Share

IDDI - 3

Author: Sity Mariah
last update Last Updated: 2025-07-08 11:16:19

Malam datang bersama rintik yang perlahan turun.

Regita dan sang suami sudah berada di dalam kamar yang sama. Sebuah kamar utama dalam rumah di salah satu cluster mewah pilihan sang Oma—tanpa Regita tahu sebelumnya. Ia hanya diantar ke sana oleh sopir keluarga, tanpa sempat menanyakan alamat atau bahkan sempat memprotes.

Kamar itu terlalu besar. Terlalu sunyi dan dinginnya tidak berasal dari AC.

Regita duduk di ujung ranjang dengan gaun tidur satin yang disiapkan entah oleh siapa. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang, kedua lutut dilipat, tangan memeluk bantal.

Sementara lelaki itu baru keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus polos dan celana panjang rumah. Basah di rambutnya menetes ke leher, tapi yang lebih mengganggu Regita adalah aroma sabun maskulin yang entah kenapa justru membuat napasnya tak nyaman dan otaknya berkelana liar.

Mereka saling melirik, tapi cepat-cepat memalingkan wajah. Seolah keduanya sedang jadi tahanan di ruang yang sama dan tak ingin terlibat lebih dari yang diperlukan.

Hening.

Sunyi.

Juga canggung.

Regita menatapnya sebentar. Lalu tanpa bisa menahan rasa kikuk yang sejak tadi menghimpit dadanya, akhirnya ia memutuskan untuk bertanya.

"Emm, aku lupa, siapa nama kamu?" tanya Regita tanpa berpindah dari tempatnya.

Lelaki itu menatap Regita sekilas, lalu mulai melangkah hingga berhenti di samping tempat tidur dan berdiri tegap. "Yudetra," jawabnya dengan nada suara tegas.

Regita tampak manggut-manggut. "Aku panggil kamu apa? Yudet? Dedet? Detra? Atau apa? Nama kamu terlalu asing di telinga," tanya serta protesnya.

Lelaki bernama Yudetra itu tampak mengernyitkan dahi. Matanya menyipit menatap Regita. "Panggil saya Mas. Saya ini suami kamu," jawabnya pelan tapi menusuk.

Bibir Regita mengatup sedikit cemberut. "Mas?" ulangnya seolah ingin memastikan.

Yudetra mengangguk. "Iya, panggil saya Mas Yude. Tapi kalau mau lebih simpel, kamu tinggal panggil Sayang aja sih."

Pipi Regita memerah. Entah kenapa rasanya ingin melempar bantal ke wajah laki-laki itu. Tapi juga entah kenapa, di balik ledekan itu, jantungnya justru berdetak lebih cepat.

"Yudetra Meldrat. Aku ingat sekarang. Lancang juga kamu, ya," gumam Regita pelan, suaranya seperti mencibir tapi matanya tak bisa menatap langsung.

Yudetra hanya tersenyum sekilas, melangkah menjauh dari ranjang dan menuju sofa panjang di sudut kamar. Menata bantal kemudian meletakkan dirinya di sana.

Tanpa suara, tubuh Yudetra bergerak hingga membelakangi Regita. "Tolong nanti lampunya dimatikan. Saya tidak nyaman tidur dengan lampu terang," pintanya.

Regita tak menyahut, hanya memandangi punggung Yudetra yang masih membelakanginya, lalu memindahkan tatapannya ke langit-langit kamar.

Hujan di luar makin deras, suara rinainya mengetuk kaca jendela seolah ikut mengingatkan dirinya bahwa malam ini ia resmi menjadi istri orang.

Ya, seorang istri.

Kata itu masih terasa aneh. Berat dan menghimpit dada. Kenyataan terlalu cepat datang untuk Regita terima.

"Kenapa kamu mau nikah sama aku, sih?" gumam Regita akhirnya sambil menatap punggung Yudetra. Namun, tak ada jawaban dari arah sofa.

"Hei, Mas Yude?"

Masih tak ada respons. Hanya nafas tenang dari tubuh di bawah selimut tipis itu yang terdengar.

Tidur? Atau pura-pura?

Regita menggigit bibir bawahnya. Kepalanya penuh pertanyaan yang belum sempat ia ajukan sejak tadi pagi.

Apa alasan pria itu menerima pernikahan ini?

Apa Oma menjanjikan sesuatu?

Apakah semua ini hanya permainan kekuasaan? Atau apa?

Regita benar-benar bingung dan tidak mengerti. Tangannya mengepal di bawah selimut. Ia tak pernah suka diatur, tapi kali ini ia benar-benar dikendalikan sang Oma.

