Istri Dadakan Sang Presdir

Istri Dadakan Sang Presdir

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-07-07
Oleh:  ISMIBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
6Bab
33Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sekar Kirana, seorang guru tari Sunda berusia 24 tahun, hidup untuk menari Jaipong dan mengabdi pada budaya di Bandung. Namun, hidupnya jungkir balik saat ia tak sengaja menikah dengan Ethan Wiratama Van der Meer, pengusaha properti blasteran Indonesia-Belanda berusia 33 tahun yang kaku dan penuh pesona. Gara-gara kesalahan dokumen di festival budaya, mereka terjebak dalam akta nikah sah! Demi menyelamatkan reputasi sanggar tari Sekar dan wibawa Ethan, mereka berpura-pura jadi suami istri selama enam bulan. Sekar, dengan semangat bebas dan jiwa volunteer, menyeret Ethan ke dunianya yang tak terduga. Ethan, dengan mata hijau dan logika dingin, tak kuasa menolak pesona Sekar yang perlahan mencairkan hatinya. Tapi, ketika rahasia di balik pernikahan mereka terungkap, akankah mereka tetap berpura-pura… atau jatuh cinta sungguhan?

Lihat lebih banyak

Bab 1

1. Ciuman tanpa Sengaja

***

Gamelan mengalun meriah di festival budaya Sunda, Bandung, mengisi udara malam dengan irama yang membangkitkan jiwa. Lampion-lampion menggantung di sekitar Gedung Sate, memancarkan cahaya lembut yang menari di wajah para penonton. Sorak sorai menyambut penari Jaipong di panggung, dan Sekar, berdiri di sisi kerumunan, menarik napas dalam. Kebaya merahnya yang disulam benang emas memeluk tubuhnya dengan anggun, siger di kepalanya sedikit miring karena ia baru saja membantu panitia mengatur properti panggung.

Sekar bukan sekadar penari malam ini. Ia adalah koordinator acara, guru tari Sunda, dan volunteer yang mengajar anak-anak kampung di pinggiran Bandung. Festival ini adalah mimpinya—wadah untuk membawa budaya Sunda ke panggung yang lebih luas, untuk menunjukkan bahwa tradisi bisa hidup di tengah modernitas. “Aku harus pastikan semuanya sempurna,” gumamnya, mengecek daftar di tangannya. “Anak-anak  datang malam ini, mereka harus bangga.”

“Teh Sekar! Bentar lagi giliran Teteh, lho!” teriak Lila, teman penarinya, dari dekat saung panitia. Lila, dengan kebaya hijau dan senyum lebar, mengipasi wajahnya. “Nervous nggak? Panggung rame banget!”

Sekar tersenyum, meski jantungnya berdetak kencang. “Nervous? Enggak, Lila. Cuma… deg-degan biasa,” jawabnya, mencoba santai. “Ini kan buat anak-anak juga. Mereka harus lihat budaya kita hidup.”

“Panggung bakal ambyar gara-gara Teteh, pasti!” tawa Lila, menepuk pundak Sekar. “Eh, tadi aku lihat tamu asing banyak, lho. Mungkin ada yang naksir penari cantik kayak teteh. Teteh kan terlalu lama sendirian, sayang loh punya wajah cantik nggak dimanfaatkan.”

Sekar memutar bola mata. “Lila, jangan mulai deh. Aku fokus ke tari, bukan cari pacar,” katanya, setengah tertawa.

Ia melangkah menuju tangga menuju saung panitia, ingin memastikan jadwal. Kakinya terasa ringan, tapi pikirannya selalu sibuk—daftar tugas, anak-anak kampung yang ia ajak menonton, dan tekanan untuk memastikan acara ini sukses. Tiba-tiba, kakinya tersandung kain kebaya yang sedikit terlalu panjang. “Oh, tidak!” batinnya, tubuhnya oleng ke depan.

Bruk! Ia menabrak seseorang. Tangan kuat memegang pinggangnya, menahannya agar tidak jatuh. Namun, keadaannya membuat wajah mereka terlalu dekat—terlalu dekat. Bibir mereka bersentuhan, sekilas, tak sengaja. Sekar membelalak, jantungnya seperti berhenti. Matanya bertemu sepasang mata hijau, asing, milik pria berjas mahal yang kini memandangnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Waktu seolah membeku. Aroma parfum mahal dari pria itu menyapu indranya. Sekar merasakan panas naik ke wajahnya, siger di kepalanya bergoyang, dan jantungnya berdetak kencang. “Ya Tuhan, apa ini?!” batinnya, panik. Instingnya berteriak untuk lari, tapi kakinya seperti terpaku.

Akhirnya, ia tersadar. Dengan wajah memerah, ia mendorong dada pria itu, melepaskan diri, dan buru-buru bangkit. Punten, punten!” katanya cepat, suaranya gemetar. Tanpa menunggu respons, ia berlari menuruni tangga, kain kebayanya melambai, siger hampir jatuh. Ia tak berani menoleh, takut pria itu melihat wajahnya yang pasti sudah merah seperti tomat.

Di balik saung, Sekar bersembunyi, tangan memegang dada. “Sekar, bodoh! Kenapa cuma bilang punten? Memangnya dia ngerti Bahasa sunda? Dan kenapa malah lari?!” keluhnya, menampar pipinya pelan. “Dia pasti tamu asing. Mungkin dia tak peduli. Tapi aku… aku cium orang sembarangan! Aku gila, ya? Ini ciuman pertamaku!”

“Teh Sekar, ngapain sembunyi?!” Lila muncul, mata penuh tanya. “Tadi kenapa lari kayak dikejar hantu?”

