Share

Anak-anaknya

"Kak, sudah bangun rupanya, ya?"

Sebuah suara feminin tiba-tiba membangunkan Amala. Wanita itu sedikit terkejut ketika melihat seorang gadis masuk ke kamar membawakan segelas air putih. Dia mendekat dengan senyum hangat di sudut bibirnya itu.

Amala tidak tahu siapa gadis itu, namun dia hanya berkata bahwa gadis itu begitu baik membawakan dirinya minum.

"Kakak pasti haus. Pingsannya lama sekali. Minum dulu, Kak." ucapnya sembari menyodorkan segelas air putih di atas nampan.

"Terima kasih." Amala berkata pelan. Meskipun wanita itu ragu dan bingung, Amala tetap berusaha untuk tenang.

"Aku Kanaya."

Ucapan gadis itu membuat Amala menautkan alisnya. Belum sempat berkata apa-apa, gadis itu tiba-tiba mengulurkan tangannya.

"Amala." Dengan senyum, Amala pun menyambut jabatan tangan sang gadis dengan perlahan.

"Ibu."

"Ibu?" Amala tersentak. Berbanding terbalik dengannya, gadis itu malah tersenyum semakin lebar.

"Iya, Ibu. Kak Amala sudah menjadi istri dari Ayah, kan? Jadi, Kak Amala adalah Ibuku sekarang."

Amala kian tersentak. Ada getaran panas yang kini mendadak menguasai tubuhnya. Namun dua netranya itu malah menatap Kanaya gadis kecil itu dengan begitu lekat.

Jadi, ini adalah anak Pak Rido?

"Kakak pasti kaget. Ehem, sebaiknya Kanaya enggak panggil Kakak sebagai Ibu secepat ini, ya, tapi Ayah suruh lakukan itu sekarang agar terbiasa," ujarnya dengan nada begitu lembut seraya meletakkan gelas tadi dengan hati-hati di atas nakas.

Amala sendiri masih merasa seperti mimpi. Gadis kecil ini menjadi anak tirinya sekarang? Namun kenapa dia begitu baik pada Amala?

"Kanaya. Kamu di sini?"

Kompak. Kanaya dan Amala menoleh ke arah pintu. Kini terlihat seorang lelaki berdiri di sana. Amala menelan saliva yang terasa berat. Dia menebak siapa itu sekarang.

"Abang, Ibu sudah bangun!" Kanaya berteriak senang detik di mana segera bangkit berlari menarik lengan lelaki itu, dibawanya mendekat ke arah Amala yang sudah begitu syok. Lelaki itu bahkan sepertinya seumuran dengan Amala sendiri.

"Abang harus sapa Ibu. Gimana, sih?" sunggut Kanaya segera melepaskan tangan abangnya itu. Lelaki itu kini malah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Rasa sungkan dan malu sudah bersatu dan menyerang. Belum lagi dengan melihat Amala yang kini begitu bingung menatap mereka.

"Naya, sebaiknya kita enggak secepat ini memperkenalkan diri. Ini terlalu cepat untuk kondisi seperti sekarang," ujar lelaki itu dengan lembut pada adiknya.

Kanaya menggeleng cepat. "Abang bilang seperti itu karena Abang udah rasain gimana punya Ibu. Beda sama aku. Pokoknya aku mau di sini."

Kanaya mendadak naik ke atas kasur segera duduk di samping Amala yang kian terkejut. Amala bahkan tidak berkutik namun dia merasa begitu terharu dengan sikap Kanaya padanya sekarang.

"Kanaya. Kamu kenapa ...."

"Su-sudah, enggak apa-apa." Amala berkata cepat.

"Ibu, ini Bang Reza. Bang Reza yang seumuran dengan Ibu," ujar Kanaya sukses membuat Reza terbelalak kaget. Reza kemudian hanya mampu terkekeh saja hingga bergegas pergi. Benar. Rasa malu sudah menguasai dirinya.