Sejak masuk SMA, Regita berada di bawah pengawasan sang Tante, Larissa. Sementara sang Oma tinggal di luar negeri karena harus mengurusi bisnis keluarga mereka. Akan tetapi, kehidupan Regita makin amburadul setelah menginjak masa putih abu-abu.

Mulai dari merokok, sering bolos, melawan guru bahkan seringkali tawuran dan ditahan. Namun dengan uang dan kekuasaan yang dimiliki keluarganya, Regita tidak pernah benar-benar mendapatkan hukuman.

Saat ia berumur empat tahun, ia sudah kehilangan sosok Papa. Ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari lelaki yang seharusnya bergelar sebagai cinta pertama hidupnya.

Pernikahan kedua orang tuanya yang tidak direstui, menjadikan Regita korban dalam rumah tangga mama papanya yang baru seumur jagung. Ia bahkan tidak pernah tahu sosok Papa yang begitu dibenci sang Oma, walau hanya dari secarik foto. Tidak ada akses yang bisa membuat Regita tahu seperti apa rupa Papanya.

Yang ia tahu dari cerita sang Oma, Papanya merupakan lelaki kasar dan tukang selingkuh. Karena perselingkuhan itu, membuat Serena—Mama dari Regita gelap mata hingga membunuh sang suami.

Regita menarik napas panjang, lalu bersiap tidur.

Sungguh, ia ingin menangis. Tapi egonya terlalu besar untuk menunjukkan kelemahan. Terutama di hadapan seseorang yang tidur nyenyak di sofa seperti tak membawa beban.

Hujan masih turun. Suara rintiknya seperti lagu nina bobo pengantar tidur. Malam ini, Regita tak bisa lari. Atau ia akan kehilangan segala fasilitas dan mungkin menjadi gelandangan di luar sana. Terpaksa patuh dan menurut pada paksaan sang Oma menjadi satu-satunya jalan yang bisa Regita lakukan, meski kini ia harus terikat dalam sebuah pernikahan.

******************

Pagi menjelma dalam diam.

Sinar matahari tipis menyusup melalui celah tirai, menyapa pelan lantai marmer yang dingin.

Regita terbangun dengan kepala terasa jauh lebih ringan dari malam sebelumnya. Ia menoleh dan sofa itu sudah kosong. Selimut yang semalam dipakai Yudetra sudah dilipat rapi di sandarannya.

Regita bangkit dan hanya membasuh wajah. Keluar dari kamar dan langsung menuju dapur. Ia membuat kopi tanpa ampas yang merupakan minuman wajib baginya di setiap pagi. Sarapan yang sudah siap di meja makan, seperti tidak menggugah seleranya sama sekali.

Regita membawa cangkir kopinya ke teman belakang. Duduk di gazebo kecil yang menghadap kolam ikan dengan air mancur minimalis. Regita duduk bersila, menyeruput kopi yang belum sepenuhnya hangat.

Jarinya sudah mengapit sebatang rokok, disulut perlahan dengan hingga asap tipis mengepul dari ujungnya, berbaur dengan embun pagi yang belum sepenuhnya menguap.

Ia menarik napas dalam-dalam.

Satu tarikan panjang, lalu dihembuskan lambat.

Kepalanya mendongak sedikit, menatap langit yang biru pucat—nyaris kosong, tanpa awan.

Pagi itu terasa damai untuknya. Bahkan mungkin, terlalu damai untuk hidupnya yang penuh keributan.

Regita menikmati paginya. Tanpa ia sadari bahwa derap langkah tengah mendekat padanya. Hingga batang nikotin yang akan mendarat di bibirnya ditarik paksa, membuat ia terperanjat.

"Kamu?!" pekik Regita saat Yudetra tiba-tiba merampas rokok dari jemarinya.

Tanpa ekspresi, pria itu mematikannya di pot tanaman kecil samping gazebo. Asap yang masih mengepul tipis menguap, lenyap dibunuh tanah basah.

"Apa sih masalah kamu?!" Regita berdiri dengan dada naik turun. "Kamu pikir kamu siapa?!"

Yudetra tak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di sana, memandangi Regita yang mendidih seperti air mendekati titik didih. Tatapannya dalam, tapi tak menyalahkan.

"Saya ini suami kamu," katanya tenang. "Dan saya gak suka istri saya merusak dirinya sendiri di pagi hari."

Regita mencibir. "Suami, heh? Baru tidur semalam di rumah yang bahkan entah milik siapa, kamu udah ngatur?"

"Saya gak ngatur. Saya peduli."

Regita tertawa pendek. "Peduli? Belum pernah saling kenal juga."

