Share

IDDI - 2

Penulis: Sity Mariah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-08 11:16:15

Regita berdiri di depan cermin rias dengan gaun putih gading membalut tubuhnya. Gaun itu indah, hasil jahitan tangan desainer terkenal, renda halus melingkari leher dan pergelangan, kerudung tipis menjuntai hingga punggung. Tapi tak ada satu pun dari semua itu yang mampu membuat hatinya tenang apalagi senang.

"Git, penghulu sudah datang. Kita ke luar sekarang. Akad nikah akan segera dimulai." Larissa datang dan memberitahu.

Regita masih diam. Menatap pantulan wajahnya dalam cermin. Ia ingin berontak bahkan kabur dalam acara pagi hari itu. Acara yang digelar sangat tertutup dan hanya dihadiri keluarga inti dari dua keluarga besar. Namun Regita tak bisa membantah kali ini. Atau, ia akan kehilangan semua fasilitas yang diberikan selama ini.

"Ayo! Buruan!" Larissa menegur. Menarik lengan keponakannya itu agar segera keluar dari ruang make up.

Namun Regita tampak bergeming. Hanya bisa menatap dirinya sendiri di cermin. Wajah yang dirias seolah bukan miliknya. Terlalu tenang untuk jiwa yang sedang porak-poranda.

Ia menatap sang Tante dengan sorot mata mengiba. Berbeda dari kebiasaannya selama ini, yang selalu melawan dan menentang pada Larissa.

"Tan ... tolongin. Aku gak mau nikah," pinta Regita dengan suara pelan.

"Ini perintah Oma, Git! Lagian kamu bandel banget jadi cewek, belajar ya belajar aja, gak usah tawuran dan berantem segala macem!" Bukannya menenangkan, Larissa justru memarahi dengan suara mendesis, mencoba menahan emosi.

Regita menunduk, jemarinya mengepal erat di pangkuan. "Aku takut, Tan. Aku bahkan nggak kenal dia. Lihat wajahnya baru satu kali. Denger suaranya baru dua kali. Gimana ceritanya mau jadi suami istri?"

"Justru itu yang bagus," balas Larissa cepat. "Kamu juga nggak usah sok selektif. Kamu pikir, ada banyak orang di luar sana yang mau nikahin kamu dengan semua catatan kriminal kecilmu itu?"

Regita memalingkan wajah. Matanya mulai basah, tapi ia paksa menelan semuanya.

Larissa mendesah, lalu meraih tangan keponakannya. "Udah. Jangan bikin Oma makin murka. Kita keluar sekarang."

Dengan langkah berat, Regita bangkit. Dituntut Larissa, mereka keluar dari ruang make up dan berjalan melewati lorong rumah mewah yang hari ini lebih sunyi dari biasanya.

Tidak ada musik. Tidak ada bunga-bunga meriah. Hanya suasana dingin dan formal. Seakan semua yang datang bukan untuk merayakan, tapi menyaksikan sebuah eksekusi yang elegan.

Regita menggigit bibir, tubuhnya mulai gemetar.

Tangan Larissa menggenggam bahunya dari belakang sambil cekikikan. "Makanya jangan bandel, dikawinin 'kan jadinya. Tapi Tante bersyukur Oma cepat-cepat nikahin kamu, jadinya Tante gak akan dibebankan mengawasi kamu lagi. Karena kamu sudah bersuami dan Tante bakal kembali ke New Zealand." Larissa tidak dapat menyembunyikan binar bahagia di wajahnya.

Namun, Regita justru mencebik, karena Larissa benar-benar tidak ada di pihaknya.

Gadis itu menghela napas. Dalam hati, ia masih berharap ini semua hanya mimpi buruk yang bisa ia akhiri saat membuka mata. Tapi tidak. Ini nyata.

"Tan, please tolongin aku. Aku gak mau menikah. Tante sendiri tahu bagaimana pernikahan mama dan papaku berantakan. Bahkan pernikahan mereka juga yang membuat Tante takut untuk menikah!" Regita kembali meminta bantuan Larissa agar pernikahan hari itu bisa dihentikan.

Larissa mengangguk pelan. "Tapi Tante tetap berada di jalan yang Oma inginkan. Sehingga Oma gak akan mempermasalahkan pilihan Tante untuk tidak menikah, dan mungkin menjadi perawan sampai tua. Tapi kamu ini terlalu nakal, Git. Hukuman apapun ga bikin kamu sadar dengan kesalahan-kesalahan kamu. Jadi, terimalah!"

Regita cemberut, tapi apa yang Larissa katakan benar adanya. Larissa tersenyum menuntun Regita di sampingnya, sedangkan sang pengantin tampak muram.

Langkah kaki Regita terasa berat saat tiba di ruang akad. Di sana, pria itu sudah duduk tenang, mengenakan setelan jas berwarna abu lembut.

Wajahnya datar, tanpa senyum. Rahangnya tegas. Lelaki yang bahkan Regita tidak tahu pekerjaannya.

Tatapan mereka bertemu sebentar. Regita menunduk. Ada rasa asing menjalar di dada. Campuran canggung, marah dan takut.