Kanaya malah tertawa. Amala sendiri melamun. Berbagai hal bermain dalam benak. Dia tidak bisa berpikir lagi jika setiap hari akan berhadapan dengan lelaki yang seumuran dengannya dalam rumah. Belum lagi lelaki itu adalah anak tirinya sekarang.

Namun, Amala heran, kenapa Reza membiarkan ayahnya menikah lagi dan dengan gadis muda seperti dirinya ini?

"Ayah!"

Suara Amala itu, sukses membuyarkan lamunan Amala dan ikut melihat. Amala baru sadar ketika kini melihat siapa di sana.

Pak Rido. Beliau menatap Amala dengan senyum lembut. Amala malah rasanya ingin menangis.

Tak kuasa menahan emosi di hatinya, air mata akhirnya mulai menetes dari matanya. Rasanya, baru beberapa hari yang lalu Amala bersenang-senang dengan teman sebayanya di kampus. Namun, tiba-tiba hari ini statusnya sudah berubah menjadi istri orang, bahkan ibu dari anak-anak.

Melihat bahu Amala yang bergetar, Rido pun menuntun anak-anaknya keluar. Tak ingin membiarkan anaknya itu menganggu Amala yang sedang menangis.

Begitu sadar hanya tersisa dirinya dan sang suami, Amala menghapus air matanya, dan menanyakan tantenya. "Tante Nisya di mana, Pak?"

"Beliau sudah pulang, Amala."

"Saya juga mau pulang!" Amala akhirnya berteriak, maniknya yang masih merah karena menangis, menatap Rido dengan nanar.

"Amala!"

Amala terhentak, begitu tangannya kini dipegang oleh Pak Rido. Sorot mata Amala yang begitu tajam itu, menjadikan tanda bahwa Pak Rido harus segera melepaskan dengan cepat.

"Maaf, Dik. Saya tidak bermaksud untuk  ..."

"Saya mau pulang! Kenapa Bapak biarin Tante pulang dan tinggalin saya di sini! Bapak sengaja, hah!" Tangis Amala kini kembali menghujam setelah sedari tadi menahan dan terbendung lebat.

Segala hal yang membuat dirinya terkejut dan terdiam telah mampu membuat pikiran Amala begitu berbicara dengan keras.

Dia sudah tidak mampu lagi untuk diam tidak berkutik. Amala benar-benar takut sekarang harus tinggal di rumah orang lain secepat ini.

"Dik Amala, tenang dulu. Saya tidak akan melakukan apapun terhadap Dik Amala, saya tahu bagaimana Dik Amala takut sekarang." Pak Rido menjelaskan dengan perlahan namun Amala bahkan tidak peduli.

Amala kian tersentak mendengar hal itu. Pak Rido berani mengatakan hal seperti itu pada dirinya sekarang seolah pernikahan ini atas keinginan Amala sendiri.

"Saya enggak peduli apa yang Bapak bicarakan! Saya mau pulang!" Amala kini terisak hebat. Berlari ke arah pintu. Nihil. Rasa takut kian menjalar begitu sadar pintu sudah terkunci rapat.

"Bapak mau sekap saya di sini? Hah!" Dia menatap Pak Rido tajam.

"Nisya meminta saya untuk menjaga Dik Amala di sini. Nisya malam ini akan berangkat ke luar kota. Tidak ada orang di rumah, Dik.”

"Bohong! Tante enggak mungkin pergi ninggalin aku sendiri! Tante udah janji mau jagain aku! Tante Nisya enggak mungkin ninggalin aku sendiri! Tante!" Tangis Amala sudah benar-benar pecah.

Dia kini terduduk lemas. Rasa takut yang semakin menjadi-jadi seolah membuat tubuhnya kehilangan beban. Amala bahkan takut sekedar untuk melihat wajah Pak Rido di sana. Dia benar-benar tidak akan berpikir hal lebih di pernikahan ini.

"Dik Amala, saya tidak bohong. Nisya memang sudah pergi. Sementara ini, Dik Amala tinggal di sini, ya. Saya ini suami Adik Amala sekarang. Saya janji saya akan menjadi suami yang baik untuk Dik Amala."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mita Author
satu komentar aja uda berharga bangett
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status