Share

05 - Hari Pernikahan

Pada keesokan harinya ....

Feli saat ini tengah berjalan perlahan, menuju altar dengan lengan yang bertaut dengan lengan Dean - sang ayah.

Tubuh moleknya terbalut gaun putih salju yang tampak begitu menawan dan indah.

Pandangan gadis itu tertunduk. Telapak tangannya mengepal, mencengkram pergelangan tangan ayahnya.

Rasa gugup mengungkung dalam relung, membuat Feli tak berani menengadahkan pandangan, mempertemukan tatapan dengan Nathen - sang calon suami.

Meskipun sudah terlampau sering bertatap muka, kondisinya saat ini jauh berbeda. Banyak orang yang menyaksikan, kala ia berjalan dengan anggunnya, diiringi musik lembut yang mendayu, menuju Nathen.

Dean tersenyum gemas, merasakan betapa bergetarnya tubuh sang putri. "Tidak perlu gugup, Sayang. Santailah."

"Mana bisa seperti itu, Ayah?" Feli berbisik, setengah merengek, mati-matian mencoba nenemukan suara, sebab mengatur deru napas agar tetap tenang saja, di saat mendebarkan seperti sekarang ini, ia sedikit kesulitan.

"Suamimu sudah menunggu." Dean menghentikan langkah, begitu pula dengan Feli.

Feli terlalu sibuk, memokuskan atensi untuk mencoba meredam rasa gugup, sampai ia sendiri tidak sadar, bahwa jarak yang terbentang antara dirinya dan Nathen, kini sudah terkikis, hampir habis.

"Mau sampai kapan kau mengacuhkaku, Calon Istriku Sayang?" Nathen tersenyum, kelewat gemas memperhatikan tingkah gugup calon istri cantiknya itu.

Feli memberanikan diri untuk menengadah, mempertemukan pandangan dengan sang paman, yang dalam waktu dekat akan berubah status, menjadi suaminya itu.

Sejujurnya, dari semalam relung Feli didera rasa heran yang begitu mengungkung, terutama terkait dengan insiden ciuman yang terjadi antara dirinya dan Nathen.

Bagi Feli, mendadak paman tampannya itu mulai memperlihatkan sisi aneh, yang sebelumnya sama sekali tidak pernah ia lihat.

Sedang Feli menerka di sela kegugupan yang tengah dirasa, di sisi lain, ada Nathen yang secara terang-terangan tengah memperhatikan.

Senyum senang di bingkai birai pria tampan itu semakin merekah. "Mulai sekarang, tanganku yang akan kau genggam, Nona Felicia."

Tersadar dari lamunan yang sejenak menghinggapi benar, penuturan Nathen tak gagal membuat pelupuk matanya mengerjap cepat.

Dean melirik Feli yang tampak kikuk, lalu tersenyum gemas, lantas meluruskan pandangan, menatap hangat sosok gagah calon suami dari putri kesayangannya itu. "Tolong jaga putriku, ya?"

Nathen menoleh, balas menatap Dean, kemudian membungkukan sedikit tubuhnya sebentar, lalu tersenyum. "Pasti, Kak."

Dean tersenyum lagi, mendengar Nathen berkata dengan ramah tamahnya. "Kau biaa memanggilku dengan sebutan Ayah, mulai sekarang. Dan lagi ...," menjeda perkataan, Dean melirik sang putri, "putriku mungkin sedikit keras kepala, tapi percaya padaku, dia adalah gadis yang sangat baik."

Nathen tersenyum lagi. "Aku sangat mempercayai pernyataan Ayah yang satu itu."

Menyerahkan sang putri seutuhnya pada Dean, tentu momen pelepasan Feli mengundang rasa haru, yang juga dirasakan begitu lekat oleh seluruh tamu undangan yang turut hadir, menyaksikan pernikahan tersebut.

Tidak ingin membuang lebih banyak waktu, selanjutnya ... acara pernikahan Nathen dan Feli pun dilangsungkan.