Yudetra mendekat selangkah. Hanya selangkah, tapi cukup membuat Regita mundur setengah langkah tanpa sadar. Pahanya membentur gazebo hingga tubuhnya terjatuh dan duduk lagi di sana.

"Saya belum sepenuhnya tahu apa yang kamu lalui, Git. Tapi dari tingkah laku kamu, saya tahu, kalau kamu sebenarnya cuma kesepian."

Regita menahan napas. “Jangan sok paling mengerti."

“Saya gak ngerti kamu, itu benar,” Yudetra mengangguk. “Tapi saya akan tinggal di rumah ini, tidur di atap yang sama dengan kamu. Setiap harinya. Berbagi ruang dan udara. Jadi, jangan membuat udara yang saya hirup tercemar asap rokokmu!"

"Kam——"

Yudetra menempelkan jarinya tepat di bibir Regita hingga ia tak mampu meneruskan sanggahan.

"Sudah, cukup. Sekali lagi kamu protes, saya akan hukum kamu!"

Regita menepis kasar tangan Yudetra hingga terlepas dari bibirnya. "Bodo amat! Yang jelas kamu udah benar-benar mengacaukan pagi hariku!" teriaknya kesal.

Cup~

Yudetra tanpa ragu mengecup pipi Regita. "Pagi-pagi itu diisi dengan hal manis, bukan malah asap rokok yang membakar paru-paru. Yuk, saya tunggu kamu di meja makan. Sekarang!" tegasnya sambil berlalu, meninggalkan Regita yang diam terpaku bersama ledakan kembang api dalam dadanya.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Dadakan Dosen Idaman    IDDI - 13

    "Lo bener-bener nyebelin tahu gak? Harusnya elo menolak keras permintaan Oma soal cicit tadi. Malah iya-iya aja. Sialan!" Regita nyerocos saat mobil yang dikendarai Yudetra baru saja keluar dari kediaman sang Oma. Makan malam sudah selesai dan mereka menuju perjalanan pulang. Amplop putih berisikan tiket pesawat dan voucher bulan madu teronggok di atas dashboard. "Harusnya juga, elo nolak agenda bulan madu dari Oma!""Gue baru dua puluh tiga tahun. Tiba-tiba nikah sama Lo aja gue masih sangat syok dan gak terima. Apalagi kalau sampai harus hamil dan tiba-tiba punya anak. Gue gak rela masa muda gue justru habis buat ngurus bayi. No no no!"Yudetra tampak santai mengendalikan setir kemudi mobilnya. Mengembus napas kasar mendengar ocehan Regita di sampingnya itu, hingga tiba-tiba ia menginjak pedal rem begitu mendadak. Mobil berhenti dan tubuh Regita tersentak ke depan."Yudeeet! Yang bener bawa mobil. Elo mau bikin gue celaka?!" protes dari mulut Regita terdengar melengking memenuhi mob

  • Istri Dadakan Dosen Idaman    IDDI - 12

    "Dua puluh tiga tahun lamanya mengurusi kamu, baru malam ini Oma melihat kamu begitu manis, Git. Tidak salah Oma meminta Yudetra yang menjadi suamimu," papar Nyonya Arlinda yang duduk di head of the table malam ini layaknya seorang pemimpin dalam keluarga.Regita yang duduk di sebelah sang suami bukannya terkesan, malah mendecak dan memanyunkan bibir. Merasa tidak tersentuh sama sekali dengan pujian sang Oma. Sementara Yudetra yang duduk lebih dekat dengan Nyonya Arlinda hanya menundukkan kepala dan tersenyum simpul.Meja makan mewah berlapis marmer cokelat itu memantulkan cahaya lampu kristal di atasnya, membuat suasana makan malam terlihat semakin elegan. Berbagai jenis hidangan makanan tersaji di atasnya. Mulai dari hidangan pembuka, utama hingga makanan penutup.Para pelayan dengan sigap mengisi piring ketiganya, hingga makan malam itu pun berlangsung.Regita berusaha fokus pada piringnya, memotong daging steak dengan gerakan cepat seolah ingi

