Ana merasa kikuk dan sedikit salah tingkah. Sesekali ia menatap ke arah wanita yang duduk di sebelahnya, yang tampak angkuh.
Beberapa kali ia menatap ke pintu, berharap suaminya akan segera muncul dari balik sana. Waktu telah berlalu begitu lama, tapi belum ada tanda-tanda kehadiran Lie Zhichun yang membuat Ana semakin merasa tertekan. Zhao Erxi melirik tajam. Raut wajahnya terlihat masam menatap wajah Ana. "Sudah beberapa jam aku duduk di sini, tapi kamu tidak memberikan aku apa pun? Bahkan segelas air putih saja kamu tidak menyuguhkannya padaku?" sindir wanita itu yang segera memalingkan wajahnya dengan kesal. "B-baik, Nyonya. Aku akan membuatkan minuman untukmu," sahut Ana gugup. Ia beranjak dari sofa menuju ke dapur. Ia terlihat kebingungan, minuman apa yang akan dia berikan pada wanita itu? Setelah berpikir cukup lama, Ana kembali dengan membawakan segelas air putih, dan meletakkannya di atas meja yang berada di hadapan wanita itu, yang hanya melirik tajam. "Cih! Benar-benar hanya memberiku air putih?" gumamnya pelan, tapi Ana masih bisa mendengar itu. Saat wanita itu meraih gelas yang berisi air putih, pintu tiba-tiba saja terbuka, yang membuat perhatian keduanya segera tersita. "Anakku!" Wanita itu kembali meletakkan gelasnya, dan segera menghampiri Lie Zhichun yang masih berdiri di depan pintu. "Mama? Kok Mama ke sini tidak bilang-bilang?" tanya lelaki itu dengan heran. Ia mengerutkan dahinya. "Sejak kapan aku harus ijin untuk pergi ke rumahmu?" Raut wajah Zhao Erxi berubah. Ia tampak sedikit manyun. "Bukan seperti itu. Jika Mama datang tanpa memberitahuku, bagaimana jika aku tidak ada di rumah? Bukankah kedatangan Mama akan sia-sia?" "Sudahlah, itu tidak penting!" Wanita itu mengibaskan tangannya di depan wajah Lie Zhichun. "Ada apa Mama datang ke sini?" tanyanya yang mulai terlihat penasaran. "Sebelum Mama memberitahukannya padamu, Mama ingin mendengar penjelasan darimu terlebih dulu." "Mengenai apa, Ma?" Kedua alis Lie Zhichun saling bertaut, menatap wajah Mamanya dengan tatapan yang dalam. "Siapa wanita itu? Kenapa dia ada di rumahmu? Dan kenapa dia mengaku sebagai istrimu? Kamu sudah menikah? Kapan? Kenapa Mama tidak tahu?" Serentetan pertanyaan langsung dilayangkan Zhao Erxi sekaligus, yang membuat Lie Zhichun hanya menggaruk-garukkan kepalanya. "Aku dan dia hanya menikah kontrak, Ma. Bukankah Mama sudah tahu bahwa Nenek terus saja mendesakku agar aku cepat menikah? Semuanya demi Sky Group, Ma. Mama tidak mau kan, perusahaan yang sudah dirintis oleh Papa diambil alih oleh Paman?" "Tapi kenapa harus dia? Apakah tidak ada wanita lain yang lebih baik?" "Ini hanya pernikahan kontrak, Ma. Setelah dewan direksi menyetujui bahwa Sky Group di bawah kepemimpinanku, aku akan segera menceraikannya, dan menikah dengan wanita yang Mama inginkan." Wanita itu terdiam selama beberapa saat lamanya. Ia tampak berpikir. "Baiklah," ucapnya seolah tidak memiliki pilihan lain. "Mama ke sini hanya menyampaikan undangan untukmu," lanjutnya yang segera mengeluarkan sebuah undangan berwarna merah muda yang dihiasi dengan pita berwarna emas. Lie Zhichun segera meraihnya. Ia membaca sebentar, kemudian menatap wajah Mamanya dengan tatapan mata yang dalam. "Ketua dewan direksi mengadakan pesta ulang tahun untuk putrinya. Sebaiknya kamu mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk datang ke acara itu. Karena orang-orang penting di perusahaan ada di sana," ucap wanita itu sebelum berlalu pergi dari hadapan putranya. Lie Zhichun menarik nafas yang terasa berat. Pandangannya beralih menatap wajah Ana yang terlihat kebingungan. Dia berjalan mendekat sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompetnya untuk ia berikan pada Ana yang menatapnya dengan serius. "Di dalam kartu ini berisi uang 500 juta. Kamu pakai untuk membeli gaun, sepatu dan pergi ke salon. Jangan membuatku kehilangan muka di hadapan orang-orang penting di perusahaan," kecam lelaki itu memberi peringatan. "Apakah aku harus ikut ke acara itu?" Kedua mata Ana tampak berbinar memandangi wajah Lie Zhichun yang terlihat dingin. "Jika kamu tidak ikut, bagaimana mereka tahu bahwa aku telah menikah?" Sorot tajam dari mata lelaki itu, membuat Ana menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia melihat lelaki itu berlalu dari hadapannya, menaiki anak tangga menuju ke lantai dua. "Ah! Yang benar saja! Kenapa aku harus terlibat dengan orang-orang itu?" Ana menghembuskan nafasnya yang terasa berat. ***Ana duduk di meja yang berhadapan dengan kaca di Seesaw Coffee, tempat di mana ia sering menghabiskan waktunya, saat ia sedang banyak pikiran.Dengan ditemani secangkir coffee latte yang panas, cocok di saat cuaca mendung dan sedikit dingin. Ana menghirup aroma kopinya, sebelum ia menyeruputnya dengan perlahan.Tanpa ia sadari, sepasang mata tengah mengawasinya. Lelaki dengan tubuh yang tinggi dan sedikit kurus, duduk di depan meja barista sambil terus memperhatikannya. Ia sesekali membenarkan earbuds yang terpasang di telinganya, menunggu panggilan tersambung."Halo?" Suara wanita tua yang sudah tidak asing di telinganya, terdengar menyapanya dari seberang telpon."Halo, nyonya besar? Aku sudah menemukan wanita itu. Sepertinya dia sudah tidak mengingatku. Tadi saat kami bertemu di pintu masuk, dia hanya menatapku sebentar tanpa berbicara apa-apa," ucap Sekertaris Lie menjelaskan dengan panjang dan lebar."Bagaimana dengan cucuku? Apakah dia sudah menemukan calon pengantinnya?" tanya
"Sekertaris Lie, tolong bantu aku untuk mendapatkan seseorang yang memiliki golongan darah AB negatif, yang mau mendonorkan darahnya! Buat pengumuman bahwa kita akan memberikan uang satu milyar untuk orang itu," ucap wanita tua itu dengan antusias. Ia menatap wajah lelaki muda yang berada di sebelahnya dengan tatapan yang penuh dengan harap. Lelaki muda itu hanya menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Baru saja ia hendak pergi, Ana yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka dari balik tembok, memberanikan diri untuk muncul di hadapan mereka, yang membuat perhatian mereka tersita padanya. "Saya bersedia membantu! Kebetulan golongan darah saya AB negatif," ucap Ana yang membuat wanita tua itu membelalakkan kedua matanya dengan lebar. Sebuah senyuman tercetak jelas di raut wajah wanita tua itu. Ia segera meraih tangan Ana yang berdiri di hadapannya, dan menatap wajah wanita itu dengan kedua mata yang berbinar. "Aku tidak tahu siapa kamu? Dari mana asalmu, tapi aku sangat yakin