Berdiri saling berdampingan, Feli dan Nathen menghadap ke arah sang pendeta yang siap memimpin janji suci yang harus diucap, bergantian menyatakan apa yang memang harus dikatakan pada satu sama lain.

Dentingan piano yang mengiringi, menambah suasana haru yang terjadi, tatkala sebuah janji suci terucap, menggema.

Hati Feli berdesir, merasa bingung dan juga gugup pada saat bersamaan, sebab ia tahu, mulai sekarang, kehidupan barunya, baru saja akan dimulai.

"Silakan berciuman."

Feli dan Nathen saling berhadapan, saling melempar senyum sampai pipi Feli merona, sebab tersipu.

"Paman akan menciumku lagi, seperti semalam?" bisik Feli seraya menyempatkan diri untuk memendarkan pandangan, atau lebih tepatnya mencuri-curi pandang terhadap keadaan sekitar.

Gadis cantik itu melempar senyum pada Nathen dengan gigi yang sengaja ia katupkan. "Di hadapan semua orang?" imbuhnya, lantas terkekeh kikuk dengan suara yang begitu pelan.

Nathen yang setia memperhatikan, tersenyum senang, menggenggam lembut salah satu tangan gadis cantik yang kini resmi sudah menyandang status sebagai istrinya itu.

Pribadi tampan itu kemudian perlahan mendekat, menelusupkan lengan kekarnya di pinggang ramping Feli, menarik lembut tubuh sang istri untuk lebih mendekat.

Sedikit terhenyak, juga kaget sebenarnya atas tindakan yang dilakukan Nathen yang seakan mendadak tuli, seolah tidak mendengar pertanyaan yang dilontarkannya, mata Feli sontak membulat.

Feli menenggerkan tangan di bahu gagah Nathen. Mati-matian ia mencoba meredan rasa gugup yang semakin mengungkung hingga membuat debaran jantungnya berpacu cepat, kala jarak di antara wajahnya dan Nathen hampir habis saja, terkikis.

"Tentu, kenapa tidak," bisik Nathen, menggoda.

Hal selanjutnya yang pribadi tampah itu lakukan adalah, benar-benar mengikis habis jarak yang tersisa antara wajahnya dan wajah Feli, menautkan belahan bibir, mengecup lembut bibir istri cantiknya itu.

Nathen mencium sang istri beberapa saat, kemudian sedikit menjauh, membiarkan keningnya dan sang istri beradu.

Pribadi tampan itu tersenyum, menatap Feli yang kali ini sudah memejamkan pelupuk mata, sebagai respon refleks dari ciuman yang dilakukannya.

Kedua telapak tangan Feli yang bertengger di bahu Nathen, mengepal begitu kuat dalam keadaan sedikit gematar.

Sejurus kemudian, buliran air mata Feli, tiba saja jatuh berlinang.

Terkejut? Tentu pasti seketika Nathen rasakan. Sebab sebelumnya, padahal ia sama sekali tidak melihat mata Feli berkaca.

Mencoba mengenyampingkan keterkejutan, Nathen tersenyum simpul. "Istriku ini, cengeng sekali ya, ternyata?"

Nathen menyapu wajah cantik Feli dengan pergerakan perlahan, pun penuh kehati-hatian, menyeka air matanya menggunakan bantalan ibu jari tangan.

Feli perlahan membuka mata, membiarkan pandangannya beradu dengan manik jelaga Nathen yang masih setia menatapnya, dengan tatapan yang baginya terlihat begitu sulit diartikan. Ia tersenyum. "Maaf, Paman. Aku tiba-tiba teringat Davian."

Terlepas dari menyatunya ia dan Nathen, nyatanya kandasnya hubungan yang sebelumnya ia miliki dengan Davian tanpa pengakhiran yang jelas, memberi efeksi tersendiri pada perasaan Feli.

Sungguh, jika boleh berkata jujur, di saat dirinya mengucapkan janji suci pernikahan tadi, benaknya malah sibuk membayangkan, jika yang berdiri di altar pernikahan dengannya bukanlah Nathen, melainkan Davian.