  • Istri Dadakan Dosen Idaman    IDDI - 11

    Brak!Regita menutup kasar pintu mobil setelah dirinya duduk di kursi samping kemudi. Yudetra memandang perempuan di sebelahnya secara menyeluruh. Senyuman pun mengembang di bibir lelaki itu, melihat Regita mengenakan dress serta flatshoes yang ia berikan."Elo ngapain liat-liat? Buruan jalan!" hardik Regita lalu mengarahkan pandangannya kembali ke depan."Kamu kalau bicara gak bisa diturunin dikit gitu nadanya? Kenapa tiap bicara sama saya gak bisa santai? Padahal saya gak ngapa-ngapain lho, kenapa kamu tuh kayak orang ngajak ribut aja bawaannya? Bisa gak, anggun dikit gitu, lho?" Yudetra menyuarakan protesnya."Gak bisa! Apalagi sama elo yang nyebelinnya tingkat dewa. Jangan harap gue bisa baik sama Lo. Dih, males!" dumel Regita sambil membuang muka ke arah samping.Yudetra mengambil napas dalam-dalam sambil menatap lurus ke arah depan. "Apa kamu gak tahu, orang galak dan pemarah cenderung lebih beresiko kena struk?""Bodo amat. Sekarang mending buruan bawa mobilnya. Jangan sampai t

  • Istri Dadakan Dosen Idaman    IDDI - 10

    Regita kebingungan. Biasanya, bathrobe selalu tersedia pada gantungan besi di kamar mandi. Namun sekarang, di dalam kamar mandi itu tidak ada satu pun kain yang menggantung. Regita menghela napas keras, lalu membuka pintu kamar mandi sedikit. Menyembulkan kepala seraya merapatkan tubuhnya di belakang pintu. “YUDETRA! Handuk gue enggak ada,” teriaknya, tapi tak ada respons. "Yudetra! Gue minta handuk!" Regita berteriak lagi. Lebih keras tapi tetap tidak ada yang merespons. "Woyyy lah, gak ada yang denger? Hellooo! Gue minta handuk!" Ia berteriak lagi tapi keadaan masih sunyi. Ia pun menghela napas kesal. Membuka pintu kamar mandi lebih lebar dan kian menyembulkan kepalanya. Memastikan di dalam kamar luas itu tidak ada siapapun. Akhirnya ia keluar dari kamar mandi, menarik handuk putih yang menggantung di jemuran besi samping lemari. Ia mengikat handuk itu seadanya di dada, lalu melangkah menuju lemari untuk mengambil pakaiannya. Namun, belum sempat ia bergeser, pintu kamar itu t

  • Istri Dadakan Dosen Idaman    IDDI - 9

    Yudetra menatap wajah Regita yang kini hanya berjarak beberapa inchi darinya. Napas mereka saling bertukar di udara yang sama, hangat, mendesak, dan tak terelakkan. Tatapan matanya mengunci pandangan Regita, begitu dalam dan menusuk, seperti ingin menggali lebih jauh dari sekadar kemarahan. Regita berusaha menarik tangannya, tapi cengkeraman Yudetra masih kuat, tidak menyakitkan namun cukup untuk membuatnya kesulitan kabur. "Lepasin!" desis Regita. "Kenapa? Takut terpesona?" timpal Yudetra dengan senyum seringai. Regita mencebik. "Halu! Gue mau tonjok dulu kepala, Lo sebelum keluar dari sini. Lepas!" “Enggak! Kalau kamu mau kabur lagi, silakan berusaha lebih keras!" tantang Yudetra. Regita menggerakkan kedua tangannya lebih keras, tapi tenaganya tak sanggup melawan cengkraman Yudetra yang bahkan sedang terbaring. "Lepasin!" pinta Regita dengan nada menghardik. Namun Yudetra malah tersenyum. "Udah sedeket ini, kamu gak mau cium saya aja gitu? Daripada capek-capek mau lepas dari

  • Istri Dadakan Dosen Idaman    IDDI - 8

    Tiba di depan ruangan, Regita membuka pintu dengan hati-hati. Cahaya lampu menyinari wajah Yudetra yang kini terbaring di tempat tidur, dengan selang oksigen kecil menempel di hidung dan perban tipis di pelipis kanannya. Dadanya naik turun perlahan, yang menandakan lelaki itu belum sadar. Meski suster belum mengizinkan masuk, tapi Regita tidak peduli. Regita duduk di sisi ranjang. Pandangannya tajam, tapi kali ini tidak sepenuhnya marah. Lebih ke arah bingung, bercampur kesal dan cemas. Semua itu jadi satu. Punggung Regita menempel di sandaran kursi. Kedua tangan menyilang di depan dada dengan sorot mata tajam menatap pada Yudetra yang masih terbaring. Regita memandangi dengan diam. Namun hatinya justru berisik dan pikirannya sangat gaduh. Garis rahang Yudetra tampak kokoh. Dagunya tegas, dan tulang pipi tinggi. Menciptakan siluet wajah yang berkarakter kuat. Alisnya tebal dan lebat. Tumbuh alami dan nyaris bersatu di bagian tengah. Hidungnya mancung, lurus dan tegas, selaras de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status