Dita terlihat berat, untuk bangun dari duduk nya. Kembali membayangkan Aditya yang selalu merundung nya di kampus, dan juga begitu membenci nya. Se malam saja-pria itu mengatai diri nya habis-habisan.
"Dita! Ayo!" panggil Mama Nita tiba-tiba.
"Iya, Maa--," sahut nya. Dita terlihat bak, orang bodoh.
"Ayo-bangun! Aditya, sudah menunggu."
Dengan berat hati, akhir nya dia pun bangun dari duduk nya, dan membawa langkah kaki nya ke luar dari dalam rumah.
Mama Nita terlihat sangat begitu bahagia. Wanita paruh baya itu terus mengukir senyum di wajah nya, "Semangat Dita!" Dan menantu nya itu, hanya menyambut dengan senyuman kikuk nya.
**
**
Dita mengayunkan langkah kaki yang berat, dan saat berada di depan, wanita itu mendapati Aditya yang tengah menunggu nya. Smirk iblis, dengan tatapan membunuh, tercetak jelas di wajah tampan pria itu. Dan itu membuat Dita ragu.
"Mau, sampai kapan, kau berdiri di sana?!" tanya Aditya, dengan nada suara nya yang telah mengandung emosi.
"Aku, akan naik taksi saja!"
"Apakah kau memang sengaja, mau membuat ku mendapat marah, dari Papa, dan Mama. Ayo, masuk!" hardik Aditya, dengan nada penuh emosi, dan hal itu berhasil membuat Dita tersentak, dan nyali nya yang menciut seketika.
Akhir nya, dengan hati yang berat, Dita pun masuk ke dalam mobil, dan beberapa detik kemudian, kendaraan mewah milik Aditya, meninggalkan pekarangan rumah nya.
Mengintip dari balik tirai, Mama Nita mendesahkan napas nya pelan, berharap semoga suatu saat, putra nya dapat menerima kehadiran Dita, dalam hidup nya, "Semoga saja, suatu saat Aditya mau menerima Dita menjadi istri nya," gumam Mama Nita.
***
***
Bagaimana hubungan nya, dan Aditya selama ini, membuat ketegangan begitu terasa di dalam mobil, sepanjang perjalanan diri nya, dan Ditamenuju kampus. Aditya lebih banyak diam, dan juga terus memasang wajah datar nya, dan hal itu, membuat Dita semakin merasa tidak nyaman.
Hingga, diri nya sedikit kaget, saat Aditya tiba-tiba menghentikan lajuan mobil nya. Mengirah akan ada keperluan di-area itu, namun, ternyata Dita salah besar.
"Cepat turun dari mobil!" Aditya bersuara, dengan nada membentak.
Memalingkan pandangan nya pada Adit, dan menatap pria itu dengan tatapan lekat-lekat nya. Dan Aditya yang mendapati tatapan dari Dita, seperti itu kembali bersuara pada nya, "Ayo turun! Apakah yang aku katakan masih kurang jelas?!' hardik Aditya, dengan nada suara nya yang mulai meninggi.
"Tapi aku...."
Seketika tawa panjang lolos begitu saja dari mulut Adit, dengan ucapan yang baru saja terucap dari bibir Dita, "Apakah kamu mengirah aku sudah menerima pernikahan ini?! Hei gadis bodoh!" hardik Aditya dengan mendorong pelan kepala Dita, sebab merasa gadis culun itu, sangatlah bodoh! "Orang tua ku mungkin menganggapmu sebagai menantu mereka, namun tidak dengan aku!" Aditya bersuara, dengan menekan kata-kata, di penghujung ucapan nya, "Jadi, sebelum aku lebih marah, lebih baik kamu turun dari mobil ini, atau aku yang akan memaksa mu, untuk ke luar dari dalam mobil." Aditya bersuara dengan tenang, namun kata-kata nya itu, terselip kemarahan yang teramat sangat di dalam nya.
Tak ingin terlibat perdebatan panjang, Dita segera turun dari dalam mobil suami nya. Dan baru saja beberapa detik memijak-kan ke dua kaki nya di luar, Aditya sudah melajukan mobil nya.
Mengusap ke dua mata nya yang telah tertumpuk dengan air mata, Dita merasa diri nya terlihat menyedihkan. Namun, dia merasa, tidak ada guna nya menangis. Bukan-kah, pria itu sudah terbiasa melakukan hal ini pada nya.
"Kenapa, aku harus menangisi, apa yang dia lakukan pada ku? Bukankah, bukan hal baru lagi untuk ku," lirih Dita, berusaha untuk menguatkan diri nya sendiri.
