Malam datang bersama rintik yang perlahan turun.
Regita dan sang suami sudah berada di dalam kamar yang sama. Sebuah kamar utama dalam rumah di salah satu cluster mewah pilihan sang Oma—tanpa Regita tahu sebelumnya. Ia hanya diantar ke sana oleh sopir keluarga, tanpa sempat menanyakan alamat atau bahkan sempat memprotes. Kamar itu terlalu besar. Terlalu sunyi dan dinginnya tidak berasal dari AC. Regita duduk di ujung ranjang dengan gaun tidur satin yang disiapkan entah oleh siapa. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang, kedua lutut dilipat, tangan memeluk bantal. Sementara lelaki itu baru keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus polos dan celana panjang rumah. Basah di rambutnya menetes ke leher, tapi yang lebih mengganggu Regita adalah aroma sabun maskulin yang entah kenapa justru membuat napasnya tak nyaman dan otaknya berkelana liar. Mereka saling melirik, tapi cepat-cepat memalingkan wajah. Seolah keduanya sedang jadi tahanan di ruang yang sama dan tak ingin terlibat lebih dari yang diperlukan. Hening. Sunyi. Juga canggung. Regita menatapnya sebentar. Lalu tanpa bisa menahan rasa kikuk yang sejak tadi menghimpit dadanya, akhirnya ia memutuskan untuk bertanya. "Emm, aku lupa, siapa nama kamu?" tanya Regita tanpa berpindah dari tempatnya. Lelaki itu menatap Regita sekilas, lalu mulai melangkah hingga berhenti di samping tempat tidur dan berdiri tegap. "Yudetra," jawabnya dengan nada suara tegas. Regita tampak manggut-manggut. "Aku panggil kamu apa? Yudet? Dedet? Detra? Atau apa? Nama kamu terlalu asing di telinga," tanya serta protesnya. Lelaki bernama Yudetra itu tampak mengernyitkan dahi. Matanya menyipit menatap Regita. "Panggil saya Mas. Saya ini suami kamu," jawabnya pelan tapi menusuk. Bibir Regita mengatup sedikit cemberut. "Mas?" ulangnya seolah ingin memastikan. Yudetra mengangguk. "Iya, panggil saya Mas Yude. Tapi kalau mau lebih simpel, kamu tinggal panggil Sayang aja sih." Pipi Regita memerah. Entah kenapa rasanya ingin melempar bantal ke wajah laki-laki itu. Tapi juga entah kenapa, di balik ledekan itu, jantungnya justru berdetak lebih cepat. "Yudetra Meldrat. Aku ingat sekarang. Lancang juga kamu, ya," gumam Regita pelan, suaranya seperti mencibir tapi matanya tak bisa menatap langsung. Yudetra hanya tersenyum sekilas, melangkah menjauh dari ranjang dan menuju sofa panjang di sudut kamar. Menata bantal kemudian meletakkan dirinya di sana. Tanpa suara, tubuh Yudetra bergerak hingga membelakangi Regita. "Tolong nanti lampunya dimatikan. Saya tidak nyaman tidur dengan lampu terang," pintanya. Regita tak menyahut, hanya memandangi punggung Yudetra yang masih membelakanginya, lalu memindahkan tatapannya ke langit-langit kamar. Hujan di luar makin deras, suara rinainya mengetuk kaca jendela seolah ikut mengingatkan dirinya bahwa malam ini ia resmi menjadi istri orang. Ya, seorang istri. Kata itu masih terasa aneh. Berat dan menghimpit dada. Kenyataan terlalu cepat datang untuk Regita terima. "Kenapa kamu mau nikah sama aku, sih?" gumam Regita akhirnya sambil menatap punggung Yudetra. Namun, tak ada jawaban dari arah sofa. "Hei, Mas Yude?" Masih tak ada respons. Hanya nafas tenang dari tubuh di bawah selimut tipis itu yang terdengar. Tidur? Atau pura-pura? Regita menggigit bibir bawahnya. Kepalanya penuh pertanyaan yang belum sempat ia ajukan sejak tadi pagi. Apa alasan pria itu menerima pernikahan ini? Apa Oma menjanjikan sesuatu? Apakah semua ini hanya permainan kekuasaan? Atau apa? Regita benar-benar bingung dan tidak mengerti. Tangannya mengepal di bawah selimut. Ia tak pernah suka diatur, tapi kali ini ia benar-benar dikendalikan sang Oma. Sejak masuk SMA, Regita berada di bawah pengawasan sang Tante, Larissa. Sementara sang Oma tinggal di luar negeri karena harus mengurusi bisnis keluarga mereka. Akan tetapi, kehidupan Regita makin amburadul setelah menginjak masa putih abu-abu. Mulai dari merokok, sering bolos, melawan guru bahkan seringkali tawuran dan ditahan. Namun dengan uang dan kekuasaan yang dimiliki keluarganya, Regita tidak pernah benar-benar mendapatkan hukuman. Saat ia berumur empat tahun, ia sudah kehilangan sosok Papa. Ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari lelaki yang seharusnya bergelar sebagai cinta pertama hidupnya. Pernikahan kedua orang tuanya yang tidak direstui, menjadikan Regita korban dalam rumah tangga mama papanya yang baru seumur jagung. Ia bahkan tidak pernah tahu sosok Papa yang begitu dibenci sang Oma, walau hanya dari secarik foto. Tidak ada akses yang bisa membuat Regita tahu seperti apa rupa Papanya. Yang ia tahu dari cerita sang Oma, Papanya merupakan lelaki kasar dan tukang selingkuh. Karena perselingkuhan itu, membuat Serena—Mama dari Regita gelap mata hingga membunuh sang suami. Regita menarik napas panjang, lalu bersiap tidur. Sungguh, ia ingin menangis. Tapi egonya terlalu besar untuk menunjukkan kelemahan. Terutama di hadapan seseorang yang tidur nyenyak di sofa seperti tak membawa beban. Hujan masih turun. Suara rintiknya seperti lagu nina bobo pengantar tidur. Malam ini, Regita tak bisa lari. Atau ia akan kehilangan segala fasilitas dan mungkin menjadi gelandangan di luar sana. Terpaksa patuh dan menurut pada paksaan sang Oma menjadi satu-satunya jalan yang bisa Regita lakukan, meski kini ia harus terikat dalam sebuah pernikahan. ****************** Pagi menjelma dalam diam. Sinar matahari tipis menyusup melalui celah tirai, menyapa pelan lantai marmer yang dingin. Regita terbangun dengan kepala terasa jauh lebih ringan dari malam sebelumnya. Ia menoleh dan sofa itu sudah kosong. Selimut yang semalam dipakai Yudetra sudah dilipat rapi di sandarannya. Regita bangkit dan hanya membasuh wajah. Keluar dari kamar dan langsung menuju dapur. Ia membuat kopi tanpa ampas yang merupakan minuman wajib baginya di setiap pagi. Sarapan yang sudah siap di meja makan, seperti tidak menggugah seleranya sama sekali. Regita membawa cangkir kopinya ke teman belakang. Duduk di gazebo kecil yang menghadap kolam ikan dengan air mancur minimalis. Regita duduk bersila, menyeruput kopi yang belum sepenuhnya hangat. Jarinya sudah mengapit sebatang rokok, disulut perlahan dengan hingga asap tipis mengepul dari ujungnya, berbaur dengan embun pagi yang belum sepenuhnya menguap. Ia menarik napas dalam-dalam. Satu tarikan panjang, lalu dihembuskan lambat. Kepalanya mendongak sedikit, menatap langit yang biru pucat—nyaris kosong, tanpa awan. Pagi itu terasa damai untuknya. Bahkan mungkin, terlalu damai untuk hidupnya yang penuh keributan. Regita menikmati paginya. Tanpa ia sadari bahwa derap langkah tengah mendekat padanya. Hingga batang nikotin yang akan mendarat di bibirnya ditarik paksa, membuat ia terperanjat. "Kamu?!" pekik Regita saat Yudetra tiba-tiba merampas rokok dari jemarinya. Tanpa ekspresi, pria itu mematikannya di pot tanaman kecil samping gazebo. Asap yang masih mengepul tipis menguap, lenyap dibunuh tanah basah. "Apa sih masalah kamu?!" Regita berdiri dengan dada naik turun. "Kamu pikir kamu siapa?!" Yudetra tak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di sana, memandangi Regita yang mendidih seperti air mendekati titik didih. Tatapannya dalam, tapi tak menyalahkan. "Saya ini suami kamu," katanya tenang. "Dan saya gak suka istri saya merusak dirinya sendiri di pagi hari." Regita mencibir. "Suami, heh? Baru tidur semalam