"Drop out? Lagi?" Larissa memijat pelipis setelah menghempas bobotnya di sofa dan surat DO sang keponakan masih di tangan.
"Kalau bukan perintah Oma kamu, lebih baik Tante menetap di New Zealand, ngurus domba-domba berbulu cantik daripada ngurusin kamu yang bikin tensi naik!" hardiknya pada perempuan berusia dua puluh tiga tahun yang kemudian menjatuhkan bobotnya di hadapan Larissa. "Ya elah, Tan. Aku gak minta diurusin juga kok. Aku bisa hidup sendiri, tahu!" seru Regita, menyandarkan tubuhnya dengan cuek, kedua lutut dilipat dan dagunya bertumpu di atasnya. Larissa memutar bola mata, lalu berdiri hendak meninggalkan ruangan sebelum tensinya benar-benar meledak karena kenakalan sang keponakan. Tapi belum sempat satu langkah pun ia ambil, suara langkah kaki berat dan dentingan ujung tongkat terdengar dari arah pintu utama. Deg. Keduanya menoleh bersamaan. Seorang perempuan tua dengan sorot mata tajam dan rambut putih yang ditata rapi berdiri di ambang pintu. Wibawanya tak luntur sedikit pun meski usia telah membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Dialah Nyonya Arlinda, sang Oma, kepala keluarga sekaligus pemegang kendali atas hidup Regita. "Oma pikir sudah cukup melihatmu mempermalukan nama keluarga kita, Git," ucapnya datar namun dingin. "Hukuman apapun, tidak membuat kamu jera dan berubah." Sang Oma sudah melangkah masuk dan berdiri di hadapan putri serta cucunya. Regita terdiam. Bahkan Larissa pun tak berani bersuara. "Apalagi yang dia lakukan, Rissa?" tanya Oma pada Larissa, putri bungsu yang ia tugaskan menjaga Regita. Larissa menghela napas berat. Menyerahkan surat DO yang baru saja didapatnya dari kampus ketiga tempat Regita kuliah. "Dia berantem sama laki-laki, teman satu kelasnya, Ma. Tangan kanan laki-laki itu sampai patah. Untungnya pihak keluarga mau diajak berdamai, menerima uang kompensasi yang keluarga berikan, dan enggak sampai dibawa ke jalur hukum. Dan ya, putusan akhirnya Regita kembali di DO dari kampusnya," jelas Larissa pada sang mama. Nyonya Arlinda tampak merenung. Tidak habis pikir dengan cucu perempuan satu-satunya itu yang lebih mirip preman. Senang berkelahi, senang tawuran dan juga pembuat onar. "Baiklah. Oma sudah siapkan jalan keluar untukmu, Git," ucapnya tenang. "Kamu akan menikah. Minggu depan." "Apa?!" Regita bangkit berdiri. "Oma nggak bisa asal—" "Oma tentu bisa," potong Oma tegas. "Kamu akan menikah dengan anak dari sahabat lama keluarga kita. Laki-laki baik, disiplin, punya masa depan. Mungkin dia satu-satunya harapan terakhir untuk membuatmu jadi manusia dengan sikap normal." Regita menatap Larissa, berharap ada pembelaan. Tapi yang ia dapati hanya anggukan pasrah. "Siapkan dirimu, Git. Ini bukan tawaran. Ini perintah." Nyonya Arlinda berucap tegas. Jika Regita bisa menentang Larissa yang hanya adik kandung mendiang sang mama, tapi tidak pada sang Oma. "Oma gila, ya?! Mana bisa aku nikah sama orang yang bahkan aku nggak kenal!" Regita membentak, suaranya gemetar antara marah dan panik. "Apa Oma pikir aku ini barang lelang yang bisa dijodohin seenaknya?! Aku bukan anak kecil lagi, Oma!" lanjutnya berusaha protes, tapi suaranya terdengar menentang. Nyonya Arlinda tetap tenang, hanya menatap cucu satu-satunya itu tanpa goyah sedikit pun. "Lalu kamu mau sampai kapan hidup seperti ini? Dikeluarkan dari kampus, dipanggil polisi karena tawuran, dilaporkan karena menabrak kendaraan dalam kondisi mabuk?" Suaranya kini sedikit meninggi. "Kamu pernah memikirkan harga diri keluarga kita setelah semua yang kamu lakukan? Kamu kira hidup hanya untuk bersenang-senang dan main-main, hah?" "Oma ... aku masih muda. Aku masih pengin hidup bebas, jalanin hidupku sendiri!" Regita merengek. Suaranya