***
"Sakit!" seru Sekar, meringis saat kakinya menyentuh sisi kasar dasar kolam renang.
Refleks, Ethan langsung bergerak. Air memercik saat pria itu berenang cepat mendekatinya. Dengan cekatan, ia mengangkat tubuh Sekar ke atas, mengangkatnya seolah tubuh perempuan itu tidak berbobot. Sekar terkejut, tubuhnya terangkat ke udara dan ia mendapati dirinya duduk di tepi kolam, dipangku oleh Ethan.
"Ethan... a-aku bisa sendiri," gumamnya gugup.
Namun Ethan tidak menjawab. Tangan pria itu tetap kokoh memegangi punggung Sekar, menahan tubuhnya agar tidak terjatuh ke belakang. Sekar merona seperti buah tomat matang. Ia sadar tubuhnya hanya tertutup oleh baju renang tipis, dan kini berada begitu dekat dengan Ethan. Sangat dekat hingga ia bisa mencium aroma kulit pria itu—maskulin dan segar, bercampur aroma klorin dan lavender samar dari handuk yang tergantung.
Wajah Ethan mendekat sedikit, hanya untuk melihat luka di kaki Sekar. "Kau berdarah sedikit.
***Malam itu, bukan hanya mempelai yang menjadi pusat perhatian. Media dari berbagai negara berdesakan, mikrofon terangkat, kilatan kamera saling berlomba mengabadikan setiap momen penting.Namun berita besar justru datang dari penampilan seorang pria yang selama ini disebut-sebut menghilang dari dunia publik.Henry Van de Meer.Henry dengan lantangnya mengatakan Sekar Adalah menantu kesayangannya dan ia hanya menyetujui Sekar selama hidupnya dan hal itu sontak membuat media menyimpulkan bahwa Sekar Adalah menantu yang diterima dan mematahkan rumor yang selama ini selalu dibahas tentang Eva yang seharusnya menjadi istri dari Ethan.Begitu pesta usai dan tamu mulai berkurang, Eva melangkah cepat keluar dari ballroom. Udara malam menyambutnya, dingin menusuk kulit, tapi tidak cukup untuk mendinginkan bara di hatinya.Di sisi kanan, mobil hitam mewah sudah menunggu. Eva membuka pintu, duduk di kursi belakang, dan menarik napas panjang. Jemarinya segera meraih ponsel dari dalam clutch. D
***Musik gamelan bergema lembut di aula megah hotel internasional malam itu. Lampu kristal bergemerlap di langit-langit, menciptakan kilau yang memantul di lantai marmer putih. Para tamu undangan dari berbagai negara sibuk bercengkerama.Di sisi panggung utama, Presiden dan keluarganya sedang menyambut tamu kehormatan. Ethan berdiri gagah di antara diplomat dan pebisnis besar, berbincang penuh wibawa. Senyumnya ramah, suaranya tenang, tapi sesekali matanya melirik ke arah pintu masuk, menunggu seseorang yang sangat dinantikannya. “Ah, Ethan. Kau memang selalu mengagumkan di setiap kesempatan. Tapi…” Rayhan menoleh ke kanan dan kiri, matanya mencari. “Dimana papimu? Dia berjanji padaku akan datang malam ini.”Suasana seketika hening. Beberapa tamu ikut menoleh, penasaran. Nama Henry Van de Meer memang selalu membawa rasa ingin tahu, sebab pria itu jarang sekali muncul di acara publik, apalagi di Indonesia.Ethan hendak membuka mulut, tapi tiba-tiba sebuah suara berat dan karismatik t
***Lampu-lampu kristal di ballroom rumah pribadi presiden berkilau memantulkan cahaya emas. Musik klasik dari orkestra memenuhi udara, bercampur dengan suara gelas beradu dan tawa para tamu yang berdatangan dari berbagai negara. Malam itu adalah pesta pernikahan akbar, tak hanya dihadiri para pejabat dalam negeri, tetapi juga tamu kehormatan dari luar negeri.Ethan berdiri gagah di sisi depan, mengenakan setelan tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu yang membuat bahunya terlihat semakin bidang. Senyum ramahnya terukir ketika Presiden itu menghampirinya, diikuti beberapa menteri dan pejabat tinggi negara lain.