di rumah yang bahkan entah milik siapa, kamu udah ngatur?" "Saya gak ngatur. Saya peduli." Regita tertawa pendek. "Peduli? Belum pernah saling kenal juga." Yudetra mendekat selangkah. Hanya selangkah, tapi cukup membuat Regita mundur setengah langkah tanpa sadar. Pahanya membentur gazebo hingga tubuhnya terjatuh dan duduk lagi di sana. "Saya belum sepenuhnya tahu apa yang kamu lalui, Git. Tapi dari tingkah laku kamu, saya tahu, kalau kamu sebenarnya cuma kesepian." Regita menahan napas. “Jangan sok paling mengerti." “Saya gak ngerti kamu, itu benar,” Yudetra mengangguk. “Tapi saya akan tinggal di rumah ini, tidur di atap yang sama dengan kamu. Setiap harinya. Berbagi ruang dan udara. Jadi, jangan membuat udara yang saya hirup tercemar asap rokokmu!" "Kam——" Yudetra menempelkan jarinya tepat di bibir Regita hingga ia tak mampu meneruskan sanggahan. "Sudah, cukup. Sekali lagi kamu protes, saya akan hukum kamu!" Regita menepis kasar tangan Yudetra hingga terlepas dari bibirnya. "Bodo amat! Yang jelas kamu udah benar-benar mengacaukan pagi hariku!" teriaknya kesal. Cup~ Yudetra tanpa ragu mengecup pipi Regita. "Pagi-pagi itu diisi dengan hal manis, bukan malah asap rokok yang membakar paru-paru. Yuk, saya tunggu kamu di meja makan. Sekarang!" tegasnya sambil berlalu, meninggalkan Regita yang diam terpaku bersama ledakan kembang api dalam dadanya. .Tiba di depan ruangan, Regita membuka pintu dengan hati-hati. Cahaya lampu menyinari wajah Yudetra yang kini terbaring di tempat tidur, dengan selang oksigen kecil menempel di hidung dan perban tipis di pelipis kanannya. Dadanya naik turun perlahan, yang menandakan lelaki itu belum sadar. Meski suster belum mengizinkan masuk, tapi Regita tidak peduli. Regita duduk di sisi ranjang. Pandangannya tajam, tapi kali ini tidak sepenuhnya marah. Lebih ke arah bingung, bercampur kesal dan cemas. Semua itu jadi satu. Punggung Regita menempel di sandaran kursi. Kedua tangan menyilang di depan dada dengan sorot mata tajam menatap pada Yudetra yang masih terbaring. Regita memandangi dengan diam. Namun hatinya justru berisik dan pikirannya sangat gaduh. Garis rahang Yudetra tampak kokoh. Dagunya tegas, dan tulang pipi tinggi. Menciptakan siluet wajah yang berkarakter kuat. Alisnya tebal dan lebat. Tumbuh alami dan nyaris bersatu di bagian tengah. Hidungnya mancung, lurus dan tegas, selaras de
Regita kesal bukan main. Bibirnya terkatup rapat dengan gigi saling beradu menahan geram. Dia yang pemberontak tentu saja merasa makin terkekang dan terganggu oleh kehadiran Yudetra. Bukkk! Tanpa berpikir panjang, Regita menginjak kaki Yudetra dengan keras. Hingga perlahan cekalan tangan Yudetra pada Regita pun mengendur. Memberi celah untuk Regita bergerak, dan dengan cepat berbalik badan lalu .... Bugh! Regita menghantam wajah Yudetra saat lelaki itu lengah. Tinjunya itu berhasil mengenal hidung Yudetra yang perlahan kemudian mengeluarkan darah. "Elo pikir lo siapa ngatur-ngatur gue seenaknya?" Nada bicara Regita naik beberapa oktaf karena tidak bisa mengontrol diri lagi. Yudetra yang tidak siap dengan pukulan itu tentu saja tidak bisa menghindar atau sekedar menangkis. Laki-laki itu merasakan kunang-kunang yang berputar dalam penglihatannya, hingga perlahan mengabur dan akhirnya ia jatuh pingsan. "Gitaaa!" Gera berseru kaget dan segera menyusul Regita bersama satu temannya y
