?” tanya Bima bersandar pada dinding.“Karena dia sudah berjanji akan membunuh semua keturuna
“Katakan di mana perempuan busuk itu?!” Pram menarik rambut Bima hingga kepalanya menengadah. Dia belum puas menyiksa Bima sampai lelaki itu bicara.“Saya tidak tahu!” Tentu saja Bima bisa langsung menghabisi mereka semua dengan kekuatan tersembunyinya andai kata dia boleh membunuh banyak orang tanpa takut jati dirinya terbuka.“Katakan! Atau saya akan menghabisimu perlahan!”“Lebih baik saya mati dari pada mengatakannya!”Pram menertawakan Bima. “Mana mungkin aku percaya pada polisi yang menyembunyikan seorang penyihir. Kalian pasti berkomplot dan kau Bima ... kau telah mencoreng institusi negara dengan menyembunyikan tongkat itu.”“Siti bukan penyihir! Dan kau yang telah berkhianat pada negara! Memalukan!” Bima membuang ludah mengenai Pram.“Beraninya kau!” Pram kembali menarik rambut Bima lalu berseru pada anak buahnya. “Siksa dia sampai bicara!&rdqu
“Sudah aku bilang kan Bima. Dia enggak mungkin bisa kabur kalau bukan agen mata-mata yang diberi perangkat canggih.” Pandangan Mena berkeliling ke segala penjuru. Memerhatikan slot jeruji yang masih utuh. Mencari cela untuk Siti kabur. Tidak ada, semua masih rapi seperti sediakala.“Saya akan mencarinya sendiri. Dia pasti menemui saya.” Bima tidak menyangka istrinya bisa menghilang lagi. Dia pun bingung bagaimana cara menghubungi gawai Siti. Tak ada guna, sebab gawai itu sudah hilang entah ke mana.Bima kembali ke rumah berharap bisa menemukan Siti, Tapi nihil. Dari rumah satu ke rumah lainnya Bima datangi, semua rumahnya yang berupa-rupa itu pun masih kosong tak ada jejak manusia. Bima meremas kepalanya pertanda lelah sudah menghinggapi dirinya. Bima teringat perkataan Malik tentang penyihir hitam yang mungkin saja mencelakai keluarga Bima bukan hanya klan inyiak saja. Sontak Bima bergegas mencari Malik, mungkin saja Siti diculik dengan makhluk gaib bukannya melarikan diri seperti pe