Regita berdiri di depan cermin rias dengan gaun putih gading membalut tubuhnya. Gaun itu indah, hasil jahitan tangan desainer terkenal, renda halus melingkari leher dan pergelangan, kerudung tipis menjuntai hingga punggung. Tapi tak ada satu pun dari semua itu yang mampu membuat hatinya tenang apalagi senang.
"Git, penghulu sudah datang. Kita ke luar sekarang. Akad nikah akan segera dimulai." Larissa datang dan memberitahu. Regita masih diam. Menatap pantulan wajahnya dalam cermin. Ia ingin berontak bahkan kabur dalam acara pagi hari itu. Acara yang digelar sangat tertutup dan hanya dihadiri keluarga inti dari dua keluarga besar. Namun Regita tak bisa membantah kali ini. Atau, ia akan kehilangan semua fasilitas yang diberikan selama ini. "Ayo! Buruan!" Larissa menegur. Menarik lengan keponakannya itu agar segera keluar dari ruang make up. Namun Regita tampak bergeming. Hanya bisa menatap dirinya sendiri di cermin. Wajah yang dirias seolah bukan miliknya. Terlalu tenang untuk jiwa yang sedang porak-poranda. Ia menatap sang Tante dengan sorot mata mengiba. Berbeda dari kebiasaannya selama ini, yang selalu melawan dan menentang pada Larissa. "Tan ... tolongin. Aku gak mau nikah," pinta Regita dengan suara pelan. "Ini perintah Oma, Git! Lagian kamu bandel banget jadi cewek, belajar ya belajar aja, gak usah tawuran dan berantem segala macem!" Bukannya menenangkan, Larissa justru memarahi dengan suara mendesis, mencoba menahan emosi. Regita menunduk, jemarinya mengepal erat di pangkuan. "Aku takut, Tan. Aku bahkan nggak kenal dia. Lihat wajahnya baru satu kali. Denger suaranya baru dua kali. Gimana ceritanya mau jadi suami istri?" "Justru itu yang bagus," balas Larissa cepat. "Kamu juga nggak usah sok selektif. Kamu pikir, ada banyak orang di luar sana yang mau nikahin kamu dengan semua catatan kriminal kecilmu itu?" Regita memalingkan wajah. Matanya mulai basah, tapi ia paksa menelan semuanya. Larissa mendesah, lalu meraih tangan keponakannya. "Udah. Jangan bikin Oma makin murka. Kita keluar sekarang." Dengan langkah berat, Regita bangkit. Dituntut Larissa, mereka keluar dari ruang make up dan berjalan melewati lorong rumah mewah yang hari ini lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada musik. Tidak ada bunga-bunga meriah. Hanya suasana dingin dan formal. Seakan semua yang datang bukan untuk merayakan, tapi menyaksikan sebuah eksekusi yang elegan. Regita menggigit bibir, tubuhnya mulai gemetar. Tangan Larissa menggenggam bahunya dari belakang sambil cekikikan. "Makanya jangan bandel, dikawinin 'kan jadinya. Tapi Tante bersyukur Oma cepat-cepat nikahin kamu, jadinya Tante gak akan dibebankan mengawasi kamu lagi. Karena kamu sudah bersuami dan Tante bakal kembali ke New Zealand." Larissa tidak dapat menyembunyikan binar bahagia di wajahnya. Namun, Regita justru mencebik, karena Larissa benar-benar tidak ada di pihaknya. Gadis itu menghela napas. Dalam hati, ia masih berharap ini semua hanya mimpi buruk yang bisa ia akhiri saat membuka mata. Tapi tidak. Ini nyata. "Tan, please tolongin aku. Aku gak mau menikah. Tante sendiri tahu bagaimana pernikahan mama dan papaku berantakan. Bahkan pernikahan mereka juga yang membuat Tante takut untuk menikah!" Regita kembali meminta bantuan Larissa agar pernikahan hari itu bisa dihentikan. Larissa mengangguk pelan. "Tapi Tante tetap berada di jalan yang Oma inginkan. Sehingga Oma gak akan mempermasalahkan pilihan Tante untuk tidak menikah, dan mungkin menjadi perawan sampai tua. Tapi kamu ini terlalu nakal, Git. Hukuman apapun ga bikin kamu sadar dengan kesalahan-kesalahan kamu. Jadi, terimalah!" Regita cemberut, tapi apa yang Larissa katakan benar adanya. Larissa tersenyum menuntun Regita di sampingnya, sedangkan sang pengantin tampak muram. Langkah kaki Regita terasa berat saat tiba di ruang akad. Di sana, pria itu sudah duduk tenang, mengenakan setelan jas berwarna abu lembut. Wajahnya datar, tanpa senyum. Rahangnya tegas. Lelaki yang bahkan Regita tidak tahu pekerjaannya. Tatapan mereka bertemu sebentar. Regita menunduk. Ada