Tiba di depan ruangan, Regita membuka pintu dengan hati-hati. Cahaya lampu menyinari wajah Yudetra yang kini terbaring di tempat tidur, dengan selang oksigen kecil menempel di hidung dan perban tipis di pelipis kanannya. Dadanya naik turun perlahan, yang menandakan lelaki itu belum sadar. Meski suster belum mengizinkan masuk, tapi Regita tidak peduli. Regita duduk di sisi ranjang. Pandangannya tajam, tapi kali ini tidak sepenuhnya marah. Lebih ke arah bingung, bercampur kesal dan cemas. Semua itu jadi satu. Punggung Regita menempel di sandaran kursi. Kedua tangan menyilang di depan dada dengan sorot mata tajam menatap pada Yudetra yang masih terbaring. Regita memandangi dengan diam. Namun hatinya justru berisik dan pikirannya sangat gaduh. Garis rahang Yudetra tampak kokoh. Dagunya tegas, dan tulang pipi tinggi. Menciptakan siluet wajah yang berkarakter kuat. Alisnya tebal dan lebat. Tumbuh alami dan nyaris bersatu di bagian tengah. Hidungnya mancung, lurus dan tegas, selaras de
Regita kesal bukan main. Bibirnya terkatup rapat dengan gigi saling beradu menahan geram. Dia yang pemberontak tentu saja merasa makin terkekang dan terganggu oleh kehadiran Yudetra. Bukkk! Tanpa berpikir panjang, Regita menginjak kaki Yudetra dengan keras. Hingga perlahan cekalan tangan Yudetra pada Regita pun mengendur. Memberi celah untuk Regita bergerak, dan dengan cepat berbalik badan lalu .... Bugh! Regita menghantam wajah Yudetra saat lelaki itu lengah. Tinjunya itu berhasil mengenal hidung Yudetra yang perlahan kemudian mengeluarkan darah. "Elo pikir lo siapa ngatur-ngatur gue seenaknya?" Nada bicara Regita naik beberapa oktaf karena tidak bisa mengontrol diri lagi. Yudetra yang tidak siap dengan pukulan itu tentu saja tidak bisa menghindar atau sekedar menangkis. Laki-laki itu merasakan kunang-kunang yang berputar dalam penglihatannya, hingga perlahan mengabur dan akhirnya ia jatuh pingsan. "Gitaaa!" Gera berseru kaget dan segera menyusul Regita bersama satu temannya y
"Mau coba?" tawar Yudetra. "Saya jamin rasanya akan jauh lebih manis dan bikin kamu kecanduan setengah mati." Regita menatap Yudetra dengan tatapan setengah geli, setengah muak. Namun lebih dari itu, Regita merasa amat terkejut. "Amit-amit!" Lalu tak sampai dua detik ... Bukkk! "Heh—" Yudetra meringis pelan, wajahnya sedikit menegang. Regita baru saja menginjak kaki kirinya dengan keras. Sepatu sneakers-nya mendarat tepat di punggung kaki Yudetra yang hanya memakai sandal jepit. “Rasanya gimana? Manis? Pedas? Atau agak ngilu?” ujar Regita dengan senyum sinis. Yudetra mundur satu langkah, masih meringis, tapi tidak bisa menahan tawa. “Kamu ... ganas juga ternyata.” “Dan kamu, terlalu percaya diri,” timpal Regita cepat. Ia membalikkan badan lalu berjalan ke arah pagar. Setelah memastikan penjaga rumah benar-benar tidak muncul, serta tak ada orang di sekitar—ia mendongak menatap pagar setinggi empat meter itu. Sepintas, Regita melirik ke belakang. Yudetra masih berdiri di tempa
************** Regita bersandar pada pilar teras. Memperhatikan Yudetra yang sedang berkutat di taman kecil halaman rumah itu. Yudetra hanya memakai apron waterproof sebagai pelapis agar pakaiannya terhindar dari tanah, tapi penampilannya terlalu rapi untuk sekedar berkebun. Sarung tangan hitam melapisi jemarinya yang kini sedang sibuk memindahkan media tanam ke pot bunga. Sesekali ia menyeka keringat dengan punggung tangan lalu kembali fokus. "Non, ini jus alpukat favorit Tuan Yudetra sudah jadi. Tolong diantar, ya." Pembantu rumah tangga muncul dari dapur dengan nampan berisi segelas minuman dingin dan sedotan stainless. Regita berbalik, siap menolak. “Suruh dia aja yang ambil sendiri ke dapur.” “Tapi tadi Tuan meminta untuk diantar. Soalnya tangannya lagi kotor semua. Beliau udah nunggu dari tadi dan berpesan pada saya, supaya Non Regita yang mengantarnya ...” jelas pembantu itu hati-hati. Regita menghela napas, mengambil nampan itu dengan malas. "Sini!" Gerakan tangannya ka
"Tandatangani ini." Regita datang menyusul ke ruang makan sambil menyodorkan kertas hasil print ke hadapan Yudetra. Perempuan yang masih mengenakan piyama tidur itu lantas menghempas bobotnya berhadapan dengan Yudetra. Mengambil satu buah apel dan langsung melahapnya. Nasi goreng dengan omelette yang terhidang, seolah tidak menarik seleranya yang lebih menyukai gorengan dan segelas kopi hangat untuk sarapan. "Apa ini," ucap Yudetra yang sudah memulai sarapannya. Mulutnya bahkan tengah mengunyah nasi goreng saat ia mengambil kertas yang disodorkan Regita. Tampak lelaki yang sudah berpakaian casual nan rapi itu membaca isi kertasnya. Kepalanya manggut-manggut seolah sedang mencerna dan memahami apa yang ia baca. "Itu surat perjanjian pernikahan kita. Pernikahan ini hanya akan bertahan enam bulan, setelah enam bulan kita harus berpisah dan aku akan mencari cara agar perpisahan ini terlihat natural di mata Oma. Aku sudah menulis point-point penting dalam pernikahan ini. Salah satunya
Malam datang bersama rintik yang perlahan turun. Regita dan sang suami sudah berada di dalam kamar yang sama. Sebuah kamar utama dalam rumah di salah satu cluster mewah pilihan sang Oma—tanpa Regita tahu sebelumnya. Ia hanya diantar ke sana oleh sopir keluarga, tanpa sempat menanyakan alamat atau bahkan sempat memprotes. Kamar itu terlalu besar. Terlalu sunyi dan dinginnya tidak berasal dari AC. Regita duduk di ujung ranjang dengan gaun tidur satin yang disiapkan entah oleh siapa. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang, kedua lutut dilipat, tangan memeluk bantal. Sementara lelaki itu baru keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus polos dan celana panjang rumah. Basah di rambutnya menetes ke leher, tapi yang lebih mengganggu Regita adalah aroma sabun maskulin yang entah kenapa justru membuat napasnya tak nyaman dan otaknya berkelana liar. Mereka saling melirik, tapi cepat-cepat memalingkan wajah. Seolah keduanya sedang jadi tahanan di ruang yang sama dan tak ingin terlibat lebih