"Mau coba?" tawar Yudetra. "Saya jamin rasanya akan jauh lebih manis dan bikin kamu kecanduan setengah mati." Regita menatap Yudetra dengan tatapan setengah geli, setengah muak. Namun lebih dari itu, Regita merasa amat terkejut. "Amit-amit!" Lalu tak sampai dua detik ... Bukkk! "Heh—" Yudetra meringis pelan, wajahnya sedikit menegang. Regita baru saja menginjak kaki kirinya dengan keras. Sepatu sneakers-nya mendarat tepat di punggung kaki Yudetra yang hanya memakai sandal jepit. “Rasanya gimana? Manis? Pedas? Atau agak ngilu?” ujar Regita dengan senyum sinis. Yudetra mundur satu langkah, masih meringis, tapi tidak bisa menahan tawa. “Kamu ... ganas juga ternyata.” “Dan kamu, terlalu percaya diri,” timpal Regita cepat. Ia membalikkan badan lalu berjalan ke arah pagar. Setelah memastikan penjaga rumah benar-benar tidak muncul, serta tak ada orang di sekitar—ia mendongak menatap pagar setinggi empat meter itu. Sepintas, Regita melirik ke belakang. Yudetra masih berdiri di tempa
************** Regita bersandar pada pilar teras. Memperhatikan Yudetra yang sedang berkutat di taman kecil halaman rumah itu. Yudetra hanya memakai apron waterproof sebagai pelapis agar pakaiannya terhindar dari tanah, tapi penampilannya terlalu rapi untuk sekedar berkebun. Sarung tangan hitam melapisi jemarinya yang kini sedang sibuk memindahkan media tanam ke pot bunga. Sesekali ia menyeka keringat dengan punggung tangan lalu kembali fokus. "Non, ini jus alpukat favorit Tuan Yudetra sudah jadi. Tolong diantar, ya." Pembantu rumah tangga muncul dari dapur dengan nampan berisi segelas minuman dingin dan sedotan stainless. Regita berbalik, siap menolak. “Suruh dia aja yang ambil sendiri ke dapur.” “Tapi tadi Tuan meminta untuk diantar. Soalnya tangannya lagi kotor semua. Beliau udah nunggu dari tadi dan berpesan pada saya, supaya Non Regita yang mengantarnya ...” jelas pembantu itu hati-hati. Regita menghela napas, mengambil nampan itu dengan malas. "Sini!" Gerakan tangannya ka
"Tandatangani ini." Regita datang menyusul ke ruang makan sambil menyodorkan kertas hasil print ke hadapan Yudetra. Perempuan yang masih mengenakan piyama tidur itu lantas menghempas bobotnya berhadapan dengan Yudetra. Mengambil satu buah apel dan langsung melahapnya. Nasi goreng dengan omelette yang terhidang, seolah tidak menarik seleranya yang lebih menyukai gorengan dan segelas kopi hangat untuk sarapan. "Apa ini," ucap Yudetra yang sudah memulai sarapannya. Mulutnya bahkan tengah mengunyah nasi goreng saat ia mengambil kertas yang disodorkan Regita. Tampak lelaki yang sudah berpakaian casual nan rapi itu membaca isi kertasnya. Kepalanya manggut-manggut seolah sedang mencerna dan memahami apa yang ia baca. "Itu surat perjanjian pernikahan kita. Pernikahan ini hanya akan bertahan enam bulan, setelah enam bulan kita harus berpisah dan aku akan mencari cara agar perpisahan ini terlihat natural di mata Oma. Aku sudah menulis point-point penting dalam pernikahan ini. Salah satunya
Malam datang bersama rintik yang perlahan turun. Regita dan sang suami sudah berada di dalam kamar yang sama. Sebuah kamar utama dalam rumah di salah satu cluster mewah pilihan sang Oma—tanpa Regita tahu sebelumnya. Ia hanya diantar ke sana oleh sopir keluarga, tanpa sempat menanyakan alamat atau bahkan sempat memprotes. Kamar itu terlalu besar. Terlalu sunyi dan dinginnya tidak berasal dari AC. Regita duduk di ujung ranjang dengan gaun tidur satin yang disiapkan entah oleh siapa. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang, kedua lutut dilipat, tangan memeluk bantal. Sementara lelaki itu baru keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus polos dan celana panjang rumah. Basah di rambutnya menetes ke leher, tapi yang lebih mengganggu Regita adalah aroma sabun maskulin yang entah kenapa justru membuat napasnya tak nyaman dan otaknya berkelana liar. Mereka saling melirik, tapi cepat-cepat memalingkan wajah. Seolah keduanya sedang jadi tahanan di ruang yang sama dan tak ingin terlibat lebih