rasa asing menjalar di dada. Campuran canggung, marah dan takut. Akad dimulai. Kalimat demi kalimat penghulu menggema dalam ruangan yang hening. Regita sudah duduk di samping calon suaminya. Namun rasanya ia ingin berlari. Kabur dari tempat itu tapi konsekuensi yang harus diterimanya terlalu besar. Regita memejamkan mata. Menarik napas panjang mengisi dadanya dengan oksigen sebanyak mungkin. Ia memberi sugesti pada jiwa dan pikirannya, bahwa ada hal baik lain yang ia dapat dari pernikahannya. Ia bisa kembali kuliah dan kali ini masuk ke jurusan psikologi. Bukan lagi jurusan bisnis atau manajemen yang selalu dituntut sang Oma. Dengan napas yang berat, Regita membuka mata. Penghulu tengah mengulang pertanyaan sakral yang hanya perlu dijawab satu kali oleh pria di sampingnya. "Saya terima nikah dan kawinnya Regita Snova Prameswari binti Almarhum Surya Wiratama dengan mas kawin tersebut tunai!" Lelaki itu mengucapkan ijab qobul dengan fasih. Hanya satu kali tarikan napas dan pernikahan pun dinyatakan sah. Beberapa orang mulai bertepuk tangan pelan. Nyonya Arlinda pun hanya mengangguk tipis, puas karena rencananya berjalan sesuai keinginan. Regita masih terdiam. Tangannya gemetar saat cincin disematkan di jari manisnya oleh sang suami. Lelaki itu tidak mengatakan apa pun. Hanya menatap sebentar, lalu kembali menunduk. Segalanya terasa formal. Dingin dan hambar. Setelah acara akad selesai, keduanya diminta berdiri untuk sesi foto bersama keluarga inti. Regita berdiri kaku di sisi suaminya. Tak ada pegangan tangan, apalagi senyuman hangat. Seolah mereka hanya dua orang asing yang kebetulan memakai pakaian pengantin. Flashes kamera menyala silih berganti. Di dalam hati Regita, badai tak kunjung reda. Ia masih merasa ini bukan hidupnya. Bukan jalur hidup yang ia pilih. Tapi kini cincin itu sudah melingkar di jarinya. Statusnya sudah berubah menjadi istri orang. Istri dari seorang pria yang bahkan belum tahu warna kesukaannya, makanan favoritnya, atau hal-hal kecil yang ia benci. Dan sekarang, ia harus hidup bersamanya. Pernikahan itu resmi. Sah di mata hukum dan agama. Tapi bagi Regita, kenapa rasanya seperti dijebloskan ke dalam penjara? ."Lo bener-bener nyebelin tahu gak? Harusnya elo menolak keras permintaan Oma soal cicit tadi. Malah iya-iya aja. Sialan!" Regita nyerocos saat mobil yang dikendarai Yudetra baru saja keluar dari kediaman sang Oma. Makan malam sudah selesai dan mereka menuju perjalanan pulang. Amplop putih berisikan tiket pesawat dan voucher bulan madu teronggok di atas dashboard. "Harusnya juga, elo nolak agenda bulan madu dari Oma!""Gue baru dua puluh tiga tahun. Tiba-tiba nikah sama Lo aja gue masih sangat syok dan gak terima. Apalagi kalau sampai harus hamil dan tiba-tiba punya anak. Gue gak rela masa muda gue justru habis buat ngurus bayi. No no no!"Yudetra tampak santai mengendalikan setir kemudi mobilnya. Mengembus napas kasar mendengar ocehan Regita di sampingnya itu, hingga tiba-tiba ia menginjak pedal rem begitu mendadak. Mobil berhenti dan tubuh Regita tersentak ke depan."Yudeeet! Yang bener bawa mobil. Elo mau bikin gue celaka?!" protes dari mulut Regita terdengar melengking memenuhi mob
"Dua puluh tiga tahun lamanya mengurusi kamu, baru malam ini Oma melihat kamu begitu manis, Git. Tidak salah Oma meminta Yudetra yang menjadi suamimu," papar Nyonya Arlinda yang duduk di head of the table malam ini layaknya seorang pemimpin dalam keluarga.Regita yang duduk di sebelah sang suami bukannya terkesan, malah mendecak dan memanyunkan bibir. Merasa tidak tersentuh sama sekali dengan pujian sang Oma. Sementara Yudetra yang duduk lebih dekat dengan Nyonya Arlinda hanya menundukkan kepala dan tersenyum simpul.Meja makan mewah berlapis marmer cokelat itu memantulkan cahaya lampu kristal di atasnya, membuat suasana makan malam terlihat semakin elegan. Berbagai jenis hidangan makanan tersaji di atasnya. Mulai dari hidangan pembuka, utama hingga makanan penutup.Para pelayan dengan sigap mengisi piring ketiganya, hingga makan malam itu pun berlangsung.Regita berusaha fokus pada piringnya, memotong daging steak dengan gerakan cepat seolah ingi