“Selamat malam, Ethan,” sapa Presiden dengan suara hangat, menepuk bahunya ringan. “Senang sekali kau bisa hadir. Kau selalu menjadi tamu kehormatan di negeri ini. Dan saya bersyukur akhirnya anda kembali ke tanah air ini, saya selalu menanti kepulangan seorang pebisnis cerdas seperti anda.”“Terima kasih, Pak Rayhan,” Ethan membungkuk sedikit dengan sopan. “Saya merasa terhormat
***Sekar menatap pantulan dirinya di cermin besar di kamar. Jantungnya berdegup tak beraturan saat gaun malam yang begitu indah disodorkan oleh Bima. Kilau kain satin biru keperakan itu jatuh anggun, seakan memang diciptakan hanya untuk tubuhnya.“Nona… ini dari Tuan Ethan,” ucap Bima dengan suara tenang, meski sorot matanya hangat. “Beliau sudah menunggu Nona di hotel. Katanya, malam ini ada kejutan untuk Anda.”Sekar mematung. Jemarinya menggenggam gaun itu, kakinya terasa ringan sekaligus berat. “Kejutan?” gumamnya pelan, suaranya nyaris bergetar. Ia tidak bisa membayangkan kejutan apa yang akan diperlihatkan Ethan.**Tak lama, mobil hitam mewah mengantarnya menembus keramaian malam Jakarta. Jalanan berkilau oleh lampu-lampu kota. Sekar memeluk gaun itu di dadanya, matanya menatap ke luar jendela tanpa fokus. Apa yang sedang kamu rencanakan, Ethan?Sesampainya di hotel bintang lima, pelayan langsung menyambut dengan penuh hormat. Lift pribadi membawa Sekar ke lantai paling atas.
***“A-apa? Ethan menceritakannya padamu?” tanya Eva tiba-tiba, suaranya meninggi.Sekar menoleh setengah, lalu tersenyum manis. “Iya. Sudah biasa suami istri berbagi cerita, bukan? Ibaratnya suami adalah pakaian istri, begitu juga sebaliknya.”Eva tercekat. Wajahnya memerah karena marah. Tidak mungkin! Ethan bukan tipe pria yang mudah membuka rahasia. Bagaimana bisa dia cerita pada wanita kampungan ini?Ratu cepat mengulurkan tangan, menepuk lengan Eva, berbisik pelan, “Tenang. Jangan terpancing. Mana ada Ethan cerita semuanya padanya.”Eva menutup matanya sebentar, menarik napas panjang. Lalu, ia mengangguk kecil pada Ratu, mencoba memulihkan elegansinya.Namun Sekar masih tersenyum. Tatapan matanya tenang, seolah menikmati permainan ini.“Begini saja dia sudah kebakaran jenggot. Bagaimana kalau aku detail menceritakan ada berapa sixpack di tubuh suamiku?”Pikirannya tiba-tiba melayang pada pemandangan di rumah: Ethan dengan celana santai, dada bidangnya terbuka, setiap lekuk otot t
***“Memang tugasmu adalah selalu jatuh cinta padaku, kan?”Kalimat itu membuat Ethan terdiam. Ia seakan tak percaya istrinya bisa berani menggodanya di depan Henry. Wajahnya memerah, matanya melebar sesaat, lalu ia terkekeh kecil.“Ya Tuhan, kau berani sekali…” gumamnya, lalu dengan cepat menarik Sekar ke dalam pelukannya.“Papi, lihat menantu Papi ini,” katanya sambil memeluk erat Sekar. “Bagaimana bisa dia menggodaku seperti ini?”Sekar tertawa renyah, berusaha melepaskan diri dari dekapan Ethan, meski pada akhirnya membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu.Henry ikut tertawa, suaranya berat dan penuh kepuasan. “Papi suka itu,” katanya sambil menepuk-nepuk sandaran kursi. “Jika Ethan membuatmu bersedih, lapor pada Papi, sayang. Papi yang akan menghukumnya.”Sekar tersenyum manis, matanya berbinar saat menoleh ke arah mertuanya. “Baik, Papi. Tapi… aku merasa suamiku ini mana bisa menyakiti istrinya yang seperti ini.”Ethan pura-pura cemberut. “Hei, apa maksudmu itu? Jadi karen