Akad dimulai.

Kalimat demi kalimat penghulu menggema dalam ruangan yang hening. Regita sudah duduk di samping calon suaminya. Namun rasanya ia ingin berlari. Kabur dari tempat itu tapi konsekuensi yang harus diterimanya terlalu besar.

Regita memejamkan mata. Menarik napas panjang mengisi dadanya dengan oksigen sebanyak mungkin. Ia memberi sugesti pada jiwa dan pikirannya, bahwa ada hal baik lain yang ia dapat dari pernikahannya. Ia bisa kembali kuliah dan kali ini masuk ke jurusan psikologi. Bukan lagi jurusan bisnis atau manajemen yang selalu dituntut sang Oma.

Dengan napas yang berat, Regita membuka mata. Penghulu tengah mengulang pertanyaan sakral yang hanya perlu dijawab satu kali oleh pria di sampingnya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Regita Snova Prameswari binti Almarhum Surya Wiratama dengan mas kawin tersebut tunai!"

Lelaki itu mengucapkan ijab qobul dengan fasih. Hanya satu kali tarikan napas dan pernikahan pun dinyatakan sah.

Beberapa orang mulai bertepuk tangan pelan. Nyonya Arlinda pun hanya mengangguk tipis, puas karena rencananya berjalan sesuai keinginan.

Regita masih terdiam. Tangannya gemetar saat cincin disematkan di jari manisnya oleh sang suami. Lelaki itu tidak mengatakan apa pun. Hanya menatap sebentar, lalu kembali menunduk.

Segalanya terasa formal. Dingin dan hambar.

Setelah acara akad selesai, keduanya diminta berdiri untuk sesi foto bersama keluarga inti. Regita berdiri kaku di sisi suaminya. Tak ada pegangan tangan, apalagi senyuman hangat. Seolah mereka hanya dua orang asing yang kebetulan memakai pakaian pengantin.

Flashes kamera menyala silih berganti.

Di dalam hati Regita, badai tak kunjung reda. Ia masih merasa ini bukan hidupnya. Bukan jalur hidup yang ia pilih. Tapi kini cincin itu sudah melingkar di jarinya. Statusnya sudah berubah menjadi istri orang.

Istri dari seorang pria yang bahkan belum tahu warna kesukaannya, makanan favoritnya, atau hal-hal kecil yang ia benci.

Dan sekarang, ia harus hidup bersamanya.

Pernikahan itu resmi. Sah di mata hukum dan agama.

Tapi bagi Regita, kenapa rasanya seperti dijebloskan ke dalam penjara?

.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Dadakan Dosen Idaman    IDDI - 7

    Regita kesal bukan main. Bibirnya terkatup rapat dengan gigi saling beradu menahan geram. Dia yang pemberontak tentu saja merasa makin terkekang dan terganggu oleh kehadiran Yudetra. Bukkk! Tanpa berpikir panjang, Regita menginjak kaki Yudetra dengan keras. Hingga perlahan cekalan tangan Yudetra pada Regita pun mengendur. Memberi celah untuk Regita bergerak, dan dengan cepat berbalik badan lalu .... Bugh! Regita menghantam wajah Yudetra saat lelaki itu lengah. Tinjunya itu berhasil mengenal hidung Yudetra yang perlahan kemudian mengeluarkan darah. "Elo pikir lo siapa ngatur-ngatur gue seenaknya?" Nada bicara Regita naik beberapa oktaf karena tidak bisa mengontrol diri lagi. Yudetra yang tidak siap dengan pukulan itu tentu saja tidak bisa menghindar atau sekedar menangkis. Laki-laki itu merasakan kunang-kunang yang berputar dalam penglihatannya, hingga perlahan mengabur dan akhirnya ia jatuh pingsan. "Gitaaa!" Gera berseru kaget dan segera menyusul Regita bersama satu temannya y

  • Istri Dadakan Dosen Idaman    IDDI - 6

    "Mau coba?" tawar Yudetra. "Saya jamin rasanya akan jauh lebih manis dan bikin kamu kecanduan setengah mati." Regita menatap Yudetra dengan tatapan setengah geli, setengah muak. Namun lebih dari itu, Regita merasa amat terkejut. "Amit-amit!" Lalu tak sampai dua detik ... Bukkk! "Heh—" Yudetra meringis pelan, wajahnya sedikit menegang. Regita baru saja menginjak kaki kirinya dengan keras. Sepatu sneakers-nya mendarat tepat di punggung kaki Yudetra yang hanya memakai sandal jepit. “Rasanya gimana? Manis? Pedas? Atau agak ngilu?” ujar Regita dengan senyum sinis. Yudetra mundur satu langkah, masih meringis, tapi tidak bisa menahan tawa. “Kamu ... ganas juga ternyata.” “Dan kamu, terlalu percaya diri,” timpal Regita cepat. Ia membalikkan badan lalu berjalan ke arah pagar. Setelah memastikan penjaga rumah benar-benar tidak muncul, serta tak ada orang di sekitar—ia mendongak menatap pagar setinggi empat meter itu. Sepintas, Regita melirik ke belakang. Yudetra masih berdiri di tempa