Brak!Regita menutup kasar pintu mobil setelah dirinya duduk di kursi samping kemudi. Yudetra memandang perempuan di sebelahnya secara menyeluruh. Senyuman pun mengembang di bibir lelaki itu, melihat Regita mengenakan dress serta flatshoes yang ia berikan."Elo ngapain liat-liat? Buruan jalan!" hardik Regita lalu mengarahkan pandangannya kembali ke depan."Kamu kalau bicara gak bisa diturunin dikit gitu nadanya? Kenapa tiap bicara sama saya gak bisa santai? Padahal saya gak ngapa-ngapain lho, kenapa kamu tuh kayak orang ngajak ribut aja bawaannya? Bisa gak, anggun dikit gitu, lho?" Yudetra menyuarakan protesnya."Gak bisa! Apalagi sama elo yang nyebelinnya tingkat dewa. Jangan harap gue bisa baik sama Lo. Dih, males!" dumel Regita sambil membuang muka ke arah samping.Yudetra mengambil napas dalam-dalam sambil menatap lurus ke arah depan. "Apa kamu gak tahu, orang galak dan pemarah cenderung lebih beresiko kena struk?""Bodo amat. Sekarang mending buruan bawa mobilnya. Jangan sampai t
Regita kebingungan. Biasanya, bathrobe selalu tersedia pada gantungan besi di kamar mandi. Namun sekarang, di dalam kamar mandi itu tidak ada satu pun kain yang menggantung. Regita menghela napas keras, lalu membuka pintu kamar mandi sedikit. Menyembulkan kepala seraya merapatkan tubuhnya di belakang pintu. “YUDETRA! Handuk gue enggak ada,” teriaknya, tapi tak ada respons. "Yudetra! Gue minta handuk!" Regita berteriak lagi. Lebih keras tapi tetap tidak ada yang merespons. "Woyyy lah, gak ada yang denger? Hellooo! Gue minta handuk!" Ia berteriak lagi tapi keadaan masih sunyi. Ia pun menghela napas kesal. Membuka pintu kamar mandi lebih lebar dan kian menyembulkan kepalanya. Memastikan di dalam kamar luas itu tidak ada siapapun. Akhirnya ia keluar dari kamar mandi, menarik handuk putih yang menggantung di jemuran besi samping lemari. Ia mengikat handuk itu seadanya di dada, lalu melangkah menuju lemari untuk mengambil pakaiannya. Namun, belum sempat ia bergeser, pintu kamar itu t
Yudetra menatap wajah Regita yang kini hanya berjarak beberapa inchi darinya. Napas mereka saling bertukar di udara yang sama, hangat, mendesak, dan tak terelakkan. Tatapan matanya mengunci pandangan Regita, begitu dalam dan menusuk, seperti ingin menggali lebih jauh dari sekadar kemarahan. Regita berusaha menarik tangannya, tapi cengkeraman Yudetra masih kuat, tidak menyakitkan namun cukup untuk membuatnya kesulitan kabur. "Lepasin!" desis Regita. "Kenapa? Takut terpesona?" timpal Yudetra dengan senyum seringai. Regita mencebik. "Halu! Gue mau tonjok dulu kepala, Lo sebelum keluar dari sini. Lepas!" “Enggak! Kalau kamu mau kabur lagi, silakan berusaha lebih keras!" tantang Yudetra. Regita menggerakkan kedua tangannya lebih keras, tapi tenaganya tak sanggup melawan cengkraman Yudetra yang bahkan sedang terbaring. "Lepasin!" pinta Regita dengan nada menghardik. Namun Yudetra malah tersenyum. "Udah sedeket ini, kamu gak mau cium saya aja gitu? Daripada capek-capek mau lepas dari
Tiba di depan ruangan, Regita membuka pintu dengan hati-hati. Cahaya lampu menyinari wajah Yudetra yang kini terbaring di tempat tidur, dengan selang oksigen kecil menempel di hidung dan perban tipis di pelipis kanannya. Dadanya naik turun perlahan, yang menandakan lelaki itu belum sadar. Meski suster belum mengizinkan masuk, tapi Regita tidak peduli. Regita duduk di sisi ranjang. Pandangannya tajam, tapi kali ini tidak sepenuhnya marah. Lebih ke arah bingung, bercampur kesal dan cemas. Semua itu jadi satu. Punggung Regita menempel di sandaran kursi. Kedua tangan menyilang di depan dada dengan sorot mata tajam menatap pada Yudetra yang masih terbaring. Regita memandangi dengan diam. Namun hatinya justru berisik dan pikirannya sangat gaduh. Garis rahang Yudetra tampak kokoh. Dagunya tegas, dan tulang pipi tinggi. Menciptakan siluet wajah yang berkarakter kuat. Alisnya tebal dan lebat. Tumbuh alami dan nyaris bersatu di bagian tengah. Hidungnya mancung, lurus dan tegas, selaras de