"Oh! Dari temanku, Nek," sahut Ana gugup. Wanita tua itu hanya manggut-manggut, sebelum ia mengajak Ana untuk kembali duduk di sofa. "Jadi, kamu masih belum ingat dengan Nenek?" tanya wanita tua itu hendak memastikan. Ana hanya menggelengkan kepalanya dengan perlahan. "Kita pernah bertemu di rumah sakit, saat hujan deras. Kalau tidak salah.... Kamu sedang membuat surat kesehatan untuk melamar pekerjaan," ucap wanita tua itu membantu Ana kembali menemukan ingatannya yang telah lama hilang. ~~~~ Hujan deras mengguyur kota Shenzhen di pagi hari. Ana yang setengah basah berlari-lari sambil berusaha menutupi bagian kepalanya. Ia berhenti di depan rumah sakit yang berada di pusat kota, sambil sesekali mengusap rok span hitam yang ia kenakan, yang tampak sedikit basah. Ana berjalan menuju ke bagian pendaftaran. Karena ia pertama kalinya datang ke rumah sakit, ia merasakan sedikit kebingungan di hadapan perawat yang saat itu sedang berjaga. "Ada yang bisa saya bantu,
"Nenek!" Zhichun bergegas menghampiri wanita tua yang mengenakan cheongsam berwarna kuning emas, yang baru saja keluar dari pintu kedatangan domestik. Wanita tua itu hanya tersenyum tipis, sambil mendorong koper berwarna hitam, yang segera diambil alih oleh Zhichun. Ana memperhatikan wanita yang rambut tampak berwarna abu-abu penuh dengan uban, yang di gulung menggunakan tusuk konde terbuat dari batu giok. Saat keduanya saling beradu pandang, Ana buru-buru memalingkan wajahnya. Ia merasa gugup di hadapan wanita tua yang terlihat jutek, galak dan juga cerewet. Wanita tua itu hanya tersenyum tipis, sebelum ia mengikuti langkah cucunya menuju ke mobil yang di parkir di halaman parkir bandara. Wanita tua itu duduk di sebelah kursi kemudi. Sesekali matanya menatap ke arah Ana lewat kaca spion yang berada di atasnya. Hal itu membuat Ana yang telah menyadarinya, menjadi salah tingkah. Mobil bergerak menuju keluar bandara, menembus jalanan yang padat dengan kecepatan rata-
Ana menghembuskan nafasnya dengan perlahan. Ia merasa tubuhnya sangat lemas, setelah ia melakukan transfusi darah. Dengan keadaan yang masih sempoyongan, Ana keluar dari ruangan. Wajahnya terlihat pucat menatap Zhichun yang sejak tadi menunggunya. "Kamu, baik-baik saja?" tanya lelaki itu yang mulai terlihat khawatir. "Ya, aku baik-baik sa ㅡ" Belum sempat Ana melanjutkan ucapannya, tubuhnya mendadak ambruk. Zhichun dengan cepat meraih tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Ia menggendong Ana menuju ke unit gawat darurat untuk segera mendapatkan pertolongan. Petugas Nakes segera mengambil tindakan, memberikan cairan infus pada Ana yang tak sadarkan diri. Sementara Zhichun menunggui wanita itu dengan setia. Ia duduk di sebelah ranjang, tempat di mana Ana terbaring, sambil menatap wanita itu dengan tatapan mata yang dalam. Perhatian Zhichun segera tersita saat ia melihat pintu terbuka. Seorang lelaki muda, bergegas menghampiri ranjang Ana dengan raut wajah gelisah. "Ana? Ba
Ana mengemaskan beberapa pakaiannya untuk ia masukkan ke dalam tas ransel, sebelum ia meninggalkan kamarnya. Langkahnya terhenti saat kedua matanya menangkap sosok lelaki arogan yang berdiri di dekat tangga, menatapnya dengan sorot matanya yang tajam. Sambil meletakkan kedua tangannya di dalam saku celana, lelaki itu berjalan mendekat ke arahnya. "Mau ke mana kamu?" tanyanya menyelidik. Kedua matanya memperhatikan ransel hitam yang dikenakan oleh Ana. "Aku.... aku mau ke rumah sakit," jawabnya tergugup. Ia berusaha menghindari tatapan mata lelaki itu. "Untuk apa kamu pergi ke sana?" Lie Zhichun memicingkan kedua matanya, menatap Ana penuh curiga. "Temanku masuk ke rumah sakit, aku ingin menemaninya." "Temanmu? Siapa? Xiao Nai?" tanya lelaki itu menduga-duga. Kedua mata Ana seketika membelalak dengan lebar. "Bagaimana kamu tahu soal Xiao Nai?" Lie Zhichun tersenyum kecut. "Apakah terlalu sulit untuk mencari tahu tentang lelaki itu? Bahkan keluargamu yang berad