Alih-alih marah setelah mendengar pernyataan Feli, Nathen malah tersenyum lembut. "Jangan menangis. Maaf, karena demi menyelamatkan nama baik keluarga kita, kau harus berkorban sebesar ini."

Pria tampan itu mengecup manis kening Feli, membawa riuh tepuk tangan dan sorak sorai bergemuruh, pecah tak terelakan.

"Nathen! Tunggu sampai nanti malam, apa tidak bisa ya?!" Sebastian Jeffron Smith yang tidak lain merupakan kakak laki-laki satu-satunya dari Feli mengaduh, sedikit menjerit, menatap pasangan pengantin baru yang tampak begitu lengket, enggan untuk berjauhan. "Kenapa tidak sabaran sekali sih? Harus ya, terus-menerus berdiri sedekat itu? Aku sudah lapar, tahu!" Ia meracau, mencoba mencairkan suasana dengan gurauan, juga terbesit sedikit sindiran di dalamnya.

Feli menoleh ke arah Bastian sambil tersenyum, sedikit terkekeh, mendapati kakaknya itu mengganggu suasana romantis yang tengah berlangsung. Akan tetapi, jauh di lubuk hati Feli yang terdalam, ia sangat merasa bersalah pada Bastian, sebab sampai detik ini, kakaknya itu, telah menjadi satu-satunya orang, yang menentang keras terjadinya pernikahan antara dirinya dan Nathen.

Berulang kali Bastian mencoba membujuk sang ibu dan sang nenek untuk membatalkan rencana pernikahan tersebut, tetapi tidak membuahkan hasil.

Terutama saat Elena memberitahu kenyataan, bahwa sebenarnya Feli tidak terlalu menentang keputusannya tersebut.

Feli hanya terkadang labil saja. Lebih ke antara yakin dan tidaknya, ia bisa membina biduk rumah tangga bersama pria yang selama ini sudah menyandang status sebagai pamannya sendiri itu.

Terlebih saat rencana pernikahan yang terlalu mendadak itu mencuat, dirinya masih memiliki kekasih.

Feli bahkan sempat memberi solusi, agar sang nenek menikahkannya dengan sang kekasih saja, alih-alih dengan sang paman.

Namun, anehnya ..., menjelang hari pernikahan, Davian sangat sulit sekali ia hubungi, sebelumnya. Tetapi untuk yang semalam, itu merupakan sebuah pengecualian, sebab untuk kali pertama, Davian dengan mudah saja, memberitahu Feli, di mana ia tengah berada.

"Nanti malam bisa sepuasnya bermesraan, jadi kasihanilah para lajang yang mungkin ada di sini saat ini!" Bastian meracau lagi, membuat tamu undangan yang mendengar, menguarkan gelak tawa.

Sementara di sisi lain, Feli sibuk memokuskan atensi, sampai tidak sadar, jika Nathen menekan sedikit keras pinggangnya, guna kembali membuatnya menoleh.

Nathen semakin mendekat, hingga Feli bisa merasakan deru napas hangatnya menyapu permukaan leher pualamnya yang seketika meremang. Pria tampan itu tersenyum, mendekatkan mulutnya ke daun telinga kiri sang istri, menggigitnya pelan. "Tidak sabar jadinya, menunggu nanti malam. Nikmati detik-detik terakhirmu, Sayang. Karena aku tidak akan memberimu ampun, di malam pertama kita."

Feli bergidik geli, menemani sekujur tubuh yang meremang. Merasa malu juga sebal, ia memukul kelewat gemas permukaan dada bidang Nathen, menatap pria tampan yang mengambil satu langkah mundur menjauh itu dengan tatapan tajam. "Berhenti bercanda, Paman"

Nathen tersenyum miring, lantas mengindikan bahu, kelewat acuh. "Aku tidak mengatakan, bahwa aku sedang bercanda."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status