mulai pecah, tubuhnya gemetar menahan gejolak dalam dada. Menikah bukan keinginannya. Pernikahan orangtuanya yang berantakan, menyisakan trauma untuk Regita. "Cukup!" potong Oma dingin. "Semuanya sudah Oma bicarakan pada keluarga calon suamimu. Lamaran akan dilakukan hari Sabtu ini dan menikah secepatnya di Minggu depan." "Omaaaa—!" Regita menjerit frustasi, melempar bantal sofa ke lantai. Larissa hanya menghela napas panjang. Ia paham betul, saat ibunya sudah berkata seperti itu, maka tak ada yang bisa diubah. Regita terdiam dalam tangis yang tertahan. Sekuat apa pun ia ingin melawan, ia tahu hidupnya masih bergantung pada sang Oma. Rumah tinggal, biaya hidup, bahkan nama keluarganya. "Kalau kamu tetap menolak." Suara Oma kembali terdengar, pelan tapi menusuk. "Mulai besok, kamu silakan cari tempat tinggal sendiri. Uang sakumu, makan, fasilitas, dan semua yang kamu gunakan, akan Oma cabut." Regita terdiam. Sang Oma sedang tidak main-main. Di situlah, untuk pertama kalinya dalam hidup, Regita merasa benar-benar kalah. "Bereskan dirimu. Jangan buat hal memalukan lebih besar lagi. Berhenti main-main dan kamu harus berubah!" Nyonya Arlinda membalikkan badan dan meninggalkan ruang tamu, menyisakan keheningan dan tekanan yang mencekik. Sementara Regita hanya bisa terduduk di lantai, menunduk, dan meninju lantai dengan frustrasi. Menikah? Satu hal yang tidak pernah masuk ke dalam harapan Regita, tapi justru akan menjadi kenyataan yang tidak bisa ia hindarkan."Lo bener-bener nyebelin tahu gak? Harusnya elo menolak keras permintaan Oma soal cicit tadi. Malah iya-iya aja. Sialan!" Regita nyerocos saat mobil yang dikendarai Yudetra baru saja keluar dari kediaman sang Oma. Makan malam sudah selesai dan mereka menuju perjalanan pulang. Amplop putih berisikan tiket pesawat dan voucher bulan madu teronggok di atas dashboard. "Harusnya juga, elo nolak agenda bulan madu dari Oma!""Gue baru dua puluh tiga tahun. Tiba-tiba nikah sama Lo aja gue masih sangat syok dan gak terima. Apalagi kalau sampai harus hamil dan tiba-tiba punya anak. Gue gak rela masa muda gue justru habis buat ngurus bayi. No no no!"Yudetra tampak santai mengendalikan setir kemudi mobilnya. Mengembus napas kasar mendengar ocehan Regita di sampingnya itu, hingga tiba-tiba ia menginjak pedal rem begitu mendadak. Mobil berhenti dan tubuh Regita tersentak ke depan."Yudeeet! Yang bener bawa mobil. Elo mau bikin gue celaka?!" protes dari mulut Regita terdengar melengking memenuhi mob
"Dua puluh tiga tahun lamanya mengurusi kamu, baru malam ini Oma melihat kamu begitu manis, Git. Tidak salah Oma meminta Yudetra yang menjadi suamimu," papar Nyonya Arlinda yang duduk di head of the table malam ini layaknya seorang pemimpin dalam keluarga.Regita yang duduk di sebelah sang suami bukannya terkesan, malah mendecak dan memanyunkan bibir. Merasa tidak tersentuh sama sekali dengan pujian sang Oma. Sementara Yudetra yang duduk lebih dekat dengan Nyonya Arlinda hanya menundukkan kepala dan tersenyum simpul.Meja makan mewah berlapis marmer cokelat itu memantulkan cahaya lampu kristal di atasnya, membuat suasana makan malam terlihat semakin elegan. Berbagai jenis hidangan makanan tersaji di atasnya. Mulai dari hidangan pembuka, utama hingga makanan penutup.Para pelayan dengan sigap mengisi piring ketiganya, hingga makan malam itu pun berlangsung.Regita berusaha fokus pada piringnya, memotong daging steak dengan gerakan cepat seolah ingi