  • Istri Dadakan Dosen Idaman    IDDI - 5

    ************** Regita bersandar pada pilar teras. Memperhatikan Yudetra yang sedang berkutat di taman kecil halaman rumah itu. Yudetra hanya memakai apron waterproof sebagai pelapis agar pakaiannya terhindar dari tanah, tapi penampilannya terlalu rapi untuk sekedar berkebun. Sarung tangan hitam melapisi jemarinya yang kini sedang sibuk memindahkan media tanam ke pot bunga. Sesekali ia menyeka keringat dengan punggung tangan lalu kembali fokus. "Non, ini jus alpukat favorit Tuan Yudetra sudah jadi. Tolong diantar, ya." Pembantu rumah tangga muncul dari dapur dengan nampan berisi segelas minuman dingin dan sedotan stainless. Regita berbalik, siap menolak. “Suruh dia aja yang ambil sendiri ke dapur.” “Tapi tadi Tuan meminta untuk diantar. Soalnya tangannya lagi kotor semua. Beliau udah nunggu dari tadi dan berpesan pada saya, supaya Non Regita yang mengantarnya ...” jelas pembantu itu hati-hati. Regita menghela napas, mengambil nampan itu dengan malas. "Sini!" Gerakan tangannya ka

  • Istri Dadakan Dosen Idaman    IDDI - 4

    "Tandatangani ini." Regita datang menyusul ke ruang makan sambil menyodorkan kertas hasil print ke hadapan Yudetra. Perempuan yang masih mengenakan piyama tidur itu lantas menghempas bobotnya berhadapan dengan Yudetra. Mengambil satu buah apel dan langsung melahapnya. Nasi goreng dengan omelette yang terhidang, seolah tidak menarik seleranya yang lebih menyukai gorengan dan segelas kopi hangat untuk sarapan. "Apa ini," ucap Yudetra yang sudah memulai sarapannya. Mulutnya bahkan tengah mengunyah nasi goreng saat ia mengambil kertas yang disodorkan Regita. Tampak lelaki yang sudah berpakaian casual nan rapi itu membaca isi kertasnya. Kepalanya manggut-manggut seolah sedang mencerna dan memahami apa yang ia baca. "Itu surat perjanjian pernikahan kita. Pernikahan ini hanya akan bertahan enam bulan, setelah enam bulan kita harus berpisah dan aku akan mencari cara agar perpisahan ini terlihat natural di mata Oma. Aku sudah menulis point-point penting dalam pernikahan ini. Salah satunya

  • Istri Dadakan Dosen Idaman    IDDI - 3

    Malam datang bersama rintik yang perlahan turun. Regita dan sang suami sudah berada di dalam kamar yang sama. Sebuah kamar utama dalam rumah di salah satu cluster mewah pilihan sang Oma—tanpa Regita tahu sebelumnya. Ia hanya diantar ke sana oleh sopir keluarga, tanpa sempat menanyakan alamat atau bahkan sempat memprotes. Kamar itu terlalu besar. Terlalu sunyi dan dinginnya tidak berasal dari AC. Regita duduk di ujung ranjang dengan gaun tidur satin yang disiapkan entah oleh siapa. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang, kedua lutut dilipat, tangan memeluk bantal. Sementara lelaki itu baru keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus polos dan celana panjang rumah. Basah di rambutnya menetes ke leher, tapi yang lebih mengganggu Regita adalah aroma sabun maskulin yang entah kenapa justru membuat napasnya tak nyaman dan otaknya berkelana liar. Mereka saling melirik, tapi cepat-cepat memalingkan wajah. Seolah keduanya sedang jadi tahanan di ruang yang sama dan tak ingin terlibat lebih

  • Istri Dadakan Dosen Idaman    IDDI - 2

    Regita berdiri di depan cermin rias dengan gaun putih gading membalut tubuhnya. Gaun itu indah, hasil jahitan tangan desainer terkenal, renda halus melingkari leher dan pergelangan, kerudung tipis menjuntai hingga punggung. Tapi tak ada satu pun dari semua itu yang mampu membuat hatinya tenang apalagi senang. "Git, penghulu sudah datang. Kita ke luar sekarang. Akad nikah akan segera dimulai." Larissa datang dan memberitahu. Regita masih diam. Menatap pantulan wajahnya dalam cermin. Ia ingin berontak bahkan kabur dalam acara pagi hari itu. Acara yang digelar sangat tertutup dan hanya dihadiri keluarga inti dari dua keluarga besar. Namun Regita tak bisa membantah kali ini. Atau, ia akan kehilangan semua fasilitas yang diberikan selama ini. "Ayo! Buruan!" Larissa menegur. Menarik lengan keponakannya itu agar segera keluar dari ruang make up. Namun Regita tampak bergeming. Hanya bisa menatap dirinya sendiri di cermin. Wajah yang dirias seolah bukan miliknya. Terlalu tenang untuk jiwa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status