Wanita itu tertegun selama beberapa saat lamanya dengan kedua matanya yang tampak berkaca-kaca. Kedua matanya menatap Ana dan Xiao Nai secara bergantian. Belum sempat kedua orang itu berbicara untuk menjelaskan situasi, Jiang Jia bergegas berlalu dari hadapan keduanya. "Jia!" Baru saja Ana hendak menyusul langkah wanita itu, Xiao Nai dengan cepat menarik tangannya untuk menghentikan langkah Ana, yang segera menoleh menatap lelaki itu dengan penuh keheranan. "Jangan dikejar! Biarkan dia menyendiri untuk sementara waktu. Biarkan dia menenangkan pikirannya," ucap lelaki itu mencoba meyakinkan Ana yang hanya menggigit ujung bibirnya. "Apa benar, semua akan baik-baik saja?" gumam Ana sambil menatap kosong, jalan yang telah dilalui oleh Jiang Jia. *** Ana membuka pintu dengan raut wajahnya yang tampak lelah. Saat ia melangkah masuk ke dalam, ia dikejutkan dengan sosok yang sebelumnya tidak ia sadari berada di sofa. Lelaki yang masih mengenakan setelan jas lengkapnya, ber
Ana menundukkan wajahnya. Ia berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan mata Xiao Nai. "Aku.... aku tidak mungkin menghianati Jia," ucap Ana ragu. "Bagaimana perasaanmu? Apakah kamu sama sekali tidak menyukaiku?" desak Xiao Nai yang tidak sabar menunggu jawaban dari wanita itu. "Ya, sejujurnya aku memang menyukaimu, tapi...." Belum sempat Ana melanjutkan ucapannya, Xiao Nai dengan cepat membungkam mulut Ana dengan sebuah kecupan mendalam di bibirnya, yang membuat Ana membelalakkan kedua matanya dengan lebar. Suasana di cafe yang sunyi tanpa pengunjung, membuat Ana terbawa gelora yang semakin membara. Cukup lama keduanya saling berpagut mesra, yang membuat Ana semakin menikmati kecupan itu. Tring!!! Bunyi lonceng yang tiba-tiba berbunyi, membuat keduanya tersentak, dan dengan cepat saling menjauh. Ada salah seorang pelanggan yang sepertinya melihat apa yang telah mereka lakukan. Hal itu membuat Ana dan Xiao Nai merasa kikuk dan salah tingkah. "Selamat dat
"Ana, Bagaimana menurutmu?" tegur Jiang Jia yang sekali lagi membuyarkan lamunan sahabatnya itu. "Apanya yang bagaimana?" Ana balik bertanya. Ia tampak tersenyum canggung. "Apakah aku katakan saja perasaanku pada Xiao Nai? Atau, tunggu dia nyatakan perasaannya?" Jia menatap wajah Ana dengan penuh harap. "Apa pun keputusanmu, aku akan selalu mendukungmu," ucap Ana dengan keterpaksaan. Sejujurnya ia merasa tidak rela jika Jiang Jia menyatakan perasaan pada Xiao Nai, yang pada akhirnya membuat mereka jadian. "Begitu ya? Kalau kamu mendukungku, aku akan menyatakan perasaanku pada Xiao Nai," ucap Jia dengan penuh semangat. Ana tersenyum kaku. Wajahnya tertunduk dalam. Ia tidak punya kuasa untuk melarang Jia melakukan hal itu. "Kamu ikut aku temui Xiao Nai ya?" ucap Jia secara tiba-tiba yang telah membuyarkan lamunan Ana. "Kamu mau menyatakannya sekarang?" Wanita itu sedikit terkejut mendengar keputusan Jia yang ia anggap terlalu cepat. "Bukankah semakin cepat semakin bagus?