Brak!Regita menutup kasar pintu mobil setelah dirinya duduk di kursi samping kemudi. Yudetra memandang perempuan di sebelahnya secara menyeluruh. Senyuman pun mengembang di bibir lelaki itu, melihat Regita mengenakan dress serta flatshoes yang ia berikan."Elo ngapain liat-liat? Buruan jalan!" hardik Regita lalu mengarahkan pandangannya kembali ke depan."Kamu kalau bicara gak bisa diturunin dikit gitu nadanya? Kenapa tiap bicara sama saya gak bisa santai? Padahal saya gak ngapa-ngapain lho, kenapa kamu tuh kayak orang ngajak ribut aja bawaannya? Bisa gak, anggun dikit gitu, lho?" Yudetra menyuarakan protesnya."Gak bisa! Apalagi sama elo yang nyebelinnya tingkat dewa. Jangan harap gue bisa baik sama Lo. Dih, males!" dumel Regita sambil membuang muka ke arah samping.Yudetra mengambil napas dalam-dalam sambil menatap lurus ke arah depan. "Apa kamu gak tahu, orang galak dan pemarah cenderung lebih beresiko kena struk?""Bodo amat. Sekarang mending buruan bawa mobilnya. Jangan sampai t
Regita kebingungan. Biasanya, bathrobe selalu tersedia pada gantungan besi di kamar mandi. Namun sekarang, di dalam kamar mandi itu tidak ada satu pun kain yang menggantung. Regita menghela napas keras, lalu membuka pintu kamar mandi sedikit. Menyembulkan kepala seraya merapatkan tubuhnya di belakang pintu. “YUDETRA! Handuk gue enggak ada,” teriaknya, tapi tak ada respons. "Yudetra! Gue minta handuk!" Regita berteriak lagi. Lebih keras tapi tetap tidak ada yang merespons. "Woyyy lah, gak ada yang denger? Hellooo! Gue minta handuk!" Ia berteriak lagi tapi keadaan masih sunyi. Ia pun menghela napas kesal. Membuka pintu kamar mandi lebih lebar dan kian menyembulkan kepalanya. Memastikan di dalam kamar luas itu tidak ada siapapun. Akhirnya ia keluar dari kamar mandi, menarik handuk putih yang menggantung di jemuran besi samping lemari. Ia mengikat handuk itu seadanya di dada, lalu melangkah menuju lemari untuk mengambil pakaiannya. Namun, belum sempat ia bergeser, pintu kamar itu t
Yudetra menatap wajah Regita yang kini hanya berjarak beberapa inchi darinya. Napas mereka saling bertukar di udara yang sama, hangat, mendesak, dan tak terelakkan. Tatapan matanya mengunci pandangan Regita, begitu dalam dan menusuk, seperti ingin menggali lebih jauh dari sekadar kemarahan. Regita berusaha menarik tangannya, tapi cengkeraman Yudetra masih kuat, tidak menyakitkan namun cukup untuk membuatnya kesulitan kabur. "Lepasin!" desis Regita. "Kenapa? Takut terpesona?" timpal Yudetra dengan senyum seringai. Regita mencebik. "Halu! Gue mau tonjok dulu kepala, Lo sebelum keluar dari sini. Lepas!" “Enggak! Kalau kamu mau kabur lagi, silakan berusaha lebih keras!" tantang Yudetra. Regita menggerakkan kedua tangannya lebih keras, tapi tenaganya tak sanggup melawan cengkraman Yudetra yang bahkan sedang terbaring. "Lepasin!" pinta Regita dengan nada menghardik. Namun Yudetra malah tersenyum. "Udah sedeket ini, kamu gak mau cium saya aja gitu? Daripada capek-capek mau lepas dari
Tiba di depan ruangan, Regita membuka pintu dengan hati-hati. Cahaya lampu menyinari wajah Yudetra yang kini terbaring di tempat tidur, dengan selang oksigen kecil menempel di hidung dan perban tipis di pelipis kanannya. Dadanya naik turun perlahan, yang menandakan lelaki itu belum sadar. Meski suster belum mengizinkan masuk, tapi Regita tidak peduli. Regita duduk di sisi ranjang. Pandangannya tajam, tapi kali ini tidak sepenuhnya marah. Lebih ke arah bingung, bercampur kesal dan cemas. Semua itu jadi satu. Punggung Regita menempel di sandaran kursi. Kedua tangan menyilang di depan dada dengan sorot mata tajam menatap pada Yudetra yang masih terbaring. Regita memandangi dengan diam. Namun hatinya justru berisik dan pikirannya sangat gaduh. Garis rahang Yudetra tampak kokoh. Dagunya tegas, dan tulang pipi tinggi. Menciptakan siluet wajah yang berkarakter kuat. Alisnya tebal dan lebat. Tumbuh alami dan nyaris bersatu di bagian tengah. Hidungnya mancung, lurus dan tegas, selaras de