Tak ingin larut, dalam apa yang Aditya lakukan pada nya, Dita bergegas mencari taksi, atau kendaraan lain nya, yang bisa menghantarkan dia sampai di kampus. Hingga, seorang tukang ojek yang melintas, Dita segera menahan nya, dan berlalu bersama tukang ojek itu.
***
***
Kampus.
Setelah membayar ongkos tukang ojek, Dita segera berlari menuju kampus-sebab merasa diri nya sudah sangat terlambat. Wanita itu terlihat begitu panik, hingga saat berlari menuju pintu gerbang, ada beberapa buku nya yang terjatuh, dari dalam tas nya.
"Ya, Tuhan---, semoga saja aku tidak terlambat," gumam nya, dengan wajah frustasi.
Aditya saat ini tengah berada bersama sahabat-sahabat nya di depan gedung kampus. Pria itu nampak tengah bercengkrama.
"Adit....! Bukankah itu si Culun!" ujar Dion dengan senyum tak biasa, dan pandangan nya yang terus dia hantarkan pada Dita.
Aditya segera menghantarkan pandangan nya pada arah pandang Dion, dan di sana pria itu mendapati Dita yang baru saja datang. Terus menatap pada Dita dengan tatapan yang tak biasa, dan dalam hati nya bertanya, wanita yang kini telah menjadi istri nya itu datang dengan menggunakan transportasi apa?
Saat membully Dita, Aditya selalu dibantu oleh sahabat-sahabat nya. Dan, Dion ingin sekali merundung gadis ber kaca mata itu hari ini.
"Pak--," ujar Dion, dengan memberikan kode pada sang secuirity, dan apa yang Dion titahkan, langsung di lakukan oleh petugas keamanan itu. Dan, kini Dita terkunci di luar, dan tentu saja wanita itu sangat kaget. \
"Pak---, saya mohon, buka pintu nya--," lirih Dita, dengan tatapan penuh harap nya, pada pria paruh baya itu.
"Nggak, usah, di buka, Pak---! Dia pikir, kampus ini punya nenek moyang nya?! Datang se-enak, jidat nya! Biar-kan saja, dia di sana!" sahut Roki lantang, dengan senyuman sinis nya.
Beberapa jam kemudianBeberapa menit menempuh perjalanan--akhirnya mobil yang membawa Dita telah kembali berada di rumahnya. Saat akan turun dari dalam mobil, mimik wajah Dita seketika berubah setelah mendapati adanya sebuah mobil asing yang terparkir di depan rumah. Melangkahkan kakinya--namun pandangan itu tak Dita putuskan dari mobil berwarna merah itu. "Dita---." Panggil suara tidak asing-membuat pandangan Dita teralihkan, dan seketika mimik wajah Dita berubah kaget--setelah mendapati siapa yang menyeruhkan namanya itu."Anita!" gumam Dita dengan tatapan tidak percayanya. Dita segera mengambil langka lebarnya menghampiri wanita yang sudah lama tidak dia temuinya itu.Namun, adanya baby Damar dalam gendongan Anita membuat antusias di dalam diri Dita hilang sekejap. "Kapan kau datang?" tanya Dita, tanpa meminta persetujuan Anita--wanita itu segera mengambil alih Damar dalam gendongan sahabatnya, dan melabuhkan kecupan singkat pada pipi gembul baby Damar. "Sekitar dua puluh menit y
Kendaraan yang membawa Dita--telah terparkir di halaman depan rumah sakit. Dengan ragu, wanita bernama Anandita Setiawan itu menurunkan kedua kakinya. "Apakah perlu saya temani, Nyonya?" tanya sang sopir tiba-tiba, saat Dita tak kunjung melangkahkan kakinya ke dalam bangunan di depannya. "Tidak perlu Pak, Bapak tunggu di sini saja," sahut Dita dengan menoleh sebentar pada sopir pribadinya, dan kembali membawa pandangan pada bangunan yang berada di depan."Baiklah Nyonya, kalau begitu saya akan memarkirkan mobil-dan menunggu anda di sana saja," ujar sang sopir memberitahu, seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah pohon yang rindang yang berada di dekat halaman parkir. "Baik Pak," sahut Dita, dan sang sopir segera melajukan kembali kendaraan roda empat itu. Dita menghembuskan napasnya kasar, meraup udara sebanyak mungkin--saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Suasana hatinya tiba-tiba tak karuan. Antara iya, dan tidak, untuk dirinya masuk ke dalam bangunan rum
Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru--sebab kini bumi telah diselimuti kegelapan kala malam kembali menyapa. Angin berhembus sedikit kencang, membuat tirai yang menggelantung tertiup kala angin berhasil mencuri masuk ke dalamnya. Mendapati hal itu Dita segera menghampiri. Kedua tangannya menarik ujung gorden, dan menyatukannya dengan lebih rapat lagi. Mengedarkan pandangannya menjelajahi seisi ruangan. Suasana kamar kini sangat berbanding terbalik dengan tadi. Tadinya kamar ini sangat riuh, dengan celotehan, dan tangisan ketiga buahatinya. Namun, kini telah lenggang karena bayi-bayi miliknya sudah terlelap. Menghembuskan napasnya panjang, Dita meraup oksigen sebanyak mungkin melepas lelah yang begitu menggerogoti di tubuh. Dita merasa seperti baru saja melepaskan beban yang cukup berat. "Ternyata ada asam-manisnya," gumam Dita, dengan senyuman yang dia ukir di wajahnya. Dita memutuskan untuk kembali melihat ketiga bayinya. Menyingkap tirai tipis yang menghalangi pandangan, s
Sangat tidak keberatan untuk seorang Aditya Wijaya jika Dion memberikan putranya untuk dia asuh--sebab perasaan memiliki itu sudah ada untuk anak dari sahabat baiknya itu sejak dia lahir. Namun, yang jadi pertanyaan untuk Aditya--kenapa Dion ingin memberikan anaknya pada dia, sebab pria itu sendiri pernah meminta padanya agar Aditya mengikhlaskan Damar untuknya."Katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi, sampai kau ingin memberikan Damar padaku?" tanya Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. Kedua alis tebal Aditya menyurut, saat pupil hitam pekat pria itu semakin tajam ketika menatap Dion. Bukan hanya Aditya saja yang dibuat kaget dengan permintaan Dion, namun Dita juga. Dirinya sama sekali tidak keberatan jika Dion memberikan putranya pada dia, dan Adtya, untuk diasuh oleh mereka. Namun, yang membuat Dita heran---sebab Dion--dulu ingin merawat putranya sendiri. "Iya, Dion. Aku sama sekali tidak masalah kalau kau memberikan Damar pada aku, dan Aditya. Aku akan mer
Baby Adrian yang sudah mabuk ASI perlahan melepaskan puting susu ibunya sendiri, dan kini sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan saat Dita kembali menyodorkan putingnya, bayi itu kembali melepaskannya dan kini justru memasukkan gumpalan jari ke dalam mulutnya. Baby Adrian kini fokus bermain."Sepertinya dia sudah kenyang," ujar Aditya. "Iya Mas," sahut Dita membenarkan, dan wanita itu memutuskan untuk membaringkan putranya disamping saudara kembarnya. Dalam keadaan kenyang, membuat baby Adrian dan juga Adriana tak lagi rewel. Kedua bayi itu kini bermain, menendang-nendang kecil kaki mereka, ataupun mengemut jari-jarinya. Dan, kegiatan kecil yang dilakukan oleh bayi kembar itu mampu membuat perasaan kedua orang tuanya terhibur. "Mereka sangat menggemaskan ya, Dit?" ujar Aditya-dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sekilas menatap pada Dita, dan kembali memfokuskan pandangannya pada kedua anaknya. Aditya nampak sangat menikmati apa yang dia lakukan saat ini. "Mas-
Dua bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua bulan telah berlalu, sejak kelahiran baby Adrian, dan Adriana. Banyak hal yang telah dilewati dalam dua bulan terakhir ini. Salahsatunya Dita yang kini telah pindah dari villa, dan menempati rumah barunya, yang barus atu bulan ini dibeli oleh Aditya.Hari-hari yang dilewati Dita penuh dengan kebahagiaan. Suami yang sangat mencintainya, dan memiliki kedua anak yang semakin hari, semakin menggemaskan di matanya. Dita, seperti memiliki mainan baru-sebab sejak kehadiran baby Adrian, dan baby Adriana membuat hari-hari dari Ibu muda itu terasa jauh lebih berwarna. Namun, kadang Dita suka menemukan kerepotan kalau kedua bayi kembar itu rewel bersamaan.Dan, tanpa Dita sadari dirinya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seperti biasa, saat pagi hari sebelum Aditya bangun Dita telah berkunjung ke kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya, dan Aditya. Berada di kamar dengan cat berwarna putih yang mendomi