Sekar menutup wajah. “Lila, aku… aku nggak sengaja cium orang!” bisiknya, panik. “Aku tersandung, nabrak pria asing, terus… ya Tuhan, bibirku nyentuh bibirnya!”

Lila membelalak, lalu tergelak. “Cium?! Serius?! Pria asing yang mana? Ganteng nggak?”

“Lila, ini nggak lucu!” protes Sekar, mengipasi wajah. “Aku cuma bilang punten, terus kabur. Aku harap dia nggak ingat. Mungkin baginya itu biasa, kan? Tamu asing gitu.”

“Kalau ganteng, jangan lupa ajak kenalan, ya,” goda Lila, terkikik. “Eh, tapi serius, Teh, teteh nggak apa-apa? Wajah teteh merah banget.”

Sekar menggeleng keras. “Aku nggak apa-apa. Aku mau fokus ke tari. Ini malam penting, Lila. Anak-anak didikku nonton, aku nggak boleh gagal.”

Teriakan panitia memecah obrolan mereka. “Teh Sekar, sekarang nari Jaipong! Ke panggung sekarang!”

Sekar menarik napas panjang, merapikan siger dan kebaya. “Fokus, Sekar. Ini panggungmu,” gumamnya. “Lupain pria itu.” Ia melangkah ke panggung, kepala tegak, senyum profesional terpasang. Gamelan mengalun, dan tubuhnya bergerak—langkah lincah, tangan meliuk anggun, pinggul mengikuti irama Jaipong dengan presisi. Setiap gerakan adalah cerita, setiap putaran adalah curahan jiwa. Penonton bersorak, memanggil namanya, tapi di dalam hatinya, Sekar masih bergulat dengan rasa malu.

***

Di sisi panggung, Sekar turun dengan napas tersengal, keringat menetes di dahinya. Senyumnya lebar, lega karena penampilannya sukses. Lila menepuk pundaknya. “Teh Sekar, panggung ambyar gara-gara teteh! Anak-anak  tadi teriak terus, heboh karena bangga!”

Sekar tertawa, tapi wajahnya memerah lagi mengingat insiden di tangga. “Syukur deh, Lila. Aku cuma mau mereka senang,” katanya, menghela napas. “Tapi tadi… aku masih nggak bisa lupain kejadian itu. Aku bodoh banget, nggak minta maaf beneran.”

“Teh, santai. Mungkin dia udah lupa,” hibur Lila. “Banyak tamu asing di sini. Kalau ketemu lagi, teteh minta maaf aja. Gampang, kan?”

“Gampang katamu,” keluh Sekar, mengipasi wajah. “Aku harap dia cuma tamu biasa, pulang besok ke negaranya, dan kita nggak ketemu lagi.”

Sebelum ia bisa tenang, seorang panitia mendekat, menyodorkan map kertas. “Teh Sekar, tanda tangan ini dulu, ya. Formalitas acara,” katanya, tergesa.

Sekar mengerutkan kening, tapi mengangguk. “Oh, oke. Apa ini?” tanyanya, mengambil pena dari Lila.

“Cuma formalitas, Teh. Untuk sponsor dan penutupan,” jawab panitia, buru-buru. “Seperti biasa aja.”

“Baiklah,” kata Sekar, menandatangani tanpa membaca. Ia terlalu sibuk melepas ikat pinggang kebaya yang mulai sesak. “Semoga nggak ada masalah,” gumamnya, menyerahkan map.

“Iya, Teh. Aman,” kata panitia, mengambil map dan pergi.

Sekar melepas sigernya dengan hati-hati, rambutnya terurai. Tiba-tiba, seseorang mendekat. “Teh Sekar?” panggil suara pria.

Sekar menoleh, mendapati Bima, asisten sponsor utama. Ia tersenyum ramah. “Oh, Pak Bima! Iya, ada apa?” tanyanya, menyangkutkan siger di lengan.

Bima mengangguk, ekspresinya sopan. “Apakah bisa meminta waktunya, Teh? Atasan saya, sponsor utama acara ini, ingin berkenalan dengan Teteh.”

Sekar mengerutkan kening, tapi mengangguk. “Sponsor utama? Orang penting, ya,” katanya, mencoba santai. “Baik, Pak. Ke mana?”

“Ikut saya, ke tenda VIP,” kata Bima, melangkah di depan.

Sekar mengikuti, langkahnya ringan meski jantungan mulai tak tenang. “Sponsor utama… semoga cuma ngobrol biasa,” gumamnya. Tapi bayang pria bermata hijau itu kembali mengusik. “Jangan-jangan… tidak mungkin, kan?” batinnya, mencoba menepis firasat liarnya.

Sampai di tenda VIP, Bima membuka pintu kain. “Tuan Ethan,” panggilnya, suara jelas.

Seorang pria berbalik. Jasnya sedikit terbuka, tangan di saku. Mata hijaunya bertemu mata cokelat Sekar. Waktu seolah berhenti lagi.

Selendang di tangan Sekar terlepas, jatuh ke lantai. “Pria asing itu sponsor utama?!” batinnya, jantung berdegup kencang. “Pria yang tak sengaja aku cium?!”

Ethan tersenyum tipis, aksen Belandanya terdengar jelas. “Anda Sekar, bukan? Senang akhirnya bertemu. Kita punya… banyak hal untuk dibicarakan.”

Sekar menelan ludah, wajahnya memanas. “Dia tahu? Apa dia mau minta tanggung jawab?!” batinnya, panik.

***

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
6 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status